Anda di halaman 1dari 2

NISAN

Aku tahu, kini aku sering memikirkannya. Bayangan-bayangan kesalahan masalalu terus
menghantuiku. Memenuhi seluruh kapasitas memory otakku tanpa sedikit celahpun yang tersisa.
Meski aku telah mencoba menghapus semua rasa bersalah dengan deraian air mata tanpa henti, itu
percuma!!. Karena yang aku lihat kini hanyalah sebongkah batu nisan putih diatas gundukan tanah
yang bertuliskan nama ibuku.

“harusnya, aku dulu mendengarkan semua ucapmu bunda.?!!”. penyesalanku kini harus terwakili
oleh rangkaian kata yang tak berarti lagi.

Perlahan-lahan, otakku memutar memory masalaluku yang kelam, bayangan wajah ibu yang
tersenyum tulus terpampang jelas di depan indera penglihatanku, memberikan senyum merekah
tulus dan kasih sucinya, tapi hanya kubalas dengan nada kasar yang terlampau tinggi, lalu aku
meninggalkannya bersama butiran-butiran bening yang menghiasi kedua sudut matanya. Aku berlalu
membawa seluruh barang-barangku tanpa bekal do’a dan izin darinya. Menuruti semua ego yang
mudah terbakar, mencari kebebasan di dunia luar bersama teman-teman, tanpa tersadar kalau itu
hari terakhir aku bisa menatap lekat wajah sosok ibu tua yang sudah mulai kusut karena
perjuangannya membesarkanku selama ini, tapi aku tak menghiraukan isak tangisnya, bahkan aku
hempaskan genggaman tangannya yang lemah.

Bayangan itu masih terekam jelas, menyakitkan!!. Wajah tuanya begitu tulus, menggambarkan
semua pengorbanan yang tak pernah kusadari saat itu, hanya tuntutan, remehan dan semua hal
buruk yang aku berikan padanya, tanpa membuktikan dan membuatnya bangga dengan
keberadaanku.

“menangis lagi, eh?” aku tersentak kaget, terbangun dari semua bayangan-bayagan masalalu yang
terus meghujam batinku, ketika seseorang menepuk pundakku pelan. “lupakan saja semuanya,
ibumu pasti sudah memaafkanmu”. Lanjutnya.

Aku menghela nafas dan menatap sosok laki-laki yang mebuatku kaget dengan sesekali mengusap air
mataku. Kacamata setebal piring kini menghilang, berganti dengan lensa berwarna biru menyala
yang menyilaukan. Dia tampak lebih dewasa dari yang dulu aku kenal. “rasyid” ucapku dalam hati.
Perlahan-lahan dia duduk di sampingku dengan menaburkan bunga di atas makam ibuku.

“semua sudah terjadi tha” ucapnya. Kali ini dengan menuangkan air ke atas makam ibuku.

“tapi ini nggak adil?!!”nada bicaraku kelewat keras, dan ekspresiku nyaris seperti anak kecil yang
merengek berebut mainan. Air mata terus menggenangi pipiku.
Dia menatapku dalam, hatiku seperti luluh dan bulir-bulir air mata kembali memenuhi mataku yang
sudah bengkak dan memerah karena kesedihan. Sesegera mungkin tanganya yang legam meraih
tubuhku dan menyandarkan kepalaku ke atas bahunya.

“mytha, dengerin aku, semua sudah terjadi!! Penyesalanmu nggak akan mengulang waktu” ucapnya
menenangkanku yang seakan-akan, kini sedang terdampar di pulau penyesalan yang berkabut
hitam. “yang harus kamu lakukan hanyalah, buat Ibumu disana bangga”.tambahnya. aku semakin
terisak-isak menyesali semua salahku.” Buat dia bangga, dan buktikan kalau kamu sudah berubah”
ucapnya lagi.

Perlahan-lahan, kuangkat kepalaku, ketika kulihat sosok berjubah putih berdiri menatapku dari
sudut area pemakaman, wajahnya yang keriput kini berubah mencerah, secerah kasih sayangnya
yang tanpa henti untukku selama ini. Senyum manis yang kurindukan, kini terlihat menghiasi
wajahnya, mungkin dia ibuku.

Dia tersenyum bangga, karena baru saja melihat drama penyesalan yang sangat. Tapi lambat laun,
sosok itu kabur, menjauh dan terus menjauh. Dibiaskan oleh cahaya mentari yang semakin terik dan
bayangan itu hilang.

Ada sedikit rasa lega yang menghampiriku, menumbuhkan tekad dan janjiku untuk berubah menjadi
lebih baik. Hari ini, besok dan selamanya.” Aku janji bu, selamat hari ibu bunda..”ucapku lirih tak
terasa tetesan terakhir air mataku jatuh. Meski ibuku kini sudah tiada, tapi aku percaya kau
mendengarku bunda. Sebuah kata penutup yang mengiringi hilangnya bayangan sosok yang ku
kasihi.

Aku memang nggak bisa mengulang waktu yang telah berlalu, tapi aku masih punya kesempatan
untuk memperbaiki hari esok dan kedepan. Nggak ada kata terlambat untuk berubah.

Rasyid kembali meraih tanganku dan mengajakku pulang. Tanpa banyak kata, ku ikuti langkah
kakinya kakiku terus melangkah menjauhi tempat peristirahatan terahir ibuku, tapi hatiku sedikit
lega karena bisa melihatnya tersenyum, meski hanya sebuah bayangan, tapi aku percaya itu.

Anda mungkin juga menyukai