Pengertian
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, A. 2011). Cidera kepala
merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga dari luar
yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha &
Rahil, 2011).
2. Etiologi
3. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi
terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (contrecoup).
4. Manifestasi Klinis
a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak
tegap, kehilangan tonus otot.
b. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia
disritmia).
c. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
d. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua
fungsi.
e. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,
disfagia)
f. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil
(respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman
dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau
lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh.
g. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
i. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau
hidung (css), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot
hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan
dalam regulasi tubuh.
j. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang –
ulang.
k. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
l. Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan
impulsif.
m. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
n. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam
penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
o. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
p. Trauma baru atau trauma karena kecelakaan
q. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya
hematoma atau edema intestisium.
r. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
s. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
t. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan
detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak
dengan kompresi pada batang otak.
u. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan
dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk
berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan tik. Hematoma
subdural kronis juga dapat terjadi (price dan wilson, 2006).
5. Komplikasi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa
vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya,
menjerit atau menjukan respon reflek.
b. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain.
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan
terjadinya penglihatan ganda.
f. Komplikasi lain :
Kejang
Pneumonia
Perdarahan gastrointestinal
Distrimia jantung
Hidrochepalus
Kerusakan control respirasi
Inkotinensia bladder dan bowel
Kebocoran
Liquor cerebro spinal.
Edema pulmonal
Bocornya lcs
gangguan mobilisasi
Hipovolemia
hiperthermia
Infeksi
6. Pemeriksaan diagnostic/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Agd : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan tik atau perubahan mental.
b. Radiology
CT-Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak.
MRI : sama dengan CT-Scan
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
Sinar-X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan)
adanya fragmen tulang.
Baer : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
Pet : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
Screen toxicology : untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani
obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
Myelogram : dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
Thorax X-Ray :untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
sub arakhnoid.
d. Abgs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, screen
toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
e. Pemeriksaan fungsi pernafasan: mengukur volume maksimal dari
inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan
cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7. Penatalaksanaan Medis/Keperawatan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi
dan tirah baring.
2) Dilakukan pembersihan/debridement dan sel-sel yang mati
(secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka)
3) Dilakukan ventilasi mekanis
4) Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika
5) Dilakukan metode-metode untuk menurunkan tekanan
intrakranial termasuk pemberian diuretik dan anti inflamasi
6) Meningkatkan pencegahan terutama jatuh, dorong untuk
menggunakan alat pengaman seperti helm,sabuk pengaman
7) Lakukan pengkajian neurologik
Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
TTV ( TD, nadi)
Pupil (isokor, anisokor)
Fungsi motorik dan sensorik
8) Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan
memindahkan anak sampai kemungkinan cedera servikal telah
disingkirkan/ditangani. Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30
derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
9) Pantau adanya komplikasi
1. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
2. Periksa adanya peningkatan TIK
3. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
b. Penatalaksanaan Medis
1. Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi
penderita. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan
berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak
yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah
nacl 0,9 % atau RL. Kadar natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak
dan harus dicegah dan diobati.
2. Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati,
hiperventilasi dapat menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang lama
dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun PCO2 < 25 mmHg, hiperventilasi harus dicegah.
Pertahankan level PCO2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
3. Manitol diberikan dengan dosis 1 gram/kgBB bolus IV. Indikasi
penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal,
kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis.
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi
karena akan memperberat hypovolemia.
4. Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh
diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi,
karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah.
5. Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis.
6. Dapat diberikan phenothiazine.
7. Amitriptilin dan propanol untuk mengendalikan kecemasan
8. Menggunakan ergonovine amitriptilin dan propanol pada 100
pasien, 19 diperoleh perbaikan yang nyata, 24 perbaikan
sedang dan sisanya hanya sedikit perbaikan atau tidak ada
perubahan. Pemberian analgesic dapat mendukung, namun
harus dibatasi penggunaan hariannya.
9. Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500
mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap
analgesik.
10. Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis
yang akurat, dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek
inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan kata lain,
metilprednisolon bekerja dengan cara:
Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi
fosfolipid dan komponen membran lain dari kerusakan.
Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan terhadap pasien cedera kepala di ruang gawat
darurat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pengkajian primer (primary survey) dan
pengkajian sekunder (secondary survey). Data dapat diperoleh secara primer
(klien) dan secara skunder (keluarga, saksi kejadian/pengirim, tim kesehatan lain).
a. Primary survey:
1) Data subyektif:
Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: nama, umur,
jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
Keluhan utama: bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang
lain?
Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
Mekanisme cedera: bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi
cedera.
Allergi (alergi): apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
Medication (pengobatan): apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan
pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses
pengobatan terhadap penyakit tertentu.
Past medical history (riwayat penyakit sebelumnya): apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah
penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
Last oral intake (makan terakhir): kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
Event leading injury (peristiwa sebelum/awal cedera): apakah pasien
mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?
2) Data obyektif:
Airway/c-spine: obstruksi jalan nafas berupa darah/muntahan, lidah jatuh
ke belakang, bunyi nafas (stridor, ronkhi, wheezing).
Breathing/pernafasan: tachipnea, penggunaan otot bantu pernafasan,
dispnea sampai apnea, bisa berupa nafas chyene stokes, kusmaul,
sianosis, penurunan saturasi oksigen.
Circulation/sirkulasi: perdarahan kulit kepala, perdarahan intra cranial,
pucat, akral dingin, crt lambat, denyut nadi lemah/tak teraba,
bradikardi/takikardi diselingi disritmia, hipotensi.
Disability: kesadaran compos mentis atau menurun sampai koma, gcs
<15, reflek pupil terhadap cahaya (-), pupil an isokor, midriasis, tanda-
tanda lateralisasi (+).
b. Secondary survey
Exposure: luka pada kulit kepala, edema, patah tulang tengkorak (terbuka,
tertutup), luka pada organ lain.
Five intervention:
monitor ekg: bradikardi/takikardia, disritmia, saturasi oksigen <90%
atau >90%.
pruduksi urine: cukup, oliguria, an uria.
ngt: muntah, cairan lambung (darah, hijau)
Hasil laboratorium: penurunan hb, ph, pao2, sao2, peningkatan paco2,
gangguan elektrolit.
Give comfort: nyeri kepala, pusing.
Head to toe:
kepala: luka terbuka, perdarahan, jejas, edema, fraktur.
wajah: luka terbuka, nafas cuping hidung, perdarahan
hidung/telinga.
Inspection back: selalu waspada terhadap adanya cedera pada tulang
belakang.
c. Primary survey
Primary survey merupakan deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi
yang mengancam yang bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien yang
mengancam jiwa dan kemudian dilakukan tindakan life saving.
1) Airway
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal
Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan
menggunakan teknik head tilt/chin lift/jaw trust, hati-hati pada korban
trauma
Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
Suctioning bila perlu
Berikan oksigen sebanyak 10-12 liter/menit agar semua hemoglobin
mendapatkan oksigen.
Cek saturasi oksigen (> 95% = normal)
2) Breathing
Amati pergerakan dinding dada, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan
nafas atau tidak.
3) Circulatation
Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
Hentikan perdarahan eksterna dengan rest, ice, compress, elevation
(istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time,
nadi, sianosis, pulsus arteri distal
Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah
ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan
demikian syok dengan trauma kepala dilakukan penanganan dengan
agresif.
Apabila pasien kekurangan cairan, berikan cairan kristaloid dan koloid
dengan perbandingan 3:1 hingga map pasien lebih dari sama dengan 95.
Kristaloid dan koloid diberikan dalam suhu 390c.
4) Susunan saraf pusat (disability)
Cek kesadaran
Adakah cedera leher
Perhatikan cedera pada tulang belakang
5) Kontrol lingkungan (exposure/ environmental )
Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi/kedinginan
d. Secondary survey
Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan
mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala
sampai kaki (head to toe) yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit atau trauma
yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.
e. Anamnesis :
Riwayat “ample” yang harus diingat yaitu :
A : alergi
L : Last Meal
Pemeriksaan fisik :
a. Posisi saat ditemukan bahwa pada setiap cedera kepala harus selalu
diwaspadai adanya fraktur servikal
b. Nilai tingkat kesadaran dengan mengajak berbicara lalu hitung gcs pasien
c. Sikap umum dan keluhan untuk mengambil tindakan yang tepat
d. Cek adanya trauma ataupun kelainan
e. Observasi keadaan kulit
2. Periksa kepala dan leher
b. Telinga
Amati adanya perlukaan, darah, cairan
c. Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak
mata, adanya benda asing, pergerakan abnormal
d. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat
trauma
e. Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/
tidak
f. Bibir
Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering
g. Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi
h. Kulit
Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna
i. Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas
tulang leher
3. Periksa dada
Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan,
perlukaan (luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas.
4. Periksa perut
6. Periksa pelvis/genetalia
8. Pemeriksaan neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
Gcs
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera biologis kontraktur (terputusnya
jaringan tulang)
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/kongnitif,
terapi pembatasan kewaspadaan keamanan mis tirah baring, immobilisasi
i. Resiko infeksi
k. Ansietas
Intervensi
11 Ansietas
NOC NIC
Perasaan tidak nyaman atau
kekawatiran yang samar Kontrol ansietas (penurunan kecemasan)
Level ansietas
Jelaskan semua prosedur
Coping
dan apa yang dirasakan
selama prosedur
Kriteria Hasil : Pahami prespektif pasien
terhadap situasi stress
Klien mampu Temani pasien untuk
mengidentifikasi dan memberikan keamanan
mengungkapkan gejala dan mengurangi takut
cemas Identifikasi tingkat
Mengidentifikasi, kecemasan
mengungkapkan dan Bantu pasien mengenal
menunjukkan tehnik untuk situasi yang
mengontrol cemas menimbulkan kecemasan
Vital sign dalam batas Dorong pasien untuk
normal mengungkapkan
Postur tubuh, ekspresi perasaan, ketakutan,
persepsi
wajah, bahasa tubuh dan
Instruksikan pasien
tingkat aktivitas menggunakan teknik
menunjukkan relaksasi
Berikan obat untuk
berkurangnya kecemasan
mengurangi kecemasan
Implementasi
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah
kategori dari perilaku keperawatan yang dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang
dilakukan dan diselesaikan. (Potter & Perry, 2005 )
Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi
dilakukan berdasarkan respon pasien terhadap tindakan yang diberikan, Doenges
M.E, Moorhouse M.F, Geissler A.C, (2012)
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, Jakarta:
EGC
Smeltzer, Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC