Anda di halaman 1dari 9

Nama : Febio Tomasini Marciano Meus

NIM : 1309005087
Kelas : A
TUGAS PENYAKIT INFEKSIUS 1

ANTHRAX

Pendahuluan

Anthrax merupakan penyakit yang bersifat zoonosis, serta menyerang hewan mamalia
terutama sapi, babi, kambing, domba serta sebangsanya. Penyakit ini juga menyerang beberapa
jenis hewan karnivora seperti anjing dan kucing, serta tidak pernah dilaporkan menyarang unggas.
Dalam beberapa referensi penyekit anthrax memiliki beberapa sinonim, yakni Malignant
carbuncle, wolsolters disease, radang kura dan radang limpa.

Epizootiologi

Anthrax pertama kali diisolasi oleh Robert Koch (1877). Pada tahun 1884, Javasche
Courant memberitakan untuk pertama kalinya tentang penyakit anthrax pada kerbau di
telukbentung, Sumatra. Selain itu, Koran kolonial belanda memberitakan tentang anthrax setahun
setelahnya yang terjadi di Buleleng. Penyakit ini telah lama tidak ada di bali, setelah hampir 100
tahun, oleh karena itu, sekarang ini bali adalah daerah yang bebas dari penyakit anthrax. Daerah
yang masih belum terbebas dari penyakit ini diantaranya adalah NTB, NTT dan sekitarnya.
Penyakit ini bersifat zoonosis dan penyebab utama karena adanya kontak dengan hewan yang
terjangkit ataupun termakan daging hewan yang terinfeksi. Laporan tentang penularan antara
manusia belum pernah dilaporkan.

Etiologi

Penyakit anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Bakteri ini berbentuk basil,
dengan ukuran 1-1.5 mikron kali 3-8 mikron. Bersifat aerobic, Gram (+), nonmotil, berspora dan
terletak di tengah. Jika specimen diambil dari hewan yang sakit akan tampak koloni berbentuk
rantai serta memiliki filamen dengan pengamatan mikroskopis. Pada pengamatan makroskopis
menggunakan blood agar, akan tampak bentuk koloni cembung dengan tepi tidak teratur, tidak
menghemolisa darah. Terdapat caput medusa pada koloni jika diperbesar dengan mikroskop.
Bakteri ini menghasilkan beberapa toksin diantaranya protective antigen (PA) yang berasal dari
kapsul poly D-glutamic acid, edema factor (EF), dan lethal factor (LF) yang masing masing
mempunyai faktor virulensi masing-masing. Akibat kematian yang umumnya terjadi akibat
gangguan sistem saraf pusatberupa gangguan respirasi (hipoksia). Selain berasal dari toksin,
faktor lain yang menjadi penanda virulensi bakteri ini adalah kapsul.

Bentuk vegetative bakteri ini adalah spora. Spora Bacilus antracis tahan terhadap kondisi
ekstrim dan dapat tahan dalam waktu yang sangat lama di tanah hingga 60 tahun. Faktor yang
bersifat predisposisi seperti musim panas dan keletihan memudahkan munculnya penyakit ini pada
hewan yang terinfeksi spora bersifat laten.

Dalam kondisi netral dan basa (alkali) ataupun air yang berkapur menjadikan spora anthrax
tumbuh subur. Dalam kondisi ini, spora anthrax dapat berkembang menjadi berlipat hingga mampu
menginfeksi calon korbannya.

Gejala klinis

Gejala klinis yang tampak pada tiap spesies hewan berbeda. Hal ini disebabkan karena
metabolisme tiap hewan yang berbeda. Cara penularan yang paling serng ditemukan adalah
melalui oral, kontak langsung dan tak langsung, serta inhalasi.

Pada herbivora

Gejala klinis yang terlihat pada herbivora sering dikaitkan pada cara mengambil makanan
dari tanah. Pada saat cuaca panas, atau musim panas, spora anthrax seakan muncul dari tanah
akibat dari daya tahan sporanya yang sangat lama. Oleh karena itu, pada herbivora yang merumput
pada tanah yang terkontaminasi spora anthrax akan mengalami gejala sesak nafas didaerah leher,
adanya kebengkakan disertai edema pada daerah sekitaran leher. Selain itu, keluarnya darah dari
lubang alami yang tidak membeku serta berwarna hitam menjadi tanda spesifik pada herbivora.
Adanya inkoordinasi saraf menyebabkan hewan sukar berdiri. Suhu tubuh 41oC serta nafsu makan
baik.

Pada karnivora

Pada karnivora yang terserang anthrax dapat dilihat adanya lesi pada sekitaran mukosa
mulut, lidah yang berupa erosi. Gastroentritis juga dapat terjadi dikarenakan mengkonsumsi hewan
mati yang mengidap anthrax.

Pada babi

Babi umumnya lebih tahan jika dibandingkan dengan hewan lainnya. Anthrax pada babi
bersifat sub akut dan kronis , dengan gejala Pembengkakan pada daerah kerongkongan, kepala,
muka dan dada sehingga kesulitan makan dan bernafas. Anoreksia, muntah, diare yang kadang-
kadang berdarah dan konstipasi.

Diagnosa

1 Pembiakan dan identifikasi B. anthracis

B. anthracis tumbuh pada hampir semua tipe Nutrient Agar, akan tetapi 5-7% Sheep Blood
Agar atau Horse Blood Agar merupakan medium diagnostik pilihan. Darah adalah merupakan
material klinis utama untuk diuji. Swab darah atau cairan tubuh lainnya atau swab yang diambil
dari jaringan atau organ yang terserang dapat ditumbuhkan pada blood agar. Setelah inkubasi
selama 1 malam pada suhu 37oC, koloni B.anthracis berwarna putih atau abu-abu keputihan
dengan diameter 0,3 – 0,5 mm, non hemolitik dengan permukaan basah ground-glass, dan sangat
lengket ketika di ambil dengan loop. Ciri-ciri ini disebut sebagai aledusa head. Untuk
mengidentifikasi B. anthracis dapat diikuti dengan uji untuk diagnosa phage gamma dan
kerentanan terhadap penicillin dan induksi kapsul. Uji ada tidaknya motility merupakan uji
tambahan yang dapat dilakukan.

2 Konfirmasi virulensi dengan polymerase chain reaction (PCR)

Air suling dan dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit; disentrifuse sebentar pada
suhu 4oC; supernatannya dapat digunakan untuk PCR. Target gen yang diamplifikasi adalah
protective antigen dengan PCR product 596 bp dan kapsul dengan PCR product 846 bp.
Template DNA dapat dibuat dengan cara meresuspensi koloni B. anthracis pada nutrient agar.

3 Pemeriksaan biologik

Hewan percobaan yang terbaik adalah marmut. Meskipun mencit cukup baik, tetapi mencit
sangat rentan terhadap kontamin lain.

Setelah disuntik secara subkutan, marmot biasanya mati dalam waktu 36-48 jam, paling lama
pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut penuh dengan kuman Anthrax dan di bawah kulit
tempat suntikan terjadi infiltrasi gelatin.

Penyuntikan hewan percobaan adalah cara yang paling tepat untuk membedakan kuman anthraks
dari kuman anthrakoid.

4 Pemeriksaan serologik

4.1. Uji Ascoli

Uji termopresipitasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan jaringan tercemar Anthrax.
Untuk uji Ascoli diperlukan serum presipitasi bertiter tinggi. Jaringan tersangka di-ekstrasi
dengan air dengan cara perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih yang
diperoleh mengandung protein Anthrax, jika jaringan tersebut mengandung kuman Anthrax.
Cairan tersebut disebut presiptinogen yang dipertemukan secara pelan-pelan dengan serum
presipitasi (presipitin) dalam tabung sempit. Reaksi positif akan ditandai dengan terbentuknya
cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan tersebut.

4.2. Uji ELISA

4.3. Uji hipersensitivitas (Anthraxin)

Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikan 0,1 ml anthraxin secara intradermal pada
hewan. Dilakukan pengamatan kulit 24 – 48 jam setelah penyuntikan, apakah timbul erythema
atau tidak. Uji ini sebagai refleksi adanya cell-mediated immunity.
Diagnosa banding

Anthrax harus dibedakan dari kematian yang mendadak oleh sebab lain. Pada sapi dan
babi, terutama oleh pasteurellosis yang disertai gambaran pembengkakan pada leher. Pada sapi
dan domba infeksi dengan Clostridia dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada sapi perlu
diperhatikan pula penyakit-penyakit leptospirosis akut, anaplasmosis, bacillary hemoglobinuria
dan keracunan-keracunan oleh tanaman, timah atau fosfor yang akut. Pada kuda, anemia infectiosa
yang akut, purpura hemorrhagica, macam-macam kolik, keracunan timah, dan sunstroke,
mempunyai gejala-gejala serupa dengan Anthrax. Pada babi, hog cholera akut, malignant oedema
bentuk pharyngeal mempunyai gejala-gejala serupa dengan Anthrax.

Pada sapi dan kerbau dapat dikacaukan dengan keracunan, radang otak, penyakit pencernaan
bentuk jahat AE, SE, surra, pirosplasmosis akut, rinderpest, dan penyakit Jembrana.

Pada kuda dapat dikacaukan dengan surra, terutama jika dilihat dari timbulnya busung.

Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan

1. Pencegahan
Dengan vaksinasi
Vaksin 34 F2 (Max Sterne)
Vaksin spora hidup Avirulen
Dosis : Hewan besar = 1ml
Hewan kecil = 0,5ml (SC)

2. Pengendalian dan pemberantasan


Pada hewan yang terkena anthrax, dilarang melakukan otopsi dan hewan yang terinfeksi
langsung dibakar. Sedangkan pengendaliannya , hewan sakit diisolasi dibuatkan lubang untuk
penampungan kotoran dan sisa pakan. Penderita dapat diberikan antiserum 100-150ml untuk
hewan besar dan 50-100ml untuk hewan kecil. Antibiotika Penisilin dengan dosis 6.000-
20.000 IU/kg
SEPTICAEMIA EPIZOOTICA

Pendahuluan

Merupakan penyakit ngorok pada hewan ternak ruminansia terutama sapi dan kerbau.
Bersifat akut dan fatal. Pada unggas sering disebut dengan Fowl Cholera. Sinonim: Hemoragica
Septicaemia, Barbone Disease.

Epizootiologi

SE merupakan penyakit yang menempati urutan kelima diantara penyakit-penyakit


lainnya. Pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1884.

Di dunia, penyakit SE sering menyerang daerah Asia seperti Indonesia, Philipina, Thailand dan
Malaysia. Selain itu, penyakit ini juga menyerang pada daerah Afrika dan Amerika. Khususnya di
Indonesia, penyakit SE terjadi di daerah Tanggerang, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Untuk daerah NTT, peyakit SE menyerang di beberapa kabupaten yang meliputi Kabupaten
Kupang dan Sumba Timur. Penyakit SE adalah penyakit menular terutama menyerang pada
kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda.

Etiologi

SE disebabkan oleh Pasteurella multocida. Pertama kali diisolasi oleh Louis Pasteur tahun
1880, namun bakteri ini pertama kali ditemukan pada 1878 pada unggas (Fowl cholera). bentuk
bakteri ini batang pendek (cocobasil), Gram negatif, berkapsul, halus, tidak berspora, dengan ciri
khas bentuk bipolar. Dapat tumbuh pada Blood Agar, NA, Desoxylate Agar serta Sitrat Agar.
Tidak cocok pada Mc Conkey Agar. Bentuk koloni bervariasi dengan bau yang khas.

Gejala klinis

Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri Pasteurella multocida sebagai penyebab SE
akan masuk kedalam tubuh inang melalui beberapa cara. Cairan seperti leleran hidung atau cairan
mulut dari hewan yang terinfeksi akan jatuh ke tanah atau terkena media lain. Bakteri yang ada
dalam cairan tersebut akan menginfeksi daerah atau media yang terkena oleh cairan dari hewan
terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah dalam keadaan basah maka akan menyebabkan
perkembangan dan daya tahan bakteri Pasteurella multocida semakin baik. Melalui kontak dengan
hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi,
bakteri Pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini
biasanya menyerang saluran pernafasan.

Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal.
Penyakit SE bentuk busung menunjukkan adanya bentuk busung pada bagian kepala, tenggorokan,
leher bagian bawah, gelembir dan kadang-kadang pada kaki muka. Selain itu kadang terjadi juga
bentuk busung pada bagian dubur dan alat kelamin. Tingkat mortalitas penyakit pada bentuk ini
cukup tinggi mencapai 90% dan berlangsung cepat sekitar tiga hari sampai satu minggu. Sebelum
mati akan tampak gangguan pernafasan dan suara ngorok merintih serta suara gigi
gemeretak. Pada bentuk pectoral, tanda-tanda bronkhopneumonia akan lebih menonjol. Bentuk
ini umumnya dimulai dengan adanya batuk kering dan nyeri yang di ikuti oleh keluarnya eksudat
dari hidung. Biasanya bentuk ini berlangsung antara satu sampai tiga minggu. Pada beberapa kasus
kadang penyakit ini dapat mencapai bentuk intestina. Keadaan ini dicapai ketika penyakit sudah
berjalan kronis. Hewan akan menjadi kurus, dengan gejala batuk yang terus menerus, selain itu
nafsu makan terganggu serta terus menerus mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang
bercampur darah.

Umumnya kasus SE bersifat akut dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam waktu
singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema
submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok
atau keluarnya eksudat dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah
dan kematian. Biasanya kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Lama
atau jalannya penyakit sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan
sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala
penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 – 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase.
Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh
fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam
banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak
selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit.

Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, ditemukan kenaikan suhu hingga 43oC dapat
teramati 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi kenaikan hingga 40oC baru teramati 12 jam
setelah infeksi. Bakteri dapat diisolasi dari cairan hidung kerbau 12 sesudah infeksi dan 16 sesudah
infeksi pada sapi. Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat
kematian.

Inang Rentan

Host atau inang utama dari penyakit SE ialah pada sapi dan kerbau. Walaupun demikian
ada beberapa laporan yang menyebutkan kejadian SE terjadi pada kambing, domba dan babi.
Hewan-hewan seperti rusa, unta, gajah, kuda, keledai dan yaks juga kadang terinfeksi penyakit
ini. Sumber lainya menyebutkan bahwa hewan-hewan yang pernah dilaporkan terkena
gejala Septicaemia Epizootica (SE) ialah Kelinci, Tikus, Marmot, dan Burung dara. Pada skala
laboratorium kelinci dan tikus merupakan hewan yang sangat rentan terinfeksi bakteri Pasteurella
multocida. Didaerah Amerika Utara dilaporkan bahwa Bison merupakan salah satu hewan yang
dapat terinfeksi Pasteurella multocida.

Diagnosa
Metode diagnosa penyakit SE pada ternak meliputi:

1. Pengiriman bahan

Sediaan ulas darah jantung yang difiksasi metil alcohol. Cairan oedema dan darah dari
jantung yang dimasukan kedalam pipet Pasteur. Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa,
ginjal, kelenjar limfe dan susmsum tulang. Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%.
Sumsum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.

2. Pemeriksaan di Laboratorium

Preparat ulas darah diwarnai dengan metilen blue atau giemsa sehingga terlihat bakteri
bipolar. Dengan pewarnaan gram terlihat bentuk gram batang negatif. Bahan yang diperoleh dari
hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan. Isolasi
agen penyebab dapat menggunakan agar triptosa, agar darah atau agar serum darah.

3. Percobaan Biologi

Hewan percobaan yang peka yaitu kelinci, perkutut dan mencit yang disuntik secara
subkutan (SC) atau intra muscular (IM). Pada kelinci dapat dilakukan dengan menggoreskan bahan
terinfeksi pada kulit telinga, terutama jika bahan yang dikirim telah busuk. Hewan yang disuntik
dengan bakteri ini akan memperlihatkan gejala perdarahan pada pembuluh darah paru-paru dan
jantung.

Diagnosa banding

1. Penyakit Jembrana
2. Penyakit CMF
3. Penyakit Anthrax

Pencegahan, pengendalian pemberantasan

1. Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut:

a. Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap
pemasukan hewan ke daerah tertentu.

b. Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di
gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.

c. Pada hewan sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan
antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum
dan antibiotika.

2. Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai


berikut:
a. Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan
tersangka sakit disertai pengobatan.

b. Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-
batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut:

- Di sekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi.

- Didalam daerah yang tertular hewan sakit dan hewan sakit disuntikan antibiotika atau
antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.

3. Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah


sebagai berikut:

a. Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak
kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekat.
sediakan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi
sampai 60 cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.

b. Di pintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang
terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular.

c. Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang
masuk.

d. Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan
cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.

e. Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah
bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang
terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus
di bakar.

f. Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan.

g. Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau
sembuhnya hewan yang sakit terakhir.

4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut
dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.

b. Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah
sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan.
c. Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan.

d. Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur.

Pengendalian dan Pencegahan

Pengendalian penyakit SE pada ternak dapat dilakukan dengan cara pemberian antibiotika sebagai
berikut:

1. Oxytetracycline dengan dosis 50 mg/10 Kg BB (sapi, kerbau), 50 mg/5 Kg BB (kambing,


domba).

2. Streptomycin dengan dosis 5 –10 mg/Kg BB (sapi, kerbau), 50 – 100 mg/Kg BB (kambing,
domba).

3. Sulphadimidine (Sulphamezathine): 2 gram/30 Kg BB.

Upaya pencegahan terhadap masuknya/serangan penyakit SE pada ternak dapat dilakukan dengan
cara:

1. Pada daerah bebas SE perlu peraturan yang ketat terhadap pemasukan ternak kedaerah tersebut.

2. Bagi daerah tertular, dilakukan vaksinasi terhadap ternak yang sehat dengan vaksin oil
adjuvant. Sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intramuskuler. Vaksinasi
dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit.

3. Langkah untuk pengendalian SE antara lain: karantina yang ketat bagi lalu lintas hewan, isolasi
hewan sakit, dan disinfeksi.

Anda mungkin juga menyukai