Anda di halaman 1dari 3

Mereka berdua masuk kerumah bu Sari.

Bu Sari membimbing mereka untuk mengikutinya dan


menawari mereka untuk duduk di ruang tengah. Sementara itu Bu Sari melangkahkan kaki ke dapur.
Dia menyiapkan teh untuk kedua pemuda itu. Risma merapikan pakaian kering yang baru saja
diambil dari jemuran. Itu menumpuk di salah satu kursi tamu.

“dede Sania mana?” Tanya Fahmi.

“Lagi bobo”

“hmm, capek kali yah kepanasan.” Ucap Fahmi.

Ungkapan Fahmi itu hanya mendapat senyuman dari Risma yang sedang terlihat sibuk merapikan
barang yang tergeletak. Rambut lurus seperti hasil rebonding itu seperti tirai yang sengaja digeser-
geser ketika dia mondar-mandir. Lalu Risma mendekati Tama sambil berjingjit.

“mas maaf” izin Risma. Dia berjongkok lalu tangannya meraih sesuatu yang ada di belakang kaki
Tama. Kaki Tama bergeser tanpa perintah. Tangan Risma mencapit sebuah celana dalam yang
diameternya hampir sama dengan stadion stamford bridge. Dia membawa celana dalam tersebut
dengan cara sembunyi-sembunyi lalu buru-buru berjalan ke belakang rumah. Fahmi dan Tama
terkekeh sambil sambil saling melempar tepuk. Betapa baiknya Tuhan memberikan hiburan dalam
kondisi yang serba krisis. Akibat terseret masalah ini, Tama dan Fahmi seolah lupa ritme dan ketukan
dalam tertawa.

Bu Sari datang membawa dua cangkir teh.

“Ayok silahkan diminum.” Tawar Bu Sari.

“iya bu. Maaf ngerepotin”

Tama dan Fahmi buru-buru menyesap teh hangat tersebut. Mereka sangat menikmati teh hangat
yang dibuat setengah manis itu.

“Gimana udah ketemu sama Pak Bayu?”

“aduh Pak Bayunya lagi gak ada bu.”

Entahlah, seperti cuaca dan takdir, obrolan mereka terkadang tak dapat ditebak rutenya. A, cak.
Entah darimana itu berawal, tapi pada akhirnya Tama dan Fahmi akhirnya menceritakan kejadiaan
naas tersebut. Kejadian yang membawa mereka ke kampung ini dan bahkan mengenal Bu Sari.

Setelah panjang lebar berbicara. Bu Sari seperti tidak terima jika kalimat kalimat yang dilontarkan
Fahmi seperti menyinggung Pak Bayu. Bu Sari bersikeras bahwa Pak Bayu adalah orang baik.
Sepertinya dia tidak mungkin melakukan hal itu. Risma memanggil Bu Ais. Lalu Bu Ais menemui
menantunya yang sedang masak tersebut.

Fahmi meneguk teh dengan penuh kehidmatan, seperti orang yang sedang meditasi.

“Tapi gue yakin kalo dia orang baik dan gak mungkin kayak gitu.” Ucap Tama. Ungkapannya tersebut
hanya dilandasi kesaksiannya melihat Pak Bayu memberi uang senilai lima puluh ribudan setengah
bungkus rokok pada orang gila tempo lalu.
Menyaksikan kenaian pada bingkai wajah Tama, Fahmi dijejali rasa muak.

“Kamu urus saja urusanmu!” Ucap Fahmi Setelah mengatakan itu dia langsung berdiri dan
melangkahkan kaki keluar rumah. Tama mengejar Fahmi yang masih berada di depan halaman
rumah. Tama menarik tangan Tama.

“gue kasian ama Fia. Lo lebih mentingin intuisi daripada maksimalin usaha lo buat nyari Fia!,
persetan lah tuh bapak-bapak ngasih duit lima puluh ribu kek lima puluh juta kek. Emang lu pikir gue
peduli? Emang satu kejadian bisa dijadiin acuan dalam menilai seseorang?”

“iya tapi ...”

“Apa?” Fahmi mengepalkan tangannya.

“Brug” satu tonjokan mendarat di pipi Tama, disusul dengan suara teriakan bu Sari yang
menggema. Dengan penuh rasa panik bu Sari menarik mereka berdua kedalam. Bu sari memohon
pada mereka berdua agar menghentikan baku hantam. Mereka masuk kedalam. Mereka terdiam
mendengar suara tangisan Sania yang terbangun karena kaget mendengar kegaduhan ini. Mereka
seolah tersadar bahwa tingkah mereka tadi hanya akan menambah masalah baru.

Risma dan Bu ais menggelar karpet di ruang tengah. Risma membawa bakul nasi, sebuah mangkuk
berisi sayur sop panas, sepiring daging ayam goreng berwarna kuning kecoklatan dan sepiring kecil
sambal terasi.

Fahmi dan Tama sangat menikmati jamuan makan yang tak terduga ini. Setelah beberapa kali
menasehati Tama dan Fahmi agar tidak kelahi dia menjadi seperti seorang detektif yang bawel. Dia
mulai menanyakan soal Fia dan menanyakan siapa ayahnya Fia. Sesaat setelah mendengar Fahmi
menyebut nama bapak Akmal ayahnya Fia dia seperti orang yang dihipnotis.

“Bapa Akmal rumahnya gak Jauh dari sini.”

Pertanyaannya: kenapa Pak Bayu saat itu bilang tidak kenal dengan pak Akmal?

Dari Risma, Fahmi dan Tama mengetahui sedikit tentang pak Akmal. Dia orangnya sangat baik. Risma
baru menyadari bahwa anak yang sering diceritakan penuh dengan rasa bangga itu adalah Fia. Risma
semakin dibuat kaget setelah melihat kumpulan foto yang ditunjukan oleh Tama pada ponselnya.
Dia yakin seribu persen bahwa itu memang Fia anak yang sangat dirindukan oleh Pak Akmal.

“saya suka nongkrong sama temen saya Linda. Kami seumuran. Kamuta Pak Akmal, anaknya itu kira-
kira seumuran kami. Bedanya kalo saya nikah muda hehe. Tapi, dia manggilnya bukan Fia. Resti kalo
gak salah”

“namanya emang Refiana. Saya manggilnya Fia.”

Risma melanjutkan ceritanya bahwa betapa sayangnya dia pada anaknya. Bahkan dia meminta Linda
untuk stalking sosial media milik Fia. Pak Akmal sering minta foto dari sosial medianya Fia untuk
dicetak. Pak Akmal memajang foto Fia pada tembok di salah satu sudut ruangan di rumahnya.
Bahkan satu kali satu setengah meter itu penuh sama foto-foto Fia. Lewat penuturan Risma diktahui
bahwa Pak Akmal menaruh kursi besi berwarna hijau taupe untuk tmpat ia mnagis dan merayakan
kerinduan pada anak satu-satunya itu. Meski hanya berbasis bisik-bisik tetangga, Risma dan Bu sari
menduga bahwa keadaan ekonomi pak Akmal menjadi biang perpisahan antara mereka. Tama pun
mengamini hal yang sama. Dia sudah mengenal watak ibunya Fia. m

Anda mungkin juga menyukai