Anda di halaman 1dari 38

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hidung dan Sinus Paranasal

1. Anatomi dan fisiologi hidung

Hidung merupakan salah satu organ penting yang berfungsi dalam

proses respirasi. Hidung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung luar

dan hidung dalam. Hidung berbentuk piramid dan dibentuk oleh kerangka

tulang dan tulang rawan. Hidung terletak menonjol pada garis tengah di

antara pipi dengan bibir atas. Bagian puncak hidung disebut juga dengan

apeks nasi. Ujung atasnya yang sempit bertemu dengan dahi di glabela dan

disebut dengan radiks nasi. Kedua lubang hidung disebut nares dan

dipisahkan oleh sekat tulang rawan kulit yang disebut kolumela. Titik

pertemuan antara kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung.

Bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas ke

bawah yang disebut filtrum. (Ballenger, 2013).

Hidung bagian dalam terdiri dari septum nasi membagi kavum nasi

menjadi dua bagian. Septum dibentuk oleh penampang sagital yang terdiri

dari bagian tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh mukosa respiratori.

Dinding lateral hidung dibentuk oleh permukaan dalam maksila, os

lakrimalis, konka superior dan media, konka inferior dan medial

pterigoideus. Di antara konka-konka tersebut terdapat celah sempit yang

disebut meatus yaitu meatus inferior, media dan superior dimana


9

merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis. Kadang-kadang

didapatkan konka ke empat yang disebut konka suprema (Ballenger, 2013;

Leung, 2014).

Sumber perdarahan untuk hidung secara garis besar berasal dari

etmiod anterior dan posterior yang merupakan percabangan dari oftalmika

dari karotis interna dan sfenopalatina yang merupakan percabangan dari

maksilaris interna dari karotis eksterna. Bagian anterior dan superior

septum serta dinding lateral hidung mendapatkan perdarahan dari etmoid

anterior (Ballenger, 2013).

a b

Gambar 2.1 Anatomi Hidung (Ballenger, 2013)

a. Potongan dorsal hidung

b. Potongan koronal hidung

Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai organ yang

berperan dalam proses penciuman/penghidu, pernapasan dan

perlindungan. Ketiga fungsi tersebut dibantu oleh struktur anatomi yang

rumit di dalam rongga hidung yang membentuk suatu permukaan yang


10

luas. Lipatan mukosa, silia, dan kelembaban di dalam rongga hidung akan

terlibat dalam proses pernapasan untuk menyaring kotoran yang masuk

bersama udara pernapasan dan akan meningkatkan kemampuannya dalam

hal proteksi sebelum udara pernapasan tersebut masuk ke dalam saluran

napas bagian bawah (Leung dkk., 2014).

Banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan sistem sekresi

rongga hidung dan sinus paranasalis berperan dalam proses pengaturan

suhu dan kelembaban di dalam rongga hidung sebelum udara pernapasan

tersebut dialirkan ke saluran napas bagian bawah. Suhu udara yang melalui

hidung diatur berkisar 37oC. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang

terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut yang terdapat

di vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada

palut lendir dan partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin

(Leung dkk., 2014).

2. Anatomi dan fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga berisi udara yang berbatasan

langsung dengan rongga hidung. Sinus paranasalis dibagi menjadi dua

kelompok yaitu anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan

sinus etmoid anterior merupakan kelompok anterior dan ostium dari sinus-

sinus ini terletak di dalam meatus media. Sedangkan sinus etmoid

posterior dan sinus sphenoid merupakan kelompok posterior dan ostium

dari sinus-sinusnya terletak di dalam meatus superior (Ballenger, 2013).


11

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Dinding

anterior terbentuk dari permukaan maksila. Dinding posterior berbatasan

dengan fossa pterigopalatina. Dinding medial merupakan dinding lateral

dari kavum nasi, lantai sinus adalah prosesus alveolaris dan dinding

superior sebagai lantai orbita. Nervus infraorbital melewati lantai orbita

keluar ke bagian anterior maksila melalui formen infraorbita (Leung dkk.,

2014)

Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi

infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa.

Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15

mL dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus

semilunaris melalui infundibulum etmoid (Ballenger, 2013; Leung dkk.,

2014).

Sinus etmoid merupakan sinus yang pertama kali terbentuk dengan

sempurna. Sinus ini merupakan struktur dibagian tengah hidung dengan

anatomi yang kompleks. Sinus etmoid terdiri dari sel-sel yang menyerupai

sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral tulang etmoid,

yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior

yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang

bermuara di meatus superior (Ballenger, 2003; Leung dkk., 2014).


12

Bagian depan sinus etmoid anterior terdapat bagian yang sempit

disebut infundibulum. Terdapat pula bula etmoid yang merupakan sel

etmoid terbesar. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan

dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea

yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita

(Ballenger, 2013).

Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling

posterior, yaitu di dalam tulang sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.

Pneumatisasi tulang sfeniod terjadi selama usia anak-anak dan prosesnya

berlangsung cepat setelah usia tujuh tahun dan berhenti terbentuk pada

usia 12 hingga 15 tahun. Sinus sfenoid memiliki banyak hubungan penting

dalam hal neurovaskular. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan

nervus di bagian lateral tulang sphenoid akan menjadi sangat berdekatan

dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus

sfenoid. Sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa.

Bagian inferior adalah atap nasofaring. Bagian lateral berbatasan dengan

sinus kavernosus dan arteri karotis interna. Sebelah posteriornya

berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Ballenger, 2013;

Leung dkk., 2014).

Sinus frontal jarang terbentuk sebelum tahun ke dua kehidupan.

Pada saat ini, sinus frontal sangat lambat menginvasi os frontal dan sinus

ini memiliki bentuk serta ukuran yang bervariasi. Dinding anterior sinus

frontal terdiri dua buah tulang dan dinding posteriornya terdiri dari sebuah
13

lempeng tulang yang kompak. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya

yang terletak di resesus frontal yang berhubungan dengan infudibulum

etmoid (Ballenger, 2013).

Fungsi sinus paranasal yaitu sebagai pertahanan tubuh terhadap

kontaminasi sinus dari infeksi akibat paparan dengan lingkungan luar

melalui tiga mekanisme yaitu, terbukanya kompleks ostiomeatal, transport

mukosilia dan produksi mukus yang normal (Pramitasari, 2013).

Gambar 2.2 Gambaran kompleks ostiomeatal (Ballenger, 2013)

Kompleks ostiomeatal merupakan suatu unit yang menghubungkan

antara meatus media dan kelompok sinus bagian anterior. Jika terjadi

deformitas anatomi atau proses penyakit, hal tersebut akan menyebabkan

terjadinya obstruksi ostium sinus, stasis silia dan infeksi sinus (Ballenger,

2013).
14

3. Sinusitis Kronis

a. Definisi

Menurut Johnson dan Ferguson (1998) seperti yang dikutip

oleh Selvianti (2013) bahwa inflamasi yang terjadi pada kavum nasi

biasanya berhubungan dengan inflamasi pada sinus paranasalis. Hal ini

disebabkan karena mukosa kavum nasi dan sinus paranasalis saling

berhubungan sebagai satu kesatuan dan memiliki kesamaan secara

histologi. Sehingga terminologi sinusitis lebih diterima sebagai istilah

bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus

paranasalis.

Hingga saat ini telah banyak dikemukakan definisi sinusitis

kronis. Menurut Konsensus terbaru dalam European Position Paper on

Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 sinusitis kronis

adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan

adanya dua atau lebih gejala dengan salah satu gejala harus mencakup

hidung tersumbat, obstruksi, kongesti atau adanya sekret hidung

(anterior/posterior nasal drip), ± nyeri wajah/ tekanan daerah sinus, ±

penurunan atau hilangnya daya penghidu. Dan salah satu temuan

endoskopi: polip dan atau sekret mukopurulent terutama berasal dari

meatus medius dan atau edema/ obstruksi mukosa terutama pada

meatus medius dan atau pada gambaran tomografi computer terdapat

perubahan mukosa pada daerah kompleks osteomeatal dan atau sinus,

dengan perlangsungan ≥ 12 minggu (Selvianti, 2013).


15

b. Etiologi

Seperti yang telah dituliskan pada latar belakang bahwa

sinusitis kronis disebabkan oleh multifaktorial dan dapat

dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu faktor genetik/fisiologi,

faktor lingkungan dan faktor struktural (Selvianti, 2013).

1) Faktor genetik/fisiologi

Asma merupakan salah satu kondisi yang ditandai dengan

adanya riwayat atopi dan hiperaktivitas pada saluran napas. Hal

tersebut dapat menjadi faktor yang berperan untuk terjadinya

sinusitis kronis serta pada 88% kasus, penderita asma memiliki

gambaran radiologis mukosa sinus yang abnormal (Selvianti,

2013). Pada beberapa penyakit bawaan lainnya seperti diskinesia

silia primer ataupun sindroma kartagener juga dapat menjadi faktor

terjadinya sinusitis kronis karena bersihan mukosiliar yang

abnormal, dimana silia merupakan struktur yang sangat penting

yang terdapat di dalam kavum nasi dan sinus paranasal untuk

sistem proteksi pada traktus respiratorius yang melindunginya dari

paparan debu dan udara lingkungan luar.

2) Faktor lingkungan

sinusitis kronis juga dikaitkan dengan alergi. Hal ini diduga

pada alergi terjadi inflamasi di mukosa hidung yang akan


16

menyebabkan udem mukosa dan akhirnya akan mengakibatkan

gangguan ventilasi serta penyumbatan ostium sinus. Beberapa

kondisi seperti adanya suatu infeksi baik oleh virus, bakteri

ataupun jamur akan dapat menghambat siklus metachronous silia

dan sistem transport mukosilia yang efesien (Ballenger, 2013).

Pada sinusitis kronis kuman yang paling sering menginfeksi adalah

anaerob dimana hal tersebut diakibatkan oleh stasisnya mukus,

obstruksi ostium sinus dan hipoksia di dalam kavum sinus

(Selvianti, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ponikau

dkk. (1999) seperti yang dikutip oleh Selvianti (2013)

mendapatkan sekitar 96% kultur jamur positif pada 210 pasien

sinusitis kronis dan pada kasus sinusitis kronis karena jamur

didapatkan peningkatan kadar IL-8.

3) Faktor Struktural

Variasi anatomi yang terdapat pada hidung baik itu berupa

deviasi septum nasi, konka bulosa dapat menjadi faktor

predisposisi sinusitis kronis karena kondisi tersebut dapat

menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga drainase sinus

terganggu (Selvianti, 2013).

c. Patofisiologi

Faktor utama yang sangat berperan dalam patofisiologi

sinusitis adalah kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi


17

sinus. Kasus sinusitis sebagian besar disebabkan karena adanya

inflamasi akibat infeksi virus ataupun alergi yang mengakibatkan

edema mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Selain itu

infeksi virus juga dapat menimbulkan gangguan epitel, peningkatan

jumlah sel goblet dan penurunan silia. Edema mukosa dan semua

perubahan yang terjadi akan berdampak pada obstruksi ostium sinus

sehingga drainase sekret menjadi terganggu (Kentjono, 2014).

Proses inflamasi yang terjadi pada sinusitis kronis diakibatkan

karena epitel saluran napas atas memproduksi berbagai sitokin

diantaranya adalah IL-1, TNF-α (Tumor necrosing factor alpha), GM-

CSF (Granulocyte-macrophage-colony stimulating factor), ICAM-1

(Intracellular adhesion molecule 1), IL-8, dan lain-lain (Selvianti,

2013; Kentjono, 2014). Pada awal reaksi inflamasi dan untuk

mempertahankan respon inflamasi kronis sitokin sangat diperlukan.

Pada proses inflamasi, adhesi antara leukosit dan sel endotel sangat

meningkat. Makrofag yang menemukan mikroba akan melepaskan

sitokin seperti TNF-α dan IL-1 di tempat infeksi. Sitokin tersebut akan

mengaktifkan sel endotel sekitar venul untuk memproduksi selektin

yang berperan dalam penguliran neutrofil di endotel dan juga

meningkatkan ICAM-1. Iritasi mukosa merupakan hal yang terjadi

pada fase inisial dimana sel epitel mukosa mengenali mikroba dengan

mensekresi IL-8. Interleukin-8 di dalam cairan sinus akan menginisiasi

eksudasi neutrofil dan menyebabkan neutrofil pada cairan sinus untuk


18

memproduksi IL-8. Interleukin- 8 yang baru terbentuk akan

merangsang migrasi neutrofil keluar dari mukosa menuju cairan sinus.

Protease dan superoxidase yang dikeluarkan neutrofil akan memicu

perusakan fungsi mukosiliar yang diikuti dengan retensi cairan sinus

sehingga secara keseluruhan proses inflamasi akan berlangsung lama

(Nwankwo T, Yoon SS, Burt V, 2013).

Pada keadaan dimana terjadi gangguan pada fungsi mukosiliar

sehingga mengakibatkan retensi mukus maka hal tersebut akan

memudahkan kolonisasi bakteri dan inflamasi akan terus berlangsung.

Gangguan ventilasi dapat menyebabkan penurunan pH dalam sinus

dimana kondisi ini akan berdampak pada penurunan frekuensi gerak

silia dan lendir yang dihasilkan menjadi lebih kental sehingga menjadi

media yang baik untuk tumbuhnya kuman patogen. Pada keadaan

dimana mukosa hidung mengalami inflamasi akan terjadi perubahan

kadar pH mukosa hidung menjadi 5,5-6,5 dan hal ini menyebabkan

penurunan fungsi transpor mukosiliar. Frekuensi gerak silia hanya

dapat bekerja dengan optimal pada pH normal yaitu 7-9 (Kentjono,

2014). Pada kondisi ini jika pasien berespon terhadap terapi yang

diberikan maka ventilasi dan drainase sinus akan dapat kembali

normal. Jika kondisi tersebut tidak teratasi oleh karena kegagalan

terapi ataupun keterlambatan pengobatan maka akan terjadi akumulasi

sekret di dalam kavum sinus yang merupakan media yang sangat baik
19

untuk kolonisasi bakteri dan proses infeksi serta inflamasi akan terus

berlanjut (Kentjono, 2014).

d. Gejala klinis dan diagnosis

Keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar sinusitis kronis

menurut EPOS 2012 yaitu obstruksi nasi atau kongesti, sekret dapat ke

arah anterior ataupun posterior yang disebut dengan post nasal drip,

nyeri tekan pada daerah wajah, sakit kepala, berkurangnya penciuman.

Selain itu juga ada gejala lainnya seperti iritasi pada faring ataupun

laring yang sebabkan nyeri tenggorok, suara serak ataupun batuk dan

dapat pula disertai gejala berupa demam dan lemas (Fokkens, 2012)

Diagnosis sinusitis kronis ditegakkan berdasarkan anamnesis

yang cermat, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari anamnesis

diperlukan informasi mengenai keluhan utama pasien dan keluhan

penyertanya, kemudian riwayat penyakit lainnya. Selain itu perlu

ditanyakan mengenai faktor-faktor yang memperberat dan

memperingan kondisi pasien serta riwayat pengobatannya.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu meliputi pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan

antara lain rinoskopi anterior dengan menggunakan cahaya lampu

kepala yang terang dan spekulum hidung untuk menilai kondisi rongga

hidung dengan mengevaluasi kelainan yang berkaitan dengan sinusitis

kronis seperti hipertrofi konka inferior, deviasi septum, hiperemi pada


20

konka dan sekret. Selain itu diperiksa juga sekret yang terdapat pada

tenggorok (post nasal drip) (Fokkens 2012).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain

nasoendoskopi untuk melihat struktur yang terdapat di rongga hidung

dengan lebih baik dibandingkan rinoskopi anterior karena dapat

menilai semua kondisi di dalam rongga hidung lebih jelas hingga ke

nasofaring. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan radiologi yang

merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan yaitu X-ray

posisi Water’s, CT-Scan ataupun MRI. Pemeriksaan radiologi

diindikasikan untuk menilai anatomi sekaligus proses patologis pada

hidung dan sinus paranasalis serta untuk evaluasi lanjut jika terapi

medikamentosa yang diberikan tidak memberikan respon (Selvianti,

2013; Fokkens, 2012). Pemeriksaan penunjang lain yang juga dapat

dilakukan yaitu pemeriksaan sitologi, biopsi, bakteriologi, tes alergi,

tes fungsi mukosiliar, penilaian aliran udara nasal (peak nasal

inspiratory flow), pemeriksaan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent

assay) untuk memeriksa sitokin dalam hal ini IL-8 yang terdapat dalan

cairan sinus pasien dengan sinusitis kronis (Fokkens, 2012).

e. Komplikasi

Komplikasi sinusitis kronis dapat meliputi komplikasi ke

orbita, tulang dan intrakranial. Sebelum era antibiotik, komplikasi

sinusitis sering terjadi dan membahayakan kondisi penderita. Seiring


21

dengan perkembangan teknologi untuk diagnostik dan antibiotika, hal

tersebut dapat diatasi. Menurut Chandler dkk., komplikasi orbita

dikelompokkan menjadi 5 yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita,

abses subperiosteal, abses orbita dan thrombosis sinus kavernosus.

Infeksi pada sinus etmoid dapat secara langsung merusak lamina

papirasea dan menginfeksi orbita (Balenger, 2013).

Komplikasi intrakranial lebih jarang terjadi dibandingkan

komplikasi orbita. Komplikasi intrakranial pada sinusitis lebih sering

disebabkan karena infeksi dari sinus frontal walaupun juga dapat

terjadi karena infeksi sinus lainnya. Infeksi menyebar melalui

tromboplebitis secara retrograde pada posterior frontal sinus yang

berhubungan secara langsung dengan vena pada dura. Pott puffy tumor

merupakan komplikasi sinusitis ke tulang dalam hal ini terjadi karena

sinusitis frontal yang menyebabkan osteomielitis pada os frontal.

Komplikasi ini dapat berdiri sendiri ataupun disertai komplikasi

intrakranial lainnya seperti abses epidural (Balenger, 2013).

f. Penatalaksanaan

Pada umumnya penatalaksanaan sinusitis kronis meliputi terapi

medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa meliputi

pemberian antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin+asam


22

klavulanat, sefalosforin, flourokuinolon ataupun makrolid untuk

mengurangi jumlah bakteri dan mengobati eksaserbasi akut. Saat ini

terapi antibiotik dengan makrolid untuk sinusitis kronis telah banyak

digunakan karena selain memiliki efek antimikroba makrolid juga

memiliki efek antiinflamasi atau imunomodulator termasuk

menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-8 dan TNF-α (tumor

necrosis factor-α) (Ballenger, 2013 ).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oliveira dkk.,

2016 bahwa penggunaan azithromycin 500 mg selama 3x/minggu

selama 8 minggu dapat secara signifikan memperbaiki kualitas hidup

pasien sinusitis kronis dengan polip. Makrolid merupakan antibiotik

yang memiliki konsentrasi tinggi mencapai intraseluler dan efektif

untuk bakteri gram positif serta jamur seperti Chlamydia dan

mycoplasma (Cervin, 2012). Dari penelitian didapatkan bahwa

konsentrasi azithromycin secara signifikan meningkat di mukosa sinus

dan cairan sinus dibandingkan di dalam plasma dan masih dapat

terdeteksi di jaringan sinus dalam waktu kurang lebih 6 hari (Oakley,

2012).

Terapi suportif lainnya seperti mukolitik dapat membantu

mengencerkan sekret sehingga membantu fungsi drainase, dekongestan

baik topikal atau oral dapat membantu mengurangi keluhan hidung

tersumbat melalui efek simpatis yang menyebabkan vasokontriksi

dimana dekongestan merupakan agonis α-adrenergic yang


23

menginduksi pelepasan norepinefrin. Penggunaan dekongestan topical

seperti oxymetazoline tidak dapat digunakan lebih dari 3 hari untuk

menghindari terjadinya efek rinitis medikamentosa dan rebound

vasodilatation (Ballenger, 2013 ). Selain itu juga dilakukan cuci

hidung dengan larutan garam fisiologis untuk mengurangi sekret yang

menumpuk di rongga hidung (Ballenger, 2013; Oakley, 2012 ).

Terapi pembedahan pada sinusitis kronis meliputi tindakan

yang sederhana sampai dengan teknik menggunakan alat endoskopi.

Prinsip pembedahan dilakukan dengan tujuan membuat drainase sinus

yang terkena infeksi menjadi terbuka dan berfungsi normal kembali

dengan seminimal mungkin merusak mukosa sinus yang normal.

Adapun terapi pembedahan pada sinusitis kronis yaitu antrostomi atau

irigasi sinus maksilaris, Calwell Luc atau FESS (functional endoscopic

sinus surgery) (Ballenger, 2013; Fokkens , 2012).

4. Cairan cuci hidung isotonis pada sinusitis kronis

Penggunaan cairan pencuci hidung dengan salin isotonis pada

pasien sinusitis kronis sebagai terapi tambahan dapat membantu

mempercepat proses perbaikan klinis karena dengan melakukan tindakan

pencucian hidung dapat membantu memperbaiki fungsi mukosiliar hidung,

menurunkan mediator inflamasi, membersihkan sekret dan mengurangi

edema mukosa (Van den Berg 2011). Sejak ribuan tahun yang lalu cuci
24

hidung ini telah dipraktekkan sebagai bagian dari Hatha Yoga dimana saat

itu para ahli yoga melakukan pembersihan hidung sebagai bagian dari

pembersihan diri untuk meditasi yang lebih baik. Pada tahun 1931, Proetz

pertama kali menjelaskan metode dan larutan cuci hidung dalam sebuah

buku dan ditahun yang sama, ahli otolaringologi merekomendasikan cuci

hidung untuk mengatasi nyeri kepala hingga saat ini cuci hidung

digunakan untuk mengatasi berbagai keluhan sinonasal (Heatley dkk,

2013).

Bertumpuknya sekret di hidung dan kavum sinus merupakan

komponen utama dari patofisiologi sinusitis kronis. Infeksi virus maupun

bakteri dapat menimbulkan gangguan pada waktu transpor mukosiliar

akan tetapi kejadian ini akan menjadi normal kembali setelah tiga minggu,

oleh karena kandungan lisosim yang terdapat pada palut lendir yang

memiliki kemampuan melakukan disrupsi beberapa bakteri. Jika jumlah

sekret yang menumpuk dalam rongga hidung dan kavum sinus terlalu

banyak maka akan dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya sinusitis

kronis (Oakley, 2012). Pencucian hidung dengan larutan salin dapat

membersihkan hidung dari sekret yang bertumpuk, krusta dan komponen

iritan sehingga memperbaiki bersihan mukosiliar. Pada beberapa

penelitian yang telah dilakukan bahwa tindakan pencucian hidung dengan

larutan salin ini ditoleransi baik oleh pasien tanpa adanya efek samping

yang menyakitkan dan membantu memperbaiki kualitas hidup pasien

dengan sinusitis kronis (Van den Berg 2011).


25

Gambar 2.4 Persiapan dan cara pencucian hidung dengan Salin isotonis

Efek fisiologis salin pada mukosa respiratori sepenuhnya belum

dapat dijelaskan. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pada

sinusitis kronis terjadi perubahan secara morfologi pada mukosa

respiratori dimana terjadi berkurangnya sel-sel silia, metaplasia dan

penekanan sel-sel epitel yang menandakan adanya suatu siliogenesis

(Fokkens, 2012). Hiperosmolaritas cairan diketahui dapat membantu

meningkatnya pelepasan Ca2+ dari dalam sel/interseluler dan peningkatan

Ca2+ tersebut diduga dapat menstimulasi frekuensi gerak silia pada

permukaan sel. Selain itu peningkatan Ca2+ juga diduga dipengaruhi oleh

adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh aksonema

silia. (Leung, 2014)

Larutan garam isotonis memiliki mekanisme kerja sebagai

pembilas zat-zat iritan dan alergen yang berada di dalam rongga hidung

dan dikatakan juga sebagai larutan yang paling fisiologis terhadap


26

morfologi seluler epitel hidung sehingga aman dan nyaman digunakan

oleh pasien. Larutan salin isotonis memiliki kandungan NaCl 0,9% dengan

komposisi natrium 3500 mg/L dan klorida 5500 mg/L dengan pH berkisar

antara 4,5-7 (Heatley, 2013). Pada beberapa penelitian mengatakan bahwa

tindakan cuci hidung terbukti meningkatkan frekuensi gerak silia sehingga

dapat memperbaiki transpor mukosiliar hidung dengan meningkatkan pH

mukosa hidung dan menjaga pH tetap di kondisi optimal yaitu pH 7-9.

Pada pH yang terlalu asam dapat merusak mukosa hidung dan

menurunkan transpor mukosiliar, dimana pada orang-orang yang sering

terpapar oleh zat-zat iritan atau polusi udara akan terjadi perubahan pH

mukosa hidung menjadi 5,5-6,5 akibat inflamasi dan sebagai upaya untuk

mencegah infeksi (Bemstein, 2016). Cuci hidung juga dapat membantu

menghilangkan mediator inflamasi yang terdapat pada mukus di hidung

(Beule, 2010).

Gerak silia yang baik akan dapat mendorong mukus dengan

gerakan menyapunya ke arah nasofaring sehingga tidak bertumpuk di

kavum nasi dan inflamasi tidak terjadi (Bemstein, 2016). Seperti yang

dikutip oleh Bemstein, (2016) bahwa tindakan cuci hidung yang dilakukan

selama 10 hari dinyatakan aman dan efektif untuk memperbaiki transpor

mukosiliar pada pasien sinusitis kronis. Pada penelitian yang dilakukan

oleh (Bemstein, 2016) dikatakan bahwa waktu cuci hidung yang dilakukan

selama 10 hari dengan larutan salin isotonis NaCl 0,9% secara signifikan

dapat memperbaiki waktu transpor mukosiliar (Fokkens, 2012) seperti


27

yang dikutip oleh Kentjono, (2014) bahwa waktu yang ideal untuk

melakukan cuci hidung sehingga dapat memberikan perbaikan terhadap

waktu transpor mukosiliar pada pasien sinusitis kronis adalah 4-12

minggu. Beragamnya hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui

waktu optimal pemberian cuci hidung tersebut maka masih perlu

dilakukan penelitian lanjut mengenai hal ini, sehingga dapat memberikan

perbaikan transpor mukosiliar secara bermakna.

5. Kekambuhan sinusitis

a. Definisi Kekambuhan

Kekambuhan atau ekserbasi akut didefinisikan sebagai bertambah

beratnya gejala yang timbul secara akut dan tiba- tiba pada pasien,

pada sinusitis kronik ditandai dengan gejala sinusitis kronik yang

sebenarnya persisten dan stabil akan tetapi tiba – tiba memburuk

maupun timbul gejala yang baru Beule (2010).

b. Patofisiologi Terjadinya Kekambuhan

Patofisiologi terjadinya kekambuhan pada pasien yang menderita

sinusitis kronik masih belum banyak diketahui. Proses Inflamasi pada

yang meningkat dicurigai oleh karena berbagai etiologi menjadi

penyebabnya. Patofisiologi terjadinya kekambuhan pada pasien yang

menderita sinusitis kronik masih belum banyak diketahui. Proses

Inflamasi pada yang meningkat dicurigai oleh karena berbagai etiologi

menjadi penyebabnya Beule (2010).


28

c. Gejala kekambuhan.
Menurut Beule (2010). Gejala sinusitis kronik pada saat mengalami
kekambuhan ialah:
1) Naiknya produksi nasal discharge dan biasanya menjadi lebih
purulent.
2) Meningkatnya obstruksi nasal
3) Rasa nyeri pada muka / daerah sinus bertambah
4) Hyposmia yang bertambah parah.

d. Pencegahan Kekambuhan
Kekambuhan dapat dicegah sehingga pasien tidak perlu mengalami
perburukan gejala sinusitis kronik yang diakibatkan oleh
kekambuhan.Usaha pencegahan seperti irigasi nasal dengan
menggunakan salin, manajemen pada penyakit yang mengikuti,
menaikkan tingkat kebersihan untuk menjaga higienisitas sehingga
mencegah infeksi sekunder. Beule (2010).

e. Cara Efektifitas Cuci Hidung Terhadap Kekambuhan


Menurut Beule (2010) ada berbagai cara untuk melakukan cuci hidung.
Cara yang paling gampang adalah dengan membeli cairan pencuci
hidung di apotik yang berbentuk spray. Cara yang lebih baik lagi
adalah dengan menggunakan larutan garam isotonis(NaCL 0,9%)
dengan volume yang lebih banyak tidak hanya disemprot tapi diguyur
ke dalam hidung. Larutan ini dimasukkan ke dalam hidung dari satu
lubang yang lain, karena rongga hidung bersatu di bagian paling
belakang. Konsultasikan ke dokter THT untuk cara yang tepat untuk
cuci hidung. Untuk melakukan cuci hidung bisa menggunakan produk
seperti larutan garam fisiologis dalam produk dengan botol seperti
Nassal Potty atau bisa juga gunakan suntikan 10-30 cc (tanpa jarum).
Langkah cuci hidung NaCL 0,9%.
1) Ambil larutan NaCL 0,9% 500 cc
2) Siapkan suntikan 10 cc tanpa jarum
3) Masukkan larutan di dalam wadah bersih seperti gelas, dan lain
lain.
4) Ambil larutan NaCL 0,9% sebanyak 10 cc.
5) Untuk hidung kanan, miringkan kepala ke kiri, tahan nafas,
semprotkan hidung kanan.
6) Kalau benar, air NaCL akan keluar di hidung kiri. Jika tidak
sengaja tertelan atau terhirup pun tidak berbahaya.
7) Lakukan tindakan serupa untuk hidung sebelahnya.
29

Cuci hidung ini cara yang paling sehat. Prosedurnya memiliki prinsip
yang sama seperti mandi dan gosok gigi. Bisa dilakukan bukan hanya
untuk mengobati penyakit, tapi juga bisa juga untuk mencegah
penyakit. Minimal 1x/ hari 20 cc per lubang hidung selama 30 menit
dengan kecepatan 3 detik. Maksimalnya pun tidak ada, karena
prinsipnya cairan yang dimasukkan adalah larutan fisiologis aliran
cairan yang sama dengan cairan tubuh manusia. Prosedur ini hanya
tidak boleh pada orang yang tidak sadar ( pingsan) dan anak – anak
yang belum mengikuti perintah dengan baik, karena kwatirkan akan
terlalu banyak masuk saluran nafas.

B. Kerangka Teori Penelitian

Penyebab: Gejala sinusitis:


1. sumbatan hidung
1. Faktor 2. sekresi hidung,
genetik/fisiologi
3. nyeri kepala,
2. Factor lngkungan
4. gangguan tidur,
3. Faktor Struktural
5. serta berkurang hingga
hilangnya kemampuan
menghidu.

Sinusitis
30

Penatalaksanaan: Perubahan morfologi yang


terjadi:
1. terapi
medikamentosa 1. berkurangnya sel-
2. pembedahan. sel silia,
2. metaplasia dan
penekanan sel-sel
epitel yang
menandakan adanya
suatu siliogenesis

Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian Pengaruh Cuci Hidung dengan NACL
0,9% terhadap Kekambuhan Sinusitis di Poli THT RSUD
Sanjiwani Gianyar

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL, HIPOTESIS
DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan landasan berfikir untuk melakukan


penelitian yang dikembangkan berdasarkan kerangka teori yang sudah dibahas
dalam tinjauan pustaka. Kerangka konsep menggambarkan teori yang
menjelaskan keterkaitan antar variabel (Setiadi, 2013). Variabel independen
atau variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau timbulnya
31

variabel terikat. Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel


yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
Variabel independen dari penelitian ini yaitu cuci hidung dengan NACL 0,9 %
sedangkan variabel dependen adalah sinusitis. Kerangka konsep dari
penelitian ini yaitu:
Cuci hidung dengan
NACL 0,9 %

Penyebab: Gejala sinusitis:


1. sumbatan hidung
1. Faktor genetik/fisiologi 2. sekresi hidung,
2. Factor lngkungan
3. nyeri kepala,
3. Faktor Struktural
4. gangguan tidur,
sinusitis 5. serta berkurang
hingga hilangnya
kemampuan
menghidu.

Keterangan :
: variabel yang diteliti
: mempengaruhi
: tidak diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Pengaruh Cuci Hidung dengan NACL 0,9
% terhadap Kekambuhan Sinusitis di poli THT RSUD
Sanjiwani Gianyar
B. Hipotesis

Hipotesis merupakan pendapat


31 yang kebenarannya masih dangkal dan
perlu untuk diuji, Patokan duga atau dalil sementara yang kebenarannya akan

dibuktikan dalam penelitian (Setiadi, 2013). Hipotesis dalam penelitian ini

yaitu (Ha) adalah ada pengaruh Cuci Hidung dengan NACL 0,9 % terhadap

Kekambuhan Sinusitis di poli THT RSUD Sanjiwani Gianyar.

C. Definisi Operasional
32

Definisi operasional adalah penjelasan semua variable dan istilah yang

akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya

mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (Setiadi, 2013).

Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, yang memungkinkan peneliti

melakukan pengukuran atau observasi secara cermat terhadap suatu fenomena

atau objek (Hidayat, 2010). Adapun definisi operasional variabel-variabel

dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional Pengaruh Cuci Hidung dengan NACL 0,9 %
terhadap Kekambuhan Sinusitis di poli THT RSUD Sanjiwani
Gianyar
33

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
1 Cuci Teknik pembilasan
hidung hidung yang
dengan dilakukan oleh
NACL peneliti ataupun
0,9% subjek dengan cara
menyemprotkan
spuit 10 cc yang
berisi larutan
NACL 0,9 %
kedalam hidung
dengan cepat,
dilakukan 1 x
sehari selama 30
menit dengan
kecepatan 3 detik.
2 Kekamb Proses berulangnya Lembar 1. Baik bila skor Ordinal
uhan peradangan dari kuesioner ≥ nilai mean
satu atau lebih 2. Tidak baik bila
membrane mukosa skor < nilai
sinus paranasal dan mean
terjadi obstruksi
dari mekanisme
drainase normal.

BAB IV
METODE PENELITIAN
34

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Dimana penelitian

eksperimental adalah suatu rancangan penelitian yang digunakan untuk

mencari hubungan sebab-akibat dengan adanya keterlibatan penelitian dalam

melakukan manipulasi terhadap variabel bebas. Rancangan penelitian yang

digunakan yaitu pre-exsperimental: pre-post, dengan menggunakan desain

rancangan pra-pasca dalam satu kelompok (One-group pra-post test), ciri tipe

penelitian ini adalah menggunakan hubungan sebab akibat dengan cara

melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum

dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam,

2013).

Tabel 4.1 Rancangan Penelitian Pengaruh Cuci Hidung dengan NACL 0,9 %
terhadap Kekambuhan Sinusitis di poli THT RSUD Sanjiwani
Gianyar

Subjek Pra Perlakuan Pasca-test

K O I OI
Waktu 1 Waktu 2 Waktu 3

34
35

Keterangan:
K : Subjek
O : Observasi sinusitis sebelum cuci hidung
I : Intervensi (cuci hidung dengan NACL 0,9 %)
OI : Observasi sinusitis setelah cuci hidung 0,9 %

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan subjek yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dalam penelitian ini yaitu pasien

sinusitis yang datang ke poli THT dengan jumlah populasi target 50

dengan populasi terjangkau 35 orang dalam 1 bulan terakhir di poli THT

RSUD Sanjiwani.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau

sejumlah dari karakteristik yang dimiliki populasi. Dengan demikian

sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak

diselidiki dan bisa mewakili keseluruhan populasinya sehingga jumlahnya

lebih sedikit dari populasi (Nursalam, 2013). Agar memperoleh sampel

yang representatife dari populasi, maka setiap subjek dalam populasi

diupayakan untuk memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel.

Adapun rumus yang digunakan rumus Slovin (Huesin, 2011) yakni ukuran

sampel yang merupakan perbandingan dari ukuran populasi dengan

presentasi kelonggaran ketidakketelitian. Penentuan jumlah sampel dari


36

populasi yang telah ditetapkan, perlu dilakukan suatu pengukuran yang

dapat menghasilkan n dengan rumus sebagai berikut :

N
n=
1+ Ne2

Keterangan

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

e : kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan sampel yang masih

dapat ditolerir atau diinginkan (e=0,05)

Berdasarkan atas perhitungan tersebut, maka dalam penelitian ini

penelitian ini peneliti menggunakan sampel sebanyak :

N 50 50
n= = = = 44 reponden
2 2
1+ Ne 1 + 50 (0,05) 1.125

Sampel pada penelitian ini adalah 44 responden, untuk mencegah

terjadinya drop out maka sampel ditambah 10% dari jumlah sampel

dengan perhitungan 44 + (10% x 44) = 48, 4 responden, maka sampel

menjadi 48 responden.

Penentuan sampel menggunakan teknik sampling jenis

nonprobability yaitu purposive sampling yang merupakan suatu teknik

pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang

dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang
37

sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini

menggunakan dua kriteria, yaitu: Kriteria insklusi merupakan karakteristik

umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan

akan diteliti dan kriteria eksklusi merupakan menghilangkan atau

mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena

berbagai sebab (Nursalam, 2013).

a. Kriteria inklusi yang dapat dimasukkan dalam penelitian ini meliputi:

1) Pasien datang ke poli THT RSUD Sanjiwani yang mengalami

sinusitis

2) Pasien datang ke poli THT RSUD Sanjiwani yang mengalami

sinusitis yang bersedia menjadi responden.

b. Kriteria eksklusi dari penelitian ini meliputi:

1) Penderita sinusitis yang mengkonsumsi obat analgesik.

2) Penderita sinusitis yang mengundurkan diri saat berlangsungnya

penelitian.

C. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di poli THT RSUD Sanjiwani Gianyar dengan

pertimbangan bahwa lokasi penelitian memberikan kemudahan bagi peneliti

berupa kemudahan administrasi, mudah dijangkau oleh peneliti, disamping itu

berdasarkan studi pendahuluan yang didapat banyak pasien sinusitis yang

datang ke poli THT dan belum adanya penelitian keperawatan yang berkaitan
38

dengan pengaruh cuci hidung dengan nacl 0,9 % terhadap kekambuhan

sinusitis.

D. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada awal Oktober

sampai akhir bulan Desember 2019.

E. Etika Penelitian

Etika penelitian adalah hal yang paling penting dalam penelitian,

dimana penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia

sehingga peneliti harus memahami hak dasar manusia untuk menunjang tinggi

kebebasan manusia (Hidayat, 2010). Untuk menegakan penelitian tersebut

pada manusia maka etika penelitian perlu diperhatikan antara lain:

1. Informed concent

Informed concent merupakan tindakan pemberian lembaran

persetujuan sebelum penelitian dilakukan sebagai bentuk persetujuan

peneliti dengan responden. Informed concent berisikan tentang partisipasi

responden, tunjuan dilakukan tindakan, jenis data yang dibutuhkan,

komitmen, prosedur pelaksana, potensi masalah yang akan terjadi,

manfaat, kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi, tanda persetujuan

dari responden dibuktikan dengan menandatangani informed concent

tersebut oleh responden sendiri.


39

2. Anonymity (tanpa nama)

Etika penelitian keperawatan memberikan jaminan dalam

menggunakan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembaran atau alat ukur. Dalam

penelitian ini, etika penelitian anonymity hanya penulisan kode penomeran

sampel pada lembar pengumpulan data dan lembar penelitian yang di

sajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Etika penelitian ini memberikan jaminan kerahasiaan hasil

penelitian, baik informasi atau masalah-masalah lainya. Semua informasi

yang telah dikumpulkan dan dijamin kerahasiannya oleh peneliti dan hanya

kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil riset.

F. Alat Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen (alat ukur) yang digunakan untuk mengumpulkan

data dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner. Pengumpulan

data dilakukan oleh peneliti sendiri, dimana lembar kuesioner

diberikan pada saat pasien datang ke poli THT yang belum

dilakukan cuci hidung dan diberikan pada saat kontrol berikutnya.

Kuesioner ini terdiri dari 25 penyataan yang diajukan oleh responden

hanya minta untuk memberikan tanda (√) pada jawaban yang


40

dianggap sesuai dengan responden, kuesioner ini untuk

mengidentifikasi kekambuhan sinusitis dengan menggunakan skala

likert (tidak, jarang, sering) untuk memperoleh jawaban yang tegas

terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. Skor yang diberikan

tergantung pada jenis pertanyaan, dalam kuesioner ini terbagi atas

satu jenis pertanyaan yakni pertanyaan yang bersifat positif. Skor

yang diberikan bernilai “1” jika jawaban item tidak, nilai “2” jika

jawaban item jarang, nilai “3” jika jawaban item sering. Tutorial

kuesioner dalam penelitian ini yaitu favorable.

2. Validitas dan Reabilitas

Pada suatu penelitian, dalam pengumpulan data diperlukan adanya

alat dan cara pengumpulan data yang baik sehingga data yang

dikumpulkan merupakan data yang valid, reliabel dan aktual. Oleh karena

itu sebelum melakukan pengambilan data pada sampel peneliti, instrumen

penelitian perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu pada

tempat dan responden yang berbeda dengan tempat dan responden yang

diteliti.

a. Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur

tersebut benar – benar mengukur apa yang diukur (Nursalam,


41

2013). Dikatakan valid apabila instrument tersebut dapat

digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur dalam

situasi dan kondisi tertentu. Kreteria dalam pengujian validiatas

adalah membandingkan Nilai rhitung>rtabel, selain itu variable

dikatakan valid jika nilai signifikan p<0,05 (Azwar, 2012).

Kuesioner penelitian ini telah diuji validitasnya yang sesuai dengan

pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti. Responden yang

digunakan sejumlah 30 responden yang berlokasi di RSUD Bangli

dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pengujian dilakukan dengan

menghitung korelasi antara masing – masing skor butir pertanyaan

dengan menggunakan tehnik korelasi prosduct moment, apabila

rhitung lebih besar dari rtabel berarti butir tersebut valid. Setelah

dilakukan uji validitas didapatkan hasil:

Pada variable kuesioner diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar

0,610 sampai dengan 0,902 dengan menggunakan outpoint sebesar

0,05 (Azwar, 2012). Hal ini berarti semua item pertanyaan adalah

valid karena semua item pertanyaan berada di atas 0,05.

b. Reliabilitas

Reliabilitas adalah hasil yang pengukuran atau pengamatan

bila fakta atau kenyataan hidup tanpa diukur atau diamati dalam

waktu yang berlainan (Nursalam, 2013). Uji reabilitas instrument

setelah uji validitas. Uji reabilitas dilakukan secara bersama-sama

pada seluruh butir pertanyaan. Suatu kuesioner dikatankan reliable


42

jika jawaban responden terhadap pertanyaan stabil dari waktu ke

waktu, dan suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai

Alpha Cronbach > 0,7 (Arikunto, 2013). Setelah dilakukan uji

reliabilitas didapatkan hasil:

Pada hasil pengolahan data diperoleh nilai Alpha Cronbach pada

variabel kuesioner sebesar 0,973 karena nilai Alpha Cronbach

diatas 0,7 ( Arikunto, 2013) maka variabel dinyatakan reliabel atau

handal

G. Prosedur Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam mengumpulkan data yaitu:

1. Prosedur Administrasi

a. Peneliti mengajukan ijin untuk melakukan penelitian kepada direktur

dan kepala ruangan poliklinik THT RSUD Sanjiwani Gianyar .

b. Setelah mendapatkan ijin penelitian dilakukan pemilihan data kolektor

dari pasien sinusitis yang datang ke poliklinik THT dengan kriteria

inklusi yang telah ditentukan.

c. Setelah diperoleh data kolektor, mereka diberikan penjelasan tentang

tata cara pengisian lembar kuesioner.

2. Prosedur Teknis

a. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian serta

hak responden.
43

b. Peneliti meminta kesediaan pasien untuk menjadi responden penelitian

dan meminta untuk menandatangani informed concent yang disaksikan

oleh keluarga atau petugas kesehatan.

c. Lembar kuesioner diberikan pada saat pasien datang ke poli THT yang

belum diberikan cuci hidung dan saat kontrol yang sudah dilakukan

intervensi.

d. Semua data dicatat pada lembar atau format yang dibuat oleh peneliti.

e. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dan analisis data.

H. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan oleh peneliti dengan komputer melalui

tahapan sebagai berikut:

1. Editing

Editing dilakukan oleh peneliti untuk mengecek kelengkapan isian

pertanyaan, kejelasan jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan dan

kesesuaian jawaban dengan pertanyaan. Editing dilakukan untuk

memudahkan peneliti dalam melakukan pengolahan data.

2. Coding

Semua data berbentuk kalimat diubah menjadi data angka atau

bilangan untuk memudahkan dalam memasukkan data. Coding ini

dilakukan untuk merubah jawaban kuesioner mejadi data angka, yaitu:


44

bernilai “1” jika jawaban item tidak, nilai “2” jika jawaban item jarang,

nilai “3” jika jawaban item sering.

3. Data Entry

Data entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden

yang dalam bentuk kode dimasukkan kedalam program SPSS.

4. Data Cleaning

Semua data dari responden yang telah dimasukkan dicek kembali

untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan kode atau

ketidaklengkapan. Setelah data yang dimasukkan benar, maka dapat

dilanjutkan ketahap analisa data menggunakan program SPSS for windows

versi 17.0.

I. Rencana Analisis Data

Analisa data merupakan suatu proses atau analisa yang dilakukan

secara sistematis terhadap data yang telah dikumpulkan (Nursalam, 2013).

Penelitian ini menggunakan analisa univariat dan bivariat.

1. Analisa Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan untuk

menganalisa setiap variabel penelitian. Analisis ini disajikan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel yang bertujuan

untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel


45

penelitian (Notoadmodjo, 2012). Analisis univariat dalam penelitian ini

untuk mengetahui tentang pemberian cuci hidung terhadap kekambuhan

sinusitis.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh

antara variabel dependen dan independen. Teknik analisa data yang

digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kekambuhan

sinusitis sebelum dan setelah cuci hidung adalah Wilcoxon Signed Ranks

Test dengan tingkat kesalahan 5% yang merupakan alat uji non parametris

yang digunakan untuk mengetahui uji beda kelompok dependen (variabel

terikat) berskala ordinal atau interval tetapi berdistribusi tidak normal

(Nursalam, 2013).

Anda mungkin juga menyukai