Anda di halaman 1dari 3

Kosmopolitanisme : Definisi, Asumsi Dasar dan Kelemahannya

diposting oleh halida-rizkina-fisip14 pada 13 March 2017

di SOH309 - 0 komentar

Kosmopolitanisme adalah sebuah paham, prinsip, filosofi seperti layaknya fundamentalisme, radikalisme
dan lain lain (Wardhani 2017). Adam Gannaway (2009, 19) mendefinisikan kosmopolitanisme sebagai
perspektif yang menggunakan hubungan antara manusia secara global sebagai dasar pembentukan kode
etis politik dan etika global. Perspektif ini percaya bahwa hubungan antar manusia di zaman yang
semakin bertambah global membentuk hubungan etik dan politik yang tidak bisa lagi diikat oleh batas
negara. Kosmopolit percaya bahwa manusia memiliki sifat inheren untuk merasakan kedamaian. Hal ini
terlihat misalnya dalam adanya negosiasi dalam PBB, misi-misi kemanusiaan maupun kegiatan turisme
yang immersive. Semua hal tersebut menunjukkan adanya usaha manusia untuk memahami budaya
yang berbeda dan membentuk harmoni dengan sesamanya (Wardhani 2017). Dalam ilmu sosiologi,
harmoni ini dicapai saat manusia memahami emiks, perspektif dari mereka—orang lain—dan bukan
hanya epiks, perspektif diri sendiri (Wardhani 2017). Salah satu cara untuk memahami epiks adalah
dengan penguasaan bahasa. Namun tidak hanya dapat berbicara dengan menggunakan bahasa lain,
manusia juga harus mempelajari budaya masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut (Wardhani
2017).

Secara etimologi, kata kosmopolitanisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu cosmos yang berarti alam
semesta serta polites yang berarti penduduk. Dari hal ini, kosmopolitanisme diartikan sebagai penduduk
dunia yang tinggal bersama-sama manusia dan makhluk hidup lainnya (Wardhani 2017).
Kosmopolitanisme berinteraksi dengan ide geopolitik, yang menganalisa, meramalkan dan
menggunakan kekuatan politik di atas sebuah wilayah. Ide tersebut menjadikan kebanyakan manusia
terikat dengan satu negara tertentu. Namun kosmopolitanisme mencakup manusia-manusia yang tidak
mempunyai hubungan legal dengan salah satu negara, sehingga menjadi warga negara dunia—citizen of
the world (Wardhani 2017).

Ide kosmopolitanisme tentang warga negara dunia dapat ditelusuri dari zaman Yunani Kuno, waktu asal
sebuah patung yang mencakup tulisan Diogenede de Sinope yang berarti ‘saya adalah warga negara
dunia.’ Keberadaan patung tersebut membuktikan bahwa di masa saat konsep negara belum modern,
ide tentang kesadaran bahwa seorang manusia merupakan bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar
sudah ada. Patung tersebut merupakan acuan dibangunnya ide kosmopolitanisme oleh kaum Stoic
(Wardhani 2017). Kaum Stoic mempunyai beberapa asumsi dasar. Pertama, setiap manusia termasuk di
dalam dua komunitas yaitu komunitas lokal di tempat mereka lahir dan komunitas tempat manusia
berargumen dan beraspirasi yaitu dunia ini. Dunia dibayangkan sebagai desa global—global village—
yang melampaui batas-batas politik. Penggunaan ‘desa’ dan bukan ‘kota’ berasal dari sifat desa di mana
kebanyakan warganya mengenal satu sama lain dan akan membantu bila salah satu dari mereka
membutuhkan (Wardhani 2017). Hal tersebut yang diharapkan akan terjadi di dunia kosmopolit.
Asumsi kedua kaum Stoic adalah setiap manusia mempunyai identitas dengan model lingkaran Hierocles
atau konsentris. Lingkaran pertama adalah diri sendiri, lalu keluarga inti, keluarga besar, kelompok lokal,
warha negara dan yang terakhir adalah dunia. Asumsi ketiga adalah setiap manusia adalah saudara.
Keempat, manusia hidup dalam harmoni komformitas. Kelima, konformitas tersebut diatur oleh hukum
negara. Keenam, tidak ada yang namanya ‘orang asing.’ Terakhir, budak juga manusia (Wardhani 2017).
Asumsi-asumsi tersebut memperlihatkan kosmopolitanisme sebagai ide yang merayakan keberagaman
dan multikulturalisme serta toleransi terhadap perbedaan. Ide ini pervasive di setiap aspek kehidupan
dari politik, psikologi, sosiologi hingga budaya. Beberapa negara menyebut ide kosmopolitanisme
dengan nama-nama yang berbeda, seperti Amerika Serikat dan Prancis yang menyebutnya asimilasi,
Eropa menyebutnya multikulturalisme dan Kanada menyebutnya mosaik budaya (Wardhani 2017).
Namun terlepas dari itu, secara umum menjadi seorang kosmopolit berarti menjadi manusia yang
mengambil tanggung jawab akan mahkluk hidup lain dan menyadari perbedaan antar manusia tanpa
membuatnya menjadi halangan (Wardhani 2017).

Adam Gannaway (2009, 3) menjelaskan asumsi kosmopolitanisme dari sektor moral dan politik. Dalam
sektor moral, kosmopolit percaya bahwa (1) kemiskinan global membutuhkan dedikasi moral untuk
meratakan kesenjangan melampaui batas-batas politik; (2) pemenuhan kepentingan nasional dan aksi
politik unilateral harus mempertimbangkan efek yang akan terjadi pada komunitas global; (3) dan
negara-negara mempunyai tugas untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Dalam sektor
politik, kosmopolitanisme mempunyai asumsi bahwa proses globalisasi mengancam otonomi
pengambilan keputusan dan kedaulatan nasional; (2) manusia kini diatur oleh banyak badan pembuat
keputusan di luar batas negara namun tidak mempunyai hak untuk turu serta dalam proses pembuatan
kebijakannya; dan (3) banyak isu global maupun regional yang muncul dan tidak mampu diatasi dalam
level negara usaha (Gannaway 2009, 3).

Bentuk kosmopolitanisme kompatibel dengan model salad bowl, di mana komponen masyarakat yang
berbeda-beda masih mempunyai identitasnya masing-masing namun disatukan dengan yang lain
dengan ikatan kemanusiaan (Wardhani 2017). Ikatan kemanusiaan ini membentuk solidaritas budaya
dan politik yang melampaui batas negara bangsa, dan membentuk sebuah jaringan global yang mampu
menopang institusi politik maupun NGO yang mewadahi kesadaran global yang kebanyakan tentang
prinsip demokratis dan kepentingan manusia (Cheah 2006, 491). Namun walaupun begitu,
kosmopolitanisme tetap tidak dapat menghilangkan hubungan keterikatan manusia dengan batas politik
dan budaya negara. Ide kosmopolitanisme pun masih terhambat adanya konflik religius, nasionalisme,
xenofobia dan juga intoleransi.

Adanya komunitas migran transnasional pun masih tidak dapat membentuk komunitas yang benar-
benar bebas dari batas politik dan budaya seperti yang dikatakan kosmopolit. Walaupun komunitas
migran tidak begitu terikat dengan batas politik negara asal maupun tujuannya, namun sulit untuk
mengatakan mereka adalah warga negara dunia hanya karena mereka tidak mempunyai rasa
nasionalisme terhadap negaranya. Hal ini dikarenakan mayoritas migrasi transnasional didorong oleh
faktor ekonomi dan keberlangsungan hidup dan bukan keinginan untuk menjadi warga negara dunia.
Contoh hal tersebut adalah komunitas migran Asia Amerika—Tionghoa dan Vietnam—yang menjalankan
bisnis di luar negaranya namun menggunakan outsourcing di negara asalnya dengan justifikasi
solidaritas nasional (Cheah 2006, 493). Hal tersebut menunjukkan ide kosmopolitanisme tentang
membentuk jaringan dunia tanpa ada batas politik negara adalah hal yang sulit ditemukan di dunia
nyata. Kelemahan lain dari kosmopolitanisme adalah ambiguitas definisinya dan juga sifat paradoks dari
hal yang ingin ditujunya. Kosmopolitanisme harus menyeimbangi antara perbedaan dan kesetaraan, dan
membentuk nilai universal namun di saat yang sama menghargai perbedaan kultural dan sejarah
(Ribeiro 2005, 19). Hal ini membuat ide kosmopolitan lebih menjadi nilai ideal dibanding perspektif
aplikatif.

Kesimpulannya, kosmopolitanisme merupakan ide yang berkembang sejak lama yang mempunyai visi
dunia yang mempunyai jaringan etika dan moral yang tidak dibatasi oleh batas politik negara. Dalam
aplikasi mendasarnya, kosmopolitanisme berhasil menjelaskan adanya kesadaran manusia yang merasa
menjadi bagian sesuatu yang lebih besar dari negara. Namun dalam skala aplikatif yang lebih tinggi,
kosmopolitanisme masih mendapatkan tantangan dari keterikatan manusia dengan batas politik negara
dan budayanya yang masih ada bahkan pada komunitas migran transnasional yang seharusnya menjadi
pionir jaringan kesadaran global. Pada akhirnya, kosmopolitanisme menjadi perspektif ideal yang
didasari oleh pencarian cara untuk mempertahankan kedamaian.

Referensi :

Cheah, Pheng. 2006. ‘Cosmopolitanism’ dalam Theory, Culture & Society, 23 (2-3). Nottingham Trent.
pp. 486-496.

Gannaway, Adam. 2009. What is Cosmopolitanism?, MPSA Conference Paper.

Ribeiro, Gustavo Lins. 2005. ‘What is Cosmopolitanism?,’ dalam Vibrant – Virtual Brazilian Anthropology,
2 (1). Brasília : ABA. pp. 19-26

Wardhani, Baiq. 2017. Cosmopolitanism. Presentasi mata ajar Kosmopolitanisme, Nasionalisme dan
Fundamentalisme, 7 Maret 2017. Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai