Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Simpleks

Pembimbing: dr. Ratna ,Sp.A

Oleh:
dr. Anik Oktafiani
Dokter Intership periode 2018-2019

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BALANGAN


DINAS KESEHATAN KABUPATEN BALANGAN
2019

1
LAPORAN KASUS STATUS BANGSAL

I. IDENTITAS
Nama : An. R.E.J
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tanggal lahi :Balangan, 28 oktober 2013
Umur : 1 tahun, 10 hari
Nama ayah : Tn. R.A Umur : 35 tahun
Pekerjaan ayah : Karyawan Pendidikan : SMA
Nama ibu : Ny. E Umur : 37 tahun
Pekerjaan ibu : Karyawati Pendidikan : D3
Alamat : Balangan
Masuk RS/Pukul : Kamis, 20 februari 2019 (20.00 WIB) UGD
Diagnosa : F.C ( Febris Convulsif)

II. ANAMNESA (Alloanamnesa dengan ibu pasien pada hari rabu, 20 februari 2019
pukul - 20.00 WIB)

Keluhan Utama
Kejang 5 menit sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

Riwayat Penyakit Sekarang


14 jam SMRS OS mengalami demam tinggi (suhu 38oC),2 jam SMRS Os sempat
dibawa ke klinik terdekat, dan diberi obat Samol untuk menurunkan panas,tetapi
panasnya tidak turun, di perjalanan pulang kerumah, Os tiba-tiba mengalami kejang,
kejang muncul tiba-tiba, awalnya kaki dan tangan kaku kemudian klojotan disertai bibir
pucat dan mata mendelik ke atas. Os langsung segera dibawa ke UGD RSUD Balangan,
dan diberi cairan saat di UGD, Kejang terjadi ± 5 menit kemudian berhenti sendiri.
Setelah kejang, os sadar dan menangis dan dirawat. Batuk dan pilek disangkal.
Gangguan BAK dan BAB (mencret / susah BAB) juga disangkal. Os tidak mengalami

2
penurunan nafsu makan, Os mengalami muntah 1 kali saat diberi obat penurun panas,
muntahnya berisi makanan dan sedikit.

Riwayat Penyakit Dahulu+ Riwayat Pengobatan dan Alergi


 Riwayat kejang disangkal
 Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit pada Keluarga


 Kakak Os pernah mengalami kejang dikarenakan kejang demam saat usia 5 tahun.
Dan kejang tidak berulang lagi sampai sekarang. Kakak Os sekang usianya 9 tahun.
 Tidak ada riwayat alergi di keluarga

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Ibu rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter (±8 kali) tanpa keluhan. Persalinan
dengan cara SC ditolong dokter (karena ibu Os tidak kuat saat pembukaan ke 4). Bayi
cukup bulan, langsung menangis dan tidak terdapat cacat bawaan dengan berat lahir
3800gr, panjang badan 48 cm.

Riwayat Tumbuh Kembang


 Motorik kasar: Usia 3 bulan mengangkat kepala, usia 6 bulan anak mulai
merangkak dan duduk, usia 11 bulan anak sudah mulai berjalan. Saat ini anak
sangat aktif bergerak.
 Motorik halus: Usia 3 bulan sudah memegang gerincingan. Saat ini anak sudah
mampu menggenggam dengan kuat.
 Bicara: Usia 3 bulan mulai mengoceh. Saat ini anak sudah dapat mengucapkan 2-3
kata seperti mama, papa, mamam, kakak, nenek,susu).
 Sosial: Anak mulai mengenal wajah orangtuanya dan tersenyum usia 3 bulan. Saat
ini anak aktif bermain dengan teman sebaya dan orang di rumah.

3
Riwayat Makanan
ASI diberikan dari OS lahir hingga usia 3 bulan, dikarena ASI sedikit, dan usia 3 bulan
– 6 bulan di tambah susu formula 5-6 botol kecil 50 ml per hari. Usia 6 bulan keatas
anak mendapat makanan tambahan berupa 1 mangkuk kecil bubur beras merah 2 x
sehari ditambahn susu formula 2-3 botol per hari. Saat ini, anak diberi makan 1 porsi
berisi 1 centong nasi yang dilemberikin dengan lauk 1 telur goreng atau 1/2 potong
ayam goreng,kadang diberi sop ayam, dan buah- buahan, seperti pisang 3 potong kecil
sekali sehari, bauh pepaya, apel, anggur, anak makan 3 x sehari. Os agak kurang
makan tetapi kuat minum susu.
Kesan: kualitas kurang baik, kuantitas tidak seimbang.

Riwayat Imunisasi
Jenis Imunisasi Jumlah Usia
BCG 1x 0 bln dengan skar 4 mm
DPT 3x 2 bln/ 4 bln/ 6 bln
Polio 4x 0 bln/ 2 bln/ 4 bln/ 6 bln
Hepatitis B 3x 0 bln/ 1bln/ 6bln
Campak 1x 9 bln
Kesan: Imunisasi dasar (PPI) lengkap

Anamnesis Sistem:
SSP :Saat kejang kaki dan tangan kaku kemudian klojotan yang
berlangsung selama ± 5 menit kemudian berhenti sendiri. Setelah
kejang, os sadar dan menangis
Mata : mata merah (-), mata berair (+), nyeri pada mata (-)
THT : gangguan pendengaran (-), riwayat keluar cairan dari telinga (-)
Kardiovaskular : berdebar-debar (-)
Respirasi : batuk (-), pilek (-).
Gastrointestinal : gangguan BAB disangkal
Urogenital : Ganggaun BAK disangkal
Endokrin : pembesaran kelenjar di leher (-), kelainan genital disangkal
Muskuloskeletal :gangguan gerak (-), nyeri tekan (-)

4
III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesan Umum : nampak sakit sedang

Tanda vital
1. Suhu : 38 0 C (aksila)
2. Nadi : 82 kali/menit, teratur, teraba kuat, isi cukup
3. Nafas : 42 kali/menit, teratur, abdominal
4. Tekanan darah: tidak dilakukan

Status Gizi
1. Tinggi badan : 71 cm
2. Berat badan : 10 kg
3. index Quatelet (BB/TB2) : 19,9
4. Lingkar kepala: 46 cm (Normal - Nellhaus)
5. Lingkar lengan atas: 14 cm (Normal- Frisancho)
BB/U = 10/10,5 kg x 100%
= 95 % (Normal- WHO 2006)
TB/U = 71/76 cm x 100%
= 93 % (Normal- WHO 2006)
BB/TB = 10/71 x 100%
= 140% (Normal- WHO 2006)

Kesimpulan status gizi : Gizi baik berdasarkan data antropometrik.

5
Pemeriksaan Khusus

Kulit : petekie (-), purpura (-).


Kepala dan leher
1. Bentuk : Normocephal
2. UUB : sudah menutup
3. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi rata
4. Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor.
5. Hidung : sekret -/-, epistaksis -/-.
6. Mulut : Mukosa bibir sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil bengkak (-)
7. Gigi : Tidak karies gigi. Tidak ginggivitis
8. Faring : Hiperemis (-). Tidak edema
9. Telinga : Normotia. Tidak tampak sekret. Tidak nyeri tekan
10. Leher : Kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid tidak membesar
Dada
1. Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi (-)
2. Palpasi : Tidak ada fraktur costae. Tidak nyeri tekan.
3. Auskultasi : Jantung: Bising jantung 1, 2 murni. Gallop (-), Murmur (-)
Paru : vesikular di seluruh lapang paru, rongki(-), wheezing (-)
Abdomen
1. Inspeksi : datar, tidak tampak venektasi
2. Auskultasi : Peristaltik usus baik, terdengar 10x/menit.
3. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
4. Palpasi : Nyeri tekan (-) seluruh lapang abdomen. Nyeri lepas (-). Hepar
dan lien tidak membesar
Ekstremitas
1. Akral : hangat
2. Otot : Tidak atrofi. Tidak hipertrofi
3. Tulang : Tidak fraktur. Tidak kifosis. Tidak lordosis. Tidak skoliosis
4. Sendi : Tidak edema, tidak ada gangguan pergerakan sendi.

6
Tungkai kanan Tungkai kiri Lengan kanan Lengan kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus Kuat(skor 5) Kuat(skor 5) Kuat(skor 5) Kuat(skor 5)
Trofi _ _ _ _
Klonus _ _ _ _
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis _ _ _ _
Meningeal sign _ _ _ _
Sensibilitas + + + +
Meningeal Sign: Kaku kuduk (-), Brudzinki I (-), Brudzinki II (-), Kernig Sign (-),
Lasegue sign (-)
Genitalia : Laki-laki, kelainan genital (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG:


Pemeriksaan Hasil Satuan Normal

Hemaglobin 10.6 mg/dL 10.5 – 13.5


Leukosit 7.0 10^3/uL 6.0 – 15.0
Hematokrit L 32 % 36 – 44
Trombosit 264 10^3/uL 200 – 475
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
Basofil 0.3 % 0.0 – 1.0
Eosinofil L 0.3 % 1.0 – 3.0
Neutrofil 62.7 % 37.0 – 72.0
Lymposite 22.0 % 20.0 –70.0
Monocyte H 14.7 % 1.0 – 11.0

7
V. RESUME
Anak laki-laki 1 tahun 10 hari demam tinggi 14 jam SMRS, kejang 5 menit SMRS.
Kejang (+) ± 5 menit tonik-klonik, berhenti sendiri, setelah di tangani di UGD,
setelah kejang anak sadar (+), menagis (+). Dari pemeriksaan fisik: kesadaran
komposmentis, suhu 38,OC (aksila), HR= 82x/menit, RR= 42x/ menit, meningeal
sign (-).

Status gizi baik (menurut data antropometrik), tumbuh kembang sesuai usia
(berdasarkan Danver Development screening test), imunisasi dasar lengkap.

IV. DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam simpleks

V. TERAPI
1. Paracetamol syrup 10-15 mg/kgBB/hari = 100-150 mg/hari
2. Diazepam oral 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam (3 mg) atau diazepam rectal 0.5
mg/kgBB setiap 8 jam (5 mg diberikan jika suhu >38.5C)
3.Infus KAEN-3B dimana kebutuhan cairan
Makrodrip= 1000cc x 20 tetes = 14 tetes/ menit
24x 60
4.Terapi Non-medikamentosa:
- Banyak minum air putih
- Berikan gizi seimbang (menu makan bervariasi)
5. Kebutuhan kalori usia 1 th-3th= 100 kkal, BBI= 10,2 kg
= 100x 10,2= 1020 kkal/hari makanan biasa
Karbohidrat= 60% x 1020= 612 kkal/hari
Protein = 25%x 1020= 255 kkal/hari
Lemak= 15%x 1020= 153 kkal/hari

8
VI. KOMUNIKASI DAN EDUKASI
- Menjelaskan kepada orang tua bahwa kejang demam dapat terjadi berulang hingga
usia 6 tahun sehingga ibu harus sedia termometer, obat penurun panas, dan obat anti
kejang di rumah serta dibawa jika bepergian.
- Jika kejang terjadi di rumah:
 Pakaian ketat dibuka
 Posisi kepala dimiringkan untuk mencegah cairan masuk ke jalan napas
 Menjaga jalan napas agar oksigenasi cukup
 Jangan menahan kejang dengan paksaan.

VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Fungtionam : bonam
Quo ad Sanactionam : bonam

9
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kejang Demam

2.1.1 Definisi (1)


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38 ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk kejang demam.
Bila anak yang berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, epilepsy yang
kebetulan terjadi bersama demam.

2.1.2 Klasifikasi (1)


1. Kejang demam sederhana ( Simple Febrile Seizure )
2. Kejang demam kompleks ( Complex Febrile Seizure )

* Kejang Demam Sederhana


Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum tonik dan
atau klonik, umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam
waktu kurang dari 24 jam.

* Kejang Demam Kompleks


Kejang demam dengan ciri ( salah satu dibawah ini ) :
1. Kejang lamanya > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial; satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam

Insiden
Kejang demam terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Usia puncak
terjadinya kejang demam adalah antara 14 sampai 18 bulan. Dapat terjadi pada semua

10
ras, anak laki – laki insiden terjadinya kejang demam lebih tinggi dari anak perempuan.
Dan insiden terjadinya kejang demam adalah 2 %. (2)
Etiologi dan pathogenesis tidak diketahui dengan pasti tetapi faktor genetik
berpengaruh dalam meningkatkan terjadinya kejang demam. Insiden terjadinya kejang
demam pada anak yang orang tuanya pernah mengalami kejang demam adalah 8 – 22 %
dan jika saudaranya mengalami kejang demam insidennya adalah 9 – 17 %. (2)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kromosom 19p dan 8q13 – 21 telah
dipetakan sebagai kromosom yang berhubungan dengan terjadinya kejang demam. Di
negara Amerika, antara 2 % - 5 % anak – anak menderita kejang demam pada usia 5
tahun. Satu pertiga dari pasien ini akan mengalami rekurensi. Di Eropa barat diperoleh
data statistik yang serupa dengan di Amerika, sedangkan insiden di negara lain cukup
bervariasi, yaitu India 5 – 10 %, Jepang 8,8 %, Guam 14 %, Hong Kong 0,35 %, dan
Cina 0,5 – 1,5 %. (3)

2.1.3 Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti penyebab terjadinya kejang
demam. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga
tengah, infeksi saluran cerna dan saluran kemih. (3)

2.1.4. Faktor Resiko


Faktor resiko yang dapat menyebabkan kejang demam adalah (3)
1. Riwayat keluarga, dalam keluarga ada yang menderita kejang demam
2. Suhu tubuh yang tinggi
3. Terjadi hambatan dalam perkembangan anak
4. Anak pernah mengalami kejang demam pada usia > 28 hari ( kejang yang
membutuhkan perawatan perinatal )
5. Dengan adanya minimal 2 faktor resiko diatas dapat meningkatkan probabilitas
terjadinya kejang demam. Probabilitas kejang demam yang akan terjadi pertama
kali adalah 30 %
6. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan merokok saat masa kehamilan akan
memiliki resiko 2 kali lebih tinggi dari yang tidak

11
Satu pertiga dari jumlah anak – anak yang pernah memiilki riwayat kejang demam
akan dapat menderita kejang demam berulang. Yang masih menjadi dilema adalah karena
tidak ada data yang mendukung teori bahwa peningkatan suhu dapat menyebabkan
kejang demam. (3)
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko yang
dapat menyebabkan kejang demam berulang adalah (1)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 15 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80%, sedangkan bila tidak
terdapat faktor tersebut hanya 10 - 15 % kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang
paling besar adalah tahun pertama. (1)
Berdasarkan penelitian terhadap 55 pasien, 29 pasien anak laki – laki (53 %) dan
26 pasien anak perempuan (47 %), diperoleh bahwa 8 pasien mengalami kejang berulang
kembali sebanyak satu kali. Suhu yang terukur antara 38 – 38,5 °C (7 dari 25 pasien,
28%), riwayat epilepsi dalam keluarga (2 dari 2 pasien, 100%) berhubungan dengan
rekurensi terjadinya kejang demam kompleks. (3)

2.1.5 Patofisiologi (3)


Sel dikelilingi oleh suatu membran sel yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui ion Natrium
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-
K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.

12
Gambar 1. (1). Pada fase istirahat, Ion Na+ ada di ekstra sel dan Ion K+ ada di intra sel.
Membran sel bagian dalam bersifat lebih negatif daripada ekstra sel, (2). Pada fase
depolarisasi, pintu ion chanel jadi terbuka, Ion Na+ masuk ke intra sel, tapi membran sel
bagian dalam masih tetap negatif. (3). Karena Ion Na+ masuk terus menerus 
membran sel bagian dalam menjadi lebih positif, dan potensial membran sudah melewati
ambang maka terjadilah potensial aksi. (4). Setelah potensial aksi mencapai ambang
batas, maka Ion Na+ keluar ke ekstra sel  potensial membran kembali ke posisi semula.
(5). Setelah itu terjadilah hiperpolarisasi, dimana Ion K+ ikut keluar ke ekstra sel, setelah
itu kemnbali ke posisi istirahat.
Melalui gambar 1, dapat dijelaskan bahwa kejang dapat terjadi jika pompa
Ion Natrium – Kalium terus terjadi dan melampaui ambang batas atas potensial aksi.

13
Gambar 2. Neurotransmitter. Neurotransmitter – neurotransmitter yang dilepaskan ini
dapat merubah polarisasi membran sel postsinaptik. Diantara neurotransmitter –
neurotransmitter tersebut ada yang mempermudah pelepasan muatan listrik dengan
menurunkan potensial aksi.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C mengakibatkan kenaikan metabolisme


basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran sel tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik demikian besarnya
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda.

14
Neurotransmitter
dalam jumlah besar

Sel tetangga

K+ Na+

Postsinaps KEJANG
Gambar 3. Post sinaps : terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui
membran sel tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik
demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Gambar 4. Mekanisme terjadinya kejang demam

15
Kejang demam terjadi pada anak berusia muda, saat ambang batas terjadinya
kejang masih rendah. Saat ini pula anak – anak mudah sekali mengalami infeksi seperti
infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, sindroma virus, dan menyebabkan respon
berupa peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Pada penelitian dengan menggunakan
binatang percobaan ditemukan bahwa pirogen endogen, salah satunya yaitu interleukin 1
dapat meningkatkan aktivitas neuron, dan dapat menghubungkan antara demam dengan
terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya yang juga mendukung adalah bahwa cytokin
yang teraktivasi dapat menyebabkan terjadinya kejang demam.

2.1.6 Manifestasi Klinik (4)


Kejang demam sederhana berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara
cepat mencapai 39 °C. Kejangnya bersifat umum, tonik klonik dan berlangsung sekitar
10 menit, kemudian diikuti periode postictal berupa perubahan kesadaran.
Didiagnosa sebagai kejang demam kompleks jika lamanya kejang lebih dari 15
menit, kejangnya berulang di hari yang sama, atau timbulnya aktivitas kejang fokal.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Anak yang menderita kejang demam sebaiknya dilakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan rutin berupa elektrolit serum, glucosa darah, calsium, foto
röetgen tulang, dan pencitraan otak dapat membantu menegakkan diagnosis. Peningkatan
leukosit sampai diatas 20.000/μL dapat berhubungan dengan terjadinya bacteriemia.
Pemeriksaan darah lengkap dan kultur darah adalah pemeriksaan yang tepat untuk
membantu diagnosa. Diagnosis meningitis harus disingkirkan, karena pasien dengan
meningitis purulenta (meningitis bacterial) juga dapat ditemukan demam dan kejang.
Tanda dari meningitis adalah fontanel yang menonjol, kaku kuduk, stupor, dan
iritabilitas. Tanda dari meningitis ini selalu dapat tidak ditemukan, terutama pada anak
yang berusia kurang dari 18 bulan. (1)
Pemeriksaan EEG (Elektroencephalografy) yang dilakukan diantara dua serangan
kejang tidak ditemukan kelainan, terutama jika diperiksa pada hari ke 8 – ke 10 setelah
kejang. (1)
Setelah demam reda dan kejangnya teratasi, perlu dipertimbangkan apakah
dilakukan lumbal pungsi atau tidak untuk menyingkirkan kemungkinan adanya

16
meningitis purulenta. Semakin muda usia pasien semakin penting lumbal pungsi, karena
tidak banyak yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa
meningitis. Lumbal pungsi sebaiknya dilakukan pada anak yang berusia lebih muda dari
2 tahun, masa penyembuhannya lama, dan tidak ditemukannya penyebab kejang
demamnya. (1) Resiko terjadinya meningitis purulenta adalah 0.6 – 6,7%. (2)
Lumbal pungsi sangat dianjurkan untuk dilakukan pada pasien yang berusia
kurang dari 12 bulan, karena gejala meningitis purulenta minimal atau sama sekali tidak
ada pada usia ini. Lumbal pungsi dapat dipetimbangkan untuk dilakukan pada pasien
yang berusia 12 – 18 bulan. Dan lumbal pungsi tidak rutin dilakukan pada pasien berusia
diatas 18 bulan, pada usia ini tergantung penemuan klinis meningitis purulenta. (2)

2.1.8 Diagnosis Banding (2)


Diagnosis banding kejang demam adalah

* Epilepsi
Kejang terjadi karena lepas muatan listrik yang berlebihan di sel
neuron syaraf pusat.
Manifestasi klinik :
Tidak ada maupun tidak diawali dengan demam, kejang dapat
tonik/klonik/absensce, setelah kejang terjadi penurunan kesadaran, tidak disertai
dengan infeksi lain.
Pemeriksaan penunjang :
Dengan EEG ditemukan abnormalitas gelombang otak

* Meningitis/Ensepalitis
Manifestasi klinis yang ditemukan :
Panas, gangguan kesadaran, kejang, muntah-muntah, kaku kuduk (+)
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan LCS ditemukan warnanya keruh, tekanannya meningkat, bakteri
yang meningkat, protein meningkat, glukosa menurun, sel limfosit meningkat.

17
2.1.9 Komplikasi
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam dan kematian sampai saat
ini belum pernah dilaporkan. (1)
Tiga sampai enam persen anak – anak yang mengalami kejang demam akan
mengalami epilepsi. Kejang demam kompleks dan kelainan struktural otak berkaitan
dengan peningkatan resiko terjadinya epilepsi. (5)

2.1.10 Penatalaksanaan Kejang (1)


Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan bila datang berobat kejangnya
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kg perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau
dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5
mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat
badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia
3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal masih dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan
disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10 – 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis
awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demamnya dan faktor resikonya, apakah kejang demam sederhana atau kompleks.

18
Pemberian obat saat demam (1)
*Antipiretik
Antipiretik dianjurkan diberi pada saat demam, walaupun tidak ditemukan bukti
bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam. Dosis
asetaminofen yang digunakan berkisar 10 – 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kg/kali, 3 – 4 kali sehari
Acetaminofen dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari
18 bulan, meskipun jarang. Paracetamol 10 mg/kg sama efektifnya dengan ibuprofen 5
mg/kg dalam menurunkan suhu tubuh.

*Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5
mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 °C.
Dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabakan ataksia, iritabel dan sedasi
yang cukup berat pada 25 – 39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.

Pemberian obat rumatan (1)


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan resiko berulang kejang.
Dengan meningkatnya pengetahuan tentang kejang demam `benign` dan efek
samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terus menerus
diberikan dalam jangka pendek, kecuali pada kasus yang sangat selektif. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40 –
50 %). Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis
namun insidennya kecil.
Dosis asam valproat 15 – 40 mg/kg/hari dalam 2 – 3 dosis, fenobarbital 3 – 4
mg/kg/hari dalam 1 – 2 dosis.

19
Algoritma pengobatan medikamentosa saat terjadi kejang demam. (1)

1. 5-15 menit Kejang

perhatikan jalan nafas, kebutuhan O2 bantuan


pernapasan

Bila kejang menetap dalam 3-5 menit :


 Diazepam rektal
< 10 kg : 5 mg
> 10 kg : 10 mg
atau
 Diazepam IV (0,2-0,5 mg/kg/dosis.
Dapat diberikan 2 kali dosis dengan interval
5-10 menit

2. 15-20 menit

(pencarian akses vena dan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi )

Kejang (-) Kejang (+)

Fenitoin IV (15-20mg/kg) diencerkan


dengan NaC1 0,9% diberikan selama 20
menitatau dengan kecepatan 50
3. > 30 menit : status konvulsivus mg/menit

Kejang (-) Kejang (+)

Dosis pemeliharaan fenitoin IV5-7 mg/kg Fenobarbital IM


10-20 mg/kg
diberikan 12 jam kemudian

Kejang (-) Kejang (+)

Dosis pemeliharaan fenobarbital IM Perawatan Ruang Intensif

5-7 mg/kg diberikan 12 jam


kemudian

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail Sofyan, Taslim S Soetomenggolo, Bistok Saing, dkk. Konsensus


Penanganan Kejang Demam. Indonesia: Badan Penerbit IDAI; 2005. P. 1-23
2. Baumann Robert. Febrile Seizures. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview pada tanggal Juli 20,
2014.
3. Tenjani Noorudin R. Pediatrics, Febrile Seizures. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview pada tanggal November
1, 2006.
4. Johnston Michael V. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. United States:
Saunders; 2004. P. 1283-7
5. Schwartz M. William. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG; 2005. P. 101-9

21

Anda mungkin juga menyukai