Anda di halaman 1dari 64

Nomor Akreditasi: ISSN : 0215-4609

245/AKRED-LIPI/P2MB/2010

VOLUME : 24 NOMOR : 1 APRIL 2011

Jurnal HPI Vol. 24 No. 1 Hal. 1 - 51 Banda Aceh, April 2011 ISSN : 0215-4609

BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM, DAN MUTU INDUSTRI


BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI 2011
BANDA ACEH
PENANGGUNG JAWAB
Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh

KETUA REDAKSI
DR. M. Dani Supardan, ST, MT

ANGGOTA REDAKSI
DR. Mahidin, ST, MT
DR. Yuliani Aisyah, S.TP, M.Si
Mahlinda, ST

PENYUNTING EDITOR
Fitriana Djafar, S.Si, MT
Syarifuddin, ST, MT
Fauzi Redha, ST

SEKRETARIAT
Nanik Indah Setianingsih, STP

Berdasarkan SK. LIPI No. 451/D/2010 tanggal 06 Mei 2010


Jurnal Hasil Penelitian Industri ISSN 0215-4609
Diklasifikasikan sebagai Majalah Berkala Ilmiah Terakreditasi B

Alamat Penerbit:
BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI BANDA ACEH
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377, Lamteumen Timur, Banda Aceh 23236
Telp. (0651) 49714 ; Fax. (0651) 49556
E-Mail : hpi_brsbna@yahoo.com
PENGANTAR REDAKSI

Redaksi mengucapkan puji syukur kepada Tuhan YME dengan terbitnya Jurnal HPI
(Hasil Penelitian Industri), Volume 24 No. 1 Tahun 2011 untuk pembaca. Jurnal HPI kali ini
menyajikan 6 (enam) judul tulisan yang mencakup 1 artikel membahas tentang perancangan alat,
dan 5 artikel membahas tentang teknologi proses.
Harapan kami, tulisan-tulisan ilmiah yang disajikan akan memberikan tambahan
pengetahuan kepada pembaca semua. Selain itu, kami juga mengundang para pembaca
mengirimkan tulisan ilmiah untuk terbitan selanjutnya. Redaksi juga mengharapkan kritikan dan
saran dari pembaca dalam rangka meningkatkan kualitas jurnal ini.

Selamat Membaca
Redaksi

Hasil Penelitian Industri i Volume 24, No. 1, April 2011


 
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI .................................................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii

ABSTRAK…. ...................................................................................................................... iv

KARAKTERISASI EDIBLE COATING DARI PEKTIN


KULIT JERUK NIPIS SEBAGAI BAHAN PELAPIS BUAH-BUAHAN
(Edible Coating Characterization of Skin Lime Pectin as
Fruits Coating Material)
Hesti Meilina, Pocut Nurul Alam dan Sri Mulyati ............................................................... 1

PEMBUATAN BRIKET BIOMASSA DAN MODIFKASI


DAPUR PEMBAKARANNYA
(Producing of Biomass Briquette and Modification of Their Combustion Stove)
Mahidin, Asri Gani dan Subhan............................................................................................ 10

PROSES PEMURNIAN METANOL HASIL SINTESA BIODIESEL


MENGGUNAKAN ROTARY EVAPORATOR
(Methanol Purification Process From Biodiesel Synthesis Using The Rotary Evaporator)
Mahlinda dan Lancy Maurina ............................................................................................... 20

STUDI PENGARUH PELARUT TERHADAP KINERJA MEMBRAN SELULOSA


ASETAT PADA PROSES KLARIFIKASI NIRA TEBU SECARA ULTRAFILTRASI
(Study of Solvent Influence on The Performance of Cellulose Acetate
Membranes in The Clarification Process of Sugar Cane with Ultrafiltration)
Sofyana, Sri Mulyati, Fifi Winarti Adly dan Zaghraini Maghfirah ...................................... 28

PEMBUATAN COCO-DIETHANOAMIDA DENGAN


REAKTOR HIGH MIXING HOMOGENIZER
(The Production of Coco-Diethanoamida in High Mixing Homogenizer Reactor)
Dwinna Rahmi dan Retno Yunilawati ................................................................................... 36

Hasil Penelitian Industri ii Volume 24, No. 1, April 2011


 
DAFTAR ISI

PENAMBAHAN TETRAHYDROFURAN SEBAGAI CO-SOLVENT


PADA PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI KAPUK
(The Addition of Tetrahydrofuran as Co-Solvent on Biodiesel Production
Process From Cotton Seed Oil)
Farid Maulana, Sofyana, dan Syarifuddin ............................................................................. 44

Hasil Penelitian Industri iii Volume 24, No. 1, April 2011


 
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI
Volume 24, No. 1, April 2011
ABSTRAK

KARAKTERISASI EDIBLE COATING DARI PEKTIN KULIT JERUK NIPIS


SEBAGAI BAHAN PELAPIS BUAH-BUAHAN

Hesti Meilina*, Pocut Nurul Alam dan Sri Mulyati


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk Syech Abdurrauf 7 Darussalam, Banda Aceh 23111
*E-mail: hesti_meilina@hotmail.com

Penelitian tentang karakterisasi edible coating berbahan baku pektin kulit jeruk nipis (Citrus Aurantifolia
swingle) telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pektin dan
gliserol terhadap karakteristik edible coating yang dihasilkan. Variasi konsentrasi pektin adalah 4% dan
6% yang divariasikan dengan konsentrasi gliserol sebesar 2%, 3% dan 4%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konsentrasi pektin berpengaruh terhadap ketebalan film. Sedangkan konsentrasi gliserol 2%
menghasilkan karakteristik edible coating yang lebih baik, dari segi fisik maupun performance.
Konsentrasi gliserol yang lebih tinggi menyebabkan edible coating berwarna buram.
Kata kunci: edible coating, gliserol, pektin

PEMBUATAN BRIKET BIOMASSA DAN MODIFKASI


DAPUR PEMBAKARANNYA

Mahidin1,2)*, Asri Gani1) dan Subhan2)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
2)
Prodi Magister Teknik Kimia, Program Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala
*E-mail: mahidin@unsyiah.ac.id

Pertanyaan yang harus dijawab dalam pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi terbarukan adalah
bagaimana biomassa tersebut digunakan dan teknologi apa yang diterapkan. Solusi yang ditawarkan dalam
studi ini adalah pemanfaatan biomassa dalam bentuk briket dan modifikasi dapur yang ada untuk
pembakarannya. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh komposisi briket dan ukuran partikel biomassa
terhadap efisiensi dapur. Briket dibuat berbentuk silinder, dengan φ = 25 mm dan tinggi 100 – 110 mm.
Tekanan pengepresan untuk pembriketan adalah 2 ton/cm2. Dapur dimodifikasi dengan mengubah model
grate (sarangan) menjadi fixed grate sebagai model standar dan up-down grate. Rasio cangkang sawit-biji
jarak 75:25 – 95:5 dengan masing-masing ukuran partikel -12/+25, -25/+40 dan -40/+60 mesh. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa ukuran pertikel, komposisi briket, model grate dan aplikasi tutup
pengurang emisi berpengaruh terhadap efisiensi dapur. Efisiensi tertinggi, yaitu 35,22%, pada studi ini
terdeteksi pada model dapur up-down grate tanpa tutup pengurang emisi, rasio cangkang sawit-biji jarak
75:25 dan ukuran partikel -40/+60 mesh.

Kata kunci: biji jarak, briket biomassa, cangkang sawit, efisiensi dapur

Hasil Penelitian Industri iv Volume 24, No. 1, April 2011


 
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI
Volume 24, No. 1, April 2011
ABSTRAK

PROSES PEMURNIAN METANOL HASIL SINTESA BIODIESEL


MENGGUNAKAN ROTARY EVAPORATOR

Mahlinda* dan Lancy Maurina


Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur Banda Aceh, 23243
*E-mail: mahlinibr_aceh@yahoo.com

Penelitian tentang proses pemurnian metanol hasil sintesa biodiesel menggunakan rotari evaporator telah
dilaksanakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari proses pemurnian metanol dari hasil
proses esterifikasi dan transesterifikasi untuk mendapatkan produk metanol yang dapat digunakan kembali
pada proses sintesa biodiesel berikutnya. Hasil penelitian menunjukkan, metanol hasil esterifikasi yang
dapat diambil kembali mencapai 96,5 %, sedangkan metanol hasil transesterifikasi yang dapat diambil
kembali mencapai 64 %. Hasil identifikasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam metanol produk
distilasi menggunakan Gas Chromatography (GC) diketahui tingkat kemurnian metanol mencapai
99,86%.

Kata kunci: esterifikasi, metanol, rotary evaporator, transesterifikasi

STUDI PENGARUH PELARUT TERHADAP KINERJA MEMBRAN SELULOSA


ASETAT PADA PROSES KLARIFIKASI NIRA TEBU SECARA ULTRAFILTRASI

Sofyana*, Sri Mulyati, Fifi Winarti Adly dan Zaghraini Maghfirah


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Unsyiah, Banda Aceh
*E-mail : sofyana71@yahoo.co.id

Penggunaan membran ultrafiltrasi untuk proses klarifikasi nira tebu merupakan suatu alternatif yang
menarik jika dilihat dari keunggulan keunggulan yang dimiliki. Salah satu keunggulan adalah tidak
membutuhkan lahan yang luas dan bahan-bahan kimia sehingga dapat mengurangi biaya operasi serta
dapat memecahkan masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh bahan kimia. Penelitian yang
dilakukan ini mempelajari kemampuan membran ultrafiltrasi yang dibuat dengan teknik inversi fasa
menggunakan polimer selulosa asetat dengan pelarut yang divariasikan yaitu aseton dan tetrahidrofuran
dalam proses klarifikasi nira tebu. Perbedaan pelarut akan menghasilkan membran yang memiliki struktur
yang berbeda dan struktur membran sangat mempengaruhi kinerja membran. Pada Penelitian ini kajian
yang dilakukan mencakup pengaruh pelarut yaitu Aseton dan Tetrahidrofuran (THF) pada proses
klarifikasi nira tebu serta pengaruh tekanan operasi terhadap kinerja membran dalam menghasilkan fluks
permeat nira yang tinggi dan selektivitas terhadap senyawa-senyawa yang tidak diinginkan (protein, wax,
gum, dll) dan dapat menghasilkan nira yang mengandung sukrosa sebanyak mungkin. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai permeabilitas (Lp) membran dengan pelarut aseton (CA1) memiliki nilai Lp
yang lebih besar dibandingkan membran dengan pelarut THF (CA2). Nilai rejeksi membran CA2 lebih
besar dibandingkan rejeksi pada membran CA1, dimana rejeksi yang dihitung adalah untuk nilai sukrosa.

Kata Kunci : aseton, membran, nira tebu, selulosa asetat, tetrahidrofuran, ultrafiltrasi

Hasil Penelitian Industri v Volume 24, No. 1, April 2011


 
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI
Volume 24, No. 1, April 2011
ABSTRAK

PEMBUATAN COCO-DIETHANOAMIDA DENGAN REAKTOR HIGH MIXING


HOMOGENIZER
Dwinna Rahmi* dan Retno Yunilawati
Balai Besar Kimia dan Kemasan,
Jl. Balai Kimia No. 1 Pekayon Jakarta Timur
*E-mail: dwinna2002@yahoo.com

Coco-dietanolamida merupakan surfaktan nonionik yang terbuat dari turunan kelapa. Surfaktan jenis ini
banyak dipakai sebagai bahan penstabil atau pengembang busa untuk mempertahankan stabilitas busa
sabun cair atau shampoo yang berkurang karena adanya kotoran. Telah dilakukan penelitian pembuatan
coco-dietanolamida dari minyak kelapa dengan reaktor high mixing homogenenizer. Ada dua tahap
pembuatan coco-dietanolamida yaitu; pembuatan metil ester dan pembuatan coco-dietanolamida. Metil
ester minyak kelapa murni dihasilkan pada kondisi reaksi; suhu 60 oC, kecepatan pengadukan 100 rpm dan
waktu 2 jam. Metil ester dicuci dengan aquades dan dipisahkan dengan pengotor lainnya pada suhu
produk rendah yaitu 4 oC. Sementara itu coco-dietanolamida dihasilkan dengan mereaksikan metil ester
dengan dietanolamin pada suhu 60–100 oC, kecepatan pengadukan 200 rpm dan waktu 2 jam. Dihasilkan
coco-dietanolamida dengan kandungan amida ±98 %, FFA 0.46%, total amin 0,06 %, pH 9,3, tegangan
permukaan 39,2 dyne/cm dan tegangan antar muka 14 dyne/cm.
Kata kunci: asam lemak bebas, coco-dietanolamida, metil ester, reaktor high mixing homogenizer,
tegangan antar muka, tegangan permukaan

PENAMBAHAN TETRAHYDROFURAN SEBAGAI CO-SOLVENT PADA PROSES


PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI KAPUK

Farid Maulana1)*, Sofyana1) dan Syarifuddin2)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syech Abdurrauf 7 Darussalam Banda Aceh, 23111
2)
Balai Riset Standardisasi Industri Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur Banda Aceh, 23243
*E-mail: faridmln@yahoo.com

Minyak biji kapuk merupakan salah satu bahan baku alternatif yang murah dari golongan bukan pangan
yang dapat diperoleh dari limbah industri kapuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio
volume minyak terhadap co-solvent tetrahydrofuran, waktu reaksi dan konsentrasi katalis terhadap
kuantiítas dan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Produksi biodiesel dari bahan baku minyak biji kapuk
dilakukan dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa pada suhu 60 oC dan tekanan atmosfir
dalam suatu reaktor berpengaduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembuatan biodiesel dari
minyak biji kapuk dapat dilakukan dengan waktu yang lebih cepat yaitu biodiesel mulai dapat dihasilkan
pada waktu 10 menit yang mana hal ini dapat dicapai karena adanya penambahan tetrahydrofuran sebagai
co-solvent. Sedangkan tanpa menggunakan co-solvent waktu yang dibutuhkan mencapai 90 menit.
Perolehan hasil biodiesel yang maksimal diperoleh pada perbandingan rasio volume minyak biji kapuk
terhadap co-solvent tetrahydrofuran sebesar 1:0,5. Penambahan konsentrasi katalis KOH sebesar 1,0 %
menghasilkan yield biodiesel yang paling tinggi yaitu sebesar 70 %. Karakteristik biodiesel yang
dihasilkan belum memenuhi karakteristik biodiesel menurut standar SNI dan hanya nilai flash point yang
memenuhi persyaratan.
Kata kunci: biodiesel, co-solvent, minyak biji kapuk, transesterifikasi

Hasil Penelitian Industri vi Volume 24, No. 1, April 2011


 
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI
Volume 24, No. 1, April 2011
ABSTRACT

EDIBLE COATING CHARACTERIZATION OF SKIN LIME PECTIN AS FRUITS


COATING MATERIAL

Hesti Meilina*, Pocut Nurul Alam and Sri Mulyati


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk Syech Abdurrauf 7 Darussalam, Banda Aceh 23111
*E-mail: hesti_meilina@hotmail.com

Characterization of edible coating made from citrus peel (Citrus Aurantifolia swingle) was done. The
objective of this study was to investigate the influence of pectin and glycerol concentrations toward edible
coating characteristic which produced from this research. Variation of pectin concentration were 4% and
6% combined with glycerol concentration which were variated from 2% to 4%. The results showed that
pectin concentration had an influential to the film thickness. A good characteristic based on physics and
performance was yielded from 2% of glycerol concentration. High glycerol concentration caused edible
coating had an opaque color.

Keywords: edible coating, glycerol, pectin

PRODUCING OF BIOMASS BRIQUETTE AND MODIFICATION OF


THEIR COMBUSTION STOVE

Mahidin1,2)*, Asri Gani1) and Subhan2)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
2)
Prodi Magister Teknik Kimia, Program Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala
*E-mail: mahidin@unsyiah.ac.id

The questions should be answered in biomass utilization, as a source of renewable energy, are how the
biomass is used and what kind of technology can be applied. The recommended solution in this study is by
utilized the biomass in form of briquette and modification of available stove for its combustion. This
research is addressed to examine the effect of briquette composition and biomass particle size on the stove
efficiency. Briquette is produced in cylindrical form with φ = 25 mm and 100 – 110 mm in high.
Densification pressure is 2 ton/cm2. The stove is modified by changing the grate model to fixed grate as a
standard model and up-down grate. Ratio of palm shell to castor seed are 75:25 – 95:5 at particle size -
12/+25, -25/+40 and -40/+60 mesh, respectively. The results show that particle size, briquette
composition, grate model and emission suppress cap affect the stove efficiency. The highest efficiency,
i.e. 35.22%, in this study observed at up-down grate stove without emission suppress cap, ratio of palm
shell to castor seed of 75:25 and particle size of -40/+60 mesh.

Keywords: biomass briquette, kernel of Jatropha, palm shell, stove efficiency

Hasil Penelitian Industri vii Volume 24, No. 1, April 2011


 
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI
Volume 24, No. 1, April 2011
ABSTRAK

METHANOL PURIFICATION PROCESS FROM BIODIESEL SYNTHESIS


USING THE ROTARY EVAPORATOR

Mahlinda* and Lancy Maurina


Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur Banda Aceh, 23243
*E-mail: mahlinibr_aceh@yahoo.com

Research on methanol recovery from biodiesel synthesis using rotary evaporator has been done. The aim
of research is to study methanol recovery process using methanol from esterification and
transesterification of biodiesel which can be reused for biodiesel synthesis. The result of research shows,
for esterification methanol can be recovered around 96,5%, while transesterification methanol can be
recovered around 64%. Componen analysis using Gas Chromatography (GC) shows methanol purity
reached 99,86%.

Keywords: esterification, methanol, rotary evaporator, transesterification

STUDY OF SOLVENT INFLUENCE ON THE PERFORMANCE OF CELLULOSE


ACETATE MEMBRANES IN THE CLARIFICATION PROCESS OF SUGAR CANE
WITH ULTRAFILTRATION

Sofyana*, Sri Mulyati, Fifi Winarti Adly and Zaghraini Maghfirah


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Unsyiah, Banda Aceh
*E-mail : sofyana71@yahoo.co.id

The use of ultrafiltration membrane was one of the interesting alternatives for clarification process of tap
liquid of sugarcane. The membrane needed small area and no chemicals that reduce operation cost and
environmental impact. This research was aimed to study the ability of ultrafiltration membrane made by
phase inversion technique using cellulose acetate with various solvent (acetone and tetrahydrofuran).
Different solvent gives different membrane structure which has big effect on membrane performance. This
research was done to study the effect of solvent (acetone and tetrahydrofuran (THF)) on clarification
process of sugarcane liquid and effect of operation pressure on membrane activity in producing high flux
of permeate and selectivity of desired substances (protein, wax, gum, etc) and produced high sucrose
sugarcane liquid. The results showed that the permeability (Lp) of membrane with acetone (CA1) was
higher than membrane with THF (CA2). Rejection value of CA2, based on sucrose value, is higher than
CA1.

Keywords: acetone, cellulose acetate, membrane, sugarcane liquid, tetrahydrofuran, ultrafiltration

Hasil Penelitian Industri viii Volume 24, No. 1, April 2011


 
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI
Volume 24, No. 1, April 2011
ABSTRAK

THE PRODUCTION OF COCO-DIETHANOAMIDA IN HIGH MIXING


HOMOGENIZER REACTOR

Dwinna Rahmi* and Retno Yunilawati


Balai Besar Kimia dan Kemasan,
Jl. Balai Kimia No. 1 Pekayon Jakarta Timur
*E-mail: dwinna2002@yahoo.com

Coco-diethanolamide is nonionic surfactant derivate from coconut. This surfactant is widely used as
stabilizer or foaming agent for liquid soap or shampoo to maintain their form stabilizes. In this research,
coco-diethanolamide was produced by using a high mixing homogenizer reactor. The optimal reaction
conditions of processe such as temperature, reaction speed and reaction time were investigated. There are
two steps processes were performed, they are methyl ester and then coco-diethanolamide. Methyl ester is
occurring at 60 oC and 100 rpm for 2 hours reaction. When temperature of product was low (below 4 oC),
hence methyl ester was separated and washed. Coco-ditehnolamide was producted by reaction of methyl
ester and diethanolamine at 60-100 oC, 200 rpm and 2 hours. The quality of coco-diethanolamide product
are amide contain ± 98 %, free fatty acid 0,46 %, amine total 0,06 %, pH 9,3, surface tension 39,2
dyne/cm and interface tension 14 dyne/cm.

Keyword: coco-diethanolamide, free fatty acid, high mixing homogenizer, interface tension, methyl
ester, surface tension

THE ADDITION OF TETRAHYDROFURAN AS CO-SOLVENT ON BIODIESEL


PRODUCTION PROCESS FROM COTTON SEED OIL

Farid Maulana1)*, Sofyana1) and Syarifuddin2)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syech Abdurrauf 7 Darussalam Banda Aceh, 23111
2)
Balai Riset Standardisasi Industri Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur Banda Aceh, 23243
*E-mail: faridmln@yahoo.com

Cotton seed oil is one of cheap alternative source of non edible raw materials that can be used to produce
biodiesel. The purpose of this research is to study the effect of volume ratio of cotton seed oil to co-solvent
of tetrahydrofuran, reaction time, and the amount of catalyst toward quality of produced biodiesel. The
production of biodiesel of cotton seed oil can be conducted by transesterification process using base
catalyst at temperature of 60 oC and atmospheric pressure in a stirred reactor. The result of the research
indicates that biodiesel can be produced within a shorter time in which biodiesel can be produced after 10
min because of addition of tetrahydrofuran as co-solvent. While without using co-solvent, it requires 90
minutes. The highest yield of biodiesel production was obtained at volume ratio of cotton seed oil to co-
solvent tetrahydrofuran of 1:0,5. The addition of KOH catalyst of 1.0% (w/w) would produce the highest
biodiesel yield as many as 70 %. The produced biodiesel characterization does not fulfill yet biodiesel
characterization according SNI standard and only flash point value that fulfill the standard.
Keywords: biodiesel, cotton seed oil, co-solvent, transesterification
.

Hasil Penelitian Industri ix Volume 24, No. 1, April 2011


 
KARAKTERISASI EDIBLE COATING DARI PEKTIN KULIT JERUK
NIPIS SEBAGAI BAHAN PELAPIS BUAH-BUAHAN
(Edible Coating Characterization of Skin Lime Pectin as Fruits Coating
Material)

Hesti Meilina*, Pocut Nurul Alam dan Sri Mulyati


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk Syech Abdurrauf 7 Darussalam, Banda Aceh 23111
*E-mail: hesti_meilina@hotmail.com

ABSTRAK. Penelitian tentang karakterisasi edible coating berbahan baku pektin kulit
jeruk nipis (Citrus Aurantifolia swingle) telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi pektin dan gliserol terhadap karakteristik edible coating
yang dihasilkan. Variasi konsentrasi pektin adalah 4% dan 6% yang divariasikan dengan
konsentrasi gliserol sebesar 2%, 3% dan 4%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konsentrasi pektin berpengaruh terhadap ketebalan film. Sedangkan konsentrasi gliserol 2%
menghasilkan karakteristik edible coating yang lebih baik, dari segi fisik maupun
performance. Konsentrasi gliserol yang lebih tinggi menyebabkan edible coating berwarna
buram.
Kata kunci: edible coating, gliserol, pektin

ABSTRACT. Characterization of edible coating made from citrus peel (Citrus Aurantifolia
swingle) was done. The objective of this study was to investigate the influence of pectin and
glycerol concentrations toward edible coating characteristic which produced from this
research. Variation of pectin concentration were 4% and 6% combined with glycerol
concentration which were variated from 2% to 4%. The results showed that pectin
concentration had an influential to the film thickness. A good characteristic based on physics
and performance was yielded from 2% of glycerol concentration. High glycerol
concentration caused edible coating had an opaque color.
Keywords: edible coating, glycerol, pectin

1. PENDAHULUAN dan terbuang percuma tanpa ada upaya


untuk pemanfaatannya. Di beberapa negara
Jeruk nipis (Citrus Aurantifolia maju telah diproduksi hasil dari buah jeruk
swingle) adalah salah satu produk nipis yang terbuang seperti minyak dari
holtikultura yang dapat tumbuh dengan baik kulit dan biji jeruk nipis, gula tetes, alkohol,
di Indonesia dan memiliki prospek cerah dan pektin.
untuk dikembangkan. Selama ini bagian Pada saat ini penggunaan pektin
dari buah jeruk nipis yang mempunyai nilai cukup luas karena banyak dibutuhkan dalam
ekonomis adalah air perasan jeruk nipis. industri pangan dan industri non pangan.
Kulit jeruk nipis yang merupakan bagian Pektin dengan kadar metoksil tinggi
dari buah jeruk nipis hanya menjadi limbah digunakan untuk pembuatan selai dan jeli,

Hasil Penelitian Industri 1 Volume 24, No. 1, April 2011


kembang gula, pengental minuman dan harus memiliki sifat menahan kehilangan
sirup buah-buahan berkalori rendah dan kelembaban produk, memiliki permeabelitas
digunakan juga dalam emulsi-emulsi flavor selektif terhadap gas tertentu,
dan saus salad sebagai penstabil. Pektin mengendalikan perpindahan padatan terlarut
dengan kadar metoksil rendah biasanya untuk mempertahankan warna pigmen alami
digunakan untuk pembuatan puding, gel dan gizi, serta menjadi pembawa bahan
buah dalam es krim dan pada industri aditif seperti pewarna, pengawet dan
kosmetika, plastik, bahan sintesis serta film penambah aroma yang memperbaiki mutu
nitropectin (Glicksman, 1969). bahan pangan.
Bahan baku utama yang merupakan Penggunaaan edible coating untuk
sumber pektin untuk produk komersial melapisi permukaan buah-buahan
adalah kulit jeruk dengan kadar pektin diharapkan mampu meminimumkan
sekitar 25 % dan ampas dari pengolahan penurunan kualitas buah melalui
sari buah apel dengan kadar pektin 15-18%. pencegahan kehilangan air, pembentukan
Salah satu sumber pektin yang dapat kondisi atmosfer internal yang menghambat
digunakan sebagai bahan baku pektin penuaan dan pencegahan terjadinya
potensial adalah kulit jeruk nipis. Telah pembusukan (spoilage) akibat
diketahui bahwa kulit jeruk nipis banyak mikroorganisme patogen. Selain itu,
tersedia di daerah tropis seperti di aplikasi edible coating pada buah-buahan
Indonesia, khususnya daerah Aceh. Oleh diharapkan berfungsi sebagai penghalang
sebab itu pemanfaatan kulit jeruk nipis (barrier) terhadap gas dan uap air sehingga
untuk dapat menghasilkan pektin memiliki menurunkan pengambilan O2 dari
peluang bisnis yang sangat besar. Ditambah lingkungan dan mengurangi kehilangan uap
pula dengan belum adanya pabrik pektin di air dan selanjutnya memperlambat proses
Indonesia, sehingga kita hanya dapat respirasi sehingga dapat memperpanjang
mengandalkan pektin import terutama dari masa simpan buah.
negara Denmark dan Jerman (Meilina,
2003). 2. METODOLOGI
Dalam industri pangan, pektin dapat
digunakan sebagai bahan untuk membuat 2.1 Bahan dan Peralatan
kemasan edible atau lebih dikenal dalam
bentuk edible film atau edible coating. Bahan-bahan yang digunakan dalam
Edible coating sendiri sudah berkembang penelitian ini adalah kulit jeruk nipis, HCl,
sejak lama dan sudah digunakan sebagai natrium bisulfit, NaOH, indikator pp, CaCl2,
pelapis buah jeruk dan lemon untuk gliserol, etanol dan aquades serta bahan
meningkatkan masa simpannya (Krochta, yang digunakan untuk analisis. Sedangkan
1994), juga digunakan untuk pelapis daging peralatan yang digunakan adalah kompor
beku, makanan semi basah, produk hasil listrik, wadah tahan karat, termometer,
laut, sosis dan obat-obatan terutama untuk blender, pHmeter, kain saring, pengaduk,
pelapis kapsul. hammer mill, oven, tanur, hot plate stirrer,
Edible coating adalah lapisan tipis magnetic stirrer, timbangan analitik, plat
yang dapat dimakan yang digunakan pada kaca berukuran 20 x 30 cm dan peralatan
makanan dengan cara pembungkusan, gelas lainnya.
pencelupan, penyikatan, atau penyemprotan
untuk memberikan penahanan yang selektif 2.2 Variabel Penelitian
terhadap perpindahan gas, uap air, dan
bahan terlarut serta perlindungan terhadap Variabel yang ditetapkan dalam
kerusakan mekanis (Gennadios dan Weller, penelitian ini adalah temperatur
1990). Secara teoritis, bahan edible coating pencampuran pektin dan gliserol pada 40oC,

Hasil Penelitian Industri 2 Volume 24, No. 1, April 2011


pH 6 dan konsentrasi CaCl2 0.5% b/v. Pektin yang diperoleh kemudian
Sedangkan variabel berubah adalah variasi dikeringkan dan digiling dengan
konsentrasi pektin (A) sebesar 4 dan 6% b/v menggunakan blender sehingga diperoleh
dan variasi konsentrasi gliserol (B) sebesar bubuk pektin. Pengeringan pektin dilakukan
2%, 3% dan 4% v/v. dengan menggunakan vacuum oven pada
suhu 40oC selama 8 jam. Selanjutnya bubuk
2.3 Prosedur Penelitian pektin ditimbang dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik.
2.3.1 Proses ekstraksi pektin
2.3.2 Proses pembuatan edible coating
Bahan baku kulit jeruk nipis sebanyak
500 gram yang telah dihancurkan dengan Proses pembuatan edible coating
menggunakan blender diekstraksi dengan dilakukan dengan menambahkan pektin
penambahan air destilat sebanyak 5 kali sebanyak 4% dan 6% b/v sedikit demi
berat kulit jeruk nipis (Meilina, 2003). sedikit ke dalam air bebas mineral dan
Pengaturan pH dilakukan dengan dipanaskan pada suhu 40oC sambil diaduk
menambahkan asam klorida sampai pH 1,5. dengan magnetic stirrer sampai pektin larut.
Ekstraksi dilakukan pada suhu 80oC Kemudian ke dalam larutan tersebut
(Fitriani, 2003) selama 45 menit (Meilina, ditambahkan gliserol dengan variasi 2%,
2003). 3% dan 4% v/v untuk meningkatkan
Bahan yang telah diekstraksi elastisitas coating yang dihasilkan. Setelah
kemudian dituangkan ke atas kain saring penambahan gliserol, larutan didinginkan
kemudian diperas sampai cairan keluar pada suhu kamar dan ditambahkan CaCl2
sebanyak mungkin. Cairan hasil perasan 0,5 % (b/v) hingga terbentuk gel. Setelah
dituangkan kembali keatas kain saring lain semua bahan penyusun tercampur merata,
dan dibiarkan tanpa dilakukan pemerasan pH larutan tersebut diukur dan diatur
sampai tidak ada cairan yang turun dari kain sampai pH 6 dengan menggunakan sodium
saring. Filtrat yang dihasilkan kemudian bikarbonat dan asam sitrat.
diukur volumenya dengan menggunakan Proses berikutnya adalah
gelas ukur lalu ditambahkan alkohol 95% penghilangan gelembung gas (degassing)
sebanyak 1,5 kali volume filtrat (Meilina, yang terbentuk selama pencampuran bahan
2003) sedikit demi sedikit sambil diaduk, penyusun dengan menggunakan pompa
kemudian didiamkan selama 12 jam. vakum selama ± 30 menit. Larutan yang
Endapan yang terbentuk disaring dengan dihasilkan disebut larutan edible coating.
menggunakan kain saring yang dilapisi Selanjutnya larutan didinginkan sesuai suhu
dengan kertas saring Whatman no. 41. kamar dan dilakukan pencetakan pada
Endapan yang diperoleh kemudian lempeng kaca berukuran 20 cm x 30 cm.
dicuci dengan etanol 80% untuk Larutan di atas kaca dikeringkan pada suhu
menetralkan asam yang mungkin masih ruang (28oC) selama ± 15 jam. Setelah
tertinggal dalam endapan pektin. Untuk kering, film dilepaskan dari lempeng dengan
meyakinkan bahwa endapan pektin sudah bantuan pisau dan diletakkan di atas
bebas dari asam, setiap kali pencucian alumunium foil serta dimasukkan ke dalam
dengan alkohol cairan dari pencucian kantong plastik berkelim untuk menghindari
ditambahkan dengan larutan perak nitrat. penyerapan air yang berasal dari
Jika masih terlihat endapan putih maka lingkungan. Parameter yang diamati adalah
pencucian dengan alkohol dilanjutkan. daya absorbsi air, kelarutan, ketebalan film
Pencucian terakhir dilakukan dengan edible coating, permeabilitas oksigen,
menggunakan etanol 96%, kemudian kekuatan tarik dan persen elongasi.
endapan pektin yang terbentuk diperas.

Hasil Penelitian Industri 3 Volume 24, No. 1, April 2011


3. HASIL DAN PEMBAHASAN disebabkan karena kondisi air dan gliserol
sudah sangat polar sehingga cenderung
3.1 Daya Absorbsi Air pada jenuh untuk menyerap air lebih banyak lagi.
Perendaman 2 Jam dan 4 Jam Krotcha (1994) menambahkan bahwa
kapasitas penyerapan air juga dapat
3.1.1 Absorbsi air pada perendaman 2 jam dihubungkan dengan struktur kimia bahan
yang mempunyai gugus fungsional (OH)
Uji daya absorbsi air dilakukan untuk yang dapat mengabsorbsi air.
mengetahui jumlah air yang mampu diserap
oleh edible coating serta kelarutan film 3.1.2 Absorbsi air pada perendaman 24 jam
edible coating setelah perendaman air
selama waktu tertentu. Nilai yang diperoleh Seperti pada perendaman 2 jam, hasil
berkisar antara 240,753 – 289,646 %. analisis sidik ragam selama perendaman 24
Hasil analisis sidik ragam jam menunjukkan bahwa konsentrasi pektin
menunjukkan bahwa konsentrasi pektin (A) (A) tidak berpengaruh nyata terhadap daya
tidak berpengaruh nyata terhadap persentase absorbsi air. Sedangkan konsentrasi gliserol
adsorbsi film edible coating yang (B) dan interaksi (AB) antara kedua
dihasilkan, sedangkan konsentrasi gliserol perlakuan berpengaruh nyata. Visualisasi
dan interaksi antara keduanya (AB) data pengamatan dapat dilihat pada Gambar
berpengaruh nyata terhadap persentase 2 berikut ini.
absorbsi air. Data pengamatan
divisualialisasikan pada Gambar 1 berikut
ini.

Gambar 2. Hasil uji persentase kelarutan


film pada perendaman 24 jam
pada berbagai konsentrasi
Gambar 1. Hasil uji persentase absorbsi pektin dan gliserol
film pada perendaman 2 jam
pada berbagai konsentrasi Gambar di atas menunjukkan bahwa
pektin dan gliserol nilai penyerapan air selama 24 jam berkisar
antara 487,457 – 530,757 %. Rata-rata
Gambar 1 menunjukkan bahwa rata- nilai penyerapan air pada perendaman 24
rata nilai persentase absorbsi air pada jam ini menurun dengan meningkatnya
perendaman 2 jam menurun dengan konsentrasi gliserol. Nilai persen
meningkatnya konsentrasi gliserol. Hasil uji penyerapan air pada perendaman 24 jam
lanjut Tukey 0.05 menunjukkan bahwa lebih besar dibandingkan dengan nilai
masing-masing konsentrasi gliserol (2 – penyerapan air pada perendaman 2 jam.
4%) menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan lama perendaman
Film edible coating yang mengandung berpengaruh terhadap persentase
konsentrasi gliserol lebih rendah lebih penyerapan air.
mampu menyerap air lebih banyak, hal ini

Hasil Penelitian Industri 4 Volume 24, No. 1, April 2011


3.2 Kelarutan Film Edible Coating pada 46,301 – 55,847 %. Sama halnya dengan
Perendaman 2 Jam dan 24 Jam tingkat kelarutan film pada perendaman 2
jam, hasil analisis sidik ragam pengaruh
3.2.1 Kelarutan film edible coating pada perlakuan terhadap tingkat kelarutan film
perendaman 2 jam pada perendaman 24 jam menunjukkan
Berat film yang hilang diindikasikan bahwa konsentrasi pektin (A) tidak
sebagai jumlah berat film yang terlarut berpengaruh nyata terhadap kelarutan edible
dalam air selama perendaman. Persentase coating. Sedangkan konsentrasi gliserol (B)
kelarutan film edible coating berkisar antara dan interaksi antara keduanya (AB)
44,765 – 52,607 %. Hasil analisis sidik berpengaruh nyata. Data pengamatan
ragam pengaruh perlakuan terhadap tingkat divisualisasikan pada Gambar 4 berikut.
kelarutan film edible coating pada
perendaman 2 jam menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi pektin (A) tidak
berpengaruh terhadap persentase kelarutan
edible coating. Sedangkan konsentrasi
gliserol (B) dan interaksi antara keduanya
(AB) berpengaruh nyata.

Gambar 4. Hasil uji tingkat kelarutan film


edible coating selama
perendaman 24 jam berbagai
konsentrasi pektin dan gliserol
Gambar 4 diatas menunjukkan pola
yang sama dengan tingkat kelarutan pada
Gambar 3. Hasil uji persentase kelarutan perendaman 2 jam. Meskipun selisih waktu
film selama perendaman 2 jam perendaman cukup lama, namun tingkat
pada berbagai konsentrasi kelarutan film edible coating dalam air pada
pektin dan gliserol perendaman 24 jam hanya sedikit lebih
banyak larut dibandingkan dengan kelarutan
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada perendaman 2 jam. Hal ini
tingkat kelarutan yang paling tinggi menunjukkan bahwa lama perendaman
diperoleh pada konsentrasi gliserol 4% yaitu tidak berpengaruh terhadap tingkat
sebesar 52,607 %. Semakin meningkatnya kelarutan film edible coating.
konsentrasi gliserol yang digunakan, maka
tingkat kelarutan film dalam air akan 3.3 Ketebalan Film Edible Coating
semakin meningkat. Menurut Furia (1969),
Hasil pengukuran pada uji ketebalan
tingkat kelarutan gliserol cukup tinggi
film edible coating dari pektin kulit jeruk
dibandingkan dengan jenis plastisizer lain
nipis menghasilkan ketebalan film pada
karena gliserol dapat larut secara
0,045 – 0,077 mm.
keseluruhan di dalam air.
Hasil analisis sidik ragam terhadap
3.2.2 Kelarutan film edible coating pada ketebalan film menunjukkan bahwa
perendaman 24 jam konsentrasi pektin (A) berpengaruh nyata
terhadap ketebalan pektin, sedangkan
Tingkat kelarutan film edible coating konsentrasi gliserol (B) dan interaksi antara
pada perendaman 24 jam berkisar antara kedua variabel (AB) tidak berpengaruh

Hasil Penelitian Industri 5 Volume 24, No. 1, April 2011


nyata. Visualisasi data pengamatan dapat tertentu. Nilai permeabilitas sangat
dilihat pada Gambar 5 berikut ini. dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia
polimer dan struktur dasar polimer. Nilai
permeabilitas oksigen pada film kemasan
berguna untuk memperkirakan daya simpan
produk yang dikemas.
Nilai permeabilitas oksigen yang
diperoleh berkisar antara 3,4x10-7 –
5,7x10-7 (cm3.cm/cm2.s.cmHg). Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi pektin (A), konsentrasi gliserol
(B) dan interaksi antara keduanya (AB)
berpengaruh nyata terhadap nilai
Gambar 5. Hasil uji ketebalan film edible permeabilitas oksigen. Hasil pengamatan
coating pada berbagai dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
konsentrasi pektin dan gliserol

Gambar diatas menunjukkan bahwa


film edible coating akan semakin besar
ketebalannya dengan meningkatnya
konsentrasi pektin. Hal ini disebabkan
karena semakin besar konsentrasi pektin
maka akan semakin tinggi viskositas larutan
pembentuk film. Viskositas yang tinggi
disebabkan karena pektin dapat mengikat
air secara keseluruhan dengan adanya
Gambar 6. Hasil uji permeabilitas oksigen
sedikit pemanasan sehingga larutan
film edible coating pada
pembentuk film menjadi lebih kental dan
berbagai konsentrasi pektin dan
menghasilkan film yang lebih tebal.
gliserol
Pada proses pencetakan, film dicetak
dengan ketebalan yang sama, namun setelah
Gambar di atas menunjukkan bahwa
pengeringan diperoleh film dengan
nilai permeabilitas oksigen tertinggi
ketebalan yang berbeda. Hal ini diduga
diperoleh pada konsentrasi pektin 4% dan
karena kandungan air dalam larutan
konsentrasi gliserol 4%. Semakin tinggi
pembentuk film menguap saat proses
konsentrasi plastisizer maka semakin nilai
pengeringan. Semakin sedikit kandungan air
permeabilitas oksigen yang dihasilkan. Hal
atau semakin sedikit jumlah air yang
ini disebabkan karena penambahan
menguap, maka semakin tebal film yang
plastisizer akan menyebabkan kerapatan
terbentuk demikian pula sebaliknya. Hasil
dari edible coating akan berkurang sehingga
uji lanjut Tukey0,05 menunjukkan bahwa
nilai permeabilitas semakin tinggi.
konsentrasi pektin 4% dan 6% memberikan
Nilai permeabilitas oksigen edible
perbedaan ketebalan film edible coating
coating yang rendah menunjukkan bahwa
yang nyata.
ketahanan edible coating terhadap daya
3.4 Permeabilitas Oksigen tembus oksigen tinggi. Dengan semakin
rendahnya nilai permeabilitas oksigen maka
Permeabilitas suatu film kemasan semakin baik digunakan untuk pengemasan
adalah kemampuan melewatkan partikel gas buah dan sayuran.
pada suatu unit luasan bahan pada kondisi

Hasil Penelitian Industri 6 Volume 24, No. 1, April 2011


3.5 Kuat Tarik 3.6 Elongasi
Tensile Strength merupakan salah satu Nilai elongasi atau persen
sifat mekanis untuk mengukur kekuatan pemanjangan merupakan perubahan
film. Tensile Strength adalah gaya tarik panjang maksimal film sebelum terputus.
maksimum yang dapat ditahan oleh film Nilai elongasi untuk film edible coating
selama pengukuran berlangsung sampai berkisar antara 13,506 – 19,490 %.
film mulai terputus. Nilai tensile strength
yang diperoleh berkisar antara 18,492 –
33,533 Kgf/mm2.
Hasil analisis sidik ragam uji kuat
tarik menunjukkan bahwa konsentrasi
pektin (A), konsentrasi gliserol (B) dan
interaksi antara keduanya (AB) berpengaruh
nyata terhadap kuat tarik film edible coating
yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Tukey0.05
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang nyata pada setiap perlakuan. Hasil uji Gambar 8. Hasil uji elongasi pada berbagai
kuat tarik selengkapnya dapat dilihat pada konsentrasi pektin dan gliserol
gambar di bawah ini.
Gambar 8 menunjukkan bahwa persen
elongasi terbesar diperoleh pada konsentrasi
pektin 4% dan konsentrasi gliserol 4%.
Semakin tinggi konsentrasi pektin maka
semakin tinggi persen elongasi, begitu juga
dengan penambahan gliserol, semakin
tinggi konsentrasi gliserol semakin tinggi
persen elongasi yang dihasilkan.
4. KESIMPULAN

Gambar 7. Hasil uji kuat tarik film edible Hasil karakterisasi edible coating dari
coating pada berbagai pektin kulit jeruk nipis adalah sebagai
konsentrasi pektin dan gliserol berikut :
1. Ketebalan film edible coating yang
Gambar di atas menunjukkan bahwa dihasilkan antara 0,045 – 0,077 mm,
nilai rata-rata kuat tarik edible coating akan tergantung pada konsentrasi pektin yang
semakin rendah dengan meningkatnya digunakan. Semakin besar konsentrasi
konsentrasi pektin dan konsentrasi gliserol pektin, semakin tebal film edible coating
yang ditambahkan. Nilai kuat tarik yang yang dihasilkan.
paling tinggi diperoleh pada konsentrasi 2. Nilai permeabilitas oksigen film edible
pektin 6 % dan konsentrasi gliserol 2% coating berkisar antara 3,4x10-7 –
(29,029 Kgf/mm2). Nilai kuat tarik 5.7x10-7 (cm3.cm/cm2.s.cmHg). Nilai
selanjutnya akan semakin rendah dengan permeabilitas oksigen terendah
meningkatnya konsentrasi gliserol. Hal ini dihasilkan pada konsentrasi pektin 4%
sesuai dengan pendapat Krochta (1994) dan konsentrasi gliserol 2%.
yang menyatakan bahwa peningkatan 3. Nilai kuat tarik film edible coating
konsentrasi gliserol akan menghasilkan film berkisar antara 18,492 – 33,533
dengan kuat tarik yang lebih rendah. Kgf/mm2. Nilai kuat tarik film edible
coating tertinggi diperoleh pada

Hasil Penelitian Industri 7 Volume 24, No. 1, April 2011


konsentrasi pektin 6% dan konsentrasi Danhowe. G dan O. Fennema. 2006. Edible
gliserol 2%. Film and Coating: Characteristic,
4. Nilai elongasi film edible coating formation, definition and testing
berkisar antara 13,506 – 19,490 %. Nilai methods. dalam Krochta et al,
elongasi tertinggi diperoleh pada (eds.). Edible Coating and Film to
konsentrasi pektin 4% dan konsentrasi Improve Food Quality. Lancaster:
gliserol 4%. Technomic Publ. Co. Inc.
5. Semakin tinggi konsentrasi gliserol
semakin rendah daya absorbsi film edible Gennadios A., dan C.L. Weller. 1990.
coating. Semakin tinggi konsentrasi Edible Film and Coatings from
gliserol semakin tinggi nilai kelarutan Wheat and Corn Proteins. J. Food
film edible coating. Tech. 44(10): 63-68.

SARAN Glicksman, M. 1969. Gum Technology in


The Food Industry. New York:
Diperlukan penelitian lebih lanjut Academic Press.
untuk uji aplikasi edible coating pada
beberapa jenis buah dan sayuran lokal untuk Guilbert, S and B. Biquet. 1996. Edible
mengetahui tingkat penerimaan konsumen Films and Coating. dalam G.
terutama terhadap buah dan sayuran lokal. Bureau dan J.L. Multon (eds.).
Selain itu diperlukan pula variasi Food Packaging Technology. New
konsentrasi pektin dengan kisaran York: VCH Publ. Inc.
persentase yang lebih besar.
Krochta, J.M. 1992. Control of Mass
DAFTAR PUSTAKA Transfer in Food with Edible
Coating and Film. dalam Singh,
ASTM. 1980. Standard Test Merthods for R.P dan M.A. Wirakartakusumah
Water Vapor Transmition of (Eds.). Advences in Food
Material. ASTM Book Standards. Engineering. 517-538. Boca
D3985-81. Raton, F.L: CRC Press.

ASTM. 1988. Annual Book of ASTM Krochta, J.M, Baldwin, E.A dan M.O.
Standards, American Society for Nisperos-Carriedo. 1994. Edible
Testing and Materials. Coating and Film to Improve Food
Philadelphia. Quality. USA: Technomic. Publ.
Co. Inc.
Baldwin, E.A. 2007. Edible Coating for
Fresh and Vegetables: Past, Mali, s., M. V. E. Grossmann, M. A. Garcia,
Present and Future. dalam M. N. Martino dan N. E. Zaritzky,
Krochta, J.M., E.A. Baldwin dan 2008. Barrier, Mechanical and
M.O. Nisperos-Carriedo, eds. Optical Properties of Plasticized
Edible Coating and Films to Yam Starch Films. Science Direct:
Improve Food Quality. 129-135.
Pennsylvania: Tecnomic Publ. Co.
Inc. McCabe, W. L., J. C. Smith, dan P. Harriot.
1999. Operasi Teknik Kimia. Jilid
Baker, G. L. 1984. High Polimer Pectins 2. Terjemahan E. Jasjfi. Jakarta:
and Their Esterification. ADV, Erlangga.
Food Res. 1:395.

Hasil Penelitian Industri 8 Volume 24, No. 1, April 2011


Meilina, H. 2003. Produksi Pektin dari Tranggono., Sutardi, Haryadi, Suparmo, A.
Kulit Jeruk Lemon (Citrus Murdiati, S. Sudarmadji, K.
Medica). Tesis Pascasarjana. Rahayu, S. Naruki dan M. Astuti.
Bogor: Institut Pertanian Bogor. 1989. Bahan Tambahan Makanan,
PAU Pangan dan Gizi.
Suradi, K. 1984. Ekstraksi, Isolasi dan Yogyakarta: Universitas Gadjah
Karakterisasi Pektin dari Mada
Beberapa Jenis Kulit Jeruk. Thesis
Pascasarjana. Bogor: Institut Towle, G.A. dan O. Christensen. 1973.
Pertanian Bogor. Pectin. dalam R. L Whistler (Ed).
Industrial Gum. P. 429. New
Suyitno. 1990. Bahan-bahan Pengemas. York: Academic Press.
Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi. Yogyakarta: Universitas Winarno, F.G. dan M. Aman. 1981.
Gadjah Mada. Fisiologi Lepas Panen. Jakarta:
Sastra Hudaya.

Hasil Penelitian Industri 9 Volume 24, No. 1, April 2011


PEMBUATAN BRIKET BIOMASSA DAN MODIFKASI DAPUR
PEMBAKARANNYA
(Producing of Biomass Briquette and Modification of Their Combustion
Stove)

Mahidin1,2)*, Asri Gani1) dan Subhan2)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
2)
Prodi Magister Teknik Kimia, Program Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala
*E-mail: mahidin@unsyiah.ac.id

ABSTRAK. Pertanyaan yang harus dijawab dalam pemanfaatan biomassa sebagai sumber
energi terbarukan adalah bagaimana biomassa tersebut digunakan dan teknologi apa yang
diterapkan. Solusi yang ditawarkan dalam studi ini adalah pemanfaatan biomassa dalam
bentuk briket dan modifikasi dapur yang ada untuk pembakarannya. Penelitian ini bertujuan
melihat pengaruh komposisi briket dan ukuran partikel biomassa terhadap efisiensi dapur.
Briket dibuat berbentuk silinder, dengan φ = 25 mm dan tinggi 100 – 110 mm. Tekanan
pengepresan untuk pembriketan adalah 2 ton/cm2. Dapur dimodifikasi dengan mengubah
model grate (sarangan) menjadi fixed grate sebagai model standar dan up-down grate.
Rasio cangkang sawit-biji jarak 75:25 – 95:5 dengan masing-masing ukuran partikel -
12/+25, -25/+40 dan -40/+60 mesh. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran pertikel,
komposisi briket, model grate dan aplikasi tutup pengurang emisi berpengaruh terhadap
efisiensi dapur. Efisiensi tertinggi, yaitu 35,22%, pada studi ini terdeteksi pada model dapur
up-down grate tanpa tutup pengurang emisi, rasio cangkang sawit-biji jarak 75:25 dan
ukuran partikel -40/+60 mesh.

Kata kunci: biji jarak, briket biomassa, cangkang sawit, efisiensi dapur

ABSTRACT. The questions should be answered in biomass utilization, as a source of


renewable energy, are how the biomass is used and what kind of technology can be applied.
The recommended solution in this study is by utilized the biomass in form of briquette and
modification of available stove for its combustion. This research is addressed to examine the
effect of briquette composition and biomass particle size on the stove efficiency. Briquette is
produced in cylindrical form with φ = 25 mm and 100 – 110 mm in high. Densification
pressure is 2 ton/cm2. The stove is modified by changing the grate model to fixed grate as a
standard model and up-down grate. Ratio of palm shell to castor seed are 75:25 – 95:5 at
particle size -12/+25, -25/+40 and -40/+60 mesh, respectively. The results show that
particle size, briquette composition, grate model and emission suppress cap affect the stove
efficiency. The highest efficiency, i.e. 35.22%, in this study observed at up-down grate stove
without emission suppress cap, ratio of palm shell to castor seed of 75:25 and particle size
of -40/+60 mesh.

Keywords: biomass briquette, kernel of Jatropha, palm shell, stove efficiency

Hasil Penelitian Industri 10 Volume 24, No. 1, April 2011


1. PENDAHULUAN Pemecahan permasalahan
ketergantungan terhadap minyak bumi
Depertemen Energi dan Sumber Daya dengan penggunaan biomassa sebagai
Mineral (DESDM) dalam Blueprint sumber energi bagi masyarakat terutama
Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, untuk memenuhi kebutuhan industri rumah
telah menata kembali bauran energi nasional tangga akan menimbulkan permasalahan
dengan menempatkan energi batubara sebagai baru yang berkaitan langsung dengan teknik
salah satu sumber energi andalan. Seiring penggunaan sumber energi tersebut
dengan kebijakan pemerintah menurunkan diantaranya adalah perancangan dapur yang
peran BBM dari 54% (2005) menjadi 33% tepat, ekonomis dan efisien dalam
(2025), maka diperlukan usaha untuk mencari penggunaannya. Untuk ini diperlukan suatu
sumber energi alternatif dalam mengatasi studi khusus dalam pembuatan/
kekurangan sumber energi tersebut. Namun perancangan dapur agar pemanfaatan energi
demikian, kehadiran energi batubara masih biomassa dapat dilakukan dengan mudah
dirasakan mempunyai kendala dalam dan aman.
keterbatasannya dimasa mendatang, karena Penelitian ini bertujuan melihat
sumber energi ini akan berkurang dari tahun pengaruh komposisi briket dan ukuran
ke tahun. partikel biomassa terhadap efisiensi
Salah satu langkah dalam pemecahan efisiensi dapur. Manfaat dari studi ini
masalah ketergantungan energi dari bahan diharapkan dapat memberikan solusi
bakar minyak adalah dengan memanfaatkan terhadap pengembangan briket biomassa
sumber energi terbarukan (biomassa). untuk keperluan industri kecil/rumah
Dalam kajian ini, sumber energi biomassa tangga.
yang dipelajari adalah cangkang sawit Pembuatan dapur/tungku pada
(limbah padat pabrik pengolahan kelapa dasarnya didesain untuk memberikan
sawit, PKS) yang dapat dimanfaatkan efisiensi pembakaran yang tinggi dan untuk
sebagai energi alternatif yang ramah menekan emisi gas yang dihasilkan. Jenis
lingkungan (carbon neutral fuel). tungku sangat bergantung pada sektor
Pemanfaatannya dapat dilakukan secara penggunanya, tungku untuk industri
langsung atau dibriketkan untuk menaikkan berukuran lebih besar daripada tungku
densitas energi. Selain dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga. Rata-rata
untuk energi pembangkit tenaga listrik dan tungku untuk industri memiliki kapasitas
sumber energi bagi industri berskala besar, briket 5-10 kg, sedangkan untuk rumah
biomassa juga sangat potensial sebagai tangga hanya 1-2 kg.
sumber energi untuk keperluan industri Berikut beberapa contoh dapur
rumah tangga. Dalam teknologi pembakaran pembakaran briket (batubara) yang telah
biomassa, peranan teknologi pembriketan beredar di pasaran dengan tingkat efesiensi
cukup besar terhadap tingkat kemudahan dan keunggulan yang berbeda-beda. Semua
dalam penggunaan sumber energi ini. dapur yang ada di pasaran beroperasi
Pembriketan biomassa adalah proses dengan sarangan tetap (fixed grate).
penggumpalan butiran-butiran kecil dengan
atau tanpa bahan perekat dalam bentuk dan
ukuran, serta sifat-sifat tertentu yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu dan
daya guna biomassa sehingga tidak berasap
dan berbau, juga mudah dalam
penyimpanan dan transportasi (Ndraha,
2009).

Hasil Penelitian Industri 11 Volume 24, No. 1, April 2011


Tabel 1. Contoh-contoh dapur pembakaran briket (batubara)
No. Gambar dapur Spesifikasi Kinerja
1. Diameter = 20 cm Efisiensi: 31%
Tinggi = 35 cm
Kapasitas = 1 kg briket
Lama pembakaran:
400 °C = 125 menit
500 °C = 100 menit

Desain tekMIRA
2. Diameter = 25 cm Efisiensi: 31%
Tinggi = 30 cm
Kapasitas = 1,5 kg briket
Lama pembakaran:
400 °C = 160 menit
500 °C = 145 menit

Desain tekMIRA
3. Diameter = 30 cm Efisiensi: 33%
Tinggi = 35 cm
Kapasitas = 4 kg briket
Lama pembakaran:
400 °C = 300 menit
500 °C = 270 menit

Desain tekMIRA
4. Diameter = 22,5 cm Efisiensi:
Tinggi = 31 cm a. 28% dengan penutup emisi
Kapasitas = 1,5 kg briket b. 33% tanpa penutup emisi
Lama pembakaran:
400 °C = 120 menit
500 °C = 100 menit

Desain Jepang
5. Diameter = 22 Cm Efisiensi: 33%
Tinggi = 55 cm
Kapasitas = 1,5 kg briket
Lama pembakaran:
400 °C = 120 menit
500 °C = 60 menit
600 °C = 5 menit

Desain Jepang

Hasil Penelitian Industri 12 Volume 24, No. 1, April 2011


No. Gambar dapur Spesifikasi Kinerja
6. Diameter = 20 cm Efisiensi: 40%
Tinggi = 40 cm
Kapasitas = 2 kg briket
Lama pembakaran:
400 °C = 220 menit
500 °C = 190 menit

Desain Korea
Sumber: http://www.tekmira.esdm.go.id/BRIKET/jenisTungku.html, diakses tanggal 11
April 2011.

2. METODOLOGI grate) masing-masing dengan dan tanpa


penutup pengurang emisi.
Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Sumberdaya Energi Jurusan 2.3 Prosedur Penelitian
Teknik Kimia dan Laboratorium Dasar
Proses Produksi Jurusan Teknik Mesin 2.3.1 Pembuatan briket biomassa
Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.
Pada tahap pertama, cangkang sawit
2.1 Alat dan Bahan Penelitian yang berukuran sekitar 1-2 cm dihancurkan
sehingga memiliki kehalusan dengan ukuran
Alat-alat yang digunakan pada yang sesuai menurut variabel di atas.
penelitian ini meliputi: crusher, ayakan Sebagai perekat digunakan biji jarak,
(ukuran 12, 25, 40, dan 60 mesh), mixer, dimana sebelumnya digiling sehingga
alat pembriketan (electric punching press, memiliki ukuran partikel yang sama dengan
kapasitas 0,5 - 400 kN), cetakan dapur cangkang sawit. Sebelum proses
(manual), termometer, panci, timbangan pembriketan, sejumlah cangkang sawit yang
digital, sieve vibrator, stop watch, dan gelas telah dihaluskan dilakukan pengayakan dan
ukur 1000 ml. Sedangkan, bahan-bahan dicampur merata dengan bahan perekat,
yang digunakan antara lain adalah cangkang selanjutnya diaduk dengan mixer hingga
sawit, biji jarak, abu sekam padi dan tanah homogen. Campuran tersebut dimasukkan
liat. ke dalam alat pencetak dengan ukuran
diameternya 25 mm yang berbentuk
2.2 Variabel Penelitian selinder dan dipres sampai 2 ton/cm2.
Berikut ini adalah rangkaian proses
Variabel tetap: briket berbentuk pembuatan briket biomassa, seperti yang
silinder, ukuran briket, φ = 25 mm, tinggi ditunjuk pada Gambar 1.
100 – 110 mm, dan tekanan pengepresan
untuk pembriketan 2 ton/cm2. Sementara
variabel berubahnya meliputi:
a. rasio cangkang sawit-biji jarak (% berat):
75:25, 80:20, 85:15, 90:10 dan 95:5,
b. ukuran partikel: -12/+25, -25/+40 dan -
40/+60 mesh, dan
c. modifikasi dapur dengan sarangan tetap
(fixed grate) dan naik turun (up-down

Hasil Penelitian Industri 13 Volume 24, No. 1, April 2011


Biomassa 2.3.2 Modifikasi dapur
Modifikasi dapur dilakukan dengan
mengubah model grate (sarangan tempat
Cangkang sawit Biji jarak
dudukan briket) menjadi dua model, yaitu
sarangan tetap (fixed grate) sebagai model
Pengerusan dan Pengerusan dan
standar dan sarangan naik turun (up-down
pengayakan pengayakan grate). Model dasar disadur dari Permen
ESDM nomor 047 tahun 2006 Gambar 3.
Dalam pengujian, masing-masing model
sarangan dimodifikasi lagi dengan memakai
Pencampuran
tutup pengurang emisi dan tanpa tutup
pengurang emisi. Bahan baku utama
Pembriketan pembuatan dapur adalah tanah liat (clay)
dan abu sekam padi dengan perbandingan
60%:40%. Dimensi ruang pada dapur, H/D
Pengeringan = 1. Gambar 2 di bawah ini adalah desain
dapur secara detail.
Uji kualitas
Untuk mendapatkan daya tahan yang
Pengemasan baik, dapur dilengkapi dengan lapisan
campuran semen dan pasir pada bagian
Gambar 1. Tahapan proses pembuatan tengahnya, sedangkan untuk menambah
briket biomassa keindahan dan keseragaman, pada bagian
luarnya dilapisi dengan seng galvanize.

Gambar 2. Desain dapur modifikasi.

Hasil Penelitian Industri 14 Volume 24, No. 1, April 2011


2.3.3 Analisa sifat kimia biomassa 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian sifat kimia biomassa 3.1 Sifat Campuran Biomassa
(cangkang sawit dan biji jarak) meliputi Estimasi proksimasi campuran
analisa proksimasi dan ultimasi dilakukan di cangkang sawit dan biji jarak meliputi
Pusat Penelitian dan Pengembangan kandungan (% berat) volatile matter, kadar
Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) abu, fixed carbon, moisture, dan nilai kalor.
Bandung. Sedangkan estimasi ultimasi mencakup
2.3.4 Pengukuran efisiensi dapur kandungan (% berat) unsur C, H, O, N, dan
S. Estimasi proksimasi dan ultimasi
Efisiensi dapur diuji dengan campuran briket dilakukan dengan
memanaskan air hingga mencapai titik menggunakan data analisis proksimasi, nilai
didihnya. Efisiensi dapur dihitung dengan kalor, dan ultimasi masing-masing biomassa
menggunakan persamaan sebagai berikut yang sudah digunakan dalam studi
(Savarnakuta dan Suwannakuta, 2006): sebelumnya (Gani dkk, 2010; Gani dkk,
2009; Mahidin dkk, 2009).
m wi C pw (Te − Ti ) + m w,evap H l Hasil perhitungan proksimasi
η= ......... (1) menunjukkan kandungan volatile matter,
mf H f
kadar abu, moisture dan nilai kalor
dimana: mengalami peningkatan, sementara
m wi = massa air awal dalam bejana; kg kandungan fixed carbon mengalami
C pw = panas spesifik air; kJ/kg oC penurunan seiring bertambahnya persentase
biji jarak dalam campuran briket seperti
m w,evap = massa air yang menguap; kg
yang ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan
mf = massa briket biomassa; kg hasil perhitungan ultimasi cangkang sawit-
Te = temperatur didih air, oC biji jarak menunjukkan kenaikan kandungan
unsur C, H, N, dan S seiring bertambah
Ti = temperatur air dalam bejana, oC
kandungan biji jarak dalam campuran
Hl = panas laten penguapan pada 100 briket, sementara kandungan unsur O
o
C dan 105 Pa, J/kg mengalami penurunan (Tabel 3).
Hf = nilai kalor briket biomassa, kJ/kg.

Tabel 2. Data analisa proksimasi cangkang sawit-biji jarak


Jenis bahan bakar Analisa proksimasi (%berat)
Calorific value
cangkang sawit-biji
Volatile matter Ash Fixed carbon Moisture (cal/g)
jarak
95- 5 73,75 2,70 18,66 4,38 4914,95
90-10 73,85 2,78 17,90 4,46 4964,90
85-15 73,95 2,85 17,15 4,51 5014,85
80-20 74,05 2,93 16,39 4,63 5064,80
75-25 74,15 3,01 15,64 4,72 5114,75

Tabel 3. Data analisa ultimasi cangkang sawit-biji jarak


Jenis bahan bakar Analisa ultimasi (%berat)
cangkang sawit-biji
jarak C H O N S
95- 5 30,67 2,89 60,07 0,42 0,134
90-10 32,02 3,16 58,41 0,55 0,138
85-15 33,38 3,43 56,74 0,67 0,142
80-20 34,73 3,70 55,08 0,80 0,146
75-25 36,08 3,97 53,41 0,92 0,150

Hasil Penelitian Industri 15 Volume 24, No. 1, April 2011


3.2 Efisiensi Dapur tertinggi dalam studi ini masih berada jauh
di bawah. Kelemahan desain dalam studi ini
Uji pembakaran ini dimaksudkan dibanding desain Korea diperkirakan pada
untuk melihat sejauh mana pengaruh sirkulasi udara yang belum maksimum dan
komposisi briket dan ukuran partikel tinggi rendahnya naik turun grate. Perlu
biomassa terhadap efisiensi pembakaran modifikasi lebih lanjut dengan
briket pada dapur modifikasi dengan menambahkan aliran udara sekunder dan
mengacu pada percobaan yang dilakukan mengangkat kedudukan grate sampai 2/3
oleh Savarnakuta dan Suwannakuta (2006) tinggi dapur. Model dapur fixed grate
dan Saptoadi (2006). Hasil uji pembakaran memperlihatkan fenomena yang sama
briket biomassa pada dapur modifikasi [pembahasannya pada bagian 3.2.3].
menunjukkan ukuran partikel dan komposisi
biomassa berpengaruh terhadap efisiensi
pembakaran.
Pada kajian ini, aplikasi pembakaran
briket divariasikan dalam dua bagian yaitu
pembakaran briket pada dapur tanpa
penutup emisi, dan pembakaran briket pada
dapur dengan memakai penutup emisi.
Efisiensi masing-masing tipe/model dapur
dibahas secara konfrehensif pada bagian-
bagian berikut ini.

3.2.1 Efisiensi dapur up-down grate tanpa Gambar 3. Efisiensi dapur up-down grate
tutup pengurang emisi tanpa tutup pengurang emisi
sebagai fungsi komposisi briket
Pengujian pada dapur up-down grate dan ukuran partikel biomassa
tanpa tutup pengurang emisi ini didapatkan
bahwa efisiensi tertinggi dan terendah 3.2.2 Efisiensi dapur up-down grate dengan
masing-masing 35,22 dan 27,95% yang tutup pengurang emisi
teramati masing-masing pada rasio
cangkang sawit-biji jarak 75:25 dan 95:5. Hasil uji efisiensi pada dapur up-down
Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh grate dengan tutup pengurang emisi ini
komposisi briket dan ukuran partikel secara rata-rata memberikan efisiensi yang
biomassa terhadap efisiensi dapur. Dari lebih rendah dari dapur up-down grate tanpa
grafik dalam Gambar 3 terlihat bahwa efek tutup pengurang emisi. Pemakaian tutup
ukuran partikel biomassa lebih signifikan pengurang emisi diperkirakan mengurangi
dibandingkan komposisi briket. Secara fraksi briket yang terbakar karena ada
keseluruhan efisiensi meningkat dengan sebagian kecil udara yang disuplai justru
meningkatnya kandungan biji jarak dalam bergeser ke arah pembakaran jelaga yang
briket dan mengecilnya ukuran partikel tertahan atau tertambat pada tutup
biomassa pembentuk briket tersebut. pengurang emisi. Kemungkinan lain adalah
Dari semua desain tekMIRA dan suplai udara lebih rendah dibanding dengan
Jepang yang ditampilkan dalam Tabel 1 kondisi tanpa tutup pengurang emisi karena
untuk dapur tanpa tutup pengurang emisi, terdesak oleh flue gas yang tertahan dalam
terlihat bahwa efisiensi dapur tertinggi yang ruang bakar. Tertahannya flue gas
dihasilkan dalam studi ini (35%) lebih disebabkan oleh menyempitnya luas
tinggi. Tetapi jika dibandingkan dengan penampang aliran keluar karena
desain Korea (40%) maka efisiensi dapur pemasangan tutup pengurang emisi. Nilai
efisiensi tertinggi dan terendah untuk tipe

Hasil Penelitian Industri 16 Volume 24, No. 1, April 2011


dengan tutup pengurang emisi masing- terbakar semakin besar dalam jangka waktu
masing adalah 32,48 dan 25,56% yang juga tertentu sehingga energi yang dihasilkan
teramati masing-masing pada rasio juga semakin besar. Suplai energi yang
cangkang sawit-biji jarak 75:25 dan 95:5, besar dapat mempersingkat waktu yang
seperti halnya pada tipe tanpa tutup diperlukan untuk proses pemanasan/
pengurang emisi. pendidihan air (karena jumlah air yang
Untuk model dapur dengan tutup digunakan sama untuk semua pengujian)
pengurang emisi, nilai efisiensi tertinggi sehingga dapat memperkecil energi yang
(32,5%) yang didapatkan jauh lebih tinggi hilang ke lingkungan. Karena heat loss-nya
dibandingkan desain Jepang (28%). Bahkan rendah, maka efisiensi menjadi tinggi.
dengan model fixed grate sekalipun (29%)
[pembahasannya pada bagian 3.2.4]. Dari 3.2.3 Efisiensi dapur fixed grate tanpa tutup
semua hasil pengujian maka terlihat bahwa pengurang emisi
modifikasi dapur dengan tutup pengurang
emisi dalam studi ini lebih baik dibanding Pada uji pembakaran briket biomassa
dengan semua rancangan yang ada. dengan menggunakan dapur modifikasi
fixed grate (sarangan tetap) tanpa tutup
pengurang emisi ini menunjukan bahwa
efisiensi yang dihasilkan lebih rendah
dibanding dapur up-down grate tanpa tutup
pengurang emisi. Dan secara keseluruhan
efisiensi dapur up-down grate lebih tinggi
dibanding dapur fixed grate. Dapur up-down
grate didesain dengan mengangkat grate
setinggi ½ ruang bakar sehingga dapat
meminimalkan energi yang hilang ke
lingkungan karena memberikan kontak yang
lebih efektif antara flame dan bejana.
Gambar 4. Efisiensi dapur up-down grate
Efisiensi tertinggi dan terendah masing-
dengan tutup pengurang emisi
masing adalah 33,87 dan 27,05%, juga
sebagai fungsi komposisi briket
masih terdeteksi pada rasio cangkang sawit-
dan ukuran partikel biomassa
biji jarak masing-masing 75:25 dan 95:5.
Dan kembali teramati bahwa ukuran
partikel lebih memberikan efek yang
dominan dibandingkan komposisi briket.
Bahkan untuk dapur fixed grate yang
dibahas pada bagian 3.2.3 dan 3.2.4
selanjutnya juga memperlihatkan fenomena
yang sama. Hal ini dapat dipahami karena
ukuran partikel berbanding lurus dengan
luas permukaan kontak partikel, semakin
halus partikel yang digunakan maka
semakin luas permukaan kontak yang
tersedia. Sesuai dengan Hukum Arrhenius, Gambar 5. Efisiensi dapur fixed grate tanpa
semakin luas permukaan kontak maka tutup pengurang emisi sebagai
semakin tinggi frekuensi kontak antar fungsi komposisi briket dan
reaktan yang berkonsekuensi pada semakin ukuran partikel biomassa
tingginya laju reaksi. Dan tingginya laju
reaksi akan menyebabkan fraksi briket yang
Hasil Penelitian Industri 17 Volume 24, No. 1, April 2011
3.2.4 Efisiensi dapur fixed grate dengan 2. Model dapur up-down grate secara
tutup pengurang emisi keseluruhan memberikan nilai efisiensi
yang lebih tinggi dibanding dapur fixed
Seperti halnya dapur up-down grate, grate untuk aplikasi yang sejenis baik
efisiensi dapur dengan tutup pengurang tanpa maupun dengan penutup emisi.
emisi secara rata-rata lebih rendah 3. Untuk model dapur yang sejenis, up-
dibandingkan dengan dapur tanpa tutup down grate atau fixed grate, efisiensi
pengurang emisi. Fenomena ini dan dugaan- tipe tanpa penutup emisi secara
dugaan faktor yang mempengaruhinya keseluruhan lebih tinggi daripada
sudah dijelaskan di atas pada bagian 3.2.2. dengan memakai penutup emisi.
Efisiensi tertinggi dan terendah masing- 4. Efisiensi tertinggi, yaitu 35,22%, pada
masing adalah 29,08 dan 23,14% yang studi ini terdeteksi pada model dapur
dengan pasti teramati pada rasio cangkang up-down grate tanpa penutup emisi,
sawit-biji jarak 75:25 dan untuk efisiensi rasio cangkang sawit-biji jarak 75:25,
terendah terjadi sedikit penyimpangan dan ukuran partikel -40/+60 mesh.
dimana teramati pada 90:10. Penyimpangan 5. Efisiensi terendah, yaitu 23,14%, pada
ini diperkirakan karena ketidak-akuran studi ini teramati pada model dapur
pengambilan data atau pengaruh faktor- fixed grate dengan memakai penutup
faktor lain seperti suhu udara, sumbatnya emisi, rasio cangkang sawit-biji jarak
saluran udara oleh abu pembakaran atau 90:10, dan ukuran partikel -12/+250
sumbatnya lubang-lubang flue gas pada mesh.
tutup pengurang emisi oleh jelaga-jelaga
yang terbentuk. DAFTAR PUSTAKA

Gani, A., Mahidin dan Khairil. 2010. Studi


Pembuatan Bio-briket dan Uji
Karakteristik Pembakarannya
untuk Penggunaan di Industri
Rumah Tangga. Jurnal Teknik
Mesin, Vol. 10. No. 3.

Gani, A., Mahidin, Khairil dan Subhan.


2009. Studi Pembuatan Briket
Biomassa dan Bio-briket serta
Disain Dapur Pembakarannya
Gambar 6. Efisiensi dapur fixed grate untuk Aplikasi Industri Rumah
dengan tutup pengurang emisi Tangga. Laporan Hasil Penelitian
sebagai fungsi komposisi briket Sesuai Prioritas Nasional. Lembaga
dan ukuran partikel biomassa Penelitian. Unsyiah. Banda Aceh.
4. KESIMPULAN Mahidin, Khairil, Adisalamun dan Gani, A.
2009. Karakteristik Pembakaran
Dari hasil pengamatan dan Batubara Peringkat Rendah,
pembahasan, dapat diambil beberapa Cangkang Sawit dan Campurannya
kesimpulan berikut: dalam Fluidized Bed Boiler. Jurnal
Reaktor. Vol. 12.
1. Pengaruh ukuran pertikel terhadap
efisiensi dapur lebih signifikan
dibanding komposisi briket.

Hasil Penelitian Industri 18 Volume 24, No. 1, April 2011


Ndraha, N. 2009. Uji Komposisi Bahan Suvarnakuta, P. dan Suwannakuta, P. 2006.
Pembuat Briket Bioarang Biomass Cooking Stove for
Tempurung Kelapa dan Serbuk Suistanable Energy and
Kayu terhadap Mutu yang Environment. The 2nd Joint
Dihasilkan. USU. Medan. International Conference on
Suistanable Energy and
Saptoadi, S. 2006. The Best Biobriquette Environment (SEE 2006).
Dimention and it Partikel Size. The Bangkok.
2nd Joint International Conference
on “Suistanable Energy and Pusat Informasi Briket Batubara. Seperti
Environment (SEE 2006)”. apa bentuk fisik tungku briket
Bangkok. Thailand. batubara?. http://www.tekmira.
esdm.go.id/BRIKET/jenisTungku.
html. diakses tanggal 11 April
2011.

Hasil Penelitian Industri 19 Volume 24, No. 1, April 2011


PROSES PEMURNIAN METANOL HASIL SINTESA BIODIESEL
MENGGUNAKAN ROTARY EVAPORATOR
(Methanol Purification Process From Biodiesel Synthesis Using The Rotary
Evaporator)

Mahlinda* dan Lancy Maurina


Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur Banda Aceh, 23243
*E-mail: mahlinibr_aceh@yahoo.com

ABSTRAK. Penelitian tentang proses pemurnian metanol hasil sintesa biodiesel


menggunakan rotari evaporator telah dilaksanakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari proses pemurnian metanol dari hasil proses esterifikasi dan transesterifikasi
untuk mendapatkan produk metanol yang dapat digunakan kembali pada proses sintesa
biodiesel berikutnya. Hasil penelitian menunjukkan, metanol hasil esterifikasi yang dapat
diambil kembali mencapai 96,5 %, sedangkan metanol hasil transesterifikasi yang dapat
diambil kembali mencapai 64 %. Hasil identifikasi senyawa-senyawa yang terkandung
dalam metanol produk distilasi menggunakan Gas Chromatography (GC) diketahui tingkat
kemurnian metanol mencapai 99,86%.

Kata kunci: esterifikasi, metanol, rotary evaporator, transesterifikasi

ABSTRACT. Research on methanol recovery from biodiesel synthesis using rotary


evaporator has been done. The aim of research is to study methanol recovery process
using methanol from esterification and transesterification of biodiesel which can be reused
for biodiesel synthesis. The result of research shows, for esterification methanol can
be recovered around 96,5 %, while transesterification methanol can be recovered around
64 %. Componen analysis using Gas Chromatography (GC) shows methanol purity
reached 99,86%.

Key words: esterification, methanol, rotary evaporator, transesterification

1. PENDAHULUAN pemanasan global, dapat mengurangi


emisi udara beracun, bersifat
Biodiesel adalah metil ester turunan biodegradable serta mudah digunakan
dari minyak lemak alami, seperti minyak (Sahirman et al., 2008).
nabati, lemak hewan atau minyak goreng Proses produksi biodiesel umumnya
bekas yang dapat digunakan langsung menggunakan suatu proses kimia yang
atau dicampur dengan minyak diesel. disebut proses transesterifikasi. Proses ini
Keuntungan penggunaan biodiesel sebagai pada dasarnya adalah mereaksikan minyak
bahan bakar diantaranya adalah, bahan nabati dengan metanol dibantu dengan
baku dapat diperbarui (renewable), dapat katalis. Untuk mendorong agar reaksi bisa
menggantikan bahan bakar diesel tanpa berlangsung ke konversi yang sempurna
perlu melakukan modifikasi mesin, dapat pada temperatur rendah (misalnya paling
mengurangi emisi yang menyebabkan tinggi 120 °C), maka reaktan metanol harus

Hasil Penelitian Industri 20 Volume 24, No. 1, April 2011


ditambahkan dalam jumlah yang sangat didih metanol. Distilasi digunakan sebagai
berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali alat untuk mengambil kembali metanol dari
nisbah stoikhiometrik) dan air produk proses esterifikasi dan dari air cucian
ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa biodiesel pada proses transesterifikasi.
reaksi, yaitu fasa minyak (Destiana et al., Metanol yang diperoleh nantinya akan
2007). Alkohol yang biasa digunakan digunakan kembali pada proses esterifikasi
adalah metanol dan etanol. Metanol dan transesterifikasi selanjutnya
merupakan jenis alkohol yang paling (Prihandana R., 2006). Proses ini
disukai dalam pembuatan biodiesel karena memegang peranan penting di pabrik
metanol (CH3OH) mempunyai keuntungan biodiesel karena berpengaruh terhadap
lebih mudah bereaksi atau lebih stabil aspek ekonomi biodiesel. Dalam studinya,
dibandingkan dengan etanol (C2H5OH) Hasibuan et al., (2009) menyimpulkan,
karena metanol memiliki satu ikatan karbon penggunaan metanol bekas terdistilasi dapat
sedangkan etanol memiliki dua ikatan menghemat 54,8% dari total biaya
karbon, sehingga lebih mudah memperoleh pembelian metanol pada proses produksi
pemisahan gliserol dibanding dengan biodiesel.
etanol. Metanol memiliki massa jenis Proses recovery metanol dapat
0,7915 g/m3 dan titik didih 65 oC, dilakukan dengan menggunakan beberapa
sedangkan etanol memiliki massa jenis 0,79 jenis alat distilasi, salah satunya adalah
g/m3 dan titik didih 79 oC. (Knothe et al., dengan menggunakan alat rotary
2004). Metanol mulia mendidih pada suhu evaporator. Rotary evaporator adalah alat
64,7 0C, namun mulai menguap sebelum yang berfungsi untuk memisahkan suatu
mencapai titik didihnya. Metanol lebih larutan dari pelarutnya sehingga
mudah diperoleh kembali dan didaur ulang dihasilkan ekstrak dengan kandungan
karena tidak membentuk azeotrop dengan kimia tertentu sesuai yang diinginkan.
air dan relatif menghasilkan metanol murni Cairan yang ingin diuapkan biasanya
yang dapat digunakan kembali. Metanol ditempatkan dalam suatu labu yang
dapat diperoleh kembali diakhir proses atau kemudian dipanaskan dengan bantuan
hanya dari fasa gliserol, karena sekurang- penangas, dan diputar. Uap cairan yang
kurangya 70% dari jumlah kelebihan dihasilkan didinginkan oleh suatu
metanol berada didalam fasa gliserol. pendingin (kondensor) dan ditampung
(Suratno et al., 2007 dalam Gerpen et al., pada suatu tempat (receiver flask).
2004). Kecepatan alat ini dalam melakukan
Penggunaan metanol dalam jumlah evaporasi sangat cepat, terutama bila
besar pada proses sistesa biodiesel akan dibantu oleh vakum. Kelebihan lainnya
menimbulkan masalah dikemudian hari dari alat ini adalah diperolehnya kembali
seperti meningkatnya biaya produksi untuk pelarut yang diuapkan. Prinsip kerja alat
pembelian metanol, menghasilkan limbah ini didasarkan pada titik didih pelarut dan
buangan yang akan menimbulkan adanya tekanan yang menyebabkan uap
pencemaran lingkungan, mudah terjadinya dari pelarut terkumpul di atas, serta
kebakaran, kesulitan dalam transportasi dan adanya kondensor (suhu dingin) yang
penyimpanan serta akan menimbulkan menyebabkan uap ini mengembun dan
dampak negatif terhadap kesehatan manusia akhirnya jatuh ke tabung penerima.
karena metanol bersifat racun (Dhar et al,. Setelah pelarutnya diuapkan, akan
2009). Untuk mengatasi masalah tersebut, dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk
perlu dilakukan proses pemurnian kembali padatan atau cairan (Nugroho et al.,
(recovery). Proses recovery metanol 1999).
dilakukan dalam alat distilasi yang bekerja Penelitian ini bertujuan untuk
pada tekanan 1 atm pada temperatur titik mempelajari proses pemurnian metanol

Hasil Penelitian Industri 21 Volume 24, No. 1, April 2011


hasil esterifikasi dan transesterifikasi 2.3 Prosedur Kerja
biodiesel dari minyak goreng bekas dengan
mempelajari pengaruh suhu dan waktu Penelitian diawali dengan analisa
terhadap yield metanol yang dihasikan metanol proses esterifikasi dan
menggunakan peralatan rotary evaporator. transesterifikasi meliputi analisa densitas,
Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian viskositas dan uji visual terhadap warna.
densitas, viskositas, uji visual terhadap Metanol yang telah diuji tersebut untuk
warna dan tingkat kemurnian metanol selanjutnya dilakukan proses recovery
dengan menggunakan Gas Chromatgraphy menggunakan alat rotary evaporator
(GC). kapasitas 500 ml dengan temperatur proses
untuk metanol hasil esterifikasi adalah 60,
2. METODE PENELITIAN 65, 70 dan 75 oC sedangkan temperatur
untuk metanol transesterifikasi adalah 75,
2.1 Bahan 80, 85 dan 90 oC. Waktu proses evaporasi
yang diperlukan untuk kedua jenis metanol
Bahan yang digunakan dalam tersebut adalah 1, 2, 3 dan 4 jam.
penelitian ini adalah metanol dari proses Produk metanol yang dihasilkan
esterifikasi dan metanol dari proses dilakukan pengujian meliputi uji densitas,
transesterifikasi. Sebagai bahan pembanding viskositas dan uji visual terhadap warna.
pada pengujian komponen juga digunakan Sedangkan untuk pengujian komponen
metanol teknis. dengan Gas Chromatography (GC)
dilakukan menggunakan sampel campuran
2.2 Alat dari metanol hasil esterifikasi dan
transesterifikasi, juga dilakukan pengujian
Alat yang digunakan dalam penelitian komponen terhadap metanol teknis yang
ini adalah seperangkat alat rotary akan digunakan sebagai produk
evaporator (Heidolph Laborata 4003), pembanding. Terakhir data yang diperoleh
neraca analitik (Radwag WPS 3100/c/1), diolah dan disimpulkan.
viskometer oswald, piknometer (Iwaki 5
ml), Gas Chromatography (Shimadzu GC 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
2010 Seri 10276) dan alat-alat gelas
lainnya. 3.1 Analisa Awal Bahan Baku Metanol

Analisa awal bahan baku metanol


proses esterifikasi dan transesterifikasi
meliputi analisa densitas, viskositas dan
pengamatan visual terhadap warna. Data
pengujian yang telah dilakukan disajikan
pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat
dilihat bila dibandingkan dengan metanol
teknis, terdapat perbendaan nilai densitas,
viskositas dan warna. terhadap kedua jenis
metanol hasil sintesa biodiesel. Terjadinya
perbedaan tersebut disebabkan adanya
pengotor seperti air, sabun, gliserol dan sisa
Gambar 1. Alat Rotary Evaporator katalis yang larut kedalam metanol pada
saat proses sintesa biodiesel berlangsung.

Hasil Penelitian Industri 22 Volume 24, No. 1, April 2011


Tabel 1. Analisa awal metanol hasil 3.2 Proses Recovery Metanol
esterifikasi dan transesterifikasi
Bahan Baku 3.2.1 Recovery metanol dari proses
Parameter Metanol hasil Metanol hasil esterifikasi
esterifikasi transesterifikasi
Densitas
Proses recovery metanol dari proses
799 910 esterifikasi ditampilkan pada Gambar 3.
(kg/cm2)
Viskositas Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa
0,651 1,275
(mm2/s) produk distilat berupa metanol mulai
Warna
Kuning Putih dihasilkan pada temperatur diatas 60 0C
kecoklatan susu dengan yield maksimum yang dapat
dihasilkan adalah pada temperatur 70 0C
Hasil pengamatan visual terhadap yaitu sebesar 96,5 % dengan berbagai
warna metanol proses esterifikasi dan waktu proses dan akan konstan pada
transesterifikasi disajikan pada Gambar 2. temperatur 75 0C. Metanol mulai menguap
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat pada temperatur 65 0C, namun karena
terjadinya perubahan warna yang berbeda adanya kandungan gliserol dan sisa katalis
antara metanol proses esterifikasi dan yang larut dalam metanol selama proses
transesterifikasi. Metanol proses esterifikasi esterifikasi membuat titik didih metanol
menunjukkan warna kuning kecoklatan, naik. Hasil ini sama dengan penelitian yang
sedangkan metanol proses transesterifikasi dilakukan oleh Hasibuan et al. (2009) yaitu
menunjukkan warna putih susu. Pada proses temperatur maksimum pada 70 – 75 0C.
esterifikasi, metanol akan bereaksi dengan Berdasarkan Gambar 3 juga dapat dilihat
minyak nabati untuk mengkonversi asam tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap
lemak bebas (free fatty acid) dan trigliserida waktu proses, semua variabel waktu proses
menjadi metil ester (biodiesel) dan gliserol yang digunakan (1, 2, 3 dan 4 jam)
(Hikmah et al., 2010). menunjukkan kecenderungan yang sama
yaitu yield maksimum dihasilkan pada
temperatur 70 – 75 oC.

100
90
80
70
Yield (%)

60
50
40
A. Metanol hasil B. Metanol hasil 30
esterifikasi transesterifikasi 20
10

Gambar 2. Metanol hasil sintesa biodiesel 0


60 65 70 75
Suhu (oC)

1 Jam 2 jam 3 jam 4 Jam


Adanya larutan gliserol dalam
metanol akan menyebabkan perubahan Gambar 3. Hubungan yield metanol dari
warna metanol dari warna bening menjadi proses esterifikasi terhadap
kuning kecoklatan. Sedangkan metanol temperatur dan waktu
hasil transesterifikasi juga mengalami
perubahan dari warna bening menjadi 3.2.2 Recovery metanol dari proses
warna putih susu, hal ini disebabkan karena transesterifikasi
metanol yang digunakan untuk dimurnikan
kembali adalah metanol dari hasil proses Proses recovery metanol dari proses
pencucian biodiesel yang banyak transesterifikasi ditampilkan pada Gambar
mengandung air, sabun dan sisa katalis. 4. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat

Hasil Penelitian Industri 23 Volume 24, No. 1, April 2011


bahwa produk distilat berupa metanol mulai 70
dihasilkan pada temperatur diatas 75 0C 60

dengan yield maksimum yang dapat 50

Yield (%)
dihasilkan adalah pada temperatur 90 0C 40

yaitu sebesar 64 % dengan waktu proses 4 30

jam. Terjadinya peningkatan temperatur 20

proses recovery metanol dari proses 10

transesterifikasi karena sebagian besar


0
75 80 85 90
Suhu (oC)
produk yang akan di recovery berupa air 1 Jam 2 Jam 3 Jam 4 Jam

dari proses pencucian biodiesel dan sisanya Gambar 4. Hubungan yield metanol dari
adalah metanol. Bercampurnya air dalam proses transesterifikasi terhadap
metanol menyebabkan kenaikan temperatur temperatur dan waktu
distilasi karena titik didih air adalah 100 0C.
Meskipun yield metanol dapat 3.3 Analisa Mutu Metanol Hasil
ditingkatkan dengan menaikan temperatur Distilasi
proses diatas 90 0C, namum dikhawatirkan
produk metanol yang dihasilkan akan Hasil analisa mutu metanol hasil
bercampur dengan air mengingat pada distilasi yang meliputi uji densitas,
temperatur diatas 90 0C hampir mendekati viskositas dan warna disajikan pada Tabel
temperatur titik didih air sehingga metanol 2. Dari hasil analisa mutu metanol hasil
yang dihasilkan tidak dapat lagi digunakan distilasi yaitu berupa metanol proses
untuk proses sintesa biodiesel karena akan transesterifikasi dan metanol proses
terjadinya penyabunan. Adanya kandungan esterifikasi menunjukkan nilai densitas yang
air dalam metanol dapat menyebabkan sama yaitu sebesar 854 kg/cm2. Perbedaan
terjadinya penyabunan pada saat proses hanya terjadi pada nilai viskositas yaitu
transesterifikasi berlangsung sehingga akan sebesar 0,805 mm2/s dari metanol proses
menghalangi reaksi katalis dan metanol transesterifikasi dan 0,628 mm2/s dari
yang seharusnya bereaksi dengan minyak metanol proses esterifikasi. Jika
tetapi terhalang oleh pembentukan sabun dibandingkan dengan metanol teknis yang
sehingga meningkatkan waktu proses dan digunakan sebagai pembanding dapat dilihat
dapat menurunkan yield biodiesel (Turnip, terjadinya perbedaan nilai densitas dan
2008., Omar, 2009). viskositas yang signifikan, hal ini disebakan
Berdasarkan Gambar 4 juga dapat oleh masih adanya sisa pengotor didalam
dilihat bahwa waktu proses sangat metanol hasil distilasi baik yang berasal dari
mempengaruhi yield distilat yang metanol proses transesterifikasi maupun
dihasilkan. Yield rata-rata distilat terendah metanol dari proses esterifikasi.
dihasilkan dengan waktu proses 1 jam yaitu
sebesar 22,62%, sedangkan yield rata-rata Tabel 2. Analisa mutu metanol hasil
tertinggi dihasilkan dengan waktu proses 4 distilasi
jam yaitu sebesar 34,50%. Perbedaan waktu
Bahan Baku
proses tersebut dipengaruhi oleh adanya
kandungan air yang tinggi didalam metanol Metanol
Parameter Metanol
Proses Metanol
hasil transesterifikasi, sehingga pada awal Proses
Trans- Teknis
proses distilasi akan terjadinya peningkatan esterifikasi
Esterifikasi
temperatur air terlebih dahulu hingga Densitas
854 854 791
mencapai titik kesetimbangan dengan (kg/cm2)
temperatur metanol, setelah itu metanol Viskositas
0,805 0,628 0,737
akan menguap secara bertahap yang diikuti (mm2/s)
Warna Bening Bening Bening
oleh bertambahnya waktu proses.

Hasil Penelitian Industri 24 Volume 24, No. 1, April 2011


Hasil pengamatan terhadap warna yang diperoleh memang benar merupakan
seperti disajikan pada Gambar 5, senyawa metanol. Hasil analisa GC
menunjukkan persamaan warna produk disajikan pada Gambar 6, untuk bahan
akhir baik produk metanol dari proses pembanding diidentifikasi juga senyawa
esterifikasi maupun metanol metanol teknis yang disajikan pada Gambar
transesterifikasi yaitu berwarna bening. 7. Metanol yang digunakan untuk
Warna tersebut sama dengan warna yang identifikasi GC ini adalah berasal dari
berasal dari produk metanol teknis. campuran metanol proses esterifikasi dan
metanol proses transesterifikasi yang telah
dilakukan proses recovery.
Identifikasi senyawa-senyawa yang
terkandung dalam metanol hasil distilasi
dilakukan dengan menganalisa puncak-
puncak yang memiliki persentase tertinggi.
Tiap puncak hasil GC dibandingkan dengan
hasil uji metanol teknis (Gambar 7).
Gambar 5. Metanol hasil distilasi Berdasarkan data pada Gambar 6 diketahui
bahwa terdapat 3 puncak tertinggi dari
produk metanol hasil distilasi yaitu
3.4 Identifikasi Senyawa Metanol Hasil
kandungan metanol (99,86%) pada puncak
Distilasi Menggunakan Gas
Chromatography (GC) kedua dan sisanya merupakan pengotor
pada puncak ke satu dan puncak ketiga.
Identifikasi dengan alat GC dilakukan Pengotor tersebut kemungkinan adalah
untuk menyakinkan bahwa produk metanol berupa sisa gliserol, sabun dan katalis.

Gambar 6. Hasil Uji GC metanol hasil distilasi

Gambar 7. Hasil Uji GC metanol teknis

Hasil Penelitian Industri 25 Volume 24, No. 1, April 2011


4. KESIMPULAN Kimia Fakultas Teknik. Institut
Teknologi Bandung. Bandung
Berdasarkan pada hasil dan
pembahasan sebelumnya, maka dapat Dhar, RB., Kirtania, K. 2009. Excess
disimpulkan sebagai berikut: Methanol Recovery In Biodiesel
1. Analisa awal produk metanol dari Production Process Using A
proses esterifikasi menunjukkan nilai Distillation Column: A Simulation
densitas sebesar 799 kg/cm2, viskositas Study. Chemical Engineering
0,651 mm2/s dan berwarna kuning Research Bulletin. 13: 55 – 60.
kecoklatan. Sedangkan untuk metanol
hasil transesterifikasi menunjukkan nilai Hasibuan S., Sahirman., Zain RE. 2009.
densitas 910 kg/cm2 , viskositas 1,275 Studi Efektifitas Metanol Recovery
mm2/s dan berwarna putih susu. Pada Proses Pembuatan Biodiesel
2. Proses recovery metanol dari proses dari Minyak Nyamplung. Jurusan
esterifikasi, produk distilat mulai Teknologi dan Managemen Industri
dihasilkan pada temperatur diatas 60 0C Agro. Fakultas Agribisnis dan
dengan yield maksimum yang dapat Teknologi Pangan. Universitas
dihasilkan adalah sebesar 96,5 % pada Djuanda. Bogor.
temperatur 70 0C. Sedangkan metanol
dari proses transesterifikasi, produk Hikma, N.H., Zuliana. 2010. Pembuatan
distilat mulai dihasilkan pada temperatur Metil Ester (Biodiesel) dari Minyak
diatas 75 0C dengan yield maksimum Dedak dan Metanol dengan Proses
yang dapat dihasilkan sebesar 64 % Esterifikasi dan Transesterifikasi.
pada temperatur 90 0C. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia
3. Hasil analisa mutu metanol yang Fakultas Teknik Universitas
dihasilkan meliputi analisa densitas, Diponegoro. Semarang.
viskositas dan warna menunjukkan nilai Knothe G., Gerven VJ dan Kralh J. 2004.
densitas yang sama yaitu sebesar 854 The Biodiesel Hand Book. Illinois
kg/cm2. Perbedaan hanya terjadi pada USA. AOCS Press Champaing.
nilai viskositas yaitu sebesar 0,805
mm2/s dari metanol proses Nugroho, B. W., Dadang., Prijono, D.
2
transesterifikasi dan 0,628 mm /s dari 1999. Pengembangan dan
metanol proses esterifikasi. Pemanfaatan Insektisida Alami.
4. Identifikasi senyawa-senyawa yang Pusat Kajian Pengendalian Hama
terkandung dalam metanol hasil distilasi Terpadu. Institut Pertanian Bogor.
menggunakan alat GC diketahui bahwa Bogor.
terdapat 3 puncak tertinggi dari produk
metanol hasil distilasi dengan Omar, N., Nordin, N., Mohamed, M., Amin,
kandungan metanol metanol tertinggi S. 2009. A Two-Step Biodiesel
sebesar 99,86% pada puncak kedua dan production From Waste Cooking Oil:
sisanya merupakan pengotor. Optimization of Pre-Treatment Step.
Journal of Appied Science 9 (17): 3098-
DAFTAR PUSTAKA 3103.

Destianna M., Zandy A., Nazef., dan Prihandana, P., Hendroko, R., Munamin, M.
Puspasari S. 2007. Intensifikasi 2006. Menghasilkan Biodiesel
Proses Produksi Biodiesel. Laporan Murah, Mengatasi Polusi dan
Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Kelangkaan BBM. Jakarta. Agro
ITB Bidang Energi Penghargaan PT. Media Pustaka.
Rekayasa Industri. Jurusan Teknik

Hasil Penelitian Industri 26 Volume 24, No. 1, April 2011


Sahirman., Suryani, A., Mangunwidjaya, Turnip, G.P. 2008. Pengaruh Metanol dan
D,. Sukardi., Sudrajat, R. 2008. NaOH Terhadap Yield dan Mutu
Pengujian Sifat Fisiko-Kimia, Minyak Jarak Sebagai Subtitusi
Kinerja dan Pengaruh Pada Mesin Bahan Bakar Solar. Skripsi,
Terhadap Biodiesel Dari Minyak Departemen Teknologi Pertanian
Biji Bintangur (Callophyum Fakultas Pertanian Universitas
inopylum). Seminar Nasional Hasil Sumatra Utara. Medan.
Penelitian 2008. Bogor.

Hasil Penelitian Industri 27 Volume 24, No. 1, April 2011


STUDI PENGARUH PELARUT TERHADAP KINERJA MEMBRAN
SELULOSA ASETAT PADA PROSES KLARIFIKASI NIRA TEBU
SECARA ULTRAFILTRASI
(Study of Solvent Influence on The Performance of Cellulose Acetate
Membranes in The Clarification Process of Sugar Cane with Ultrafiltration)
Sofyana*, Sri Mulyati, Fifi Winarti Adly dan Zaghraini Maghfirah
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Unsyiah, Banda Aceh
*E-mail : sofyana71@yahoo.co.id

ABSTRAK. Penggunaan membran ultrafiltrasi untuk proses klarifikasi nira tebu


merupakan suatu alternatif yang menarik jika dilihat dari keunggulan keunggulan yang
dimiliki. Salah satu keunggulan adalah tidak membutuhkan lahan yang luas dan bahan-
bahan kimia sehingga dapat mengurangi biaya operasi serta dapat memecahkan masalah
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh bahan kimia. Penelitian yang dilakukan ini
mempelajari kemampuan membran ultrafiltrasi yang dibuat dengan teknik inversi fasa
menggunakan polimer selulosa asetat dengan pelarut yang divariasikan yaitu aseton dan
tetrahidrofuran dalam proses klarifikasi nira tebu. Perbedaan pelarut akan menghasilkan
membran yang memiliki struktur yang berbeda dan struktur membran sangat mempengaruhi
kinerja membran. Pada Penelitian ini kajian yang dilakukan mencakup pengaruh pelarut
yaitu Aseton dan Tetrahidrofuran (THF) pada proses klarifikasi nira tebu serta pengaruh
tekanan operasi terhadap kinerja membran dalam menghasilkan fluks permeat nira yang
tinggi dan selektivitas terhadap senyawa-senyawa yang tidak diinginkan ( protein, wax,
gum, dll) dan dapat menghasilkan nira yang mengandung sukrosa sebanyak mungkin. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai permeabilitas (Lp) membran dengan pelarut
aseton (CA1) memiliki nilai Lp yang lebih besar dibandingkan membran dengan pelarut
THF (CA2). Nilai rejeksi membran CA2 lebih besar dibandingkan rejeksi pada membran
CA1, dimana rejeksi yang dihitung adalah untuk nilai sukrosa.

Kata Kunci : aseton, membran, nira tebu, selulosa asetat, tetrahidrofuran, ultrafiltrasi

ABSTRACT. The use of ultrafiltration membrane was one of the interesting alternatives
for clarification process of tap liquid of sugarcane. The membrane needed small area and
no chemicals that reduce operation cost and environmental impact. This research was aimed
to study the ability of ultrafiltration membrane made by phase inversion technique using
cellulose acetate with various solvent (acetone and tetrahydrofuran). Different solvent gives
different membrane structure which has big effect on membrane performance. This research
was done to study the effect of solvent (acetone and tetrahydrofuran (THF)) on clarification
process of sugarcane liquid and effect of operation pressure on membrane activity in
producing high flux of permeate and selectivity of desired substances (protein, wax, gum,
etc) and produced high sucrose sugarcane liquid. The results showed that the permeability
(Lp) of membrane with acetone (CA1) was higher than membrane with THF (CA2).
Rejection value of CA2, based on sucrose value, is higher than CA1.

Keywords : acetone, cellulose acetate, membrane, sugarcane liquid, tetrahydrofuran,


ultrafiltration

Hasil Penelitian Industri 28 Volume 24, No. 1, April 2011


1. PENDAHULUAN dari campurannya. Proses pemisahan yang
merupakan perpindahan materi secara
Nira mentah yang dihasilkan dari unit selektif disebabkan adanya gaya dorong
penggilingan industri gula mengandung salah satunya adalah gradien tekanan (∆P).
beberapa komponen seperti protein, starch, Ultrafiltrasi merupakan salah satu jenis
gum,wax, zat warna, sukrosa dan zat-zat membran yang menggunakan membran
tersuspensi lainnya. Senyawa-senyawa bersifat semi permeabel.
bukan gula akan menurunkan rendemen Pembuatan membran dapat dilakukan
gula yang terbentuk selama proses dengan beberapa teknik, salah satunya
kristalisasi, karenanya proses pemurnian adalah teknik inversi fasa. Inversi fasa
atau klarifikasi nira tebu merupakan proses prinsipnya didasarkan pada proses
yang sangat penting dalam pembuatan gula pembuatan membran yang mencakup dua
pasir. Sebagian besar industri gula dalam fasa yaitu fasa cair yang akan berubah
unit klarifikasinya masih menggunakan menjadi fasa padat. Pada fasa padat
proses sulfitasi, karbonatasi dan defekasi. membran mempunyai dua lapisan yang
Proses defekasi dilakukan dengan memiliki struktur asimetrik akibat pengaruh
menambahkan kapur (CaO) yang berfungsi penguapan pada saat pencetakan. Kedua
sebagai penjernih nira dan mengendapkan lapisan tersebut adalah lapisan aktif dan
sebagian besar zat bukan gula. Pada proses lapisan penyangga. Lapisan aktif adalah
sulfitasi ditambahkan gas SO2 yang lapisan yang kontak langsung dengan materi,
berfungsi untuk menghilangkan kelebihan yang selektif terhadap berbagai materi
kapur, sedangkan proses karbonatasi untuk umpan, sedangkan lapisan penyangga
menghilangkan kelebihan kapur (support) berfungsi untuk menyangga
ditambahkan gas CO2. Dengan lapisan aktif. Lapisan penyangga
menggunakan proses klarifikasi ini, industri mengandung lebih banyak pori.
gula masih dihadapkan dengan sulitnya Dalam proses pembuatan membran
memisahkan komponen pengotor nira pemilihan sistem pelarut dan non-pelarut
tersebut. Masalah lain yang cukup mendasar akan sangat mempengaruhi struktur
adalah energi yang dibutuhkan dalam unit membran yang dihasilkan. Terdapat
klarifikasi ini sangat tinggi sehingga beberapa pelarut yang dapat digunakan
membutuhkan biaya yang sangat besar. untuk membran yang dibuat dari polimer
Selain itu limbah kimia yang dihasilkan selulosa asetat diantaranya: Dimetil
sebagai produk samping dapat mencemari formamida (DMF), Dimetil asetamida
lingkungan. (Bahrumsyah,2001). (DMAC), Aseton, Dioksan, Tetrahidrofuran
Teknologi membran merupakan salah (THF),Asam Asetamida (HAc),
satu alat pemisah yang dapat digunakan Dimetilsulfoksida (DMSO). Membran yang
pada proses klarifikasi nira tebu. Proses dibuat dengan pelarut DMF dan non-pelarut
pemisahan dengan membran yang memiliki air akan mengikuti mekanisme
beberapa keunggulan diantaranya prosesnya pembentukan instanteneous demixing
dapat berlangsung secara kontinyu, dan sedangkan membran yang dibuat dengan
tidak membutuhkan zat kimia tambahan pelarut aseton dan non-pelarut air akan
pada proses pemisahannya. Oleh karena itu menghasilkan mekanisme delayed demixing
maka membran merupakan salah satu (Mulder, 1991).
teknologi yang cukup kompetitif pada Pada penelitian yang dilakukan ini
proses klarifikasi nira tebu ini. (Prior Art. pembuatan membran dilakukan dengan
Com, 2005). proses inversi fasa secara presipitasi imersi.
Membran dapat didefinisikan sebagai Polimer yang digunakan untuk pembuatan
suatu lapisan tipis yang selektif membran ini adalah Selulosa Asetat (CA)
memisahkan dua atau lebih komponen zat dan pelarut divariasikan yaitu aseton dan

Hasil Penelitian Industri 29 Volume 24, No. 1, April 2011


Tetrahidrofuran (THF). Pelarut divariasikan dan formamida 10% campuran ini akan
bertujuan untuk mengetahui pelarut mana membentuk suatu larutan dope. Dilanjutkan
yang memberikan hasil yang lebih baik dengan Debubbling untuk menghilangkan
terhadap kinerja membran. Proses gelembung-gelembung yang mungkin
klarifikasi nira tebu dengan membrane ini terbentuk pada larutan dope dengan cara
bertujuan untuk mengurangi atau penyimpanan dalam lemari es. Selanjutnya
menghilangkan semua komponen yang dilakukan proses casting (pencetakan) dan
tidak diinginkan yang terdapat dalam nira proses penguapan dilakukan selama 20
(protein, wax, gum) dan dapat detik. Membran yang telah dicetak
menghasilkan nira yang mengandung dimasukkan dalam bak koagulasi hingga
sukrosa sebanyak mungkin. membran terlepas dengan sendirinya dari
plat kaca (proses demixing). Dilanjutkan
2. METODOLOGI PENELITIAN dengan proses annealing pada temperatur
70 oC, suhu tersebut tetap dipertahankan
Peralatan utama yang digunakan pada selama 10 menit dan selanjutnya suhu
penelitian ini adalah seperangkat peralatan diturunkan secara alamiah hingga mencapai
ultrafiltrasi. Peralatan untuk membuat suhu ruang.
membran yaitu: pelat kaca yang telah Membran sudah dapat digunakan atau
dibatasi selotip untuk tempat pencetakan dapat disimpan dalam kantong plastik yang
membran, bak koagulasi, water batch. berisi air dan disimpan di lemari es sebelum
Refraktometer UV-Vis Shimadzu digunakan untuk mencegah tumbuhnya m
(digunakan untuk mengukur indeks bias), ikroorganisme yang dapat menyumbat pori-
serta peralatan-peralatan pendukung lainnya. pori membran.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan
membran adalah selulosa asetat (Merck, 2.2 Proses Ultrafiltasi
kemurnian 99%), formamida (Merck,
kemurnian 99%) yang ditambahkan sebagai 2.2.1 Penentuan koefisien permeabilitas air
aditif berfungsi sebagai swelling agent, murni (Lp)
aseton (Merck, kemurnian 99,5%), dimetil
formamida (Merck, kemurnian 99%). Modul dirangkai dengan pompa
Bahan lainnya adalah nira tebu dan aqua. bertekanan. Setelah membran dipasang pada
modulnya dimasukkan sejumlah 600 ml
Variabel Tetap: aquades kedalam tempat sampel, kemudian
- Konsentrasi Selulosa Asetat (CA) 15 % operasi dimulai dengan mengalirkan udara
- Volume nira 600 ml dengan tekanan sebesar 0,5 bar. Permeat
- Kecepatan putaran pengaduk 250 rpm yang melewati membran ditampung dan
diukur volume permeat sampai dicapai
Variabel Berubah: keadaan steady. Percobaan dilanjutkan
- Tekanan operasi membran: 0.5, 0.75, 1 untuk tekanan 0,75, 1, dan 1,25 bar.
dan 1.25 bar
- Pelarut: Aseton dan Tetrahidrofuran 2.2.2 Penentuan fluks dan rejeksi
(THF)
Umpan nira tebu dimasukkan
2.1 Proses Pembuatan Membran sebanyak 600 ml selanjutnya dilakukan
proses sama dengan penentuan nilai Lp,
Membran berbentuk plat yang dibuat hanya saja pada umpan nira tebu dilakukan
dengan teknik inversi fasa secara presipitasi prose pengadukan dengan agitator. Dari
immersi. Larutan polimer dibuat dengan hasil percobaan ini akan dihitung Fluks (J)
konsentrasi 15% CA, terhadap aseton 75% dan persen rejeksi .

Hasil Penelitian Industri 30 Volume 24, No. 1, April 2011


2.3 Analisis Percobaan 3.1.1 Koefisien permeabilitas air (Lp)

Pengukuran dan analisis yang Hasil percobaan ultrafiltrasi yang


dilakukan mencakup: telah dilakukan untuk menentukan fluks air
- Pengukuran fluks pada berbagai tekanan dan koefisien permeabilitas (Lp) membran
operasi dan variasi pelarut. selulosa asetat dengan pelarut aseton yang
- Penentuan konsentrasi sukrosa dengan selanjutnya disebut sebagai membran CA1
menggunakan Refraktometer dan membran selulosa asetat dengan pelarut
- Penentuan Kandungan Padatan Total THF yang selanjutnya disebut sebagai
membran CA2 dapat dilihat pada Tabel 1.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Fluks Air pada Masing-masing
Penelitian ini difokuskan pada Membran dengan Tekanan yang
tinjauan pengaruh jenis pelarut terhadap Ditentukan
struktur membran yang terbentuk dan
Fluks Air (ml/m2.det)
kinerja membran yang dihasilkan dalam Tekanan
Membran Membran
klarifikasi nira tebu, dimana yang (bar)
CA1 CA2
diinginkan adalah nira yang bebas dari
0,5 8,861 7,278
kotoran-kotoran seperti wax, gum dan
0,75 9,937 8,671
protein serta diharapkan diperolehnya nira
yang memiliki sukrosa sebanyak mungkin 1 11,962 10,253
sehingga rejeksi sukrosa oleh membran 1,25 12,722 11,519
diinginkan sekecil mungkin. Pembahasan
meliputi karakteristik membran selulosa Nilai fluks diperoleh dengan
asetat yaitu permeabilitas membran selulosa menggunakan persamaan (Mulder, 1991)
asetat, pengaruh pelarut terhadap kinerja 1 ∆V
membran yang dihasilkan, yaitu fluks dan J= × …………………… (1)
rejeksi serta pengaruh tekanan operasi A ∆t
terhadap proses klarifikasi nira tebu dengan dimana:
membran. J = Fluks permeasi (l/m2jam)
∆V = Perbedaan volume permeat (l, liter)
A = Perbedaan luas permukaan membran
3.1 Karakteristik Membran Selulosa
Asetat (m2)
∆t = Waktu (jam)
Pemilihan bahan polimer dan jenis
pelarut sangat mempengaruhi kinerja Fluks yang diperoleh sebanding
membran yang dihasilkan. Bahan polimer dengan nilai Lp yang diperoleh, karena nilai
yang digunakan untuk pembuatan membran Lp didapat dari hasil plot nilai fluks dengan
adalah selulosa asetat dengan konsentrasi tekanan operasi. Koefisien permeabilitas air
15% dan pelarut yang digunakan adalah ini menunjukkan kemudahan membran
pelarut aseton dan tetrahidrofuran (THF). untuk dilewati air.
Kinerja membran selulosa asetat dalam Pada Gambar 1 dapat dilihat nilai
proses pemisahan dapat dinyatakan oleh permeabilitas (Lp) membran CA1 adalah
fluks permeat (J) dan rejeksi (R). Sementara sebesar 11,777 ml/m2.det.bar atau 42,397
itu karakteristik membran itu sendiri pada l/m2. jam.bar dan membran CA2 sebesar
penelitian ini dapat dinyatakan oleh 10,309 ml/m2.det.bar atau 37,112
permeabilitas air, ditentukan dengan l/m2.jam.bar. Berdasarkan nilai
menggunakan umpan air murni (aquades). permeabilitas yang diperoleh tersebut diatas
maka membran CA1 dan CA2 termasuk ke

Hasil Penelitian Industri 31 Volume 24, No. 1, April 2011


dalam kategori membran ultrafiltrasi dengan Hal ini dikarenakan membran CA2
batasan permeabilitasnya adalah 10-50 memiliki struktur yang lebih rapat
l/m2.jam.bar (Mulder, 1991). Dari dibandingkan membran CA1 sehingga fluks
permeabilitas ini dapat dilihat bahwa nilai yang diperoleh lebih kecil.
permeabilitas (Lp) membran dengan pelarut
aseton (CA1) memiliki nilai Lp yang lebih 6
besar dibandingkan membran dengan 5

Fluks (ml/m .det)


pelarut THF (CA2). Hal ini menunjukkan 4

2
bahwa membran dengan pelarut aseton 3
(CA1) lebih mudah dilalui oleh air
2
dibandingkan dengan membran yang
menggunakan pelarut THF (CA2). 1
0
0 0.25 0.5 0.75 1 1.25 1.5
16
14
Tekanan (bar)
y = 11,777x
Fluks (m l/m 2 .det)

12 CA1 CA2
10
8 y = 10,309x Gambar 2. Grafik Fluks Nira Tebu pada
6 Membran CA dengan Jenis
4
2 Pelarut yang telah Ditentukan.
0
0 0.25 0.5 0.75 1 1.25 1.5
Bila dibandingkan nilai fluks nira tebu
Tekanan (bar)
dengan fluks air, fluks yang diperoleh untuk
CA1 CA2
nira tebu lebih kecil dibandingkan fluks air,
Gambar 1. Permeabilitas Air pada hal ini dikarenakan sampel air yang
Membran CA dengan Jenis digunakan adalah umpan air murni
Pelarut yang telah Ditentukan. (aquadest) yang telah terbebas dari kotoran-
kotoran. Sedangkan sampel nira tebu lebih
3.1.2 Fluks nira tebu kental dibandingkan air dan masih
mengandung kotoran-kotoran serta
Nilai fluks nira tebu juga diperoleh komponen-komponen yang tidak diinginkan.
dengan menggunakan persamaan 1. Data ini Hal ini menyebabkan nira tebu sukar
dapat dilihat pada Tabel 2. melewati membran dibandingkan dengan air
murni.
Tabel 2. Fluks Nira Tebu pada Masing-
masing Membran dengan
3.1.3 Rejeksi (R)
Tekanan yang Ditentukan
Fluks Nira Tebu Rejeksi (%Robs) diukur berdasarkan
Tekanan (ml/m2.det) persamaan nilai konsentrasi umpan (Cf) dan
(bar) Membran Membran konsentrasi permeat (Cp) dengan
CA1 CA1 menggunakan persamaan berikut ini:
0,5 2,848 2,468
0,75 3,481 3,291 Cf − Cp
Robs = × 100 %
1 5,000 3,671 Cf .……… (2)
1,25 5,633 4,367 dimana:
Robs = R observer
Pada Tabel 2 dan Gambar 2 Cf = Konsentrasi zat terlarut dalam
menunjukkan bahwa fluks nira tebu yang umpan (feed)
diperoleh untuk membran CA1 lebih besar Cp = Konsentrasi zat terlarut dalam
dibandingkan fluks untuk membran CA2. permeat

Hasil Penelitian Industri 32 Volume 24, No. 1, April 2011


Nilai rejeksi berbanding terbalik membran CA1 dan membran CA2 dapat
dengan nilai fluks yang diperoleh. Semakin dilihat bahwa kandungan sukrosa dari
besar nilai fluks, maka nilai rejeksi yang permeat membran CA1 lebih besar
diperoleh akan semakin kecil. Hal ini dibandingkan pada permeat membran CA2.
dikarenakan semakin besar umpan yang Hal ini disebabkan oleh rejeksi yang terjadi
mengalir melewati membran, maka tahanan pada membran CA2 lebih besar
di permukaan membran akan semakin kecil. dibandingkan pada membran CA1, sehingga
Data nilai rejeksi dapat dilihat pada Tabel 3. kandungan sukrosa yang tertahan pada
permukaan membran CA2 lebih banyak
Tabel 3. Rejeksi pada Masing-masing dibandingkan pada membran CA1.
Membran dengan Tekanan yang
Ditentukan Tabel 4. Konsentrasi Sukrosa Umpan dan
Rejeksi (%)
Permeat untuk Kedua Jenis
Tekanan Membran
(bar) Membran Membran
Konsentrasi Sukrosa (gr/ml)
CA1 CA2
Tekanan
0,5 4,267 26,482 (bar) Membran CA1 Membran CA2
0,75 4,092 19,659 Umpan Permeat Umpan Permeat
1 3,783 18,226
0,5 199,879 191,349 225,468 165,759
1,25 3,931 11,795
0,75 208,409 199,879 216,938 174,289

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa 1 225,468 216,938 233,998 191,349


rejeksi membran CA2 lebih besar 1,25 216,938 208,408 216,938 191,349
dibandingkan rejeksi pada membran CA1.
Hal ini karena membran CA2 memiliki 3.2 Pengaruh Tekanan Operasi
struktur lapisan atas yang lebih rapat terhadap Kinerja Membran
sehingga nilai rejeksinya lebih besar.
Tekanan operasi mempengaruhi nilai
Rejeksi yang dihitung adalah untuk
fluks dan nilai rejeksi yang diperoleh.
nilai konsentrasi sukrosa. Pada penelitian ini
Meningkatnya tekanan operasi
diharapkan rejeksi yang diperoleh lebih
menyebabkan terjadinya peningkatan fluks,
kecil, artinya sukrosa yang tertahan di
karena tekanan adalah salah satu gaya
permukaan membran sebaiknya sedikit,
dorong (driving force) pada proses
sehingga diperoleh permeat dengan
perpindahan membran. Hal ini dapat dilihat
kandungan sukrosa yang besar. Karena
pada Gambar 3.
komponen yang diinginkan adalah sukrosa,
sehingga komponen-komponen selain 12 27
sukrosa harus dipisahkan agar diperoleh 24
sukrosa yang murni.
10
21
Rejeksi (%)
Fluks (ml/m .det)

Konsentrasi sukrosa diperoleh dengan 8 18


2

15
menghitung indeks bias dari umpan dan 6
12
permeat nira tebu dengan menggunakan alat 4 9

refraktometer. Dari Tabel 4 dapat dilihat 2


6

bahwa konsentrasi sukrosa yang diperoleh 3


0 0
pada permeat tidak terlalu jauh menurun 0.5 0.75 1 1.25

jika dibandingkan dengan kandungan Fluks CA1


Tekanan (bar)
Fluks CA2 Rejeksi CA1 Rejeksi CA2
sukrosa yang terdapat pada umpan nira tebu,
Gambar 3. Grafik Hubungan Tekanan
artinya melalui membran ini dapat diperoleh
Operasi terhadap Fluks dan
kandungan sukrosa yang masih banyak dan
Rejeksi pada Membran
lebih murni. Dari kedua membran yaitu

Hasil Penelitian Industri 33 Volume 24, No. 1, April 2011


Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa akan terus memadat dan hanya sedikit air
rejeksi terhadap fluks semakin rendah yang mengisi ruang di dalam membran
dengan naiknya tekanan. Oleh karena itu sehingga menghasilkan membran dengan
dengan bertambahnya tekanan operasi struktur yang lebih rapat. Sedangkan pada
menyebabkan penurunan rejeksi, yang membran CA1 dengan mekanisme
disebabkan oleh adanya efek coupling, yaitu pembentukan membran secara
terbawanya zat terlarut bersama permeat instanteneous demixing yaitu difusi antara
sehingga mengakibatkan penurunan rejeksi. pelarut aseton dan non-pelarut air akan
Fluks yang diperoleh semakin meningkat berlangsung cepat sehingga banyak sekali
dengan naiknya tekanan operasi, karena ruang yang terisi non-pelarut air, akibatnya
semakin besar gaya dorong yang diberikan, akan diperoleh membran dengan struktur
maka akan semakin banyak permeat yang yang lebih jarang, yang artinya memiliki
lolos melewati membran. lebih banyak pori.

3.3 Pengaruh Jenis Pelarut terhadap 3.4 Pengaruh Jenis Pelarut dan
Kinerja Membran Tekanan Operasi terhadap
Kandungan Total Solid (TS)
Pemilihan jenis pelarut sangat
mempengaruhi struktur membran yang Total solid merupakan padatan total
terbentuk. Pelarut yang dipilih harus larut yang tidak diinginkan pada sampel nira tebu,
sempurna dengan non-pelarut dan juga karena yang diharapkan permeat nira tebu
harus larut sempurna dengan polimer yang yang terbebas dari kotoran-kotoran dan
dipilih. Pelarut THF memiliki nilai g12 padatan total sehingga diperoleh sukrosa
(affinitas bersama)yang lebih tinggi yang murni. Berdasarkan hasil perhitungan
dibandingkan dengan pelarut aseton. Nilai diperoleh kandungan padatan total pada
g12 yang tinggi menunjukkan pelarut THF umpan nira tebu adalah sebesar 0, 2461
memiliki energi afinitas bersama yang gr/ml. Kandungan padatan total yang
rendah sehingga energi yang dibutuhkan diperoleh pada umpan nira tebu lebih besar
untuk terjadinya pelarutan akan semakin dibandingkan dengan permeatnya. Hal ini
besar, hal ini menyebabkan terjadinya dapat dilihat pada Tabel 5. Dimana pada
mekanisme pembentukan membran secara tekanan yang sama yaitu 0,5 bar, diperoleh
delayed demixing. Sedangkan untuk pelarut kandungan padatan total pada permeat
aseton dengan nilai g12 yang lebih rendah berkurang hingga 50 % dibandingkan
memiliki afinitas bersama yang tinggi umpan nira tebu.
akibatnya pelarutan pelarut ke non-pelarut Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa
memerlukan energi yang relatif lebih rendah. kandungan padatan total untuk masing-
Hal ini menyebabkan terjadinya mekanisme masing membran berbeda, dimana membran
pembentukan membran secara CA1 (membran dengan pelarut aseton)
instanteneous demixing. memiliki kandungan padatan total lebih
Mekanisme pembentukan delayed besar dibandingkan pada membran CA2
demixing yang terjadi pada membran CA2 (membran dengan pelarut THF), hal ini
menghasilkan membran dengan struktur dikarenakan fluks yang diperoleh untuk
lapisan atas yang lebih rapat, karena saat membran CA1 lebih besar dibandingkan
pelarutan polimer selulosa asetat yang telah fluks membran CA2, sehingga semakin
dicetak di atas plat kaca kemudian besar nilai fluks maka akan semakin besar
dicelupkan ke dalam bak koagulasi yang pula padatan total yang ikut lolos melewati
berisi non-pelarut air akan terjadi difusi membran. Hal ini pula yang menyebabkan
yang lambat dari THF ke air yang semakin besar kandungan padatan total
menyebabkan membran sedikit demi sedikit yang diperoleh pada permeat dengan

Hasil Penelitian Industri 34 Volume 24, No. 1, April 2011


naiknya tekanan operasi. Ini terjadi karena lebih besar dibandingkan pada membran
tingginya tekanan, menyebabkan terjadinya CA2 yaitu sebesar 0,1664 gr/ml, pada
laju alir yang besar, akibatnya akan ada tekanan operasi yang sama yaitu 1 bar.
sejumlah padatan total yang ikut bersama 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
permeat sehingga kandungan padatan total membran CA1 lebih tepat digunakan
menjadi besar pada permeat dan untuk proses klarifikasi nira tebu.
menyebabkan nilai rejeksi yang rendah.
Dimana semakin besar tekanan operasi yang DAFTAR PUSTAKA
diberikan maka kandungan padatan total
yang diperoleh akan semakin besar. Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik
Industri Besar dan Sedang. Jakarta.
Tabel 5. Kandungan Total Solid pada
Masing-masing Membran Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik
Total Solid (gr/ml) Industri Besar dan Sedang. Jakarta
Tekanan
Membran
(bar) Membran CA1 Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik
CA2
Industri Besar dan Sedang. Jakarta.
0,5 0,1396 0,1296
0,75 0,1590 0,1351 Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik
1 0,1700 0,1664 Industri Besar dan Sedang. Jakarta.
1,25 0,1950 0,1777 Annonymous. 2006. Geafiltration -
Spectrum Filtration. http://www.
4. KESIMPULAN geafiltration.com/html/technology/cr
oss_flow_filtration.html.
Dari hasil penelitian maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut: Bahrumsyah. 2001. Ultrafiltrasi untuk
1. Koefisien permeabilitas (Lp) yang Klarifikasi Nira Tebu. Program Studi
dihasilkan pada membran CA1 Teknik Kimia Program Pascasarjana
(membran dengan pelarut aseton) yaitu ITB. Bandung.
sebesar 11,777 ml/m2.det.bar, memiliki
nilai lebih besar dibandingkan dengan Kaseno, Sasmito Wulyoadi dan Koesnandar.
membran CA2 (membran dengan pelarut 2003. Penerapan Teknologi
THF) yaitu sebesar 10,309 ml/m2.det.bar. Membran Ultrafiltrasi pada
2. Fluks pada membran CA1 yaitu sebesar Pemurnian Nira Tebu pada Pabrik
5,000 ml/m2.det, memiliki nilai lebih Gula. Balai Pengkajian Bioteknologi
besar dibandingkan membran CA2 yaitu BPPT. Puspitek. Tangerang.
sebesar 3,671 ml/m2.det, pada tekanan Kementerian Riset dan Teknologi.
yang sama yaitu 1 bar untuk sampel nira http://www.iptek.net.id/ind/?ch=jsti
tebu. &id=25.
3. Rejeksi pada membran CA1 lebih kecil
dibandingkan membran CA2 dengan Mulder, Marcel. 1991. Basic Principle of
nilai masing-masing yaitu sebesar Membranes Technology. Nederlands.
3,783 % dan 18,226 % pada tekanan 1 Kluwer Academics Publisher.
bar.
Sofyana. 2003. Penurunan Kandungan
4. Semakin besar tekanan operasi yang
Senyawa Organik dan Ion-ion dalam
diberikan, maka fluks yang diperoleh
Air Menggunakan Membran
akan semakin besar, dan rejeksi yang
Nanofiltrasi. Departemen Teknik
didapat akan semakin kecil.
Kimia Program Pascasarjana ITB.
5. Total solid pada membran CA1 yaitu
Bandung.
sebesar 0,1700 gr/ml, memiliki nilai

Hasil Penelitian Industri 35 Volume 24, No. 1, April 2011


PEMBUATAN COCO-DIETHANOAMIDA DENGAN REAKTOR HIGH
MIXING HOMOGENIZER
(The Production of Coco-Diethanoamida in High Mixing Homogenizer
Reactor)

Dwinna Rahmi* dan Retno Yunilawati


Balai Besar Kimia dan Kemasan,
Jl. Balai Kimia No. 1 Pekayon Jakarta Timur
*E-mail: dwinna2002@yahoo.com

ABSTRAK. Coco-dietanolamida merupakan surfaktan nonionik yang terbuat dari turunan


kelapa. Surfaktan jenis ini banyak dipakai sebagai bahan penstabil atau pengembang busa
untuk mempertahankan stabilitas busa sabun cair atau shampoo yang berkurang karena
adanya kotoran. Telah dilakukan penelitian pembuatan coco-dietanolamida dari minyak
kelapa dengan reaktor high mixing homogenenizer. Ada dua tahap pembuatan coco-
dietanolamida yaitu; pembuatan metil ester dan pembuatan coco-dietanolamida. Metil ester
minyak kelapa murni dihasilkan pada kondisi reaksi; suhu 60 oC, kecepatan pengadukan 100
rpm dan waktu 2 jam. Metil ester dicuci dengan aquades dan dipisahkan dengan pengotor
lainnya pada suhu produk rendah yaitu 4 oC. Sementara itu coco-dietanolamida dihasilkan
dengan mereaksikan metil ester dengan dietanolamin pada suhu 60–100 oC, kecepatan
pengadukan 200 rpm dan waktu 2 jam. Dihasilkan coco-dietanolamida dengan kandungan
amida ±98 %, FFA 0.46%, total amin 0,06 %, pH 9,3, tegangan permukaan 39,2 dyne/cm
dan tegangan antar muka 14 dyne/cm.

Kata kunci: asam lemak bebas, coco-dietanolamida, metil ester, reaktor high mixing
homogenizer, tegangan antar muka, tegangan permukaan

ABSTRACT. Coco-diethanolamide is nonionic surfactant derivate from coconut. This


surfactant is widely used as stabilizer or foaming agent for liquid soap or shampoo to
maintain their form stabilizes. In this research, coco-diethanolamide was produced by using
a high mixing homogenizer reactor. The optimal reaction conditions of processe such as
temperature, reaction speed and reaction time were investigated. There are two steps
processes were performed, they are methyl ester and then coco-diethanolamide. Methyl ester
is occurring at 60 oC and 100 rpm for 2 hours reaction. When temperature of product was
low (below 4 oC), hence methyl ester was separated and washed. Coco-ditehnolamide was
producted by reaction of methyl ester and diethanolamine at 60-100 oC, 200 rpm and 2
hours. The quality of coco-diethanolamide product are amide contain ± 98 %, free fatty acid
0,46 %, amine total 0,06 %, pH 9,3, surface tension 39,2 dyne/cm and interface tension 14
dyne/cm.

Keyword: coco-diethanolamide, free fatty acid, high mixing homogenizer, interface


tension, methyl ester, surface tension

Hasil Penelitian Industri 36 Volume 24, No. 1, April 2011


1. PENDAHULUAN Walaupun kebutuhan industri di
Indonesia akan coco-DEA sepenuhnya
Surfaktan sangat dekat dengan masih tergantung pada impor, pengolahan
kehidupan kita dan memegang peranan kelapa khususnya dan komoditi agro pada
penting dalam berbagai bidang dan produk umumnya masih terfokus pada produk
seperti deterjen, tektil, emulsi, cat, perekat, makanan seperti minyak goreng (APCC,
tinta, anti-kabut, kimia agro (herbisida atau 2008). Hal ini mungkin disebabkan karena
insektisida), kosmetik (shampo, conditioner, masih tingginya biaya proses pembuatannya
pasta gigi), perminyakan dan lain-lain. yang tidak seimbang dengan harga jual bila
Surfaktan dihasilkan dari pengolahan dibandingkan dengan harga jual minyak
minyak/lemak (Suu M., 2000). Pengolahan kelapa.
minyak/lemak yang berasal dari nabati Pada penelitian ini, untuk
dikenal dengan oleokimia. Jenis produk menghasilkan coco-DEA yang berkualitas
oleokimia yang dihasilkan tergantung dari dengan proses yang sederhana, maka
pereaksi yang dipakai dan proses digunakan reaktor high mixing homogenizer
pembuatannya seperti proses pemisahan, dalam pembuatannya. Reaktor ini
esterifikasi, amidasi, epoksidasi, etoksilasi, dilengkapi dengan pengaduk, pemanas dan
hidrogenisasi dan sulfatasi. pendingin yang dikontrol dengan alat
Coco dietanolamida (coco-DEA) pengatur kecepatan pengadukan dan
merupakan surfaktan alkanolamida yang pengatur panas. Pemakaian reaktor ini
disintesis dari reaksi amida antara minyak, dimaksudkan untuk menghindari
asam lemak dan metil ester asam lemak dari berkurangnya produk selama proses
kelapa dengan senyawa amina yaitu berlangsung sehingga proses berjalan
dietanolamina. Surfaktan alkanolamida dengan sempurna.
tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi
pada molekul. Kelebihan dari surfaktan ini 2. METODOLOGI
adalah dapat digunakan pada range pH yang 2.1 Bahan
luas, biodegradable, lembut dan bersifat
non iritasi, baik untuk kulit dan mata, Minyak kelapa dari Barco dipakai
toksisitas rendah dan pembusa yang stabil. sebagai bahan baku pembuatan ester.
Karena sifat inilah surfaktan alkanolamida Metanol, dietanolamin, NaOH, dan Na2SO4
ini dapat dipakai sebagai bahan pangan, anhidrat dari Merck. Metanol sebagai
obat-obatan dan kosmetika. Pada umunya pereaksi dalam pembuatan ester sedangkan
coco-DEA dipakai sebagai bahan penstabil dietanolamin dipakai sebagai pereaksi
atau pengembang busa untuk dalam coco-DEA. Natrium hidroksida
mempertahankan stabilitas busa sabun cair dipakai sebagai katalis baik pada proses
atau shampoo yang berkurang karena esterifikasi maupun pembuatan coco-DEA.
adanya kotoran. Surfaktan ini dikenal Pemakaian NaOH sebagai katalis karena
sebagai pengemulsi (emulsifier) yang sangat lebih mudah didapat dibanding sodium
bagus yang dipakai juga pada industri metilat. Natrium sulfat (Na2SO4) anhydrat
farmasi dan tekstil (rust inhibiting, latex untuk menyerap sisa-sisa air dalam produk
stabilizing, anti-static function in textiles, ester. Coco-DEA dari Albright dan Wilson
dye-leveling, waterproofing and water-in-oil Australia dengan kemurnian 84 %
additives). Selain itu coco-DEA mempunyai digunakan sebagai pembanding dalam
karakter fisiko dan kimia sebagai alkohol, produk yang dihasilkan.
amina dan rantai karbon yang panjang
2.2 Peralatan
dalam satu molekul dengan titik leleh di
bawah 10 oC, titik didih di atas 169 oC, pH 9 Sebuah reaktor high mixing
dan bersifat larut dalam air. homogenizer (Floor Stand Reactor) merk

Hasil Penelitian Industri 37 Volume 24, No. 1, April 2011


Parr 4533 dengan kapasitas 1 L yang kerja dilakukan untuk menyesuaikan
dilengkapi pemanas, pendingin, pengukur metoda dengan fasilitas riset di Balai Besar
suhu, pengatur kecepatan pengadukan Kimia dan Kemasan, Jakarta Timur.
(Gambar 1). Reaktor dipakai untuk Katalis NaOH 4 % dilarutkan dalam
homogenisasi dalam proses esterifikasi dan metanol, minyak kelapa ditimbang dan
amidasi. Reaktor dilengkapi dengan motor dimasukkan ke dalam wadah reaktor lalu
pemutar yang dibaluti spiral pendingin agar ditambahkan larutan katalis. Setelah
reaksi yang dihasilkan lebih sempurna. dipastikan reaktor siap dijalankan, suhu dan
Magnetic stirrer Cimarec 3 untuk kecepatan pengaduk diatur. Suhu
mengaduk katalis supaya larut dalam dipertahankan konstan dengan mengatur
metanol. Neraca analitik dan sebuah aliran air pendingin.
timbangan dari Ohaus untuk menimbang Setelah proses reaksi, produk dituang
bahan-bahan yang dipakai. Alat-alat gelas ke dalam corong pisah dan ester dipisahkan
seperti gelas piala, erlemeyer, corong dari gliserol dan kotoran lainnya. Bagian
pemisah dan lain-lain dipakai ketika larutan ester dicuci dengan aquades hangat
persiapan contoh dan analisa. Sebuah Gas dan aquades dingin. Air yang tertinggal di
Chromatography merek Agilent 6890, dalam ester diserap dengan Na2SO4 anhidrat
column DB 5 MS yang dipakai untuk dan disaring dengan kertas penyaring.
identifikasi hasil produk. Produk didinginkan dalam lemari es pada
suhu di bawah 4 oC selama 24 jam. Dalam
keadaan dingin bagian jernih larutan berupa
ester dipisahkan dari sisa-sisa gliserol.

2.3.2 Proses pembuatan coco-


diethanolamida

Larutan ester ditimbang dan


dimasukkan ke dalam wadah reaktor.
Katalis NaOH dilarutkan pada pereaksi
dietanolamina dan masukkan ke dalam
wadah reaktor, kemudian campuran
direaksikan selama waktu yang ditentukan
dengan mengatur suhu dan kecepatan
pengadukan.
Gambar 1. Reaktor high mixing
homogenizer 2.3.3 Identifikasi produk

2.3 Metodologi Contoh produk dilarutkan


menggunakan metanol (chromatography
Penelitian ini dilakukan tiga tahap grade), dan siap dianalisa menggunakan
yaitu, esterifikasi, proses pembuatan coco- GCMS, dengan fasa gerak gas helium,
dietanolamida dan identifikasi produk. menggunakan mode constant flow. Suhu
oven pada awal diset 100 oC, kemudian
2.3.1 Esterifikasi minyak kelapa dinaikkan 15 oC/menit hingga tercapai suhu
190 oC, dilanjutkan 3 oC/menit hingga
Esterifikasi dilakukan dengan 210 oC dan dilanjutkan kembali 15 oC/menit
mereaksikan minyak kelapa dengan hingga tercapai suhu 280 oC. Selain analisa
monoalkohol atau polyol. Cara kerja coco-DEA produk, dilakukan pula analisa
esterifikasi merupakan modifikasi dari coco-DEA yang ada di pasaran dan
metoda Rita dkk (2008). Modifikasi cara kromatogram keduanya dibandingkan.

Hasil Penelitian Industri 38 Volume 24, No. 1, April 2011


3. HASIL DAN PEMBAHASAN kecil, yaitu 0,2-0,8 % untuk metil kaproat
dan 1-2,5 untuk metil linoleat. Tingginya
3.1 Metil Ester Minyak Kelapa peak metil ester yang teridentifikasi sesuai
dengan urutan persentasi asam lemak yang
Hasil identifikasi kandungan minyak terkandung dalam minyak kelapa.
kelapa dan metil ester dari minyak kelapa Baseline kromatogram dari
menggunakan alat GC-MS ditampilkan pada identifikasi metil ester terlihat rendah dan
Gambar 2. Komponen utama yang ada lurus. Tidak ada peak lain selain metil ester
dalam minyak kelapa adalah asam laurat yang sudah diperkirakan keluar dan
sebesar ±50 % (Tabel 1). Hal ini juga terkandung dalam minyak kelapa. Dari
terlihat pada kromatogram hasil identfikasi kromatogram ini dapat disimpulkan bahwa
GC-MS yang dilakukan. proses, cara pemisahan dan permurnian
Hasil identifikasi metil ester juga yang dilakukan sudah optimal. Karena
menunjukkan ada beberapa metil ester kemurnian metil ester yang dihasilkan
lainnya yang terlihat jelas yaitu metil sudah cukup murni maka tidak dilakukan
kaprilat, metil laurat, metil miristat, metil lagi variabel suhu, waktu dan kecepatan
palmitat, metil oleat dan metil stearat. pengadukan dalam pembuatan metil ester.
Hanya ada dua metil ester yang tidak Metoda esterifikasi ini yang dipakai untuk
terlihat yaitu metil kaproat dan metil memproduksi metil ester dan selanjutnya
linoleat, dimana kandungan keduanya diproses menjadi coco-DEA.
dalam asam lemak minyak kelapa adalah

Tabel 1 Komposisi asam lemak dari minyak kelapa


Asam Lemak Formula Persentase
Kaproat C6H12O2 0.2–0.8
Kaprilat C8H16O2 6–9
Kaprat C10H20O2 6–10
Laurat C12H24O2 46–50
Miristat C14H28O2 17–19
Palmitat C16H32O2 8–10
Stearat C18H36O2 2–3
Oleat C18H34O2 5–7
Linoleat C18H32O2 1–2.5
Abundance Abundance

Minyak kelapa
TIC: ASAM LAURAT2.D
12.02 Metil EsterLAURAT.D
TIC: METIL Minyak Kelapa
1600000
2.08
1500000
2200000
Metil Laurat
Metil Kaprilat

1400000 2000000
Metil Miristat

1300000
1800000
1200000
0.49
Metil Kaprat

1600000 3.29
1100000
Metil Palmitat

1000000 1400000
900000 1.01
Metil Oleat

1200000
800000
1000000 4.55
700000
5.58
Metil Stearat

600000 11.41 800000


500000
11.60
600000
400000 5.75
400000
300000

200000 0.30
10.90 12.22
200000
10.20
10.41 0.44
100000 9.44
9.55

0 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00
Time- - >
Time- - >

Gambar 2. Kromatogram hasil identifikasi minyak kelapa dan metil ester dari minyak
kelapa

Hasil Penelitian Industri 39 Volume 24, No. 1, April 2011


3.2 Coco-Dietanolamida membantu asam lemak terlepas dari
molekul yang mengikatnya. Untuk produk
Identifikasi gugus amida dengan alat coco-DEA diharapkan kandungan FFA
infra merah/IR dimaksudkan untuk rendah. Pada penelitian ini produk coco-
memastikan apakah proses amidasi telah DEA dengan kandungan FFA paling rendah
tebentuk. Struktur amida dari beberapa adalah pada suhu 60–100 oC. Sementara itu
variabel sampel (suhu, kecepatan dan kecepatan pengadukan tidak berpengaruh
waktu) diidentifikasi dengan IR. Karakter signifikan terhadap kandungan FFA. Waktu
peak yang keluar dari setiap sampel hampir reaksi berpengaruh signifikan terhadap
sama untuk setiap sampel. Pada Gambar 3, kandungan FFA, di mana kandungan FFA
ditampilkan spektrum sampel dengan akan meningkat apabila waktu reaksi lebih
kondisi proses yaitu suhu 50 oC, kecepatan lama.
300 rpm dan waktu reaksi 2 jam. Pada Kandungan amin dalam produk coco-
spetrum IR terlihat struktur N-H, C=O dan DEA berasal dari pereaksi dietanolamin
C-N yang diprediksi sebagai struktur amida. yang tidak bereaksi dengan metil ester. Dari
Dari spektrum IR ini dapat disimpulkan hasil yang diperoleh, dietanolamin akan
bahwa proses amidasi dengan alat high bereaksi lebih sempurna dengan metil ester
mixing homogenizer telah terbentuk. apabila suhu reaksi dinaikkan. Kecepatan
Selanjutnya untuk mengetahui kualitas pengadukan sangat berpengaruh terhadap
surfaktan produk coco-DEA maka kandungan amina dimana dengan kecepatan
dilakukan uji asam lemak bebas, tegangan pengadukan yang tinggi kandungan amina
permukaan, dan tegangan antar muka. Hasil meningkat. Hal ini mungkin disebabkan
uji disimpulkan pada Gambar 4. karena pengadukan yang tinggi menurunkan
kontak antara pereaksi dietanolamina
Kondisi;
Struktur kimia amid
dengan metil ester sehingga reaksi tidak
Suhu 50oC,
Kecepatan 300 rpm, N=H
berlangsung sempurna. Namun, waktu
Waktu 2 jam
reaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap
kandungan amina di dalam produk.
Total amida yang dihasilkan tinggi pada
suhu reaksi 60-100 oC dan waktu reaksi 1
N-H jam, akan tetapi total amida menurun
N-H
C-N
dengan naiknya suhu reaksi dan waktu
reaksi yang lama. Suhu dan waktu reaksi
optimal pada total amida berhubungan
dengan kandungan FFA. Total amida tinggi
apabila kandungan FFA rendah. Dari hasil
Gambar 3. Spektrum infra red dari coco- tersebut dapat disimpulkan bahwa suhu
DEA optimal dalam pembuatan coco-DEA adalah
60-100 oC dalam waktu 1 jam. Suryani dkk
Asam lemak bebas (Free Fatty (2006) membuat dietanolamida dari minyak
Acid/FFA) merupakan asam lemak yang kelapa sawit dimana suhu optimal adalah
tidak terikat pada molekul lain seperti 150 oC dan waktu reaksi 3 jam. Apabila
trigliserida dan fospolipid. Pada Gambar 4 kondisi reaksi metil ester minyak kelapa
terlihat bahwa asam lemak bebas meningkat sawit ini dibandingkan dengan kondisi
dengan naiknya suhu reaksi. Suhu yang reaksi metil ester minyak kelapa, dapat
tinggi meningkatkan energi molekul yang dikatakan bahwa kondisi reaksi tergantung
dapat meningkatkan tumbukan antar bahan nabati metil esternya.
molekul per satuan waktu. Dengan
meningkatnya tumbukan antar molekul akan

Hasil Penelitian Industri 40 Volume 24, No. 1, April 2011


0.8 a) b) c)
0.7

Asam Lemak Bebas (%)


0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0.12 d) e) f)
0.1
Total Amin (%)

0.08

0.06

0.04

0.02

120
0 g) h) i)
Total Amida (%)

80

40

0 30 60Suhu90
o
C 120 150 100 200 300 400 500 1 2 3 4 5
Kecepatan (rpm) Waktu (jam)

Gambar 4. Pengaruh kondisi operasi (suhu, kecepatan pengadukan dan waktu) terhadap
kandungan asam lemak bebas/FFA, total amin dan total amida.

16 a) b) c)
Tegangan antar muka

12
(Dyne/cm)

0 d) e) f)
Tegangan permukaan

45
(Dyne/cm)

30

15

o
0 50 Suhu
100C 150 0 200 400 600 1 2 3 4 5
Kecepatan (rpm) Waktu (jam)

Gambar 5. Pengaruh kondisi operasi terhadap tegangan antar muka; a) suhu, b) kecepatan,
c) waktu, dan tegangan permukaan; d) suhu, e) kecepatan, f) waktu.

Hasil uji tegangan permukaan dan antarmuka adalah gaya persatuan panjang
tegangan antar muka disimpulkan pada yang terdapat pada antarmuka dua cairan
Gambar 5. Tegangan permukaan adalah yang tidak saling bercampur. Tegangan
gaya persatuan panjang yang harus antarmuka terjadi karena gaya adhesi
diberikan sejajar pada permukaan untuk (fenomena fisik yang disebabkan oleh dua
mengimbangi tarikan ke dalam dan terjadi bahan yang saling melekat) lebih kecil
pada semua bahan. Sedangkan tegangan daripada gaya kohesi (Nuraini dkk, 2004).

Hasil Penelitian Industri 41 Volume 24, No. 1, April 2011


Dari uji produk yang dihasilkan terperangkap dalam pori-pori kepala mudah
didapatkan data bahwa suhu, kecepatan, dan didesak keluar (Nuraini dkk, 2004).
waktu reaksi yang berpengaruh terhadap
tegangan antar muka. Tegangan antar muka 3.3 Perbandingan produk coco-DEA
rendah pada suhu optimum yang rendah, dengan coco-DEA pasar
kecepatan pengadukan tinggi dan waktu
reaksi optimum yang tidak lama. Kromatogram GC-MS dari coco-DEA
Rendahnya tegangan antarmuka dalam ditampilkan pada Gambar 6. Terlihat bahwa
waktu yang lama disebabkan karena fungsi karakteristik kromatogram dari produk
katalis yang mengalami penurunan. Dilain coco-DEA hasil penelitian sama dengan
pihak, kondisi operasi tidak berpengaruh coco-DEA pasar. Pada Gambar 6
signifikan terhadap tegangan permukaan. teridentifikasi bahwa peak amida muncul
Pada suhu 60–100 oC, kecepatan 200 rpm setelah menit ke 4. Dengan volume sampel
dan waktu 2 jam, diproduksi coco-DEA yang sama terlihat abundan peak produk
dengan tegangan permukaan 39,2 dyne/cm coco-DEA hasil penelitian lebih tinggi
dan tergangan antar muka 14 dyne/cm. dibanding yang jual dipasar. Hal ini
Diketahui tegangan permukaan air pada menunjukkan bahwa coco-DEA hasil
suhu 60oC adalah 66,2 dyne/cm dan penelitian lebih murni dibanding coco-DEA
tegangan antar muka air 23,0 dyne/cm. Pada pasar, dimana kandungan amida hasil
aplikasi coco-DEA sebagai shampo, dengan penelitian adalah ±98 % pada kondisi suhu
turunnya tegangan antarmuka minyak-air, 60 oC, kecepatan 200 rpm dan waktu reaksi
maka tekanan kapiler yang bekerja pada 2 jam sementara coco-DEA di pasar
daerah penyempitan pori-pori kepala akan diketahui 84 %.
berkurang, sehingga sisa minyak yang

Abundance
Coco-DEA pasar

Abundance
Coco-DEA produk

Gambar 6. Kromatogram coco-DEA dipasar dengan produk coco-DEA hasil penelitian

Hasil Penelitian Industri 42 Volume 24, No. 1, April 2011


4. KESIMPULAN K.C. Ruthiya, J. Van der Schaaf, B.F.M.
Kuster and J.C. Schouten. 2004.
Pembuatan metil ester dari minyak Chemical Engineering Science.
kelapa dengan kondisi; suhu 60 oC, Modelling the Effect of Particle-to-
kecepatan reaksi 100 rpm dalam waktu 2 bubble Adhesion on Mass Transport
jam dapat menghasilkan metil ester murni. and Reaction Rate in a Stirred Slurry
Pemurnian metil ester dapat dilakukan Reactor: influence of Catalyst
dengan cara mencuci menggunakan aquades Support. Vol.59. 22-23. Pages 5551-
dan memisahkannya dari pengotor dalam 5558.
kondisi dingin yaitu suhu 4 oC.
Untuk mendapatkan coco-DEA Suryani, A., E. Hambali, M. Rivai,
dengan kandungan amida yang tinggi dapat K.Syamsu, dan P. Suryadarma. 2006.
dilakukan pada suhu 60–100 oC, kecepatan Penelitian dan Pengembangan
pengadukan 200 rpm dan waktu reaksi 2 Produk Surfaktan Berbasis Sawit di
jam. Akan tetapi untuk mendapatkan coco- Indonesia. Prosiding Peluang
DEA dengan tegangan antar muka rendah Pengembangan Industri Surfaktan
dapat dilakukan pada kondisi suhu 60 oC, Berbasis Sawit di Indonesia. MAKSI.
kecepatan pengadukan 300 rpm dan waktu Bogor.
reaksi 2 jam. Suhu yang lebih tinggi dari
100 oC dan waktu reaksi lebih 2 jam Nuraini, Sugihardjo dan Tjuwati Makmur.
menurunkan kandungan amida, 2004. Lembaran Publikasi
meningkatkan kandungan FFA dan LEMIGAS. Uji Kelakuan Fase dan
menaikkan tegangan antar muka. Tegangan Antarmuka Minyak-
Surfaktan-Kosurfaktan-Air Injeksi.
DAFTAR PUSTAKA Vol. 38 (1).

Andreas Håkansson, Christian Trägårdh, Rita Arbiati, Tania Surya Utami, dan Astri N.
Björn Bergenståhl. 2009. Chemical 2008. Makara Teknologi. Isolasi
Engineering Science. Dynamic metil laurat dari minyak kelapa
simulation of emulsion formation in sebagai bahan baku surfaktan fatty
a high pressure homogenizer. Vol. alcohol sulfate (FAS). Vol. 12 (2):
64 (12). pages 2915-2925. 61-64

Asia and Pacific Coconut Community. 2008. Suu M. Khuu, Julio A. Rodriguez, Jose A.
APCC. http://www. apccsec.org. Romagnoli, Kian F. Ngian. 2000.
Computers & Chemical Engineering.
Gregorio C. Gervajio. 2005. Fatty Acid and Optimisation and Control of an
Derivatives from Coconut Oil, Industrial Surfactant Reactor. Vol.24.
Bailey’s Industrial Oil and Fat 2-7. Pages 863-870.
Products. Edisi 6. Vol. 6. USA. John
Wiley & Sons, Inc.

Hasil Penelitian Industri 43 Volume 24, No. 1, April 2011


PENAMBAHAN TETRAHYDROFURAN SEBAGAI CO-SOLVENT
PADA PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI KAPUK
(The Addition of Tetrahydrofuran as Co-Solvent On Biodiesel Production Process
From Cotton Seed Oil)

Farid Maulana1)*, Sofyana1) dan Syarifuddin2)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syech Abdurrauf 7 Darussalam Banda Aceh, 23111
2)
Balai Riset Standardisasi Industri Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur Banda Aceh, 23243
*E-mail: faridmln@yahoo.com

ABSTRAK. Minyak biji kapuk merupakan salah satu bahan baku alternatif yang murah
dari golongan bukan pangan yang dapat diperoleh dari limbah industri kapuk. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio volume minyak terhadap co-solvent
tetrahydrofuran, waktu reaksi dan konsentrasi katalis terhadap kuantiítas dan kualitas
biodiesel yang dihasilkan. Produksi biodiesel dari bahan baku minyak biji kapuk dilakukan
dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa pada suhu 60 oC dan tekanan
atmosfir dalam suatu reaktor berpengaduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses
pembuatan biodiesel dari minyak biji kapuk dapat dilakukan dengan waktu yang lebih cepat
yaitu biodiesel mulai dapat dihasilkan pada waktu 10 menit yang mana hal ini dapat dicapai
karena adanya penambahan tetrahydrofuran sebagai co-solvent. Sedangkan tanpa
menggunakan co-solvent waktu yang dibutuhkan mencapai 90 menit. Perolehan hasil
biodiesel yang maksimal diperoleh pada perbandingan rasio volume minyak biji kapuk
terhadap co-solvent tetrahydrofuran sebesar 1:0,5. Penambahan konsentrasi katalis KOH
sebesar 1,0 % menghasilkan yield biodiesel yang paling tinggi yaitu sebesar 70 %.
Karakteristik biodiesel yang dihasilkan belum memenuhi karakteristik biodiesel menurut
standar SNI dan hanya nilai flash point yang memenuhi persyaratan.
Kata kunci: biodiesel, co-solvent, minyak biji kapuk, transesterifikasi

ABSTRACT. Cotton seed oil is one of cheap alternative source of non edible raw materials
that can be used to produce biodiesel. The purpose of this research is to study the effect of
volume ratio of cotton seed oil to co-solvent of tetrahydrofuran, reaction time, and the
amount of catalyst toward quality of produced biodiesel. The production of biodiesel of
cotton seed oil can be conducted by transesterification process using base catalyst at
temperature of 60 oC and atmospheric pressure in a stirred reactor. The result of the research
indicates that biodiesel can be produced within a shorter time in which biodiesel can be
produced after 10 min because of addition of tetrahydrofuran as co-solvent. While without
using co-solvent, it requires 90 minutes. The highest yield of biodiesel production was
obtained at volume ratio of cotton seed oil to co-solvent tetrahydrofuran of 1:0,5. The
addition of KOH catalyst of 1.0% (w/w) would produce the highest biodiesel yield as many
as 70 %. The produced biodiesel characterization does not fulfill yet biodiesel
characterization according SNI standard and only flash point value that fulfill the standard.
Keywords: biodiesel, cotton seed oil, co-solvent, transesterification

Hasil Penelitian Industri 44 Volume 24, No. 1, April 2011


1. PENDAHULUAN Sedangkan kelemahan proses berbasis
katalis basa adalah bahan baku minyak
Salah satu produk minyak bumi yang harus bebas air dan asam lemak bebas.
digunakan sebagai bahan bakar motor diesel Sedangkan untuk bahan baku dengan
adalah minyak diesel. Untuk menggantikan kandungan asam lemak bebas lebih besar
bahan bakar yang bersumber dari fosil dari 0,5% katalis asam menjadi pilihan
tersebut maka sumber-sumber bahan bakar (Zhang dkk., 2003; Wang dkk., 2006; Zheng
alternatif yang potensial dari jenis tanaman- dkk., 2006).
tanaman mutlak untuk dikembangkan. Reaksi transesterifikasi merupakan
Minyak nabati merupakan salah satu reaksi yang sangat lambat karena
sumber energi yang dapat diperbaharui, berlangsung dalam sistem dua fasa. Agar
mempunyai potensi untuk mengatasi krisis reaksi transesterifikasi dapat berlangsung
bahan bakar mineral dan mengurangi lebih cepat dan diperoleh konversi metil
kerusakan lingkungan serta dapat dihasilkan ester yang lebih besar maka sistem dua fasa
secara periodik dan mudah harus dirubah menjadi fasa tunggal. D.G.B.,
memproduksinya (Prihandana, dkk, 2006). Boocock merupakan pionir yang melakukan
Minyak biji kapuk merupakan minyak perubahan dari dua fasa ini menjadi fasa
yang bukan tergolong minyak pangan tunggal yaitu dengan penambahan co-
sehingga pemanfaatannya sebagai bahan solvent pada minyak makan. Beberapa
bakar dibandingkan dengan minyak nabati penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh
lain yang sebagian besar merupakan minyak beberapa peneliti dengan berbagai co-
pangan mempunyai resiko yang kecil solvent diantaranya tetrahydofuran pada
terhadap gejolak yang terjadi pada colza oil (Emre, 2007), heksana dan karbon
masyarakat.. Minyak biji kapuk diperoleh dioksida pada soybean oil (Yin, dkk., 2008)
dari proses mengempa atau mengekstraksi heksana pada minyak sawit (Sawangkeaw,
biji kapuk yang mengandung ± 25% minyak dkk., 2007). Dalam penelitian ini THF
biji. Asam lemak penyusun minyak biji (tetrahydofuran) digunakan sebagai co-
kapuk adalah asam lemak jenuh dan asam solvent dengan pertimbangan titik didih
lemak tak jenuh, yaitu asam palmitat sekitar THF hampir sama dengan titik didih etanol
10,5 – 10,8 %, asam stearat 4,9 – 8,6 %, sehingga setelah reaksi baik etanol dan THF
asam arakhidat 1 %, asam oleat 46,1 – dapat dikembalikan dalam satu tahap untuk
56,6 % dan asam linoleat 27,7 – 34,6 %, digunakan kembali.
(Thoyib, 1992) Penelitian ini bertujuan untuk
Metode proses yang selama ini mengetahui pengaruh rasio volume minyak
banyak digunakan dalam produksi biodiesel dan co-solvent tetrahydrofuran, waktu
adalah transesterifikasi minyak-minyak reaksi dan konsentrasi katalis terhadap
tumbuhan (minyak biji canola, minyak biji kualitas biodiesel yang dihasilkan.
bunga matahari, minyak sawit, minyak
kedelai, minyak jelantah dan lainnya) 2. METODE PENELITIAN
dengan metanol menggunakan katalis basa
(Dunford, N.T., 2003). Sebagian besar 2.1 Bahan dan Alat
proses produksi biodiesel berbasis
transesterifikasi yang telah diaplikasikan Bahan-bahan yang digunakan dalam
pada skala komersial menggunakan katalis penelitian ini meliputi: biji kapuk (berasal
basa seperti KOH atau NaOH (Ma dan dari daerah Kab. Aceh Selatan, Provinsi
Hanna, 1999). Penggunaan katalis basa Aceh), metanol, etanol (pro analisa, 98%,
dapat berlangsung pada suhu lebih rendah Sigma), toluene, isopropanol, dietil eter,
dan waktu reaksi lebih cepat dibandingkan asam sulfat (absolute, 12 N), THF (pro
proses menggunakan katalis asam. analisa, 98%, Sigma), asam klorida

Hasil Penelitian Industri 45 Volume 24, No. 1, April 2011


(absolute, 12 N), asam asetat glasial, kalium dilakukan adalah proses ekstraksi biji kapuk
hidroksida (85%, Sigma), kloroform, KI, untuk memperoleh minyak biji kapuk. Biji
indikator pati, indikator phenolftalein, kapuk dihaluskan dengan blender kemudian
kertas saring (Whatman), aquadest, hasilnya dibungkus dengan kertas saring
aluminum foil, dan n-heksana (teknis, 70%, dan ditempatkan dalam soklet. Selanjutnya
Sigma). Sedangkan alat-alat yang n-heksane sebanyak 300 ml dimasukkan ke
digunakan adalah: GC-MS-GP2010S dalam labu pemanas dan dilakukan proses
(Shimadzu), Fourier Transform Infra Red pemisahan dengan cara ekstraksi sehingga
(FTIR), labu leher tiga (Pyrex), pengaduk minyak terpisah dari biji kapuk serta
dan motor, neraca listrik, buret, oven, terekstraksi ke dalam n-heksana. Minyak
desikator, labu erlenmeyer, labu ekstraksi, yang telah diekstraksi ke dalam n-heksana
labu takar, gelas ukur, penangas air, dipisahkan dengan cara distilasi (single
pendingin beker gelas, pipet volume, botol effect rotary evaporator), sehingga
timbang, gelas ukur dan statip dan klem. diperoleh minyak biji kapuk yang
diinginkan dan pelarut yang dapat
2.2 Prosedur Ektraksi digunakan kembali.
Gambar 1 yang menunjukkan skema
Tahap awal sebelum memperoleh proses transesterifikasi minyak biji kapuk
biodiesel dari minyak biji kapuk, yang menjadi biodiesel.

Gambar 1. Skema Proses Transesterifikasi

2.3 Prosedur Produksi Biodiesel (1:12), maka produk dipisahkan menjadi


dua lapisan, yaitu produk ester (biodiesel)
Ada tiga proses utama yang dilakukan yang berada pada lapisan atas dan produk
dalam memproduksi biodiesel yaitu samping gliserol yang berada pada lapisan
(1) tahap transesterifikasi, (2) tahap bawah. Sisa ethanol dan co-solvent
pemisahan, dan (3) tahap pencucian. Pada terdistribusi pada kedua lapisan. Setelah
tahap transesterifikasi variasi variabel yang pemisahan, etanol dan co-solvent yang
digunakan adalah: rasio volume minyak dan terikut lapisan ester dicuci dengan air
tetrahydrofuran sebesar 1:0,25; 1:0,5; sehingga akhirnya diperoleh biodiesel.
1:0,75 dan 1:1, waktu reaksi selama 20, 30
dan 60 menit dan variasi konsentrasi katalis 2.4 Analisa Karakteristik Biodiesel
adalah 0,5 ; 1,0 dan 1,5 (% berat). Setelah
proses transesterifikasi selesai dilakukan Analisa yang dilakukan meliputi:
pada variabel yang ditetapkan yaitu suhu perhitungan yield, densitas, viskositas,
600C (Fessenden dan Fessenden, 2006) bilangan asam, bilangan iod dan flash point.
dan rasio mol minyak biji kapuk dan etanol

Hasil Penelitian Industri 46 Volume 24, No. 1, April 2011


3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4 yang mana perolehan biodiesel
telah mulai dihasilkan (% Yield) pada
3.1 Komposisi Minyak Biji Kapuk waktu awal reaksi (10 menit) hanya berkisar
Minyak biji kapuk diperoleh dengan 20- 40 % dibandingkan perolehan yield
cara mengekstraksi biji kapuk dengan pada waktu yang lama (60 menit) yang
larutan heksana pada suhu ± 900C. Hasil berkisar pada 40-70 %. Riset sebelumnya
penelitian menunjukkan bahwa rendemen oleh Emre (2007) menunjukkan bahwa
rata-rata minyak biji kapuk adalah sekitar penggunaan tetrahydrofuran sebagai co-
23%. Hasil rendemen rata-rata ini solvent dalam menghasilkan biodiesel dari
memberikan informasi bahwa minyak biji colza oil dapat menghasilkan yield sebesar
kapuk yang dihasilkan dari biji kapuk asal 99,89 % hanya dalam waktu 10 menit
Aceh Selatan tersebut memberikan hasil dibandingkan yang sudah dilakukan secara
rendemen yang optimal yang mana studi komersial yang mencapai 90 menit
sebelumnya menyatakan bahwa sedangkan Farid, dkk. (2009) menemukan
rendemennya sekitar 25 %, (Thoyib, 1992). bahwa proses pembuatan biodiesel dari
Berdasarkan hasil analisa komposisi minyak minyak biji kapas yang dilakukan tanpa
biji kapuk menggunakan alat Gas menggunakan co-solvent dapat terjadi pada
Chromatogram (GC)-MS-GP2010S di waktu 90 menit.
Lembaga Penelitian (Lemlit) USU Medan
terlihat bahwa minyak biji kapuk yang 70

digunakan mengandung asam laurat sebesar 60

35,19% sebagai kandungan utamanya, 50

diikuti oleh asam palmitat sebesar 23,77%


Yield %

40

dengan bilangan asam sebesar 4,313 (mg 30

KOH/g). Asam lemak tersebut jika 20


0,5 % KOH 1 % KOH
ditransesterifikasi oleh etanol akan 10
1,5 % KOh 2,0 % KOH

menghasilkan senyawa ester. Hasil analisa 0


0 10 20 30 40 50 60 70

minyak biji kapuk ini menunjukkan bahwa Waktu Reaksi (menit)

minyak biji kapuk layak digunakan sebagai


bahan baku utama pada proses Gambar 2. Perolehan biodiesel pada berbagai
transesterifikasi. waktu reaksi dan konsentrasi katalis
KOH pada perbandingan rasio
3.2 Proses Transesterifikasi dengan volume minyak terhadap co-solvent
adanya Co-Solvent tetrahydrofuran 1:0,25.
Pada penelitian - penelitian proses
80
transesterifikasi pada fasa tunggal umumnya 70
membutuhkan waktu reaksi yang sangat 60

lama sampai dihasilkan produk biodiesel. 50


Yield %

Karena itu pada penelitian ini waktu reaksi 40

yang dibutuhkan untuk menghasilkan


30

20
biodiesel dicoba pada waktu yang lebih 10
0,5 % KOH
1,5 % KOh
1 % KOH
2,0 % KOH
singkat yaitu waktu reaksi 10, 20, 30 dan 60 0

menit. Hasil penelitian menunjukkan 0 10 20 30 40


Waktu Re aksi (me nit)
50 60 70

bahwa biodiesel telah dapat dihasilkan pada


waktu reaksi yang sangat singkat yaitu 10 Gambar 3. Perolehan biodiesel pada berbagai
menit setelah pencampuran semua reaktan waktu reaksi dan konsentrasi katalis
akan tetapi dengan jumlah yield biodiesel KOH pada perbandingan rasio
yang sangat sedikit. Hal ini sebagaimana volume minyak terhadap co-solvent
ditunjukkan pada Gambar 2, Gambar 3 dan tetrahydrofuran 1:0,5.

Hasil Penelitian Industri 47 Volume 24, No. 1, April 2011


50
memberikan pencampuran yang sempurna
45 yang menyebabkan terjadinya perpindahan
massa yang efektif diantara minyak dan
40
35
30
etanol untuk terjadinya reaksi
Yield %

25
20 transesterifikasi antara minyak biji kapuk
dan etanol untuk menghasilkan metil ester.
15
0,5 % KOH 1 % KOH
10

Pada pencampuran tersebut konversi


1,5 % KOh 2,0 % KOH
5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 minyak menjadi metil ester lebih mudah
Waktu Reaksi (menit)
terjadi, karena reaksi terjadi dalam fasa
Gambar 4. Perolehan biodiesel pada berbagai tunggal dan komponen reaktan saling
waktu reaksi dan konsentrasi katalis campur dengan baik dimana gugus alkil
KOH pada perbandingan rasio etanol akan semakin mudah terikat pada
volume minyak terhadap co-solvent senyawa trigliserida membentuk produk
tetrahydrofuran 1:1 transesterifikasi sebagai akibat penambahan
larutan co-solvent tetrahydrofuran.
Laju reaksi yang terjadi cepat pada Sebagaimana diketahui bahwa katalis
awal pereaksian, kemudian terjadi KOH dapat mempercepat proses pemutusan
peningkatan laju reaksi yang tajam dan ikatan trigliserida menjadi metil ester
setelah mencapai kesetimbangan laju walaupun pada temperatur dan tekanan
reaksinya cenderung konstan. Menurut rendah. Dari studi literatur menyatakan
Agarwal dan Das (2001). Laju reaksi cepat bahwa konsentrasi KOH yang tinggi sangat
pada permulaan reaksi disebabkan karena bagus untuk menghasilkan yield yang
pada awal reaksi trigliserida terlebih dahulu tinggi, akan tetapi dalam penelitian ini yield
diubah menjadi digliserida dan kemudian yang tinggi akan didapat pada saat
digliserida diubah menjadi monogliserida. penggunaan konsentrasi katalis sebesar 1 %.
Energi aktivasi untuk pengubahan Pada saat pemberian katalis melebihi 1 %
trigliserida menjadi digliserida dan perolehan yield yang diperoleh menurun
dilanjutkan menjadi monogliserida nilainya dan akan mencapai perolehan yang terendah
lebih besar daripada pengubahan pada saat konsentrasi katalis sebesar 2,0%.
monogliserida menjadi gliserin dan metil Penurunan ini kemungkinan disebabkan
ester. Dengan tingginya nilai energi aktivasi karena pada pemakaian katalis yang lebih
maka laju reaksinya menjadi cepat. tinggi dari 1 % jumlah katalis yang
Untuk melihat pengaruh penambahan diberikan sudah melebihi dari jumlah katalis
co-solvent tetrahydrofuran terhadap yang dibutuhkan sehingga penambahan
produksi biodiesel yang dihasilkan maka katalis tersebut tidak berfungsi untuk
pada penelitian ini perbandingan rasio mempercepat proses pemutusan ikatan
volume minyak biji kapuk terhadap co- trigliserida yang menaikkan jumlah yield
solvent tetrahydrofuran divariasikan pada yang diperoleh tapi hanya meningkatkan
perbandingan 1:0,25, 1:0,5, 1:1 dan 1:1,5. nilai dari kekentalan larutan.
Gambar 2, 3 dan 4 menunjukkan bahwa Dalam penelitian ini juga ditemukan
pada rasio volume minyak biji kapuk bahwa penggunaan rasio volume minyak
terhadap co-solvent tetrahydrofuran 1:0,5 terhadap co-solvent tetrahydrofuran sebesar
merupakan perbandingan volume minyak 1:1,5 tidak dapat menghasilkan biodiesel
biji kapuk dengan co-solvent dimana selain yield yang diperoleh sangat
tetrahydrofuran yang baik untuk kecil juga tidak terbentuknya biodiesel yang
menghasilkan biodiesel yang maksimum. diharapkan. Hal ini kemungkinan karena
Hal ini terjadi karena pada perbandingan pada penggunaan tetrahydrofuran yang
volume minyak biji kapuk terhadap co- terlalu banyak maka proses transesterifikasi
solvent tetrahydrofuran sebesar 1:0,5, tidak dapat terjadi dengan sempurna karena

Hasil Penelitian Industri 48 Volume 24, No. 1, April 2011


jumlah asam lemak yang dibutuhkan untuk minyak biji kapuk dengan penambahan
dikonversi menjadi metil ester tidak tetrahidrofuran sebagai co-solvent. Pada
mencukupi sehingga biodiesel tidak dapat pemeriksaan Fourier Transform Infra Red
dihasilkan. (FTIR) ini, produk cair hasil penelitian
dapat memberikan spektrum seperti yang
3.3 Karakteristik Biodiesel terlihat pada Gambar 5.
Pada penelitian ini perolehan Analisa FTIR ini dilakukan dengan
biodieselnya dibandingkan dengan standar menggunakan alat FTIR (Fourier Transform
biodiesel yang dikeluarkan oleh SNI-04- Infra Red) di Lembaga Penelitian (Lemlit)
7182-2006, yang telah disahkan dan USU Medan, Sumatera Utara. Sampel yang
diterbitkan oleh Badan Standarisasi dianalisa adalah produk yang memiliki hasil
Nasional (BSN) tanggal 22 Februari 2006 yang maksimal yaitu pada variasi rasio
(Soerawidjaja, 2006). Pada penelitian ini volume minyak biji kapuk terhadap
tidak semua parameter yang menjadi tetrahidrofuran 1:0,5, waktu reaksi 30 menit
standar biodiesel dianalisis. Adapun dan katalis 1,0 %.
karakteristik yang dibandingkan dengan
standar biodiesel menurut SNI adalah
densitas, viskositas, bilangan asam,
bilangan iod dan flash point. Perbandingan
data-data karakteristik biodiesel hasil
penelitian dan standar SNI tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data pada
Tabel 1, maka terlihat bahwa beberapa
parameter biodiesel yang dihasilkan tidak
berada dalam kisaran yang disyaratkan oleh Gambar 5. Spektra FTIR produk cair reaksi
SNI. transesterifikasi minyak biji kapuk
dengan penambahan tetrahidrofuran
Tabel 1. Karakteristik biodiesel hasil sebagai co-solvent
penelitian dan standar SNI
Hasil Berdasarkan Gambar 5 di atas dapat
N Jenis Standar
o Pemeriksaan
Pemeriksaan
SNI diketahui bahwa terdapatnya pita serapan
Metil Ester yang lebar di daerah pada bilangan
1 Density at gelombang 1800 – 2980 cm-1, yang
0,928 0,85-0,89
15oC, gr/ml
2 Flash Point
menunjukkan adanya vibrasi C-H dari
186 > 100 gugus -CH2 dan –CH3, serta satu pita
P.M, CC, oF
3 Viscosity serapan kecil pada bilangan gelombang
kinematic at 10,20 2,3 – 6 3050 cm-1 untuk gugus alkena –CH=CH.
40oC, Cst Pita serapan pada panjang gelombang 1720
4 Angka asam, cm-1 menunjukkan adanya gugus karbonil
7,9 Maks 0,8
mg-KOH/g
5 Bilangan Iod 120 Maks 115
C=O dari esternya (Sudjadi, 1985). Hasil ini
menjelaskan bahwa produk yang terbentuk
3.4 Spektrum FTIR Biodiesel dari proses transesterifikasi adalah metil
ester seperti yang diharapkan.
Spektroskopi ini sangat penting
dilakukan, karena absorpsi energi dari 4. KESIMPULAN
spektrum elektromagnetik dapat 1. Proses pembuatan biodiesel dari minyak
dikorelasikan dengan struktur dari biji kapuk dapat dilakukan dengan waktu
senyawanya yaitu untuk mengetahui yang lebih cepat dengan adanya
struktur produk cair reaksi transesterifikasi penambahan co-solvent tetrahydrofuran.

Hasil Penelitian Industri 49 Volume 24, No. 1, April 2011


2. Perolehan hasil biodiesel yang maksimal Ma, F., dan Hanna, M.A. 1999. Bioresource
diperoleh pada perbandingan rasio Tech. Biodiesel production: a review.
volume minyak biji kapuk terhadap co- 70.
solvent tetrahydrofuran sebesar 1:0,5 dan
konsentrasi katalis KOH sebesar 1,0 %. Prihandana, R., Hendroko, R., dan Nuramin,
3. Karakteristik biodiesel yang dihasilkan M. 2006. Menghasilkan biodiesel
belum memenuhi karakteristik biodiesel murah. Jakarta. Agromedia Pustaka.
menurut standar SNI dan hanya nilai
flash point yang memenuhi persyaratan. Sawangkeaw R., Bunyakiat and K., Somkiat,
N. 2007. Green Chem. Effect of co-
SARAN solvent on Production of biodiesel
via Transesterification in
Penelitian ini perlu dilanjutkan
Supercritical Methanol. 9: 679.
dengan mencoba pada waktu yang lebih
lama dan menggunakan co-solvent lainnya.
Soerawidjaja, Tatang H. 2006. Fondasi-
DAFTAR PUSTAKA Fondasi Ilmiah dan Keteknikan dari
Teknologi Pembuatan Biodiesel.
Agarwal AK and Das LM. 2001. Journal of Handout Seminar Nasional
Engineering for Gas Turbines & “Biodiesel Sebagai Energi Alternatif
Power. Biodiesel development and Masa Depan”. UGM Yogyakarta.
characterization for use as a fuel in
compression ignition engines. 123: Sudjadi. 1985. Penentuan struktur senyawa
440-447. organik. Jakarta. Ghalia Indonesia.

D.G.B. Boocock, Samir K. Konar, V. Mao, Thoyib S. 1992. Cara Menanam dan
C. Lee, and Sonia Buligan. JAOCS. Mengolah Biji Kapok. Semarang.
Fast Formation of High Purity Aneka Ilmu
Methyl Ester from Vegetable Oils. 75.
Wang, Y., Ou, S., Liu, P., Xue, F., dan Tang,
Dunford, N.T. 2003. Biodiesel Production S. 2006. J. of Molecular Catalysis A:
Techniques. Food Technology Fact Chemical. Comparison of two
Sheet. FAPC-150. Oklahoma State different processes to synthesize
University biodiesel by waste cooking oil. 252:
107–112
Emre, C. 2007. Biodiesel production using
co-solvent. European Congress of Yin, J.Z., Xiao, M., Wang, A. and Xiu, Z.L.
Chemical Engineering (ECCE-6), 2008. Energy Conversion and
Copenhagen. Management. Synthesis of biodiesel
from soybean oil by coupling
Farid, M., Aisyah C. dan Syammiah. 2009.
catalysis with subcritical methanol.
Studi Produksi Biodiesel dari
Vol 49. Issue 12: 3512.
Minyak Biji Kapas dan Kinerja
Mesin. Laporan Hasil Penelitian
Yin, J.Z., Xiao, M., Song, J.B. 2008. Energy
Hibah Bersaing. Banda Aceh.
Conversion and Management.
Universitas Syiah Kuala.
Biodiesel from soybean oil in
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 2006. supercritical methanol with co-
Kimia Organik. edisi 4. Jakarta. solvent. Vol 49. Issue 5: 908
Airlangga.

Hasil Penelitian Industri 50 Volume 24, No. 1, April 2011


Zheng, S., M. Kates, M.A. Dube, dan D.D. Zhang Y, Dube´ MA, McLean DD, dan
McLean. 2006. Biomass and Kates M. 2003. Bioresource
Bioenergy. Acid – catalyzed Technology. Biodiesel production
production of biodiesel from waste from waste cooking oil: 1. Process
frying oil. 30: 267–272 design and technological assessment.
28: 1–16.

Hasil Penelitian Industri 51 Volume 24, No. 1, April 2011


PEDOMAN PENULISAN NASKAH
Jurnal Hasil Penelitian Industri adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda
Aceh, terbit dua kali dalam setahun. Jurnal ini merupakan wadah penyebaran hasil penelitian dan pengembangan
sektor industri bidang pangan, industri proses, rancang bangun peralatan, tekhnologi hasil pertanian, lingkungan,
teknologi minyak atsiri/oleo dan energi.

Redaksi menerima naskah yang sesuai untuk dipublikasikan dalam Jurnal ini. Naskah yang sesuai disampaikan
rangkap 2 (dua) eksemplar, tercetak asli disertai dengan rekaman (softcopy) dalam bentuk CD atau dapat juga
dikirim secara elektronik melalui email attachment ke alamat berikut:

Redaksi Jurnal Hasil Penelitian Industri


Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377, Lamteumen Timur, Banda Aceh 23236
Telp. (0651) 49714 ; Fax. (0651) 49556
E-mail : hpi_brsbna@yahoo.com

Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam penulisan naskah antara lain:

Naskah atau artikel yang diajukan merupakan hasil Referensi hendaknya berasal dari sumber yang jelas dan
penelitian, ulasan ilmiah dan catatan penelitian terpercaya. Referensi yang ditampilkan dalam naskah
(research notes), yang belum pernah diterbitkan dan mengikuti pola baku dengan mencantumkan nama
tidak direncanakan diterbitkan dalam penerbitan- penulis (surname) dan tahun publikasi, misalnya (Rifai,
penerbitan lain. 1983). Bila referensi terdiri dari dua orang penulis
digunakan ‘dan’, ‘and’ atau ‘&’, sedangkan bila lebih
Format naskah atau artikel diketik menggunakan Ms. dari dua orang penulis digunakan ‘et al.’ atau ‘dkk’,
Word dengan satu kolom, menggunakan font Times namun harus ditulis lengkap dalam daftar pustaka.
New Roman dengan ukuran font 12 point, spasi 1. Batas
atas dan bawah 2,5 cm, tepi kiri 3 cm dan kanan 2 cm, Daftar Pustaka berisikan daftar referensi yang
dicetak satu muka pada kertas berukuran A4, dan tidak digunakan dan ditulis dengan pola baku, seperti contoh
lebih dari 10 (sepuluh) halaman. berikut:
Sistematika penulisan artikel terdiri atas judul, nama Jurnal
penulis, instansi, abstrak dan kata kunci (bahasa Peterson, R.L., and C. Zelmer. 1998. Symbiosis. Fungal
Indonesia dan bahasa Inggris), pendahuluan, Symbioses with Orchid Protocorms. 25:29-55
metodologi, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan
saran, ucapan terima kasih (bila ada) dan daftar Buku
pustaka. Luyben, William L., and Chien, I. Lung. 2010. Design
and Control of Distillation Systems for Separating
Judul diketik dengan huruf capital tebal (Bold), memuat Azeotropes. New Jersey. John Wiley & Sons, Inc.
maksimum 20 kata, ditulis dalam 2 bahasa, Bahasa Reynolds, Joseph P., Jeris, John S., and Teodhore, L..
Indonesia dan Bahasa Inggris, terjemahan judul dalam 2002. Handbook of Chemical and Environmental
bahasa Inggris diketik dengan huruf kecil dan miring, Engineering Calculations. New Jersey. John Wiley
dituliskan di bawah judul yang berbahasa Indonesia . & Sons, Inc.
Nama penulis ditulis di bawah judul dengan ketentuan Prosiding
jika penulisnya lebih dari satu dan intansinya berbeda Argent, G. 1989. Vireya Taxonomy in Field and
maka ditandai dengan 1), 2) dan seterusnya. Laboratory. In Proceedings of The Forth
Instansi/alamat dan Email ditulis di bawah Nama International Rhododendron Conference.
penulis. Wollongong, NSW
Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) maksimal Skripsi/Thesis/Disertasi
250 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Mo, B. 2004. Plant ‘integrin-like’ Protein in Pea
(Pisum sativum L.) Embryonic Axws. PhD
Kata Kunci/Keywords terdiri dari 3 hingga 5 kata, Dissertation. Department of Biology, University of
disusun menurut abjad dan dicetak tebal. South Dakota. South Dakota
Tabel diberi nomor dan ditulis singkat serta jelas Website
dibagian atasnya. Bucknell University Information Services and
Grafik, gambar dan foto harus tajam dan jelas agar Resources. Information Services and Resources
cetakan berkualitas baik dan diberi nomor, judul dan Homepage. http://www.isr.bucknell.edu
keterangan yang jelas dibawahnya. Softcopy foto atau Shukla, O.P. 2004. Biopulping and Biobleaching: An
gambar turut disertakan dalam format *JPEG. Energy and envioronment Saving Technology for
Indian Pulp and Paper Industry. EnviroNews. No.
2. Vol.10. http://isebindia.com/01_04/04-04-3.html
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur, Banda Aceh - 23236
Telp. (0651) 49714, Fax. (0651) 49556, E-mail: hpi_brsbna@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai