Anda di halaman 1dari 5

ANTARA PMII DAN NU; MENIMBANG PMII MENJADI BADAN OTONOM NU

Oleh: Imam Nawawi


Polemik tentang kembalinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ke NU terus bergejolak. Satu pihak berpandangan, PMII
tidak musti kembali ke NU sebab hal itu bukanlah sesuatu yang substansial karena hanya persoalan struktural saja. Persoalan
struktural tidak perlu menjadi masalah. Bahkan jika PMII kembali ke struktural NU, hal itu merupakan suatu kemunduran. Terbukti,
dalam kaderisasi PMII lebih maju dibanding badan otonom NU yang ada seperti IPNU atau IPPNU.
Di lain pihak ada juga yang mengatakan bahwa PMII harus ‘pulang’ ke NU. Secara historis dan kultural PMII dan NU memiliki
keterkaitan yang sangat erat sehingga seolah-olah keduanya adalah satu; PMII ya NU, dan NU ya PMII. PMII lahir dari rahim NU,
maka mau tidak mau PMII harus pulang ke induknya[1]. Bahkan di pihak ini sempat muncul selentingan, jika PMII tidak mau
kembali ia adalah anak durhaka atau kader murtad.
Sungguh, polemik tersebut berlangsung sejak awal ditetapkannya hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi
Besar Nahdlatul Ulama’ (Munas-Konbes NU) ke-32 hingga sekarang. Munas-Konbes NU tersebut berisi ultimatum kepada PMII
untuk segera kembali pada NU. Selain itu, Munas-Konbes NU yang berlangsung di Makassar tersebut juga memberikan masa
tenggang kepada PMII sampai pelaksanaan muktamar ke-33 di Jombang besok untuk menentukan sikap. Jika PMII tetap tidak mau
kembali maka NU akan mendirikan badan otonom baru di tingkat mahasiswa.[2]
Masa tenggang tersebut tidak lain dikeluarkan sebagai puncak ketidak-puasan NU atas sikap interdependensi PMII sekaligus
sebagai sebuah ‘ancaman’. Kemungkinan besar adanya ultimatum seperti itu lantaran dari dulu PMII tidak pernah menanggapi
secara ‘serius’ seruan NU. Maka dari itu PMII harus diberi ‘ancaman’ agar mau untuk pulang. ‘Ancaman’ tersebut mungkin
bertujuan agar PMII berpikir ulang tentang sikapnya itu.
Tentu, NU mengeluarkan ultimatum itu bukan tidak beralasan. Setidaknya ada beberapa alasan NU mengeluarkan keputusan
tersebut. Pertama, adanya keterputusan jenjang kaderisasi di tingkatan mahasiswa. Selama ini jenjang kaderisasi Banom NU hanya
sampai di tingkatan pelajar, sedangkan di tingkatan mahasiswa tidak ada. Sejak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
memutuskan diri untuk pisah dan independen dari NU—yang saat itu masih sebagai partai politik, NU tidak lagi memiliki badan
otonom khusus untuk membidani kaderisasi dan penyiapan sumber daya manusia di perguruan tinggi.[3]
Kedua, sebagian besar ulama’ NU menilai arus pemikiran dan gerakan PMII terlalu ‘liar’ dan liberal. Sehingga nilai ke-aswaja-
annya nyaris hilang. Entah hilang dengan sendirinya atau memang sengaja dihilangkan, lalu ditafsirkan berbeda. Independensi PMII
yang telah melalui perjalanan panjang ini meniscayakan adanya liberasi gerakan, yaitu sebuah usaha pelepasan dari berbagai
belenggu yang mengikatnya dan pada saat yang sama merupakan bentuk perlawanan terhadap otoritas tertentu.
Tidak dapat dipungkiri, PMII secara kultural dan historis terus memiliki ikatan dengan NU. Oleh karena itu, banyak kalangan
yang meyakini bahwa untuk melihat potret masa depan warga NU ikut dipengaruhi oleh bagaimana transformasi yang mampu
dicapai oleh para kader PMII dalam berbagai bidang kehidupan. Di sini transformasi gerakan PMII harus terus dilakukan yang
terwujud melalui kerja keras dan elanvital yang kuat. Elanvital di sini mewujud dalam beragam ekspresi pemikiran, pilihan gerakan
politik hingga visi dan tradisi demokrasi yang ingin diwujudkan.
PMII saat ini tidak sebagaimana PMII tempo dulu. Inklusifitas yang dipegang seolah-olah menjadi suatu jebakan bagi PMII
sendiri. Inklusifitas yang dulu adalah cara berpikir luas, komprehensif, tidak eksklusif, tidak memihak dan berorientasi pada
kebenaran kini berubah menjadi pemahaman liberal. Nilai keislaman dan ke-aswaja-annya terlalu longgar. PMII cenderung
menggunakan persepsi “kanan” dalam persoalan keagamaan, bukan lagi moderat.
Fenomena ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari fenomena intellectual booming yang terjadi di lingkungan NU, utamanya di
penghujung tahun 80-an. Fenomena ini merupakan puncak dari proses liberasi dan radikalisme (baca: berpikir mendalam) yang
tidak jarang memunculkan gagasan-gagasan yang cukup radikal dan kerap kali memancing kemarahan sang kiai.[4]
Hal ini menjadi perhatian serius para ulama’ NU mengingat bahwa kader PMII adalah kader NU juga dan semua yang
dijalankan serta menjadi tradisi PMII merupakan tradsisi NU juga. Akan tetapi selama PMII masih independen para ulama’ tidak
bisa apa-apa. Mereka hanya bisa memberikan teguran-teguran “jarak jauh” yang bisa diindahkan bisa pula tidak. Jika PMII
bergabung lagi pada NU, NU bisa lebih leluasa memberikan nasehat-nasehat—tentu yang tidak berlebihan. Artinya, NU mengajak
PMII kembali padanya sebagai upaya ‘menyelamatkan’ PMII dari keterpurukan pemahaman ke-aswaja-annya.
Ketiga, alasan interdependensi PMII sudah tidak relevan lagi. Setelah muktamar 1983 di Situbondo, Jawa Timur, NU
menyatakan diri lepas sebagai partai politik dan memutuskan kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi sosial-keagamaan yang
bertekad untuk mengembangkan sumber daya manusia di bidang ekonomi, agama dan pendidikan. Mengingat sejarah ‘pecahnya’
PMII dan NU menjadi badan independen tersendiri adalah lantaran NU sebagai partai politik maka saat ini alasan tersebut tidak lagi
dibenarkan karena kenyataannya NU bukan partai politik lagi.
Di era ini, interdependensi PMII secara struktural memberikan kesan bahwa PMII sebagai anak yatim, tidak punya orang tua.
PMII untuk saat ini tidak memiliki induk siapa-siapa, sebab pasca Deklarasi Murnajati[5] secara resmi ia telah terputus dari
induknya. Itu artinya PMII tidak memiliki afiliasi organisasi yang jelas dan hal ini menunjukkan ketidak-jelasan eksistensi di level
yang paling inti. Bahkan terkesan seolah-olah organisasi sebesar PMII itu tidak lagi memiliki arah perjuangan yang pasti.
Padahal, menurut penuturan Slamet E Yusuf bahwa independensi PMII adalah hasil perenungan terhadap posisi dan eksistensi
PMII yang mengalami stagnasi, dan jika tidak diperbaharui akan membawanya pada jurang yang penuh kegelapan, apalagi hanya
menjadi alat politik. Karena partai politik dan mahasiswa memiliki wilayah yang sangat berbeda sama sekali. Jika partai politik
bergulat pada kepentingan-kepentingan, maka mahasiswa bagaimanapun juga bergulat pada proses peneguhan dan pencarian jati
diri, pada tingkat-tingkat yang objektif, ilmu pengetahuan, moralitas, intelektual dan seterusnya.[6] Ini menandakan bahwa kalau NU
telah bukan partai politik dan bisa memperluas pandangan objektif PMII, maka sewajarnya PMII kembali ke NU.
PMII sebagai harakah NU
Pada tahun 1991 PMII hanya menyatakan sikap interdependensi dengan NU. Artinya, PMII mengakui adanya persamaan-
persaman dengan NU. Di antara isi deklarasi interdependensi tersebut berbunyi:
PMII dan NU memiliki persamaan-persamaan dalam persepsi keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan,
keraguan, ketidak menentuan serta kesaling-curigaan; sebaliknya untuk menjalin kerjasama program secara kualitatif fungsional
baik secara program nyata maupun penyiapan sumber daya manusia, PMII menyatakan siap untuk meningkatkan kualitas
hubungannya dengan NU atas prinsip berkedaulatan organisasi penuh, interdependensi, dan tidak intervensi struktural dan
kelembagaan, serta prinsip mengembangkan masa depan Islam
Ini menunjukkan bahwa sebenarnya antara PMII dan NU sudah mulai “baikan” dan tidak ada masalah apa-apa. Hal itu terbukti
pada isi Deklarasi Interdependesi PMII pada 1991 di atas. Sejauh perjalanan interdependensi PMII, ia tetaplah sebagai
gerakan nahdliyin. Sebagimana diakui sendiri dalam deklarasi interdependensi di atas bahwa PMII memiliki kesamaan tradisi, visi-
misi, gerakan sosial dan ideologi ahlus sunnah wal jama’ah. Maka akan lebih baik jika PMII dan NU kembali bersatu dalam satu
ikatan.
Secara ideologis PMII adalah kader ideologi NU. Artinya, apa yang diajarkan di PMII adalah apa yang ada di NU. Maka
sebenarnya, eksistensi PMII merupakan perwujudan konkret dariharakah an-nahdliyah.
Di sini jelas bahwa PMII adalah bagian integral dari NU. Sejarah pecahnya PMII dari NU dan menjadi independen, bukan
karena PMII tidak mau pada NU, tetapi lantaran hal tersebut memang harus dilakukan sebagai suatu cara “menyelamatkan diri”
dari Orde Baru. Maka dari itu, karena kondisinya sudah berbeda dengan Orde Baru, semua akses sudah terbuka, proses demokrasi
menjadi prioritas dalam berbangsa dan bernegara, maka sekali lagi, tidak ada salahnya jika PMII kembali pada NU sebagai suatu
pengakuan dan upaya memperjelas eksistensinya sebagai organisasi kader ideologis NU. diharapkan dengan begitu PMII dan NU
akan memiliki kontribusi besar dalam membangun masa depan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, sangat disayangkan sikap sebagian kader PMII yang menganggap ultimatum Munas-Konbes NU ke-32
sebagai suatu usaha memundurkan gerakan PMII. Padahal jika ditelaah menggunakan pikiran jernih, justru dengan bergabungnya
PMII menjadi badan otonom NU, PMII akan memiliki status perhubungan yang jelas. Sebaliknya, jika PMII tidak mau kembali hal itu
merupakan jalan terjal bagi PMII sendiri.[7]
Patut diakui bahwa bagaimana pun kebutuhan NU kepada badan otonom di tingkat perguruan tinggi tidak bisa ditawar lagi.
NU membutuhkan badan otonom yang jelas, yang terikat secara struktural maupun kultural. Kebutuhan itulah yang menjadi alasan
PBNU untukmembentuk badan otonom baru di tingkat mahasiswa jika PMII masih juga tidak mau ‘pulang’.[8] Tentu, hal tersebut
merupakan ancaman serius bagi PMII.
Artinya, jika NU benar-benar membentuk Badan Otonom (Banom) baru. Tentu akan menimbulkan konflik dan perpecahan
antar kader NU. Dan perjuangan PMII akan berdarah-darah merebut posisi dan kader di kampus-kampus. Perebutan antar sesama
organisasi kultural ‘berdarah’ NU tidak akan bisa dihindarkan. Perebutan yang sebenarnya sia-sia dantidak perlu dilakukan, tetapi
demi mempertahankan eksistensi mau tidak mau hal tersebut harus dilaksanakan.
Di sini pandangan masyarakat NU akan terpecah dalam berbagai spekulasi. Akan ada ‘ide’ untuk membanding-bandingkan.
Perbandingan pertama yang akan dipakai pasti jalur struktural, hierarki ideologis dan kultural. PMII tidak memiliki hierarki struktural,
maka ia akan dianggap tidak jelas arahnya. Ke mana PMII berkiblat orang-orang tidak akan peduli. Meskipun internal PMII tetap
mengakui NU sebagai akar ideologinya. Orang-orang hanya akan memandang bahwa PMII tidak memiliki ‘orang tua’ karena orang
tua kandungnya telah memungut ‘anak baru’.
Keraguan PMII
Akan tetapi, sejauh pengamatan penulis PMII sebenarnya bukan tidak mau kembali kepada NU. Hanya saja ada keraguan
dan ketakutan kalau nantinya PMII kembali, sejarah pahit yang dulu dialami akan terjadi lagi. Ada trauma masa lalu yang membuat
PMII takut. Takut kebebasan berpikir, berekspresi, bergerak, dan kaderisasinya akan dihambat dan dibatasi secara berlebihan oleh
NU. Itu artinya ‘luka-luka’ politik PMII di masa lalu nampaknya belum bisa sembuh secara sempurna.
Wajar sikap tersebut muncul. Kecurigaan yang timbul atas trauma masa lalu merupakan niscaya adanya. Trauma masa lalu
itu kemudian mewujud sebagai sebuah kekhawatiran. Kekhawatiran terhadap sikap “tak bersahabat”, jika PMII kembali menjadi
badan otonom NU. kekhawatiran tersebut bisa kita tebak menggunakan nalar rasional kita bahwa ketika PMII masuk dalam
struktural sebagai badan otonom NU, mau tidak mau PMII harus melaksanakan apa yang telah NU putuskan, toh, walaupun
semisal bertentangan dengan ideologi mahasiswa sebagai kaum intektual dan cendekia. Itu artinya PMII harus manut atau
senantiasa patuh kepada NU sebagai ‘atasannya’ meskipun hal itu tidak diinginkannya. Tentu idealisme, kekuatan intelektual,
kebebasan sikap dan ketidak-berpihakan PMII kepada siapa pun bisa terancam.
Karena bagaimana pun ketika telah terikat secara struktural, maka secara etika, PMII memiliki ‘tanggungan’ moral untuk
berpihak pada NU. Contoh sederhana, jika NU pro pada keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, maka secara etika, PMII—
sebagai badan otonom NU—pun harus pro kepada keputusan itu, atau toh semisal tidak setuju, asumsi publik tetap akan
mengatakan bahwa PMII ikut setuju kepada induknya.
Hal itu mengingat bahwa di sisi lain NU meskipun telah bukan partai politik tetapi tidak dipungkiri bahwa oknum-oknum di
dalamnya adalah pelaku politik. NU belum sepenuhnya terbebas dari dunia politik praktis. Itu artinya, bahwa pengembalian NU ke
khittah 1926, hanya berhasil untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan secara konsepsional namun gagal
secara operasional.[9]
Selain itu, latar belakang kekhawatiran tersebut juga muncul lantara NU belum selesai dengan ‘dirinya sendiri’. Banyak Badan
Otonom (Banom) NU yang belum diurusi dengan jelas. Katakanlah semisal konflik GP Ansor dengan Banser, ketidak-jelasan
kaderisasi IPNU-IPPNU dan sebagainya. Itu artinya kesiapan NU untuk menampung dan mengurusi mahasiswa—yang terwadah
dalam PMII—masih dipertanyakan.
Penutup
Maka di sini ada beberapa masalah yang harus diselesaikan. Di satu pihak NU membutuhkan PMII sebagai badan
otonomnya. Di pihak lain, PMII menyimpan kecurigaan besar dan “ketakutan” kepada NU. Oleh karena itu, dua kepentingan ini
harus dipertemukan. Dan—mungkin –atas dasar itulah PBNU memutuskan untuk mengadakan pertemuan tiga pihak, yakni IKA-
PMII, PB PMII danTim Kaderisasi PBNU guna membahas persiapan lebih lanjut mengenai kembalinya PMII. Hal itu, untuk
sementara waktu merupakan langkah solutif yang diharapkan bisa memediasi masing-masing ‘kepentingan’ di antara dua
pihak.[10]
Di pertemuan ini, PMII bisa mengajukan persyaratan-persyaratan atau mengajukan sebuah perjanjian, misal; 1) NU tidak
boleh terlalu memonopoli PMII meskipun ia sebagai badan otonomnya. 2) Nalar berpikir PMII tidak boleh diarahkan ke nalar politik.
Artinya, NU harus bisa menerima nalar progresifitas pergerakan sebagai suatu keniscayaan dalam gerakan mahasiswa. 3) NU
tidak banyak intervensi pada PMII, lebih-lebih dalam perkara politis. 4) NU tidak boleh menghambat gerakan yang menjadi cita-cita
dasar PMII. 5) PMII bisa kembali independen jika terbukti NU tidak mampu membawa PMII ke arah yang lebih baik.
Perjanjian tersebut penting agar PMII bisa membangun suatu era di mana kecirian pergerakan yang pro-demokrasi dan
identitas kejernihan intelektual yang menjunjung tinggi kebebasan.Arah dan wajah bangsa di masa depan ditentukan oleh seberapa
‘cerdas’ generasi mudanya. Maka dari itu, jika gerakan mahasiswa dibatasi, maka kreatifitas akan mati sebab gerakan mahasiwa
membutuhkan ladangnya sendiri.
Sebenarnya apa yang ingin penulis sampaikan adalah bagaimana antara pihak pro dan pihak kontra PMII kembali ke NU
tidak saling bersikukuh mempertahankan pendapat masing-masing. Artinya bahwa PMII kembali ke NU adalah penting. Namun, NU
berbenah diri jauh lebih penting.

[1] PMII dilahirkan pada tanggal 17 April 1960 di Sekolah Mu’alimat NU Wonokromo, Surabaya dalam situasi politik zamannya.

Organisasi tersebut terbentuk berkat desakan kuat beberapa mahasiswa NU untuk membentuk sayap organisasi kemahasiswaan

yang bergerak di bidang kaderisasi, menjunjung tinggi intelektualitas dan kualitas kepemimpinan kaum muda. Maka atas dasar itu,
PMII lahir dari departemen perguruan tinggi IPNU sebagai kelanjutan kaderisasi di tingkat mahasiswa.

Lahirnya PMII memiliki hierarki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari kegelisahan kader NU di tingkat mahasiswa sampai pada

berdirinya departemen perguruan tinggi IPNU yang kemudian mengadakan forum untuk menindaklanjuti usulan pembentukan
organisasi baru di tingkat mahasiswa. Forum tersebut berlangsung pada 17 April 1960 atau bertepatan dengan 21 Syawal 1379 H
yang menghasilkan beberapa keputusan. Pertama, menyepakati berdirinya organisasi mahasiswa NU dengan nama “Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia”, disingkat PMII. Kedua, susunan peraturan dasar organisasi dalam mukaddimahnya jelas dinyatakan
bahwa “PMII merupakan kelanjutan/mata rantai dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU”. Ketiga, menetapkan 17 April sebagai

hari lahir PMII. Pada hari itu juga Peraturan Dasar PMII resmi diberlakukan. Keempat, memutuskan pembentukan tiga formatur,

Mahbub Djunaedi sebagai Ketua Umum, A. Chali Mawardi sebagai Ketua Satu dan M. Said Budairi sebagai Sekretaris Umum PP

PMII periode pertama. Zainul Arifin, dkk, KH. Moh. Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan,2009, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren), hal, 83-84.
[2] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru. Lihat, NU Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu
PMII “Pulang” ke NU. Edisi Sabtu 01/11/2014

[3] Secara historis, lepasnya PMII dari NU didasari oleh karena NU adalah partai politik. Saat itu, di mana pemerintahan Orde Baru

berkuasa, suasana politik begitu mencekam. Pada tahun pemilu tahun 1971 Partai NU menjadi kekuatan utama. Kalau pemilu
1955, Partai NU memperolah suara 18,3% sementara pada tahun 1971 menjadi 18,8%. Ini berarti perolehan suara NU pada pemilu

1971 mengalami kenaikan meskipun mendapat intimidasi yang kaut dari militer. Golkar (waktu itu namanya Sekber Golkar) sebagai

pemenang sekaligus menjadi maenstreamyang sedang tumbuh di mana proses birokratisasi dan militerisasi politik itu sedang

terjadi. Posisi Partai NU saat itu sebagai kelompok politik yang paling berlawanan dengan Golkar. Dengan demikian, mau tidak mau

Partai NU dan seluruh jajarannya memperoleh proses peminggiran yang luar biasa. PMII adalah bagian dari itu, sehingga harus

juga dipinggirkan, maka rektor-rektor IAIN yang berlatar belakang NU diganti, pejabat-pejabat di departemen agama yang alumni

PMII dihabiskan dan lebih celaka lagi, lembaga kultural yang menjadi binaan NU seperti pesantren—basis terakhir yang menjadi
pertahanan NU—dikucilkan. Lihat: Wardi Taufiq, Bergerak dengan Nalar Baru, Meraih Citra Baru Keislaman dan

Keindonesiaan, 2008 (Jakarta: P3M), hal, 4-5

sungguh tidak menguntungkan. Dari perenungan itu lahirlah keputusan untuk melepaskan diri dari Partai NU. Artinya, PMII

memutuskan untuk independen dari NU. Keputusan independensi tersebut terjadi di Murnajati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang

kemudian disebut “Deklarasi Murnajati”. Deklarasi Murnajati pada 1972 tersebut memberikan keputusan telak kepada NU untuk
tidak ikut campur lagi dalam urusan keorganisasian PMII. Deklarasi Murnajati menandakan bahwa sejak saat itu PMII telah memilih

ruang gerak sendiri. Pernyataan independensi ini merupakan babak awal untuk merumuskan PMII sebagai organisasi kader

intelektual, sebagaimana disandang oleh mahasiswa, bukan lagi sebagai organisasi kader partai

[7] Sejauh perjalanannya, PMII telah melewati tiga fase besar yang hal itu berpengaruh pada konstruksi cara berpikir. Pertama, antara
1960-1970, yaitu di saat PMII mulai didirikan dan harus menjawab tantangan zaman: menjadi organisasi kader bagi Partai NU; dan
perkembangan revolusi zaman. Sebagai organisasi kader, ketika itu PMII dituntut untuk melakukan pendukungan penuh terhadap

apa yang diperjuangkan Partai NU. Kedua, periode pencarian identitas diri (1972-1990) setelah menyatakan independen dari Partai

NU. Ketiga, periode memantapkan identitas politik (1991-2000), yaitu pengembangan wacana-wacana kritis dengan lebih banyak

menghidupkan kelompok-kelompok diskusi, pendidikan masyarakat dan dibarengi aksi di jalanan. Lihat: Syaiful Bahri Anshori,

dkk, Fiqh Kewarganegaraan; Intervensi Agama-Negara terhadap Masyarakat Sipil, 2000, (Jakarta: PB PMII) hal, 148

[8] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru. [9] Secara formal NU memang bukan organisasi politik

berdasarkan muktamar 1983 di Situbondo dengan pernyataan kembali ke khittah 1926. Tetapi dalam realitasnya semangat politik
orang-orang NU masih kuat dan terkadang hal itu melibatkan organisasi NU untuk terlibat. Maka jangan heran, di desa-

desa maenstreamterhadap kiai dengan partai politiknya masing-masing masih sangat kental hingga sekarang. Bahkan maenstream
tersebut seringkali mengakibatkan perpecahan di internal NU sendiri.

Anda mungkin juga menyukai