Latar belakang
Trauma ledakan adalah trauma yang disebabkan oleh bahan peledak (Pennardt and Mills,
2016). Kasus trauma ledakan yang terjadi pada masyarakat terbanyak diakibatkan oleh serangan
teroris. Terorisme adalah peggunaan ancaman atau kekerasan melawan hukum kepada penduduk
atau property untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintah dan penduduk dengan tujuan politik
atau sosial. Terorisme menyebakan banyak korban jiwa, cedera fisik, kerusakan fasilitas umum,
lingkungan dan rasa tidak aman (Elsayed and Atkins, 2008).
Trauma ledakan diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu cedera primer, sekunder,
tersier, dan quartener. Cedera primer disebabkan oleh paparan dan tekanan bahan peledak, cedera
sekunder disebabkan karena pecahan peluru atau objek lain yang didorong oleh ledakan, cedera
tersier disebabkan oleh kekuatan dinamis angina yang menyebabkan terlemparnya tubuh manusia,
sedangkan cedera quartener merupakan semua cedera selain cedera primer, sekunder, dan tersier
(Kirkman, Watts and Cooper, 2011). Ledakan dan cedera fragmen dari sistem muskuloskeletal
adalah luka yang paling sering ditemui dalam perang modern sekitar 60% sampai 70% dari total luka.
Sebagian besar cedera pada sistem muskuloskeletal disebabkan oleh cedera sekunder (Covey,
2002).
Dalam perang baru-baru ini, sebagian besar cedera muskuloskeletal bukan disebabkan oleh
peluru tetapi akibat bahan peledak seperti bom, granat, atau ranjau darat. Bahan peledak juga telah
menjadi senjata pilihan teroris dalam dan luar negeri, karena relatif murah untuk memproduksi dan
dapat menyebabkan korban besar. Selain efek memutilasi langsung, kekuatan ledakan dari senjata
mendorong selubung fragmen dan bahan asing lainnya ke jaringan lunak dan tulang, berpotensi
menyebabkan infeksi sekunder (Covey, 2002). Bahan peledak dapat dikategorikan menjadi dua jenis
yaitu Low Explosive (LE) dan High Explosive (HE) (Garner et al., 2007). Pengobatan
Nonoperative luka yang disebabkan oleh fragmen debris kecil telah berhasil tetapi masih
kontroversial. Kesuksesan perawatan bedah tergantung pada ketelitian debridement luka, eksisi jaringan
tidak viabel, benda asing cenderung menyebabkan infeksi, drainase yang adekuat, dan penutupan luka
(Covey, 2002).
Blast injury atau trauma ledakan adalah trauma yang disebabkan oleh terpaparnya tubuh
terhadap energi kinetik dari ledakan yang terpancar dari sumber ledakan atau fragmen yang
berpindah akibat ledakan (O’Shea, 2005). Trauma ledakan menyebabkan cedera pada beberapa
organ bahkan sampai cedera mengancam jiwa pada satu atau beberapa korban secara bersamaan.
Kejadian ini mengakibatkan triase, diagnosis, dan tatalaksana yang kompleks di pelayanan
kesehatan (Pennardt and Mills, 2016). Trauma ledakan ditandai dengan perubahan anatomi dan
fisiologis akibat gelombang overpressure langsung atau pantulan yang berdampak pada tubuh.
Ledakan pada ruang tertutup seperti bangunan atau mobil serta ledakan yang menyebabkan
bangunan runtuh menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi (CDC, 2010).
Tingkat keparahan cedera pada trauma ledakan tergantung beberapa faktor diantaranya jumlah
bahan peledak dan komposisinya, ketinggian ledakan, lingkungan sekitar, jarak antara ledakan dan
korban (Elsayed and Atkins, 2008).
Definisi bahan peledak
Bahan peledak (explosive) adalah zat yang berwujud padat, cair, gas atau campurannya yang
dapat berubah secara kimia menjadi zat yang lebih stabil berbentuk gas apabila terkena panas,
benturan, gesekan (Christensen et al., 2012). Bahan peledak sering digunakan secara legal dalam
bidang pertambangan seperti pengeboran minyak, penghancuran batu di pegunungan serta di
bidang militer untuk roket. Tetapi secara illegal bahan peledak juga sering digunakan oleh teroris
dalam pembuatan bom sehingga menyebabkan trauma ledakan (Abdul-Karima et al., 2013).
1. Kekuatan (Strength)
Kekuatan merupakan salah satu hal yang penting pada bahan peledak dimana
kekuatan dapat mengukur energi yang dimiliki oleh bahan peledak. Total energi
dikeluarkan dari detonasi bahan peledak.
2. Kecepatan detonasi (velocity of detonation = VOD)
Kecepatan detonasi juga merupakan hal yang penting sebagai pertimbangan
tingkat sebuah ledakan yang mana mengukur kecepatan ledakan sampai
mencapai kondisi stabil. Gelombang detonasi yang menerobos sepanjang kolom
isian bahan peledak, dinyatakan dalam meter/detik. Kecepatannya tergantung
dari: jenis bahan peledak (ukuran butir, bobot isi), diameter dodol (diameter
lubang ledak), derajat pengurungan (degree of confinement), penyalaan awal
(initiating).
3. Kepekaan (sensivity)
Kepekaan (Sensivity) adalah ukuran besarnya impuls yang diperlukan oleh bahan
peledak untuk mulai bereaksi dan menyebarkan reaksi peledakan keseluruh isian.
Kepekaan ini tergantung pada : komposisi kimia, ukuran butir, bobot isi, pengaruh
kandungan air, dan temperatur.
4. Bobot isi bahan peledak (density)
Bobot Isi Bahan Peledak (density) adalah perbandingan antara berat dan volume
bahan peledak, dinyatakan dalam gr/cm3. Bobot isi ini biasanya dinyatakan dalam
specific gravity (SG), stick count (SC) atau loading density (d).
5. Tekanan detonasi (Detonation Pressure)
Tekanan Detonasi (Detonation Pressure) merupakan penyebaran tekanan
gelombang ledakan dalam kolom isian bahan peledak, dinyatakan dalam kilobar
(kb).
6. Ketahanan terhadap air (Water Resistance)
Ketahanan Terhadap Air (Water Resistance) merupakan kemampuan bahan
peledak itu sendiri dalam menahan air dalam waktu tertentu tanpa merusak,
merubah atau mengurangi kepekaannya, dinyatakan dalam jam.
7. Sifat Gas Beracun (Fumes)
Bahan peledak yang meledak dapat mengandung gas beracun CO dan NO x.
menghasilkan dua kemungkinan jenis gas yaitu smoke atau fumes. Smoke tidak
berbahaya karena hanya terdiri dari uap atau asap yang berwarna putih.
Sedangkan fumes berwarna kuning dan berbahaya karena sifatnya beracun, yaitu
terdiri dari karbon monoksida (CO) dan oksida nitrogen (NOx). Fumes dapat terjadi
jika bahan peledak yang diledakkan tidak memiliki keseimbangan oksigen, dapat
juga jika bahan peledak itu rusak atau sudah kadaluarsa selama penyimpanan dan
oleh sebab lain.
8. Mudah terbakar (Flammability)
Kemudahan bahan peledak terhadap initasi dari bunga api atau nyala api.
Beberapa kandungan bahan peledak dapat diledakkan dengan api. Contohnya
adalah bahan peledak yang mengandung bahan bakar tingkat memiliki
Flammability yang tinggi merupakan pertimbangan yang sangat penting untuk
penyimpanan, transportasi, dan pemakaiannya.
9. Tahan beku (Resistance to Freezing)
Pada negara-negara yang terjadi musim dingin dengan temperatur di bawah 0oC,
dibutuhkan bahan peledak yang tahan beku. Dinamit menjadi lebih keras pada
temperatur rendah dan akan merugikan dalam pengisian lubang tembak.
Klasifikasi Bahan Peledak
Bahan peledak diklasifikasikan berdasarkan sumber energinya menjadi bahan
peledak mekanik, kimia dan nuklir. Karena pemakaian bahan peledak dari sumber
kimia lebih luas dibanding dari sumber energi lainnya, maka pengklasifikasian bahan
peledak kimia lebih intensif diperkenalkan. Pertimbangan pemakaiannya antara lain,
harga relatif murah, penanganan teknis lebih mudah, lebih banyak variasi waktu
tunda (delay time) dan dibanding nuklir tingkat bahayanya lebih rendah. Bahan
peledak permissible dalam klasifikasi di atas perlu dikoreksi karena tidak semua
merupakan bahan peledak lemah. Bahan peledak permissible digunakan khusus
untuk memberaikan batubara ditambang batubara bawah tanah dan jenisnya adalah
blasting agent yang tergolong bahan peledak kuat.
Sampai saat ini terdapat berbagai cara pengklasifikasian bahan peledak kimia,
namun pada umumnya kecepatan reaksi merupakan dasar pengklasifikasian
tersebut. Pengklasifikasian bahan peledak dapat dilihat pada diagram berikut:
Mekanisme Ledakan
Dalam istilah kimia, reaksi peledakan ini dikenal dengan nama reaksi eksplosif. Reaksi
eksplosif merupakan reaksi kimia yang berlangsung sangat cepat dan berlangsung dalam
waktu sangat singkat. Reaksi eksplosif ini akan membebaskan sejumlah energi yang sangat
besar. Dalam skala yang besar, reaksi ini mampu menghancurkan benda-benda yang berada
dalam radius daya ledaknya. Reaksi inilah yang dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan
ledakan bom. Reaksi peledakan ini biasanya berlangsung dengan adanya katalis. Katalis inilah
yang menyebabkan suatu reaksi kimia berlangsung dengan cepat. Katalis adalah suatu zat
yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi tanpa memodifikasi perubahan energi gibbs
standar dari suatu reaksi. Platina merupakan salah satu contoh katalis yang digunakan untuk
mempercepat terjadinya reaksi antara hidrogen dan oksigen dalam fasa gas. Dari reaksi ini
dapat menyebabkan ledakan.
Dari beberapa literatur, diketahui bahwa katalis dapat menghasilkan atom hidrogen
dari molekul hidrogen dan atom ini akan menyebabkan terjadinya reaksi rantai yang sangat
cepat. Di samping katalis, reaksi peledakan juga bisa terjadi jika ada nyala api, seperti nyala
dari korek api, dan sebagainya. Nyala api ini dapat menjadi pemicu terbentuknya radikal
bebas. Dalam suatu mekanisme reaksi, radikal bebas ini dapat menyebabkan reaksi
bercabang yang menghasilkan lebih dari satu radikal. Jika reaksi radikal ini terjadi dalam
jumlah yang banyak, maka jumlah radikal bebas dalam suatu reaksi akan meningkat.
Akhirnya reaksi akan berlangsung sangat cepat dan akan dibebaskan energi yang sangat
besar. Selanjutnya terjadilah ledakan.
Secara garis besar, peledakan bom adalah transformasi kimia cepat dari padat atau cair
menjadi gas. Gas berekspansi radial luar sebagai gelombang ledakan bertekanan tinggi yang
melebihi kecepatan suara. Udara sangat padat di tepi terkemuka gelombang ledakan
menciptakan sebuah front shock.
Bahan peledak energi tinggi menghasilkan sebuah gelombang kejut supersonik
tekanan tinggi. Tekanan ini ditransmisi melalui medium di sekitarnya (udara, air, dan tanah)
membentuk blast wave. Blast wave mempunyai 3 gambaran :
1. Fase positif
Pada fase positif, terdapat peningkatan yang cepat dari tekanan dalam gelombang sesuai
dengan besarnya ledakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan udara lingkungan
yang menyebar secara radial dengan kecepatan yang kurang lebih sama dengan
kecepatan suara, yaitu sekitar 3000-8000 meter per detik. Overpressure ini disebabkan
oleh kompresi udara di depan gelombang ledakan yang mengakibatkan pemanasan dan
percepatan molekul udara. Tekanan ini mengeluarkan tenaga yang luar biasa pada objek
dan manusia. Gelombang ini kehilangan tekanan dan kecepatannya sesuai dengan jarak
dari sumber ledakan. Besarnya tekanan puncak pada fase positif serta lamanya fase positif
ini berperan penting dalam keparahan cedera. Sebaliknya, kedua variabel ini sendiri
ditentukan oleh jenis dan jumlah bahan peledak serta lokasi terjadinya ledakan, apakah
berlangsung dalam ruangan atau di ruang terbuka. Cedera yang diakibatkan oleh
peningkatan tekanan ini disebut cedera ledakan primer (primary blast injuries).
2. Fase negatif
Pada fase negatif (fase vakum), terjadi penurunan tekanan di bawah tekanan udara
lingkungan. Hal ini mengakibatkan terhisapnya objek, seperti jendela-jendela tertarik ke
luar. Efek fase negatif ledakan terhadap tubuh manusia ternyata mirip dengan cedera
primer yang ditimbulkan fase positif ledakan.
3. Mass movement of air (blast wind) dan kemudian kembali normal.
Blast wind terjadi akibat udara dalam volume besar bergeser akibat gas yang dihasilkan
ledakan. Blast wave kemudian menghilang dan kemudian kembali ke tekanan atmosfer
normal. Dalam ruang tertutup, gambaran gelombang ledakan berbeda. Ini diakibatkan
oleh refleksi gelombang pada dinding dan objek-objek di sekitarnya. Terjadi puncak
tekanan yang diikuti oleh beberapa puncak tekanan yang lebih kecil. Puncak-puncak kecil
tekanan ini menambah kekuatan overpressure yang terjadi. Oleh karena itu, cedera yang
terjadi pada ruang tertutup lebih disebabkan oleh perubahan tekanan yang terjadi selama
waktu tertentu daripada puncak overpressure maksimum saja.
Empat mekanisme dasar cedera ledakan ini disebut sebagai primer, sekunder, tersier,
dan kuaterner. "Blast Wave" (primer) mengacu pada impuls-tekanan intens dibuat oleh
diledakkan HE. Blast injury yang ditandai dengan perubahan anatomis dan fisiologis dari
angkatan atas-tekanan secara langsung atau reflektif mempengaruhi permukaan tubuh.
"Ledakan gelombang HE" (komponen overpressure) harus dibedakan dari "angin ledakan"
(aliran udara paksa super-dipanaskan).
a. Trauma Ledakan Primer
Cedera ledakan secara langsung disebabkan oleh barotrauma yang biasanya terjadi
karena udara memasuki organ-organ, sehingga mengalami kerusakan oleh tekanan
dinamik di jaringan, tetapi tergantung dari lokasi ledakan. Ruptur dari membran timpani,
kerusakan paru dan emboli udara, dan ruptur organ dalam adalah penyebab primer dari
blast injury (luka ledakan). Membran timpani adalah struktur yang memiliki tehanan yang
paling rendah terhadap tekanan dari ledakan. Gendang telinga dapat menahan efek dari
ledakan. Peningkatan tekanan 5 Psi di atas tekanan atmosfer dapat menyebabkan
rupturnya gendang telinga, yang bermanifestasi pada ketulian, tinnitus dan vertigo.
Apabila tekanan dinamik tinggi, maka ossikula dari telinga tengah dapat terlepas.
Gangguan karena trauma dapat menyebabkan tuli permanen. Ruptur membran timpani
adalah komplikasi dari blast injury (luka ledakan). Beberapa pasien mengalami kerusakan
paru tetapi membran timpaninya tidak ruptur. Pada primary injury terjadi perforasi
gendang telinga. Organ lain yang mengalami kelainan setelah kecelakaan ledakan adalah
mata & luka bakar pada tubuh.
Paru adalah organ kedua yang mudah mengalami cedera akibat Primer Blast Injury, akibat
perbedaan tekanan antara alveolar-capillary disebabkan oleh Hemothorax,
Pneumothorax, Pneumomediastinum, & Subcutaneus emphysema. Perhatian ini timbul
dari tekanan yang bersumber dari gelombang ledakan. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila ditemukan pembesaran jantung atau emboli udara pada pasien yang
menderita Primary Blast Injury yang sering menyebabkan kematian. Cedera pada paru
setelah ledakan digambarkan sebagai kombinasi gejala paru yang disebabkan oleh
paparan gelombang yang dihasilkan oleh ledakan. Biasanya cedera ledakan pada paru
terjadi kira-kira 1-10%. Cedera pada paru setelah terjadi ledakan dapat digambarkan
sebagai ”Acute Respiratory Distress” dengan gejala sesak, bradikardi, hipotensi. Pasien
kemungkinan menderita hipoxemia, hemoptysis, & dapat diintubasi endotracheal. Cedera
pada paru setelah ledakan dapat di identifikasi dengan foto thorax di rumah sakit
terdekat.
Colon adalah organ viscera yang sering terkena akibat Primary Blast Injury berupa ruptur
colon yang disebabkan oleh Ischemik Mesenterik. Selain itu Primary Blast Injury juga
dapat menyebabkan perdarahan dari hati, lien, ginjal, selain itu dapat menyebabkan
ruptur bola mata, & serous retinitis.
b. Trauma Ledakan Sekunder
Banyaknya ledakan yang berisi metalik atau fragmen lainnya yang dapat menyebabkan
luka penetrasi yang berakibat timbulnya kematian. Suatu ledakan dapat menghamburkan
bermacam-macam benda di sekitarnya (paku, logam, kaca, kayu, dll) disebabkan oleh
tekanan yang dihasilkan oleh angin & mengenai korban. Rata-rata debu & kotoran yang
berasal dari tanah atau lumpur dapat meninggalkan karakteristik yang sama berupa
warna kehitam-hitaman pada kulit.
c. Trauma Ledakan Tersier
Trauma ledakan tersier merupakan hasil dari displasement pada pasien oleh angin
ledakan. Kadang pasien sampai terlempar hingga ke tanah, sehingga dapat terjadi abrasi,
kontusi & cedera tumpul. Biasanya pasien terlempar ke udara. Trauma ledakan tersier
terjadi pada tahun 1995 di kota Oklahoma yang mendapat serangan bom, dimana 135
orang dilaporkan terlempar akibat tekanan yang berasal dari ledakan & mengenai objek
di sekitarnya. Ledakan yang menimbulkan kolaps dari dinding pembuluh darah yang bisa
menyebabkan kematian akibat trauma yang luas. Crush syndrome dapat menyebabkan
colaps karena kerusakan jaringan otot & pelepasan myoglobin, potassium, & phosphate.
Selain itu Crush Syndrom dapat menyebabkan gagal ginjal karena retensi potassium yang
berlebih dapat menyebabkan kerusakan otot. Oleh karena itu di butuhkan pengobatan
yang tepat dengan melakukan hidrolisis & Alkalization. Sindrom kompartemen dapat
terjadi karena penyakit dekompresi disertai dengan gejala pembengkakan otot, iskemik,
penurunan perfusi jaringan. Kompartemen syndrome dapat menyebabkan kematian
jaringan. Kompartemen syndrome biasanya terjadi pada extremitas. Tertiary blast Injury
juga terjadi pada orang yang mengalami luka karena ledakan yang mengakibatkan fraktur,
cedera otot terbuka atau tertutup.
d. Trauma Ledakan kuarterner
Trauma ledakan kuartener disebut juga Miscellaneous Injuries yang disebabkan oleh
kecelakaan akibat ledakan atau karena penyakit. Quarternar Blast Injuries meliputi
komplikasi dari kondisi yang ditemukan. Contohnya dapat terjadi pada wanita hamil atau
pada pasien yang mengkomsumsi anticoagulant. Quarternary Injuries meliputi luka bakar
(kimia), keracunan, radiasi, Asfiksia ( berupa CO atau sianida, asbes). Quarternar Blast
Injuries bisa juga disebabkan oleh bom. Trauma ledakan kuarterner disebabkan dari
bermacam-macam dampak dari ledakan, termasuk luka bakar kimia, debu yang
mengandung racun & terhirup, paparan radiasi, terkena reruntuhan gedung. Fase ini
dapat terjadi dalam periode yang panjang, contohnya Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD). Luka bakar kimia atau terhirupnya debu yang mengandung racun dapat berasal
dari racun yang dikandung oleh bahan-bahan ledakan atau dari material-material setelah
terjadi ledakan.
Cedera Kuarter merupakan ke semua jenis cedera selain dari kalsifikasi luka primer,
sekunder dan tersier. Yang termasuk dalam tipe cedera kuarter yakni luka bakar, luka
remuk, dan cedera pernapasan. Gangguan psikologis akut dan kronik sering dijumpai pada
korban-korban ledakan bom. Api yang dihasilkan akibat ledakan dapat mengakibatkan
luka bakar karena temperatur gas dapat mecapai 3000o C. Derajat luka bakar ditentukan
oleh besarnya peningkatan temperatur dan lama terjadinya peningkatan ini1. Luka bakar
yang terjadi akibat ledakan pada ruang tertutup mempunyai luas yang lebih besar.
Prevalensi luka bakar pada trauma ledakan sangat bervariasi. Beberapa kepustakaan
menyebutkan luka bakar jarang ditemukan pada orang yang selamat. Di Israel, prevalensi
sekitar 30% dari orang-orang yang selamat. Umumnya luka bakar yang terjadi superfisial
dengan lokasi yang terekspos. Luka bakar yang berat (derajat 3) terjadi pada korban-
korban yang berada dekat dengan sumber ledakan, seperti pada pasien pertama. Luka
bakar pada traktus respiratorius atas jarang ditemukan.
Bagian Tubuh
Kategori Karakteristik Jenis Cedera
Terkena
Primary Unik untuk HE, hasil dari Struktur diisi gas Blast lung (pulmonary
dampak gelombang selama terutama paru- barotrauma)
tekanan dengan permukaan paru, saluran Membran timpani pecah dan
tubuh. pencernaan, dan merusak telinga bagian tengah
telinga bagian Abdomen perdarahan dan
tengah. perforasi - Globe (mata) pecah-
Konkusi (TBI tanpa tanda-tanda
fisik dari cedera kepala)
Secondary Hasil dari terbang puing-puing Setiap bagian tubuh
dan pecahan bom. yang mungkin akan Menembus balistik (fragmentasi)
terpengaruh. atau cedera tumpul
penetrasi mata (bisa terjadi)
Mata, Orbita, Berlubang dunia, benda asing, emboli udara, patah tulang
Wajah
Pencernaan Perforasi usus, perdarahan, pecah hati atau limpa, sepsis, iskemia
mesenterika dari emboli udara
Peredaran Jantung memar, infark miokard dari emboli udara, shock, hipotensi
darah vasovagal, cedera pembuluh darah perifer, emboli udara yang
disebabkan cedera
Cedera SSP Gegar otak, cedera otak terbuka dan tertutup, stroke, cedera tulang
belakang, emboli udara yang disebabkan cedera
Cedera ginjal Ginjal memar, luka, gagal ginjal akut karena rhabdomyolysis, hipotensi,
dan hipovolemia
Cedera pada paru merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar akibat
ledakan bom. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kematian segera paling banyak
disebabkan oleh perdarahan pulmonal yang disertai dengan sufokasi. Emboli udara masif
juga merupakan penyebab kematian segera. Besar tekanan yang dapat mengakibatkan
cedera primer paru lebih dari 40 psi1. Kompresi dinding dada yang terjadi berpengaruh
terhadap keparahan cedera. Tenaga yang mengenai rongga toraks dan penggunaan rompi
pelindung juga mempengaruhi cedera yang terjadi. Di dalam rongga toraks, gelombang
tekanan akan mengalami refleksi dan peningkatan besar tekanan. Ini mengakibatkan adanya
konsentrasi tekanan yang besar pada beberapa tempat, terutama yang dekat dengan organ
padat seperti mediastinum dan hepar, sehingga cedera pada daerah ini lebih parah. Istilah
blast lung digunakan untuk menggambarkan cedera ledakan primer pada paru berupa
kontusio paru dan insufisiensi pernapasan, yang disertai atau tanpa disertai tanda-tanda
barotrauma pulmonal. Pada cedera paru-paru primer, terjadi mikro hemoragik pada alveoli,
disrupsi perivaskular dan peribronkial, serta dinding alveolus sobek yang mengakibatkan
paru-paru penuh darah dan emfisematosa. Barotrauma dapat mengakibatkan sobeknya
septa-septa alveolus. Sobekan ini mengakibatkan hubungan antara rongga pleura dengan
udara luar, yang pada akhirnya mengakibatkan pneumotoraks. Ini ditemukan pada pasien
kedua. Selain terjadi kontusio paru, juga terjadi hematopneumotoraks, yang dapat
disebabkan oleh cedera primer maupun oleh cedera sekunder akibat fragmen besi yang
masuk melalui sela iga II anterior sampai mencapai sela iga VI posterior. Gejala-gejala yang
ditemukan, selain adanya hemoptisis, ronki, dan sesak napas, juga ditemukan dinding dada
yang tidak simetris pada keadaan statis dan dinamis serta penurunan suara napas pada sisi
kanan. Adanya kontusio paru dibuktikan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi yang
menunjukkan adanya perdarahan dalam alveolus yang mencapai bronkiolus terminal. Pada
cedera primer paru, terjadi edema di mana alveolus terisi eosinofil. Edema ini dapat
membentuk membran hialin pada dinding-dinding saluran napas. Membran hialin yang
terbentuk ini berperan dalam proses pembentukan sikatriks.
Dalam penelitian yang dilakukan di Swedia, atelektasis dijumpai pada seluruh subjek
penelitian. Atelektasis ini terjadi karena pada cedera paru primer terjadi peningkatan
produksi mukus, penurunan kemampuan evakuasi mukus, serta penurunan produksi
surfaktan. Ketiga faktor tersebut mengakibatkan kolapsnya alveolus. Akibat lain yang
ditakutkan pada trauma ledakan adalah adanya emboli udara. Emboli udara hanya terjadi
pada pasien dengan kontusio paru dan mengakibatkan kematian dalam jam pertam. Emboli
terjadi akibat adanya fistula bronkovaskular yang dapat merupakan akibat langsung trauma
ledakan maupun sebagai komplikasi penatalaksanaan gagal napas. Adanya emboli udara
tidak dapat disingkirkan pada pasien pertama. Pasien kedua jelas tidak menderita kelainan
ini karena tidak ada gejala maupun tanda adanya emboli. Gejala dan tanda memberikan
gambaran infark miokard, kebutaan, lidah yang pucat, dan livedo reticularis, yaitu bercak-
bercak merah kebiruan pada ekstremitas, serta gangguan serebrovaskular berupa defisit
neurologis fokal. Pada cedera ledakan yang ringan, fungsi respirasi dapat segera kembali
normal dalam 24 jam. Sedangkan pada cedera lebih berat, fungsi ini mengalami penurunan
24 jam pasca trauma. Efek jangka panjang cedera ledakan primer pada paru-paru dapat
berupa resolusi total atau fibrosis. Foto toraks umumnya mengalami perbaikan dalam waktu
satu minggu dan mengalami resolusi sempurna setelah lima bulan. Pemeriksaan fungsi paru-
paru kembali normal dalam jangka waktu satu tahun pasca trauma. Efek jangka panjang pada
pasien kedua belum dapat ditentukan karena belum dilakukan pemeriksaan fungsi paru.
Cedera pada gastrointestinal tidak selalu terjadi. Cedera pada sistem ini terjadi
terutama pada kasus-kasus ledakan di dalam air atau dalam ruangan tertutup. Hal ini terjadi
karena traktus gastrointestinal mempunyai ambang yang lebih tinggi dibanding traktus
respiratorius. Mekanisme cedera yang terjadi sama dengan mekanisme cedera primer paru-
paru. Pemakaian rompi pelindung melindungi usus halus dari cedera primer. Cedera primer
pada gastrointestinal ini penting secara klinis karena sulit dideteksi. Lesi pada usus sering
tidak terdiagnosis sampai timbul komplikasi antara lain perforasi sekunder. Cedera terutama
mengenai caecum dan kolon karena volume udara lebih besar dan dindingnya lebih tipis.
Cedera primer pada gastrointestinal dibagi menjadi cedera primer dengan perforasi dan
cedera primer tanpa perforasi. Cedera yang disertai dengan perforasi dibagi lagi menjadi
perforasi primer dan sekunder. Perforasi primer terjadi sebagai akibat langsung gelombang
tekanan, sedangkan perforasi sekunder terjadi dalam beberapa tahap perubahan morfologis
dinding usus. Perforasi primer terjadi pada cedera yang berat yang mengakibatkan laserasi
usus dengan perdarahan per anum yang masif. Sedangkan bentuk kelainan yang lebih ringan
dapat berupa edema dan kontusio usus. Pada kontusio usus, terjadi perdarahan di bawah
peritoneum viseral yang berlanjut ke mesenterium. Pada kontusio usus ini dapat terjadi
perforasi yang dapat muncul 24 - 48 jam bahkan 5 hari pasca trauma. Perforasi sekunder ini
terjadi karena nekrosis akibat iskemi pada tempat hematom. Perforasi sekunder ini terjadi
mulai dari mukosa dan menyebar secara sentrifugal ke arah serosa. Terdapat klasifikasi
histologis cedera primer gastrointestinal (Tabel 2). Pada cedera ringan, kerusakan hanya
meliputi mukosa. Cedera yang ringan dapat mengalami resolusi sempurna dalam 3 sampai 7
minggu pasca trauma. Semakin berat cedera yang terjadi, semakin dalam lapisan yang
mengalami kerusakan. Cedera pada lapisan serosa secara pasti merupakan bukti adanya
cedera yang berat. Cedera derajat IV dan V mempunyai risiko tinggi perforasi sekunder.
Umumnya, cedera organ padat abdomen disebabkan oleh cedera sekunder dan tersier
dengan overpressure yang tinggi.
Cedera ledakan primer menyebabkan sistem pendengaran morbiditas yang signifikan,
namun mudah dilupakan. perforasi TM adalah cedera yang paling umum ke telinga bagian
tengah. Tanda-tanda cedera telinga biasanya hadir pada saat evaluasi awal dan harus
dicurigai bagi siapa pun penyajian dengan kehilangan pendengaran, tinnitus, otalgia, vertigo,
perdarahan dari saluran eksternal, pecah TM, atau otorhea mukopurulen. Semua pasien
terkena ledakan harus memiliki penilaian otologic dan Audiometri.
Gelombang ledakan primer dapat menyebabkan gegar otak atau cedera otak ringan
traumatis (MTBI) tanpa pukulan langsung ke kepala. Mempertimbangkan kedekatan korban
untuk ledakan khususnya ketika diberikan keluhan sakit kepala, kelelahan, konsentrasi yang
buruk, kelesuan, depresi, gelisah, insomnia, atau gejala konstitusional lainnya. Gejala gegar
otak dan post traumatic stress disorder dapat serupa.
Gejala Akut (0-2 Jam) Subakut (2-48 Jam) Kronis (> 48 Jam)
Konstitusional Dyspnea Dyspnea Semakin
Malaise memburuk
Apati Demam
Amnesia
Localized Pleuritic Chest Pain Baru atau Sakit Gangguan
Batuk non-produktif Dada Progresif Pendengaran persisten
Cardiac Chest Pain Batuk Produktif
Sakit perut Emesis empedu
Hematochezia Baru atau Sakit
Hematemesis perut Progresif
Sakit Telinga Mual
Gangguan Dorongan untuk
Pendengaran buang air besar
Vertigo Jangar Tinnitus
Balance Problems
Saldo Masalah
Sakit mata
Perubahan Visual
Focal Numbness
Parestesia
Luka tembus sendi dapat didiagnosis secara klinis berdasarkan lokasi luka, aspirasi darah
intra-artikular, atau tes arthrocentesis positif di mana cairan disuntikkan ke sendi yang
terkena melalui luka.
Evaluasi radiografi
Sistem klasifikasi luka dari Komite Internasional Palang Merah telah diterapkan pada luka fragmen
sebagai panduan untuk perawatan, untuk memfasilitasi identifikasi pola luka, dan untuk menyediakan
basis data untuk tinjauan praktik klinis dan hasil. Sistem ini didasarkan pada karakteristik luka itu sendiri
bukan pada jenis senjata yang menyebabkannya. Luka dinilai dengan mempertimbangkan lokasi masuk
dan keluar dari kulit serta adanya rongga, fraktur, cedera pada struktur vital, atau benda logam asing
(Tabel I). Ketika seorang pasien memiliki beberapa luka, hanya dua luka terburuk, meskipun jumlah total
luka dicatat. Skor ini kemudian digunakan untuk menilai dan mengetik luka untuk mengidentifikasi
kepentingan klinisnya, dengan nilai yang lebih tinggi dan komplikasi yang berkorelasi dengan
peningkatan transfer energi dan keparahan luka (Tabel II). Bowyer et al. menerapkan sistem klasifikasi
luka Palang Merah untuk 63 pasien yang menjalani operasi untuk menembus cedera rudal, yang sebagian
besar hanya mempengaruhi jaringan lunak, selama Perang Teluk Persia 1991. Mereka menemukan sistem
ini berguna untuk penilaian luka sebagai bagian dari survei sekunder dan untuk tujuan penelitian bedah,
tetapi mereka merekomendasikan agar dimodifikasi untuk memasukkan penilaian cedera neurologis
substansial dan untuk memperhitungkan kejadian dan pola multiple luka. Fraktur spesifik yang dihasilkan
dari cedera eksplosif dapat diklasifikasikan dengan tepat dengan sistem Gustilo et al.
Cidera ranjau darat patut mendapat pertimbangan khusus karena luka-luka yang membinasakan yang
sering mereka timbulkan, tidak hanya melalui efek ledakan tetapi juga dengan mendorong kotoran,
pakaian, bakteri, dan fragmen ke dalam jaringan dan tulang lunak, sering menyebabkan infeksi sekunder
yang parah. Insiden ranjau anti-personil telah diklasifikasikan menjadi tiga pola dasar63. Cedera Pola-1
terjadi karena menginjak tambang yang terkubur dan biasanya mengakibatkan amputasi traumatis pada
kaki atau tungkai. Cedera parah pada kaki yang tidak menghasilkan amputasi adalah pengecualian untuk
pola ini dan disebabkan oleh ranjau anti-personil plastik yang kecil (Gambar 3-A, 3-B, dan 3-C). Cedera
Pattern-2 adalah pola yang lebih acak dari cedera penetrasi yang disebabkan oleh beberapa fragmen dari
tambang fragmentasi yang dipicu di dekat korban. Cedera pola-3 akibat dari penanganan ranjau dan
melibatkan trauma ekstremitas atas dan wajah yang parah.
Pola spesifik dari cedera yang termasuk fraktur lumbal burst berhubungan dengan trauma ekstremitas
bawah yang berkelanjutan ketika ranjau darat meledak di bawah kendaraan sebelumnya diidentifikasi
oleh kolega saya. Ketika ini terjadi, seorang penumpang yang duduk dapat dikenai beban aksial pada
tulang belakang oleh kendaraan saat itu berakselerasi ke atas dari ledakan, dengan kegagalan kompresif
anterior dan posterior yang dihasilkan dari tubuh vertebral. Tingkat keparahan dari cedera ini terkait
dengan jenis kendaraan, jenis bahan peledak, lokasi penghuni dengan memperhatikan ledakan, posisi
penghuni, dan bantalan kursi.
Pasal 382
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum. atas kerugian penanggung asuransi atau pemegang surat bodemerij yang
sah. menimbulkan kebakaran atau ledakan pada suatu barang yang dipertanggungkan
terhadap bahaya kebakaran, atau mengaramkan. mendamparkan. menghancurkan,
merusakkan. atau membikin tak dapat dipakai. kapal yang dipertanggungkan atau yang
muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya yang
dipertanggungkan, ataupun yang atasnya telah diterima uang bode- merij diancarn dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 479h
1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau
ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya
pesawat udara, yang dipertanggungkan terhadap bahaya tersebut di atas atau yang
dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan
muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang
tanggungan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.
KESIMPULAN
Ledakan dapat menyebabkan kerusakan multisistem serta menyebabkan cedera yang
mengancam hidup terhadap satu atau beberapa korban secara bersamaan. Luka ledakan adalah
luka yang disebabkan oleh berada di dekat ledakan. Bahan peledak dikategorikan sebagai bahan
peledak energi tinggi dan bahan peledak energi rendah. Bahan peledak energi tinggi
menghasilkan sebuah gelombang kejut supersonik tekanan tinggi. Tekanan ini ditransmisi melalui
medium di sekitarnya (udara, air, dan tanah) membentuk blast wave. Blast wave mempunyai 3
gambaran : fase positif, fase negative serta mass movement of air (blast wind) dan kemudian
kembali normal.
Klasifikasi trauma ledakan; 1). Primer; cedera langsung yang disebabkan oleh ledakan
tekanan gelombang yang sangat tinggi, atau gelombang kejut. 2). Sekunder; akibat dari fragmen-
fragmen bom dan objek lain yang didorong oleh ledakan seperti puing-puing benda, pecahan
kaca, potongan logam dan beton. 3). Tersier; cedera pada individu yang terbentur objek padat
akibat ledakan. 4). Kuarter; Cedera Kuarter; semua jenis cedera selain dari klasifikasi luka primer,
sekunder dan tersier.
Penatalaksanaan pasien dengan trauma ledakan sebaiknya dilakukan berdasarkan
standar Advance Trauma Life Support (ATLS) dan penanganan korban massal.
DAFTAR PUSTAKA
CDC (2010) Explosions and Blast Injuries, Departement of health and human services USA.
Christensen, A. M. et al. (2012) ‘Primary and Secondary Skeletal Blast’, 57(1), pp. 6–11. doi:
10.1111/j.1556-4029.2011.01938.x.
Elsayed, N. M. and Atkins, J. L. (2008) Explosion and Blast-Related Injuries: Effects of Explosion
and Blast from Military Operation and Acts of Terrorism. USA: Elsevier Academic Press.
Garner, M. J. et al. (2007) ‘Mechanisms of Injury by Explosive Devices’, 25, pp. 147–160. doi:
10.1016/j.anclin.2006.11.002.
Kirkman, E., Watts, S. and Cooper, G. (2011) ‘Blast injury research models’, pp. 144–159. doi:
10.1098/rstb.2010.0240.
O’Shea, R. A. (2005) Principles and Practice of Trauma Nursing. london: Elsevier science.
Royds, D., Lewis, S. W. and Taylor, A. M. (2005) ‘A case study in forensic chemistry : The Bali
bombings’, 67, pp. 262–268. doi: 10.1016/j.talanta.2005.03.026.
1. Kirkman E, Watts S, Cooper G. Blast injury research models. Philos Trans R Soc B Biol Sci.
2011;366(1562):144–59.
2. Meyers S, Shanley ES. Industrial explosives - a brief history of their development and use.
J Hazard Mater. 1990;23(2):183–201.
3. Deng Y, Zhao R. Advanced Oxidation Processes (AOPs) in Wastewater Treatment. Curr
Pollut Reports. 2015;1(3):167–76.
o Centers for Disease Control and Prevention. Explosions and Blast Injuries: A Primer for Clinicians.
Updates January 20, 2016. Available on: http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/explosions.asp
Subijanto HW, Pusponegoro AD, Hertian S. Efek Trauma Ledakan Terhadap Organ Intra Toraks dan
Abdomen, Juli 1990.
Gerald C. Davison, John M. Neale, dan Ann M. Kring, Psikologi Abnormal/ Edisi ke-9, Penerjemah:
Noermalasari Fajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 224 – 225.
Guy RJ, Glover MA, Cripps NPJ. The Pathophysiology of Primary Blast Injury and Its Implication for
Treatment. Part I: The Thorax. J R Nav Med Serv 1998; 84; 2: 79-86
Diah, E. Trauma Ledakan. [cited Jan, 8th 2011]. Avalaible from URL http://www.localhost.com.