Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS)

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESSIONAL

RUMAH SAKIT TENTARA KARTIKA HUSADA

Disusun Oleh :

TEGUH AYATULLAH

NIM : I4052191009

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2019
i
BAB I
KONSEP TEORI

1. Definisi PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai


Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi
saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan
bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003). Penyakit
Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi
merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang
mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan.

Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi


batuk kronik yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-
turut. Sementara emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di
hujung terminal bronkiol yang permanen dan abnormal disertai dengan
destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas. The Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines
mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan
pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon
inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara
atau gas-gas yang berbahaya (Kamangar, 2010).

Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien


Heru Wiyono (2009), PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak
sepenuhnya reversibel, progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi
yang abnormal terhadap partikel dan gas yang berbahaya. Kata "progresif"
disini berarti semakin memburuknya keadaan seiring berjalannya waktu

1
2. Etiologi PPOK

Terdapat beberapa faktor lingkungan dan endogen termasuk faktor


genetik yang berperan dalam berkembangnya penyakit paru obstruktif kronis.
Defisiensi enzim alfa 1 antitripsin merupakan faktor predisposisi untuk
berkembangnya PPOK secara dini.1 Alfa 1 antitripsin merupakan sejenis
protein tubuh yang diproduksi oleh hati, berfungsi dalam melindungi paru-paru
dari kerusakan.2Enzim ini berfungsi untuk menetralkan tripsin yang berasal
dari rokok. Jika enzim ini rendah dan asupan rokok tinggi maka akan
mengganggu sistem kerja enzim tersebut yang bisa mengakibatkan infeksi
saluran pernafasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan emfisema pada usia
muda yaitu pada mereka yang tidak merokok, onsetnya sekitar usia 53 tahun
manakala bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.

Hiperresponsivitas dari saluran napas ditambah dengan faktor merokok


akan meningkatkan resiko untuk menderita Penyakit paru obstruktif kronis
disertai dengan penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis. Selain itu,
hiperaktivitas dari bronkus dapat terjadi akibat dari peradangan pada saluran
napas yang dapat diamati pada bronkitis kronis yang berhubungan dengan
merokok. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya ‘remodelling’ pada saluran
napas yang memperparahkan lagi obstruksi pada saluran napas pada penderita
penyakit paru obstruktif kronis.

Faktor lingkungan seperti merokok merupakan penyebab utama disertai


resiko tambahan akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota.
Sebagian pasien mengalami asma kronis yang tidak terdiagnosis dan tidak
diobati. Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk selain
hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru
pada janin, dan status sosioekonomi rendah.

3. Faktor- faktor risiko

3.1. Merokok

Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the


United Statemenyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko
utama mortalitas bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah forced expiratory
maneuver (FEV), terjadi penurunan mendadak dalam volume ekspirasi
yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara penurunan
fungsi paru dengan intensitas merokok ini berkaitan dengan
peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur.

2
Prevalansimerokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab
tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK
dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita
yang merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama


kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta
status terbaru perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK.
Individu yang merokok mengalami penurunan pada FEV1 dimana kira-
kira hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar, 2010).

Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena


infeksi sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini
mengakibatkan penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan
asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok menyebabkan
penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan
asap rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan
perkembangan paru janin semasa gestasi.

3.2.Hiperesponsif saluran pernafasan

Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan


emfisema adalah variasi penyakit yang hampir sama yang diakibatkan
oleh faktor genetik dan lingkungan. Sementara British hypothesis
menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua kondisi yang
berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses
inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang
menilai hubungan tingkat respon saluran pernafasan dengan penurunan
fungsi paru membuktikan bahwa peningkatan respon saluran
pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi penurunan fungsi
paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang


merokok masih belum jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa
menjurus kepada remodeling salur nafas yang menyebabkan terjadinya
lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK (Kamangar, 2010).

3.3.Infeksi saluran pernafasan

Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi


untuk perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya
bahwa infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai
faktor predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran

3
nafas adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan
infeksi saluran nafas dewasa dan anak- anak dengan perkembangan
PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

3.4.Pemaparan akibat pekerjaan

Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi


saluran nafas juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu
selama bekerja. Pekerjaan seperti melombong arang batu dan
perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk
mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan
kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara
signifikan (FVC, force vital capacity; DLCO, carbon monoxide
diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan peningkatan
kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun beberapa
pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko
untuk mendapat PPOKefek yang muncul adalah kurang jika
dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, Edwin, Shapiro,
2008).

3.5.Polusi udara

Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan


saluran pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa
yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota.
Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK
masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap
hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi factor risiko yang
signifikan terjadinya PPOK pada kaum wanita di beberapa negara.
Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang
penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

3.6.Faktor genetik

Defisiensi 1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko


untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan
defisiensi 1-antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu
peratus.1-antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di
hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru. Defisiensi 1-
antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun
bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).

4
4. Patofisiologis

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.


Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel
epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak
makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan
protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya
dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya
antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan
menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies
oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan
hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease.

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel


bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis.
Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens
produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang
bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis.
Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease
menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya
elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat
rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses
ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala
patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK.

Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi


atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan
menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi
dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi
atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan
pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi
untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja
yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran napas yang telah
meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2
(hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.

5
5. Pathway Pencetus (Asma,bronkitis Rokok dan polusi
kronis,Empisema)

PPOK
Inflamasi

Perubahan anatomis
parenkim paru Sputum meningkat

Pembesaran alveoli
Batuk

Hiperartropi kelenjar
mukosa MK :
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
MK : Gangguan pertukaran gas
Penyempitan saluran udara secara
periodik
Infeksi

Ekspansi paru menurun


Leukosit meningkat

Suplai oksigen tdk adekuat Kompensasi tubuh untuk memenuhi


keseluruhan tubuh kebutuhan oksigen untuk meningkatkan
frekuensi pernapasan Imun menurun

Hipoksia
Kontraksi otot pernapasan
Kuman patogen &
Penggunaan energi untuk endogen difagosit
Sesak pernapasan meningkat makrofag

MK : Ketidakefektifan pola nafas


MK : Intoleran aktivitas
Anoreksia

MK :
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh

6
6. Manifestasi Klinis

Gejala cardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana


cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya
pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya
intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum
berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan
kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.

Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan


berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi
dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin
memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada penyakit yang moderat
hingga berat , pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan penurunan suara napas,
ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan hiperresonansi pada perkusi. Karena
penyakit yang berat kadang berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan
cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis,
hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari
bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada
ganguan lainnya, terutama karsinoma bronkogenik

Tanda obstruksi komplet saluran nafas atas yang mendadak sangat


jelas. Pasien tidak dapat bernafas, berbicara atau batuk dan pasien mungkin
memengang kerongkongannya seperti mencekik, agitasi, panic dan napas yang
tersengal-sengal dan diikuti sianosis. Dan apabila ada sumbatan tidak segera
ditangani akan menyebabkan kematian dalam waktu 2-5 hari.

7. Pemeriksaan Penunjang

7.1. Darah rutin


Pemeriksaan Hb, Ht, leukosit
7.2. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal

7
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasu
7.3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
7.4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
7.5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut
pada gagal napas kronik

8. Penatalaksanaan

8.1. Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan medis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:
a. Bronkodilator (β-agonis atau antikolinergik) bermanfaat pada 20-
40%kasus.
b. Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16
jammemperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu
pasiendengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV 1 sebesar 1,5 L).
c. Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan
manfaatsimtomatik yang signifikan pada pasien dengan pnyakit sedang-
berat.
d. Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan
denganmeningkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan patensi
jalannafas. (Davey, 2002)
8.2.Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:
a. Mempertahankan patensi jalan nafas
b. Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
c. Meningkatkan masukan nutrisi
d. Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
e. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program
pengobatan (Doenges, 2000).

8
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala:
 Keletihan, Kelelahan, Malaise
 Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit
bernafas
 Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
 Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
Tanda:
 Keletihan
 Gelisah, insomnia
 Kelemahan umum/kehilangan massa otot
b. Sirkulasi
Gejala: Pembengkakan pada ekstrimitas bawah
Tanda:
 Peningkatan tekanan darah
 Peningkatan frekuensi jantung
 Distensi vena leher
 Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
 Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameter
dada)
 Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis; kuku tabuh
dan sianosis perifer
 Pucat dapat menunjukkan anemia
c. Integritas Ego
Gejala:
 Peningkatan faktor resiko
 Perubahan pola hidup
Tanda:
 Ansietas, ketakutan, peka rangsang
d. Makanan/cairan
Gejala:
 Mual/muntah
 Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
 Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan
 Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis)

9
Tanda:
 Turgor kulit buruk
 Edema dependen
 Berkeringat
e. Hygene
Gejala:
 Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tanda:
 Kebersihan buruk, bau badan
f. Pernafasan
Gejala:
 Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau episode
berulangnya sulit nafas (asma); rasa dada tertekan,m ketidakmampuan
untuk bernafas (asma).
 Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat
bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2
tahun. Produksi sputum (hijau, puith, atau kuning) dapat banyak sekali
(bronchitis kronis).
 Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap
dinimeskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
 Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan
pernafasan dalam jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau debu/asap
(mis.asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
 Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus.
Tanda:
 Pernafasan: biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi memanjang
dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
 Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
 Dada: gerakan diafragma minimal.
 Bunyi nafas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema);
menyebar, lembut atau krekels lembab kasar (bronchitis); ronki,
mengisepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama
inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak adanya bunyi nafas
(asma).

10
 Perkusi: Hiperesonan pada area paru (mis. jebakan udara dengan
emfisema); bunyi pekak pada area paru (mis. Konsolidasi, cairan,
mukosa).
 Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
 Warna: pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abu-abu
keseluruhan; warna merah (bronchitis kronis, “biru mengembung”).
Pasien dengan emfisema sedang sering disebut “pink puffer” karena
warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.
 Tabuh pada jari-jari (emfisema)
g. Keamanan
Gejala:
 Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan
 Adanya/berulang infeksi
 Kemerahan/berkeringat (asma)
h. Seksualitas
Gejala:
 Penurunan libido
i. Interakasi Sosial
Gejala:
 Hubungan ketergantungan kurang sistem penndukung
 Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat
 Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik
Tanda:
 Ketidakmampuan untuk membuat/mempertahankan suara karena distress
pernafasan
 Keterbatasan mobilitas fisik
 Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penyakit paru
obstruktif kronis
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi.
c. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan factor biologis

11
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penyakit paru
obstruktif kronis
Intervensi:
 Auskultasi bunyi napas.
 Kaji atau pantau frekuensi pernapasan.
 Dorong atau bantu latihan napas abdomen atau bibir.
 Observasi karakteristik batuk.
 Tingkatkan masukan cairan samapai 3000 ml/hari.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi
Intervensi:
 Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
 Tinggikan kepala tempat tidur, dorong nafas dalam.
 Auskultasi bunyi nafas.
 Awasi tanda vital dan irama jantung.
 Awasi GDA.
 Berikan O2 tambahan sesuai dengan indikasi hasil GDA.
c. Intoleren aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen
 Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan
menggunakan exercise, berjalan perlahan atau latihan yang sesuai.
d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan factor biologis
 Kaji kebiasaan diet.
 Auskultasi bunyi usus.
 Berikan perawatan oral.
 Timbang berat badan sesuai indikasi.
 Konsul ahli gizi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Artika, I Dewa Made Dan Ign Paramartha Wijaya Putra. 2013. Diagnosis Dan
Tata Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronis Multazam Rs Pku
Muhammadiyah Surakarta. https://eprints.ums.ac.id

Esther, John D. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan.Jakarta :


EGC.

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson.2006. Patofisiologi Konsep


KlinisProses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC

Sulistiyaningrum, Dewi. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan


Gangguan SistemPernapasan : Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Ruang
Wirawan Salatiga. https://repository.uksw.edu

Wulang, Anggriani Rambu Ana. 2013. Gambaran Peran Perawat Sebagai Care
GiverDalam Perawatan Pasien Ppok Selama Dirawat Di Rs Paru Dr. Ario
Wirawan Salatiga. https://repository.uksw.edu

NANDA, NIC- NOC. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan diagnose


Medis & NAND, NIC- NOC. Jakarta: Media Action Publishing.

NANDA, NIC- NOC. 2017. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi


2015-2017. Jakarta: EGC

13

Anda mungkin juga menyukai