aldosteron, yang akhir akhir ini sedang banyak diteliti perannya dalam mekanisme
manajemen tatalaksana syok. Dalam sebuah jurnal penelitian berjudul Angiotensin II
untuk Tatalaksana Syok dengan Curahan Jantung Tinggi (Angiotensin II for the
Treatment of High Output Shock/ ATHOS-3), 344 pasien syok akibat vasodilatasi
pembuluh darah (259 di antaranya merupakan syok sepsis) yang secara acak
mendapatkan vasopresor angiotensin II ataupun plasebo dengan dosis 0,2 μg /kg /mnt
(ataupun setara itu). Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa pada kelompok
yang mendapatkan angiotensin II mengalami peningkatan MAP secara signifikan
dalam 3 jam pemberian angiotensin II melalui jalur infus. MAP meningkat pada
69,9% pasien dalam kelompok angiotensin II dibandingkan dengan 23,4% pada
kelompok plasebo (odds rasio 7,95, 4,76 hingga 13,3; P <0,001). Peningkatan lain
juga terlihat pada skor SOFA kardiovaskular, dengan skor menurun rata-rata -1,75
poin untuk pasien dalam kelompok angiotensin II dibandingkan dengan -1,28 poin
pada kelompok plasebo (P = 0,01). Tidak ada perbedaan yang terlihat pada mortalitas
rawat inap. Dalam sebuah analisis sederhana pada subkelompok kecil pasien yang
diobati dengan terapi penggantian ginjal (Renal Replacement Therapy/ RRT)
menunjukkan bahwa pasien yang menerima angiotensin II membutuhkan lebih sedikit
RRT, serta kemungkinan bertahan hidup untuk melewati hari ke 28 yang lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan kelompok plasebo (53% v 30%; P = 0,012), dan
kemungkinan hidup dan bebas RRT pada hari ke 7 (38% v 15%; P = 0,037) yang
lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo. Jika hasil ini divalidasi kembali dalam
penelitian kohort dengan skala yang lebih besar, angiotensin II diperkirakan dapat
digunakan sebagai suatu pengobatan baru untuk SA-AKI.
Norepinefrin dan vasopresin hingga saat ini tetap menjadi terapi lini pertama
untuk pengobatan syok sepsis, walaupun pengobatan syok sepsis sendiri harus
disesuaikan dengan keadaan masing-masing pasien. Meskipun penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa target MAP yang lebih tinggi dari 65 mmHg direkomendasikan
dalam pedoman sepsis, dan menurunkan tingkat kebutuhan terapi RRT pada pasien
dengan hipertensi, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa pemberian norepinefrin
dan vasopressin juga diikuti dengan peningkatan angka harapan hidup. Target MAP
yang lebih tinggi harus disertai dengan pengawasan aktif untuk mengevaluasi ada
tidaknya efek samping yang membahayakan pasien dari penggunaan agen vasopresor
ini.
Ventilasi Mekanis
Pada pasien dengan penyakit kritis yang disertai sepsis dan syok sepsis, sering
kali membutuhkan ventilasi mekanis dengan tekanan positif (PPV) untuk
memberikan bantuan oksigenasi, ventilasi, dan perlindungan jalan napas akibat
adanya kegagalan organ. PPV telah lama diketahui memiliki efek samping yang
berpotensi merusak perfusi ginjal maupun fungsi ginjal. Baru-baru ini, terdapat
publikasi ulasan sistematis (systematic review) berkualitas tinggi dan penelitian meta-
analisis yang melaporkan adanya hubungan antara penggunaan ventilasi mekanik
invasif dengan onset kejadian AKI setelahnya, serta membandingkan volume tidal
dan tekanan positif akhir ekspirasi baik yang tinggi maupun rendah terhadap
timbulnya kejadian AKI, dan ditemukan bahwa rasio odds untuk kejadian timbulnya
AKI akibat pengaturan ventilasi mekanis adalah 3,16 (2,32 hingga 4,28), dengan hasil
temuan serupa juga ditemukan dalam sebuah analisis multivariat (3,48 , 1,85 hingga
6,92).
Dalam sebuah penelitian yang menggunakan model hewan dan penelitian uji
klinis menunjukkan adanya kemungkinan mekanisme yang multifaktorial. PPV dapat
meningkatkan tekanan intrathorakal, mengurangi aliran balik vena, curah jantung,
dan perfusi ginjal. Berbagai mekanisme yang diusulkan ini didukung oleh beberapa
uji klinis mengenai ARDS. Dalam sebuah uji coba terkontrol dan terandomisasi
(RCT) mengenai ventilasi volume tidal yang rendah pada ARDS, gagal ginjal terlihat
lebih jarang terjadi pada pasien dalam kelompok intervensi volume tidal yang lebih
rendah. Penelitian RCT yang lebih baru mengenai pengaturan dan titrasi paru dengan
menggunakan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP), tidak secara spesifik
melaporkan adanya efek terhadap ginjal, akan tetapi penelitian RCT tersebut
melaporkan adanya insiden yang lebih tinggi terhadap kebutuhan untuk
meningkatkan dosis penggunaan obat obatan vasoaktif (34,8% v 28,3%; P = 0,03)
dalam kelompok PEEP yang memiliki tekanan akhir ekspirasi yang secara signifikan
lebih tinggi. Namun, hasil penelitian ini belum konsisten dari semua percobaan yang
ada. Sebuah penelitian RCT yang membandingkan nilai PEEP yang tinggi dan rendah
pada 767 pasien dengan ARDS tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam kejadian
cedera ginjal, meskipun pada kedua kelompok tersebut sama sama memiliki tingkat
kejadian yang rendah. Selain itu, dalam sebuah penelitian meta-analisis menunjukkan
bahwa volume tidal maupun PEEP tidak memiliki efek modifikasi pada populasi
pasien dengan persentase ARDS yang rendah, serta adanya peningkatan risiko tiga
kali lipat kejadian AKI pada penggunaan ventilasi mekanis.
Tabel 5. Terapi pada kejadian Sepsis terkait Cedera Ginjal Akut (SA-AKI); terapi
yang telah digunakan saat saat ini dan penelitian lebih lanjut
Dalam sebuah studi klinis praklinis sederhana, pemberian alkali fosfatase
sistemik telah terbukti menunjukkan adanya efek perlindungan pada SA-AKI. Alkali
fosfatase telah dianggap efektif melalui mekanisme defosforilasi langsung dari
endotoksin yang menyebabkan peradangan dan disfungsi organ serta memperbaiki
tingkat kelangsungan hidup.
Hingga saat ini, ada banyak data mengenai penggunaan RRT dalam
tatalaksana SA-AKI yang disebutkan pada percobaan percobaan dengan skala lebih
besar yang telah melakukan penelitian terhadap dosis, waktu, dan modalitas RRT
dalam tingkat populasi yang lebih luas dibandingkan populasi pasien ICU yang
membutuhkan RRT. Akan tetapi, beberapa penelitian memilih berfokus pada pasien
yang spesifik dengan SA-AKI, dan hal inilah yang akan dibahas di bawah ini serta
diringkas dalam tabel 7.
Data spesifik mengenai kejadian sepsis dan SA-AKI yang terjadi pada saat
mendapatkan RRT menunjukkan adanya potensi kejadian bahaya dengan inisiasi
pemberian RRT sebelumnya. Pada penelitian multisenter, terandomisasi dan
terkontrol (RCT) baru-baru ini, meneliti pasien pasien dengan syok sepsis tahap awal
yang memiliki AKI RIFLE- tahap gagal (tabel 1) yang memenuhi kriteria inklusi
awal dan secara acak mendapatkan terapi RRT dalam waktu 12 jam ataupun
mendapatkan terapi RRT dengan penundaan dalam waktu 48 jam (apabila
memungkinkan dan diperlukan). Percobaan ini kemudian dihentikan lebih awal
karena kesia-siaan, 58% (138 orang /239 orang) dari kelompok awal dan 54% (128
orang /238 orang) dari kelompok tertunda dilaporkan telah meninggal (P = 0,38).
Selain itu, sebanyak 93 orang (38%) pasien dalam kelompok yang tertunda tidak
pernah membutuhkan RRT. Sebagai tambahan terhadap penelitian skala besar yang
spesifik terhadap SA-AKI, penelitian penelitian yang ada menunjukkan hasil bahwa
memulai terapi RRT lebih awal pada pasien dengan sepsis mungkin tidak
menunjukkan adanya manfaat yang berarti.
Data yang ada saat ini menunjukkan manfaat dari pemberian modalitas RRT
yang spesifik. Sebuah penelitian RCT secara acak terhadap 77 pasien dengan AKI
yang membutuhkan pemberian RRT kontinyu untuk menerima hemofiltrasi vena
kontinyu atau hemodialisis vena kontinyu dengan pemberian dosis 35 mL/kg/jam (63
pasien (82%) di antaranya memiliki sepsis). Hasil yang ada menunjukkan tidak
adanya perbedaan dalam pemulihan ginjal ataupun perbaikan mortalitas dalam 60
hari (56% v 55%). Dan juga, tidak ada data yang mendukung penggunaan
hemodialisis intermiten selama penggunaan RRT kontinu (ataupun sebaliknya) dalam
manajemen tatalaksana SA-AKI. Meskipun beberapa penelitian telah menyelidiki
permasalahan ini, metaanalisis dan RCT skala besar tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang berarti. Dengan demikian, dokter harus memulai modalitas RRT
dengan dosis yang nyaman untuk pasien dengan SA-AKI hingga dapat mencapai
dosis yang direkomendasikan oleh pedoman yang ada yaitu sebesar Kt/V 3,9 per
minggu dalam pengaturan dialisis intermiten dengan dosis yang diberikan 20-25
mL/kg/jam pada RRT kontinyu, serta dosis yang dapat mencapai pembersihan dan
ultrafiltrasi yang diinginkan untuk setiap pasien dengan kondisi tertentu.