1.1 DEPINISI
Penyakit paru-paru obstruksi menahun adalah penyakit paru-paru yang berlangsung lama
dan ditandai dengan peningkatan restensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologinya (Amin, Hardhi. 2013).
PPOK atau penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang merujuk pada
sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang
paling sering adalah Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Asmadi. 2008).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis
atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas
bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
1.2 KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai
berikut:
1. Bronkitis kronik
2. Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun
berturut-turut.
3. Emfisema paru
4. Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomic, yaitu suatu perubahan anatomic paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis,
yang disertai kerusakan dinding alveolus.
5. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai
penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.
6. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan
oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing,
muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor,
pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe. Pengaruh dari masing-masing
factor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap
yang paling dominan.
1.3 ETIOLOGO
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi
kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK.
Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan
asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko
penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1%
penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan
awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat
fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa.
Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya
PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas
PPOK.
1.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi
saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-
sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan
serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai
akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat
karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan
bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag
alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien
kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan
menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi
teregang secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut
menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien
mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan
peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan
campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan
hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi
alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini,
perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau
bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau
berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada
pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua
perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-
paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen
menurun dan kadar karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena
kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang
mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah
dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang
dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia
untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan
asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular
pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh
pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel
kanan.
1.5 TANDA DAN GEJALA
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada
sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak
khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang
menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan
yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.
Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup
drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah,
penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal.
Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan
tenaga dalam melakukan pernafasan.
1.6 KOMPLIKASI
1. Hipoksemia
Didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2 kurang dari 55 mmHg dengan nilai saturasi O2
kurang dari 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
2. Asidosis respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 ( hiperkapnia ). Tanda yang muncul antara lain nyeri
kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
3. Infeksi saluran pernapasan
Karena peningkatan produksi mukosa, peningkatan rangsang otot polos bronchial, dan edema
mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan menimbulkan dispnea.
4. Gagal jantung
Akibat dari penyakit paru-paru terutama pada pasien dispnea berat.
5. Disritmia jantung
Timbul akibat hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat, atau terjadinya asidosis respiratori.
6. Status asmatikus
Merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan asma bronkial. Penyakit ini sangat
berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak memberikan respon terhadap terapi
yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali
terlihat.
1.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
(2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan
oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau
eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam
dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat
menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55
mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk
itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan
fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah
efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah
untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan.
Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka
inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan.
Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan
tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa
inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian
inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram
dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif
dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan
patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu
mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian
besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan
sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai
tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan
sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi,
hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea,
seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik
profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses
penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk
membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan
sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa.
Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala
meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan
sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa
klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan
pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh
perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
4. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat
progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia.
Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk
mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi,
terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi
lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta
penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC NOC.
Yogyakarta : Media Action.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta :
Salemba Medika.
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2. Jakarta
: EGC Buku Kedokteran.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran