Anda di halaman 1dari 3

Akhir Sebuah Hari

...

..

Hari ini hari minggu. Minggu pagi yang dingin enggan membuatku bangkit dari
ranjangku. Ku tarik selimut tebalku hingga menutupi seluruh tubuhku. Rasanya seperti
ada medan magnet di kasurku yang menarik diriku sehingga sangat sulit untuk bangkit.
Aku mengeluarkan tangan kananku meraba-raba nakas di samping kasurku. Lalu kuraih
ponselku yang berada di sana. Aku menyalakan layar ponselku. Tertulis dua puluh satu
pesan yang belum terbaca olehku yang muncul di layar ponselku. Dan sembilan
panggilan yang tak terjawab. Akupun sontak terkejut. Tidak biasanya aku mendapat
pesan dan panggilan tak terjawab sebanyak ini. Jangankan panggilan tak terjawab, yang
menelponku saja tidak ada.

Saat hendak membuka pesan-pesan itu, tiba-tiba layar panggilan muncul di layar
ponselku itu. Nama panggilan yang tertera bertuliskan ‘Dokter Ivanka’. Ah, aku baru saja
teringat, sebulan lalu kakakku membawaku ke psikiater dan konsultasi telah berlangsung
setiap minggu. Bagaimana bisa aku lupa akan hal itu.

Setelah mengingatnya, langsung kujawab panggilan dari Dokter Ivanka.


Sebenarnya, sejak awal aku tidak menyukai ini, hanya saja kakakku yang memaksaku
untuk bermeditasi dan berkonsultasi dengan psikiater. Dan Ivanka adalah dokter yang
bertanggung jawab atas diriku. Aku mempercayakannya atas depresiku. Aku sangat
percaya bahwa dia peduli dan akan menyembuhkanku.

‘Kamu sudah bangun, Rak?’ tanya Ivanka kepadaku. Namun aku tidak menjawab
apa-apa. Seharusnya dia tidak perlu membuang waktu untuk menanyakan sesuatu yang
sudah pasti. Aku telah menjawab panggilannya, tentu saja aku terjaga.

‘Jangan lupa hari ini ada konsultasi. Diundur jadi jam dua siang.’ Lanjutnya,
setelah itu memutus sambungan telepon sepihak.

...

Konsultasi hari ini sama seperti sebelumnya. Tidak ada kemajuan. Depersi ini
seakan semakin melekat pada diriku. Malah diriku semakin terperosok ke lubang hitam.
Konsultasi kali ini benar-benar membuatku kesal dan semakin terperosok. Bagaimana
bisa seorang psikiater menyalahkan kepribadian pasiennya? Menurutku, jika penyakit
kejiwaan disebabkan oleh kepribadian seseorang tersebut, untuk apa seseorang itu
menemui dokter kejiwaan? Entahlah. Aku tidak mengerti dengan pemikiranku ini. Yang
jelas aku sangat kecewa dengan Dokter Ivanka.
Sedari tadi, aku hanya berdiri sambil menerawang lurus ke arah depan. Aku
masih berada di depan klinik Dokter Ivanka. Selain membicarakan kepribadianku, dia
menyarankanku untuk mengunjungi tempat yang dapat memberiku hiburan. Aku
memikirkannya. Namun aku sangat bingung mengenai tempat seperti apa yang dapat
menghiburku.

“Huh..” aku menghela napasku. Dan tiba-tiba saja aku teringat dengan pesan-
pesan yang belum kubaca.

Aku meraba saku celanaku. Namun, benda yang kucari tak kunjung kudapati.

“Ah, ketinggalan di ruang konsultasi.” Gumanku begitu saja setelah mengingat


letak ponselku dan aku langsung bergegas masuk ke dalam klinik lagi.

...

Aku terus menelusuri koridor depan klinik yang menghubungkan pintu depan
dengan lobby klinik. Aku mulai terheran kenapa dibuat sebuah koridor yang sangat
panjang ini di sebuah klinik. Selain kurangnya pencahayaan, di koridor ini juga
sepertinya kurang terawat. Banyak bunga yang tidak diganti sehingga bunga yang
menenempati vas-vas itu layu. Rasanya sangat menyeramkan melewati koridor ini
sendirian. Padahal waktu menunjukkan masih pukul setengah 4 sore dan terlebih lagi,
setiap minggu aku tentu melewati koridor ini. Tidak kebayang bagaimana rasanya
melewati koridor ini jika malam hari karena aku belum pernah melakukannya.

Setelah berjalan melewati koridor beberapa menit, akhirnya aku sampai di ujung
koridor. Hanya tinggal berbelok ke kanan dan aku akan sampai di lobby. Namun tak
sempat berbelok, langkahku terhenti ketika mereka menyebut namaku. Apa aku salah
dengar? Rasanya tidak, karena hanya aku satu-satunya pasien disini yang bernama Raka
Bagastian Purnomo.

“Bapak Raka Bagastian Purnomo pasien yang barusan konsultasi sama dokter
tadi?” Tanya seorang yang berdiri di balik meja tamu.

“Iya. Saya bingung menanganinya. Kepribadiannya itu, loh, yang


mempersulitkan dirinya sendiri.” Jawab seorang dokter yang berada di depan meja tamu
itu. Walau aku hanya melihat punggunnya, tapi aku yakin itu adalah Dokter Ivanka.
Selain karena suaranya yang cempreng, dialah dokter yang menanganiku, Raka Bagastian
Purnomo.

Bukan bermaksud menguping, tetapi entah kenapa langkahku terasa sangat berat.
Banyak ketakutan yang muncul di kepalaku. Ketakutan itu seakan-akan terus melahapku
saat ini sehingga aku hanya dapat mematung di ujung koridor ini sambil mendengarkan
obrolan kedua wanita itu.

“Saya rasa, kepribadiannya muncul dari kejadian masa lalunya. Sedari awal
mungkin jati dirinya memang dingin dan introvert. Namun saat ayahnya membunuh
ibunya lalu bunuh diri, sepertinya kepribadian yang tersembunyi itu langsung
menancapkan akarnya pada hatinya dan perlahan tumbuh disana. Dari sanalah segala rasa
bersalahnya muncul.”

“Kasihan, ya. Padahal didepan kamera dia seperti orang normal.”

“Tapi tidak ada yang menyadarinya dari novel-novel yang ditulisnya. Saat
shooting dia tidak akan menunjukkan kesedihannya, namun dia menumpahkannya pada
karya-karya tulisnya.”

Mataku tebelalak. Tubuhku basah kuyup akibat keringat dinginku yang terus
mengucur. Tanganku gemetar sangat kuat. Bagaimana bisa seorang dokter membocorkan
rahasia pasiennya. Terlebih lagi masa lalu suram si pasien. Aku sangat ketakutan. Masa
lalu yang mengerikan itu kembali menghantuiku. Air mataku mengalir deras. Rasanya
aku seperti orang bodoh.

Aku sangat ingin sembuh. Aku sangat berharap seseorang menolongku. Meraih
tanganku. Merangkul bahuku dan memelukku dengan hangat. Rasanya sangat
menyakitkan. Selain sakit karena masa laluku, sakit karena dokter itu mengkhianatiku dan
tidak berniat untuk menyembuhkanku seperti menusuk hatiku dengan pisau. Rasanya
sangat ingin berteriak.

Aku tidak dapat mengingat tujuanku masuk ke klinik lagi. Aku memutuskan
untuk kembali ke apartemenku.

...

Anda mungkin juga menyukai