Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR Maret 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ST-SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION


WHOLE ANTERIOR ONSET 3 JAM KILLIP 1

DISUSUN OLEH :

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. dr. Idar Mappangara, SpPD, SpJP, FIHA, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama :
NIM :
Judul Laporan Kasus : ST Segment Elevasi Myocardial Infarction (STEMI) Whole
Anterior Onset 3 Jam Killip 1

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan Kedokteran
Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Maret 2018

Supervisor Pembimbing,

Dr. dr. Idar Mappangara, SpPD, SpJP, FIHA, FINASIM


LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : IDR
Nomor Rekam Medik : 837656
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 58 tahun
Alamat : Jl. Banta-bantaeng Lr. 08 No. 24
Pekerjaan : Lain-lain
Status : Sudah Menikah
Tanggal Masuk RS : 24 Maret 2018
Perawatan : CVCU Pusat Jantung Terpadu Lt.3 Bed 4

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Nyeri Dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dirujuk dari rumah sakit faisal dengan diagnosis ST Elevasi Infark Miokard.
Pasien megeluh nyeri dada 3 jam sebelum masuk rumah sakit disertai dengan
keringat dingin. Nyeri terasa seperti tertindih. Nyeri dirasakan di daerah dada kiri
dan menjalar hingga ke punggung. Nyeri muncul tiba-tiba pada saat pasien sedang
buang air. Nyeri berlangsung selama 20 menit dan mereda setelah mengonsumsi
sublingual nitrogliserin di rumah sakit faisal. Ini merupakan pertama kalinya pasien
merasakan nyeri dengan intensitas yang berat. Pasien terkadang merasa nyeri dada
ringan selama setahun ini akan tetapi nyeri mereda ketika beristirahat. Batuk
berlendir warna putih. Demam tidak ada. Keringat malam dan BB menurun
sekarang disangkal. Riwayat OAT selama 9 bulan ada. Riwayat merokok lama ada.
Riwayat DM tidak ada
3. Faktor Resiko :
Modifiable
- Hipertensi
- Perokok lama

Unmodifiable :
- Usia : 58 tahun
- Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Riwayat Penyakit Terdahulu :
- Riwayat nyeri dada sebelumnya 1 tahun yang lalu dengan durasi kurang dari 5
menit dan menghilang saat istirahat.
- Riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu.
- Riwayat TB paru.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat keluhan yang sama atau penyakit jantung di keluarga.
C. Pemeriksaan Fisis
1. Keadaan Umum
Sakit sedang/gizi baik/GCS 15 (compos mentis)
2. Status Antropometri
- Tinggi badan : 170 cm
- Berat badan : 58 kg
- IMT : 20,06 Kg/m2
3. Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 155/100 mmHg
- Frekuensi nadi : 72 kali/menit, ireguler
- Frekuensi napas : 20 kali/menit
- Suhu (aksilla) : 36,6 °C
4. Kepala
- Deformitas : Tidak ada
- Simetris muka : Simetris
- Rambut : Sukar dicabut
- Ukuran : Normocephal
- Bentuk : Mesocephal
5. Mata
- Eksoftalmus : Tidak ada
- Konjunctiva : Anemia tidak ada
- Kornea : Refleks kornea ada
- Enoptalmus : Tidak ada
- Sklera : Ikterus tidak ada
6. Telinga
- Pendengaran : Dalam batas normal
- Otorrhea : Tidak ada
7. Hidung
- Epistalksis : Tidak ada
- Rhinorrea : Tidak ada
8. Mulut
- Bibir : Kering tidak ada
- Lidah : Kotor tidak ada
- Tonsil : T1-T1, Tidak Hiperemis
- Faring : Tidak Hiperemis
9. Leher
- Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
- JVP : R+2 cmH2O
- Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran
- Kaku Kuduk : Tidak ada
10. Dada
- Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan
- Buah dada : Simetris kiri sama kanan, tidak ada kelainan
- Sela iga : Simetris kiri dan kanan
11. Paru
- Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan
Nyeri tekan tidak ada
- Perkusi : Batas paru hepar ICS VI dextra
Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X
- Auskultasi : bunyi pernafasan : vesikuler
Bunyi tambahan : ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
12. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill tidak ada
- Perkusi : Batas atas ICS II Sinistra
Batas kanan ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiei ICS V linea axillaris anterior
- Auskultasi : BJ I/II murni reguler
Bising jantung tidak ada
13. Abdomen
- Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
- Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Massa tumor dan nyeri tekan tidak ada
- Perkusi : Timpani (+)
- Auskultasi : Peristalktik ada kesan normal.
14. Ekstremitas
- Ekstremitas hangat
- Edema pre tibial tidak ada
- Edema dorsum pedis tidak ada

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram

- Irama : Sinus
- Heart Rate : 54 kali/menit
- Regularitas : Reguler
- Aksis : Normoaksis
- Morfologi :
 Gelombang P : Normal, 0,08 detik
 Interval PR : Normal, 0,16 detik
 Kompleks QRS : Normal, 0,08 detik
 Segmen ST : ST elevasi di sadapan V1-V5
 Gelombang T : T tall di sadapan II, AVF, V3-V4
- Interpretasi
 Elevasi ST di sadapan V1- V5 menunjukkan infrak miokard
anteroseptal akut.
- Kesimpulan : Irama Sinus Bradikardi, HR 54x/mnt, normoaksis, infark
miokard anteroseptal akut.

2. Foto thorax
(24 Maret 2018 19:46:58)

Foto thorax Posisi AP (asimetris):


- Konsolidasi inhomogen pada lapangan atas paru kanan yang meretraksi trakea
dan hilus ke ipsilateral
- Bercak berawan disertai garis fibrosis pada lapangan atas kedua paru
- Cor : sulit dievaluasi kesan membesar, aorta sulit di evaluasi kesan dilatasi
- Diafragma kanan letak tinggi, diafragma kiri tenting, kedua sinus baik
- Tulang-tulang intak
- Jaringan luan sekitar baik

Kesan pemeriksaan :

- TB paru lama aktif lesi luas disertai atelectasis dextra


- Cardiomegaly dengan dilatatio aortae
- Dilatatio aortae

3. Laboratorium

Test Type RESULT NORMAL VALUE

WBC 14.14 x 103/uL 4.00 – 10.0 x 103/uL

RBC 5.40 x 106/uL 4.00 – 6.00 x 106/uL

HGB 16.0 g/dL 12.0 – 16.0 g/dL

HCT 47.2 % 37.0 – 48.0 %

MCV 87.4 fL 80.0 – 97.0 fL

MCH 29.6 pg 26.5 – 33.5 pg

MCHC 33.9 g/dL 31.5 – 35.0 g/dL


ROUTINE
HEMATOLOGY PLT 341 x 103/uL 150 – 400 x 103/uL

NEUT 11.47 x 103/uL 52.0 – 75.0 x 103/uL

LYMPH 1.54 x 103/uL 20.0 – 40.0 x 103/uL

MONO 0.78 x 103/uL 2.00 – 8.00 x 103/uL

EOS 0.27 x 103/uL 1.00 – 3.00 x 103/uL

BASO 0.08 x 103/uL 0.00 – 0.10 x 103/uL

IO 0.09 x 103/uL 0.0 – 72.0 x 103/uL

Test Type Result Normal value

PT 10.3 seconds 10 – 14 seconds

Koagulasi INR 0.94 --

APTT 26,1 seconds 22.0 – 30.0 seconds

Fungsi Ginjal UREUM 20 mg/dl 10 – 50 mg/dl


KREATININ 0.66 mg/dl L(<1.3);P(<1.1) mg/dl

SGOT 121 U/L <38 U/L

Fungsi Hati SGPT 29 U/L <41 U/L

ALBUMIN 4.3 gr/dl 3.5 – 5.0 gr/dl

CK 1792.37 U/L L(<190);P(<167) U/L


Penanda
Jantung 169.3 U/L <25 U/L
CK-MB

Imunoserologi >10 ng/ml <0.01 ng/ml


TROPONIN I
Lain

NATRIUM 137 mmol/l 136 – 145 mmol/l

Elektrolit KALIUM 4.7 mmol/l 3.5 – 5.1 mmol/l

KLORIDA 103 mmol/l 97 - 111 mmol/l

TYPE TEST RESULT NORMAL VALUE

GDP 94 110 mg/dl

Blood chemistry GD2PP 108 <200 mg/dl

HbA1c 5.7 4-6 %

Total Kolesterol 140 mg/dL 200 mg/dL

Kolesterol HDL 51 mg/dL L(<56); P(<65) mg/dL


Lipid fraction
Kolesterol LDL 66 mg/dl <130 mg/dl

Trigliserida 80 mg/dl 200 mg/dl


4. Echocardiography
(27 Maret 2018 08:08:31)

Kesan :
- Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun, EF 46,7% (BIPLANE)
- Hipokinetik segmental
- Disfungsi diastolik ventrikel derajat ringan

E. Diagnosis
ST-elevasi miokard infrak ekstensif anterior onset 3 jam killip 1
Community Acquired Pneumonia

F. Terapi
1. Infus : Natrium Clorida 5000cc/24 jam/drips
2. Anti Agregrasi Platelet (Aspilet) : Aspilet 160 mg/24 jam/oral
3. Anti agregasi platelet (Thienohydine) : Clopidogrel 300 mg/24 jam/oral
4. HMG CoA reductase inhibitor (Statin): Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral
5. Anti koagulan (Enoxaparin) : Lovenox 0,6 cc/12 jam/subkutan
6. Ace-Inhibitor : Captopril 12,5/8jam/oral
7. Nitrat: Nitroglicerin 10 mcg/kgBB/min/syringepump
8. Antibiotik : Ceftriaxon 2gram/24hours/intravenous
9. Proton Pump Inhibitors : 30 mg/24hours/intravenous
10. Thrombolytic : Alteplase

G. Edukasi
Menghindari faktor resiko
Mengurangi faktor pencetus dari nyeri dada
Rutin meminum obat dan berobat ke poli jantung
Mengurangi makanan yang asin dan gorengan
Diet dan berolahraga secara teratur
Dukungan moral pasien dan keluarga

H. Resume
Pasien Laki-laki umur 58 tahun dirujuk dari rumah sakit faisal dengan diagnosis ST
Elevasi Infark Miokard. Pasien mengeluh nyeri dada 3 jam sebelum masuk rumah sakit
disertai dengan keringat dingin. Batuk berlendir warna putih. Demam tidak ada. Nyeri
terasa seperti tertindih. Nyeri dirasakan di daerah dada kiri dan menjalar hingga ke
punggung. Nyeri muncul tiba-tiba pada saat pasien sedang buang air. Nyeri berlangsung
selama 20 menit dan mereda setelah mengonsumsi sublingual nitrogliserin di rumah
sakit faisal. Ini merupakan pertama kalinya pasien merasakan nyeri dengan intensitas
yang berat. Pasien terkadang merasa nyeri dada ringan selama setahun ini akan tetapi
nyeri mereda ketika beristirahat. Riwayat nyeri dada sebelumnya 1 tahun yang lalu
dengan durasi kurang dari 5 menit dan menghilang saat istirahat. Riwayat hipertensi
sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat OAT selama 9 bulan ada. Riwayat merokok lama ada.
Riwayat DM tidak ada. Saat di rumah sakit Faisal diberikan pengobatan Aspilet160mg,
Clopidogrel 300mg dan nitrogliserin sublingual. Dari pemeriksaan fisik, keadaan
umum pasien sakit sedang, gizi baik, compos mentis GCS :15 E4M6V5. Tanda vital
didapatkan tekanan darah 155/100 mmHg, pernapasan 20 kali per menit, nadi 72 kali
per menit, dan suhu 36,6°C. Jugular venous pressure R+2 cm H2O pada posisi 30°.
Pada pemeriksaan thorax bunyi pernapasan vesikuler, tidak ada ronkhi dikedua basal
paru, batas jantung kiri ICS V linea axillaris anterior, bunyi jantung S1 dan S2 reguler,
murmur tidak ada. Dari pemeriksaan EKG didapatkan hasil irama sinus bradikardi, HR
54x/mnt, normoaksis, infark miokard anteroseptal akut. Hasil pemeriksaan foto thorax
PA paru dan jantung yaitu gambaran TB paru lama aktif lesi luas disertai atelektasis
dextra dan cardiomegaly dengan dilatatio aortae. Hasil laboratorium didapatkan adanya
leukositosis, dan peningkatan SGOT serta peningkatan aktivitas enzim jantung CK,
CK-MB dan Troponin I.
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN
Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung
adalah suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga
sel otot jantung mengalami kematian. Proporsi penyakit ini meningkat dari tahun ke
tahun sebagai penyebab kematian. Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan
menjadi Unstable Angina Pectoris (UAP), ST-segment Elevation Myocardial Infarct
(STEMI) dan Non ST-segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI).
Kejadian STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga
merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya.
Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan
reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI),
yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI
yang datang terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih
mengeluh nyeri dada yang khas infark10.

B. DEFINISI
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara
permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di
pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim
jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh
darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar
terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati10.

C. PATOGENESIS
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI
terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, di
mana injury injuri ini dicetuskan oleh factor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid8.
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang
kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai
dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini
terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan
lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi4,7,9.
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi
endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel
endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-
molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang bekerja sebagai vasodilator, anti-trombotik
dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi
vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan
pertumbuhan sel4,7.
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian
leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag
berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag
yang terpajang dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor
pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke
dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi
ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen
pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan
terbentuknya trombosis.Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan
yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri 9.
Trombosis lokal akan terbentuk karena ruptur plak yang sudah ada sebelumnya.
Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan fibrous cap (protein
matriks ekstraselular) yang menutupi plak tersebut. Penelitian histologis menunjukkan
plak coroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid (lipid rich core). Inti lipid yang terdapat pada plak matur merupakan
substrat utama pembentukan thrombus yang kaya platelet. Pada lokasi ruptur plak,
berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang
selanjutnya akan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal dan poten). Selain
itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa
sehingga memiliki afinitas tinggi terhadap factor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen. Faktor ini akan menunjang adhesi platelet pada permukaan trombosit dan
jaringan kolagen sehingga menghasilkan aggregasi platelet 5,8.
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi
plak.Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,
menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark
miokard.Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan
keparahan manifestasi klinis penyakit.Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri
koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya7,10.
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard
menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan
elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia
yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau
subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan
berelaksasi7,11.
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi
dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi
karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat
dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini
mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan
kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan
miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang
ireversibel berakhir pada infark miokard 4,7.
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner,
maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan
dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut
dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika
arteri koroner tersumbat cepat7.

D. FAKTOR RISIKO
Berdasarkan penelitian berskala luas dalam Interheart Study menunjukkan
kadar lipid yang abnormal, riwayat merokok, hipertensi, DM, obesitas abdominal,
faktor psikososial, pola diet, konsumsi alkohol serta aktivitas fisik secara signifikan
berhubungan dengan infark miokard akut baik pada STEMI maupun NSTEMI. Secara
garis besar, faktor risiko tersebut terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan dapat atau
tidaknya dimodifikasi1:

 Non modifiable :
1. Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit
yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat
diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Seluruh
jenis penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang terjadi pada usia lanjut
mempunyai risiko tinggi kematian2,3
2. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan Kejadiannya
lebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada laki-laki lebih besar
daripada wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun
lebih dini pada wanita. Studi lain menyebutkan wanita mengalami kejadian
infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan
onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi
yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita
agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian
menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek
perlindungan esterogen2,6
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga langsung
yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari 70 tahun merupakan
factor risiko independen. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya
predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat
keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat.
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis
PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis,
penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK2,6

 Modifiable
1. Hipertensi
Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan dengan tekanan darah,
setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg risikonya berkurang
sekitar 16 %. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg dan atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel
kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis
terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya
kadar oksigen yang tersedia. Secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan
darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan
oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi2,6,12,19
2. Diabetes mellitus
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan membrane basalis dari
kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi penyempitan
aliran darah ke jantung. Insiden serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali
lebih besar pada pasien yang dengan diabetes melitus. Orang dengan diabetes
cenderung lebih cepat mengalami degenerasi dan disfungsi endotel. Diabetes
mellitus berhubungan dengan perubahan fisik - pathologi pada system
kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan
pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary
artery diseases (CAD) 2,6,12,19
3. Dislipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit
jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas
akibat infark miokard.Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang
dapat dimodifikasiuntuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas
terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75
% merupakanlipoprotein densitas rendah (low density) liproprotein/LDL) dan
20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density liproprotein/HDL).
Kadar kolesterol HDL lahyang rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan
terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK2,6,12,19
4. Overweight dan obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di Negara berkembang
berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Overweight
didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2
. Obesitas sentral atau obesitas abdominal adalah obesitas dengan kelebihan
lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan
kelainan metabolic seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL,
peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes
mellitus tipe II. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabilasetiap
individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK
sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanya 3,5 %.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia. Hal tersebut dapat ditempuh dengan cara mengurangi asupan
kalori dan menambah aktifitas fisik2,6,12,19
5. Riwayat merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung coroner sebesar 50%.
Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif)
memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang
yang tinggal dengan bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian
karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. Penggunaan
tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di daerah
Asia Selatan. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2
sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 %
padaperempuan disebabkan kebiasaan merokok. Pemeriksaan yang dilakukan
pada usia dewasa muda dibawah usia 34 tahun, dapat diketahui terjadinya
atherosklerosis pada lapisan pembuluh darah (tunika intima) sebesar 50 %.
Berdasarkan literatur yang ada hal tersebut banyak disebabkan karena kebiasaan
merokok dan penggunaan kokain2,6,12,19
6. Faktor psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial,
personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten
meningkatkan resiko terkena aterosklerosis. Stres merangsang sistem
kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan
kecepatan denyut jantung dan pada akhirnya dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah koronaria. Beberapa ilmuwan mempercayai
bahwa stress menghasilkan suatu percepatan dari prosesatherosklerosis pada
arteri koroner. Perilaku yang rentan terhadap terjadinya penyakit coroner
(kepribadian tipeA) antara lain sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, keinginan
untuk dipandang,keinginan untuk mencapai sesuatu, gangguan tidur,
kemarahan di jalan, dan lain-lain.Baik ansietas maupun depresi merupakan
predictor penting bagi PJK2,6,12,19
7. Aktivitas fisik
Olah raga secara teratur akan menurunkantekanan darah sistolik, menurunkan
kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadarkolesterol dan lemak darah,
meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaikisirkulasi koroner dan
meningkatkan percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga
perempuan tidak dapatmempertahankan irama langkah yang normal pada
kemiringan gradual (3 mph padagradient 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan
dengan penurunan insiden PJK sebesar 20 – 40 %. Olah raga secara teratur
sangat bermanfaat untukmenurunkan faktor risiko seperti kenaikan HDL-
kolesterol dan sensitivitas insulin sertamenurunkan berat badan dan kadar LDL-
kolesterol.Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem
kardiovaskuler,yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah
dari organ yang kurangaktif ke organ yang aktif2,6,12,19
8. Gaya hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet
yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal.
Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit
mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun tidak semua literatur
mendukung konsep ini, apabila mengkonsumsi alkohol berlebihan, yaitu lebih
dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena
penyakit. Studi Epidemiologi yang dilakukan terhadap beberapa orang telah
diketahui bahwa konsumsi alkohol dosis sedang berhubungan dengan
penurunan mortalitas penyakit kardiovaskuler pada usia pertengahan dan pada
individu yang lebih tua, tetapi konsumsi alkohol dosis tinggi berhubungan
dengan peningkatan mortalitas penyakit kardiovaskuler.Peningkatan dosis
alkohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardivaskuler karena aritmia,
hipertensi sistemik, dan kardiomiopati dilatasi2,6,12,19

E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama penyakit jantung koroner adalah angina pektoris (AP). AP
didefinisikan sebagai perasaan tidak enak di dada (chest discomfort) akibat iskemik
miokard. Perasaan tidak enak di dada ini dapat berupa nyeri, rasa terbakar atau rasa
tertekanan. Kadang-kadang tidak dirasakan di dada melainkan di lengan, rahang bawah,
bahu atau di ulu hati. Serangannya tidak berhubungan dengan perubahan posisi badan
atau tarik napas. AP harus dibedakan dengan atypical chest pain misalnya gangguan
pencernaan, nyeri otot dada, pleuritis dan perikarditis5.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan
lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin.
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi
kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun
atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik
abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung
tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting
suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.
Gejala klinis menurut buku Ilmu Penyakit Dalam :
1. STEMI
Gejalanya yang ditimbulkan yaitu :
- Plak arteriosklerosis mengalami fisur
- Ruptur atau ulserasi
- Jika kondisi local atau sistemik akan memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner.
2. NSTEMI
Gejala yang ditimbulkan yaitu :
Nyeri dada dengan lokasi khas atau kadang kala di epigastrium dengan ciri
seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa
penuh, berat atau tertekan.

Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah angina


tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI.
Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga
berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial
Infarction, STEMI). Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung
tersedia3.

F. DIAGNOSIS
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan :
 Anamnesis nyeri dada yang khas
 Gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial
yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas.
 Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat
diagnosis.
1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak
napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-
40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat
istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan
dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner
(PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif
terhadap diagnosis SKA.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin.
Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan
kecurigaan kuat adanya STEMI. 7
Tekanan darah bisa tinggi, normal, atau rendah. Dapat ditemui bunyi
jantung kedua yang pecah paradoksal,irama gallop. Kadang-kadang ditemukan
pulsasi diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan
nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA3.
3. Pemeriksaan Penunjang
i. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua
pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam
waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam
menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal
tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan
terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk
mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan. 7

Lokasi Infark Gelombang Q/ Elevasi ST Arteri koroner

Anteroseptal V1 dan V2 LAD

Anterior V3 dan V4 LAD

Lateral V5 dan V6 LCX

Ekstensif Anterior I, AVL, V1-V6 LAD, LCX

High Lateral I, AVL, V5 dan V6 LCX

Posterior V7-V9 LCX PL

Inferior II, III, AVF PDA

Right ventrikel V2R-V4R RCA


ii. Pemeriksaan Marker Jantung
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi
terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan
adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T
atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena
pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. 7
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal
menunjukkan adanya nekrosis jantung. 7
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah
2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase
(CK), Lactic dehydrogenase (LDH)
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberaepa jam setlah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/ul. 7
iii. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel
lipid3.
iv. Pemeriksaan foto polos dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan
ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada
harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan
pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi
komplikasi dan penyakit penyerta.
v. Treadmill test
Treadmill test merupakan salah satu tes yang paling sering
dilakukan untuk mendiagnosis apakah seseorang menderita PJK dan
juga untuk menstratifikasi berat ringannya PJK. Indikasi treadmill test
adalah pasien dewasa (terutama umur > 40 tahun) yang diduga PJK,
stratifikasi prognosis pada penderita yang sudah menderita PJK, pasien
yang memiliki banyak faktor risiko, menilai kapasitas fungsional dan
mendeteksi adanya aritmia. Hasil tradmill test dibagi dua yaitu positif
atau negatif. Apabila pada waktu exercise pasien mengeluh nyeri dada
kiri atau sesak disertai tanda iskemik pada EKG (ST-segmen elevasi),
maka hasil pasien positif5.
vi. Echocardiography
Echocardiography tidak direkomendasikan untuk menentukan
ada tidaknya PJK, akan tetapi dapat menentukan tingkat keparahan
penyakit yang dinilai dari ejection fraction (EF) (normal > 60%) dan
lokasi penyakit, juga bernilai dalam menentukan viabilitas
(kemungkinan untuk hidup) miokard bila pasien ada rencana dilakukan
balonisasi atau operasi bypass (indikasi prognostik)5.
vii. Angiografi Koroner
Kateterisasi jantung merupakan pemeriksaan diagnostik yang
invasif. Tindakan ini dilakukan untuk menentukan tatalaksana
selanjutnya untuk pasien, dapat berupa percutaneous coronary
intervention (PCI), operasi bypass ataupun hanya diberikan obat-obatan
saja5.

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang.
Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST
yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada7,11.
1. Tatalaksana Awal
i. Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar
diakibatkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24
jam pertama onset gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain7, 11, 13:
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk
meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini7, 11.
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan
EKG dan managemen STEMI serta ada kendali komando medis online
yang bertanggung jawab pada pemberian terapi7, 11, 13.
ii. Ruangan Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/ menghilangkan
nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat
di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan
STEMI7, 11, 13.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan
riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang
tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin3.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat
dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala
penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan target kualitas berikut ini3:
- Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG
pertama ≤10 menit 

- Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi
reperfusi: untuk brinolisis ≤30 menit; Untuk IKP primer ≤90 menit
(≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang dari 120
menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu
melakukan IKP).

iii. Tatalaksana Umum


- Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan
saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
- Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan
interval 5 menit.
- Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin
dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral
dengan dosis 75-162 mg.
- Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total
3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan
darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak
lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap
6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.7,13
iv. Tatalaksana di Rumah Sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut
dalam 4-12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah
infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam
5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4
kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan
pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200 mg/hari)7,13.
2. Terapi pada Pasien STEMI
i. Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12
jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch
Block (LBBB) yang (terduga) baru3.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa PCI primer) diindikasikan
apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu
atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat3.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai
terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit7,13.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor
penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat
fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi
fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka
kematian7.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas
PCI. Bila tidak ada, langsung pilih terapi brinolitik. BIla ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke
rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah brinolitik.
Setelah brinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas PCI3.
a. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
PCI primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan
dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis
pertama. PCI primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal
jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian PCI akan tertunda lama dan bila
pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon
untuk PCI primer.
Tidak disarankan untuk melakukan PCI secara rutin pada
arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan
gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah
maupun belum diberikan brinolisis.
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya
mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan
penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi,
disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi
secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang
dapat digunakan antara lain: Ticagrelor (dosis loading 180 mg,
diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari); Atau
clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis
loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak
tersedia atau diindikasikontrakan.

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer.
Pilihannya antara lain:
- Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat
reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang
tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin
- Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
Iib/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak
terfraksi.

- Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer.

- Tidak disarankan menggunakan brinolisis pada pasien yang

direncanakan untuk IKP primer3.
b. Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting,
terutama pada tempat- tempat yang tidak dapat melakukan PCI
pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP
primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam
120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang
datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang
besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan
inflasi balon lebih dari 90 menit (3). Terapi fibrinolitik lebih baik
diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle time < 30
menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah
merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat7,11.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada
dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit
pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada
graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan
IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Indikasi fibrinolitik, yaitu umur < 70 tahun, nyeri dada khas
infark atau ekuivalen, lebih dari 20 menit, tidak hilang dengan
pemberian nitrat dan elevasi ST > 0,1 mV sekurang-kurangnya
pada 2 sadapan EKG (5).
Kontraindikasi terapi fibrinolitik (3):

Obat Fibrinolitik, yaitu


1) Streptokinase (SK): merupakan fibrinolitik non-spesifik
fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh
diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi.
Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup
harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial
yang rendah14.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase): Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal dibandingkan SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi15.
3) Reteplase (retevase): INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III
trial dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang
lebih panjang16.
4) Tenekteplase (TNKase): Keuntungannya mencakup
memperbaiki spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap
plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari
TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai
5) laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama
dibandingkan dengan tPA 17.
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu
terapi yang manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa
risiko seperti perdarahan.
ii. Terapi Lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-
platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti
Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin
(LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin
Receptor Blocker13,14,18.
1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal
STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi
arteri koroner yang terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet
standar pada STEMI. 13 Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat
untuk mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang
menjalani PCI19.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis
adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang
diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat
trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan
memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam
(maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time
selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali7.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat,
gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada
ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi
tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi
antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama
dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan7
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin
untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk
pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau
fibrinolitik13,18.
3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat
yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan
yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan
risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius7.
4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus
diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian
inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien
hipertensif7.

H. KOMPLIKASI
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada
segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling
ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis
dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan
hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih
buruk. 7
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah
sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. 7
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama
perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel. 7
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi
vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. 7
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf
autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi
miokard. 7
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI
dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas
ektopik ventrikel pada pasien STEMI. 7
7. Takikardi dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama. 7
8. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel. 7

I. PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA (David,
2015) :

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,


kongesti paru dan syok kardiogenik20

Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Kelas Definisi Mortalitas


(%)
I Tak ada tanda 6
gagal jantung
II +S3 dan atau 17
ronki basah
III Edema Paru 30-40
IV Syok 60-80
kardiogenik

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) 20

Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut


Kelas Indeks PCWP Mortalitas
Kardiak (mmHg) (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
DAFTAR PUSTAKA

1. Indre C. Eponiene, Diana Zaliaduonyte-Peksiene, Olivija Gustiene, Abdonas


Tamosiunas, and Remigijus Zaliunas, “Association of major cardiovascular risk factors
with the development of acute coronary syndrome in Lithuania,” European Heart Journal
Supplements, vol. 16, no. A, pp. A80–A83, 2014.
2. Santoso, Anwar et al., (2009). Lipid dan Penyakit Jantung Koroner.Jakarta: Centra
Communications
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Jakarta. Centra Communications.
4. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007.
5. Kabo, Peter. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. 2012,
Balai Penerbit FKUI
6. Huon H. Gray, Keith D. Dawkins, John M. Morgan, Iain A. Simpson, Lecture notes
cardiology, Edisi 4, Erlangga Medical Series, Jakarta, 2002, 107-150.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing. 2010.
8. Alwi, Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Interna Publishing
9. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York. 2004. p.227.
10. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. 2005;
147: 6-9
11. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New
South Wales: McGraw Hill. 2010.
12. Antman, E.M. & Braundwald, E. 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine (17th
ed). New South Wales: McGraw Hill.
13. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the ACC/AHA 2004
guidelines for the management of the patients with ST- elevation myocardial infarction :
a report of the American College of Cardiology American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. 2008;51:210–247.
14. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for reperfusion therapy
in emergency department patients with suspected acute myocardial infarction. American
College of Emergency Physicians Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee)
on Reperfusion Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358–383.
15. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT) Evidence of
Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial Infarction. Am J
Cardiol.2000; 85 : 147-153
16. International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized, Double-blind
Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with Streptokinase in Acute
Myocardial Infarction. Lancet.1995; 346 : 329-336.
17. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York. 2004. p.227.
18. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute myocardial
infarction in patients presenting with persistent ST-segment elevation: the Task Force on
the Management of ST-Segment Elevation Acute Myocardial Infarction of the European
Society of Cardiology. Eur Heart J 2008;29:2909–2945.
19. Bull E, Morrell J, 2007. Simple Guides Kolesterol. Edisi ke-1. Jakata, Erlangga, 3-22
20. David, L.C., S. Jamshid, et al. 2015. Acute Coronary Syndrome. Medscape

Anda mungkin juga menyukai