[1] PMII dilahirkan pada tanggal 17 April 1960 di Sekolah Mu’alimat NU Wonokromo, Surabaya dalam situasi politik zamannya.
Organisasi tersebut terbentuk berkat desakan kuat beberapa mahasiswa NU untuk membentuk sayap organisasi kemahasiswaan
yang bergerak di bidang kaderisasi, menjunjung tinggi intelektualitas dan kualitas kepemimpinan kaum muda. Maka atas dasar itu,
PMII lahir dari departemen perguruan tinggi IPNU sebagai kelanjutan kaderisasi di tingkat mahasiswa.
Lahirnya PMII memiliki hierarki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari kegelisahan kader NU di tingkat mahasiswa sampai pada
berdirinya departemen perguruan tinggi IPNU yang kemudian mengadakan forum untuk menindaklanjuti usulan pembentukan
organisasi baru di tingkat mahasiswa. Forum tersebut berlangsung pada 17 April 1960 atau bertepatan dengan 21 Syawal 1379 H
yang menghasilkan beberapa keputusan. Pertama, menyepakati berdirinya organisasi mahasiswa NU dengan nama “Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia”, disingkat PMII. Kedua, susunan peraturan dasar organisasi dalam mukaddimahnya jelas dinyatakan
bahwa “PMII merupakan kelanjutan/mata rantai dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU”. Ketiga, menetapkan 17 April sebagai
hari lahir PMII. Pada hari itu juga Peraturan Dasar PMII resmi diberlakukan. Keempat, memutuskan pembentukan tiga formatur,
Mahbub Djunaedi sebagai Ketua Umum, A. Chali Mawardi sebagai Ketua Satu dan M. Said Budairi sebagai Sekretaris Umum PP
PMII periode pertama. Zainul Arifin, dkk, KH. Moh. Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan,2009, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren), hal, 83-84.
[2] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru. Lihat, NU Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu
PMII “Pulang” ke NU. Edisi Sabtu 01/11/2014
[3] Secara historis, lepasnya PMII dari NU didasari oleh karena NU adalah partai politik. Saat itu, di mana pemerintahan Orde Baru
berkuasa, suasana politik begitu mencekam. Pada tahun pemilu tahun 1971 Partai NU menjadi kekuatan utama. Kalau pemilu
1955, Partai NU memperolah suara 18,3% sementara pada tahun 1971 menjadi 18,8%. Ini berarti perolehan suara NU pada pemilu
1971 mengalami kenaikan meskipun mendapat intimidasi yang kaut dari militer. Golkar (waktu itu namanya Sekber Golkar) sebagai
pemenang sekaligus menjadi maenstreamyang sedang tumbuh di mana proses birokratisasi dan militerisasi politik itu sedang
terjadi. Posisi Partai NU saat itu sebagai kelompok politik yang paling berlawanan dengan Golkar. Dengan demikian, mau tidak mau
Partai NU dan seluruh jajarannya memperoleh proses peminggiran yang luar biasa. PMII adalah bagian dari itu, sehingga harus
juga dipinggirkan, maka rektor-rektor IAIN yang berlatar belakang NU diganti, pejabat-pejabat di departemen agama yang alumni
PMII dihabiskan dan lebih celaka lagi, lembaga kultural yang menjadi binaan NU seperti pesantren—basis terakhir yang menjadi
pertahanan NU—dikucilkan. Lihat: Wardi Taufiq, Bergerak dengan Nalar Baru, Meraih Citra Baru Keislaman dan
sungguh tidak menguntungkan. Dari perenungan itu lahirlah keputusan untuk melepaskan diri dari Partai NU. Artinya, PMII
memutuskan untuk independen dari NU. Keputusan independensi tersebut terjadi di Murnajati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang
kemudian disebut “Deklarasi Murnajati”. Deklarasi Murnajati pada 1972 tersebut memberikan keputusan telak kepada NU untuk
tidak ikut campur lagi dalam urusan keorganisasian PMII. Deklarasi Murnajati menandakan bahwa sejak saat itu PMII telah memilih
ruang gerak sendiri. Pernyataan independensi ini merupakan babak awal untuk merumuskan PMII sebagai organisasi kader
intelektual, sebagaimana disandang oleh mahasiswa, bukan lagi sebagai organisasi kader partai
[7] Sejauh perjalanannya, PMII telah melewati tiga fase besar yang hal itu berpengaruh pada konstruksi cara berpikir. Pertama, antara
1960-1970, yaitu di saat PMII mulai didirikan dan harus menjawab tantangan zaman: menjadi organisasi kader bagi Partai NU; dan
perkembangan revolusi zaman. Sebagai organisasi kader, ketika itu PMII dituntut untuk melakukan pendukungan penuh terhadap
apa yang diperjuangkan Partai NU. Kedua, periode pencarian identitas diri (1972-1990) setelah menyatakan independen dari Partai
NU. Ketiga, periode memantapkan identitas politik (1991-2000), yaitu pengembangan wacana-wacana kritis dengan lebih banyak
menghidupkan kelompok-kelompok diskusi, pendidikan masyarakat dan dibarengi aksi di jalanan. Lihat: Syaiful Bahri Anshori,
dkk, Fiqh Kewarganegaraan; Intervensi Agama-Negara terhadap Masyarakat Sipil, 2000, (Jakarta: PB PMII) hal, 148
[8] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru. [9] Secara formal NU memang bukan organisasi politik
berdasarkan muktamar 1983 di Situbondo dengan pernyataan kembali ke khittah 1926. Tetapi dalam realitasnya semangat politik
orang-orang NU masih kuat dan terkadang hal itu melibatkan organisasi NU untuk terlibat. Maka jangan heran, di desa-
desa maenstreamterhadap kiai dengan partai politiknya masing-masing masih sangat kental hingga sekarang. Bahkan maenstream
tersebut seringkali mengakibatkan perpecahan di internal NU sendiri.