Anda di halaman 1dari 13

Sindrom Metabolik pada Orang Dewasa serta Penanganannya

Pendahuluan

Sindroma metabolik merupakan sekelompok kelainan metabolik baik lipid maupun non-lipid
yang merupakan faktor risiko yang meningkatkan untuk terjadinya penyakit jantung koroner,
yang terdiri atas obesitas sentral, dislipidemia,aterogenik (kadar trigliserida tinggi dan kadar
kolesterol high-density lipoprotein rendah, HDL), hipertensi dan kadar glukosa plasma yang
abnormal. Keadaan tersebut di atas juga berhubungan erat dengan suatu kelainan sistemik yang
dikenal sebagai sindrom resistensi insulin.

Resistensi insulin adalah suatu gangguan respons biologis terhadap insulin dengan akibat
kebutuhan insulin tubuh meningkat sehingga terjadi hiperinsulinemi untuk mempertahankan
kadar glukosa plasma agar tetap dalam batas normal. Sedangkan sindrom metabolik (sindrom X)
atau dikenal juga dengan sindrom resistensi insulin merupakan kumpulan gejala yang
menunjukkan risiko kejadiaan kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut.1 Resistensi
insulin berkaitan erat dengan obesitas, khususnya dengan penimbunan jaringan lemak abdominal
atau obesitas sentral. Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi
sindrom metabolic begitu juga dengan keadaan di Asia termasuk Indonesia, dimana studi
menunjukkan beberapa wilayah di Indonesia termasuk Jakarta obesitas sentral merupakan
komponen yang paling banyak ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik.1

Umumnya, penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan masing


masing komponen dan tampilan klinis sindrom metabolik ini sangat dipengaruhi oleh faktor
etnik dan herediter, sehingga pola klinis di setiap populasi adalah berbeda-beda.

Pembahasan

2.1 Anamnesis

1
Kasus adalah tentang Tn A berusia 55 thn datang ke poliklinik untuk konsultasi karena merasa
terlalu gemuk dan sulit menurunkan berat badannya sejak usia 38 tahun. Pekerjaan pasien adalah
sebagai karyawan suatu kantor swasta. Sebelumnya pasien sangat jarang memeriksakan dirinya
ke fasilitas kesehatan karena dirasakan dirinya tidak memiliki keluhan seputar kesehatannya.
Ayahnya menderita hipertensi dan ibunya sudah 10 tahun mengidap penyakit kencing manis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, BB 88 kg,
TB 169 cm (IMT – 30.8), lingkar perut 135cm, lingkar pinggang 115cm (waist-hip ratio 1.17),
tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi 80x/menit, frekuensi napas 16x/menit,suhu 36.5
derajat. Hasil pemeriksaan laboratorium: GDP 110mg/dL, GD 2 jam pp 160 mg/dL, kolesterol
total 362 mg/dL, TG 300 mg/dL.

Keluhan utama yang menyebabkan pasien datang ke dokter adalah sejak 38 tahun yang lalu ia
merasa terlalu gemuk dan susah untuk menurunkan berat badan. Pasien berasa tidak enak dengan
keadaan ini dan terus ke dokter. Selain itu, pasien ada mengatakan bahwa dia agak sering lelah
dan mudah haus 1 tahun kebelakangan ini. Dengan adanya riwayat hipertensi dan kencing manis
pada bapa dan ibunya dengan beberapa hasil pemeriksaan, pasien ini lebih menunjukkan
kumpulan gejala yang dipanggil sindrom metabolik.

2.2 Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Inspeksi merupakan pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan hanya melihat sama ada terdapat
kelainan atau tidak pada badan pasien. Hal-hal yang dilihat adalah sama ada terdapat striae pada
abdomen pasien yang biasanya ada pada orang kegemukan. Selain itu diperhatikan juga cara
pasien berjalan adalah dia mengalami kesukaran berjalan atau dia cepat lelah apabila sesudah
melakukan sesuatu aktivitas. Lihat juga jika pada pasien terdapat luka-luka pada kaki yang
lambat sembuh yg biasanya pada orang-orang diabetes mellitus.2

Palpasi

2
Palpasi adalah teknik perabaan untuk mengetahui sama ada terdapat kawasan yang nyeri atau
kawasan yang mempunyai massa. Palpasi pada kaki pasien yang diabetik dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan suhu dengan memakai bagian dorsum tangan, memeriksa pulsasi
A.dorsalis pedis dan A.tibialis posterior dan melakukan pemeriksaan sensibilitas dengan
monofilament.2

Perkusi

Perkusi dilakukan dengan cara mengetuk tempat-tempat tertentu untuk mengetahui kelainan pada
organ-organ dalaman pasien. Kita bisa memeriksan dan mencari batas paru-hati, pembesaran
hati, pemeriksaan nyeri ketuk di CVA dan melakukan pemeriksaan ketuk sama ada terdapat
nyeri atau tidak pada kawasan tubuh pasien.

Auskultasi

Auskultasi adalah bertujuan untuk mendengar bunyi jantung pasien yang tidak teratur atau cepat
pada takikardi.2

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisis
I. Pemeriksaan reduction untuk deteksi keberadaan glukosa dalam urin dengan
menggunakan reagen (Benedict):2
( - ) = tidak ada perubahan warna (0% glukosa)
(+1) = hijau kekuningan dan keruh (ada 0.5-1% glukosa)
(+2) = warna kuning keruh (ada 1-1.5% glukosa)
(+3) = jingga (2-3.5% glukosa)
(+4) = merah keruh (>3.5% glukosa)
II. Microalbuminuria untuk melihat ada/tidak ada protein dalam urin (protenuria)2
Ringan (<0.5 gr/hr) = demam,stress,infeksi saluran kemih
Sedang (0.5-3 gr/hr) = nefropati DM
Berat (>3 gr/hr) = nefropati DM berat
Pemeriksaan darah

3
a. Glukosa Darah (gula darah sewaktu): pemeriksaan kadar glukosa plasma yang tidak
terikat waktu/kapan saja. Hasil normal < 110 mg/dL. Pengisian darah karena jika pasien
baru mengambil makanan, maka hasilnya dapat tinggi walaupun pasien tersebut normal.2
b. OGTT (oral glucose tolerance test): melihat jumlah glukosa dalam tubuh yang
merupakan sisa pemecahan oleh insulin terhadap pemberian glukosa dari waktu ke
waktu.2
 Fasting glukosa: pemeriksaan level glukosa plasma 8-12 jam setelah pemberian
75 gr gula. Kadar normalnya 70-110 mg/dL.
 2 hours postprandial: pemeriksaan level glukosa plasma setelah 2 jam setelah
pemberian 75 gr gula. Kadar normal adalah 160 mg/dL
c. Kolesterol total: peningkatan kolesterol menyebabkan aterosklerosis dan terdapat pada
penderita hipotiroidisme, DM, sirosis bilier, pankreatomi, kehamilan trimester 3, stress
berat, hiperpoproteinemia, diet tinggi kolesterol, sindroma nefrotik dan juga disebabkan
oelah pil KB, epinefrin,fenotiazin, sulfonamide, fenotoin. Kadar normal kolesterol total <
200 mg/dl.
d. LDL-kolesterol: tes ini dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya penyakit
jantung.
e. HDL-kolesterol: kadar normlanya > 54 mg/dl, penurunan kadar HDL-c merupakan salah
satu dari triad lipid yang menunjukkan adanya diabetes mellitus. HDL-c menurun karena
banyaknya lipid yang harus diangkut oleh HDL keluar dari sel endotel.
f. Total lipid: kadar normalnya: 400-1000 mg/dl
g. Trigliserida: kadar normalnya: < 200 mg/dl. Peningkatan kadar TG juga merupakan
salah satu dari triad diabetes mellitus.

2.4 Diagnosis Kerja

Sindrom metabolik
Sindroma metabolik atau dikenal juga sebagai Sindrom X merupakan kumpulan dari
faktor-faktor resiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular yang ditemukan pada seorang
individu. Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien-pasien
dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular yang

4
disebut sebagai sindrom X. selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom resistensi insulin
dan akhirnya sindrom metabolik. Resistensi insulin adalah kondisi dimana terjadi penurunan
sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai
bentuk kompensasi sel beta pancreas. Kondisi resistensi insulin ini terjadi pemicu timbulnya
diabetes tipe 2. The National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel ( NCEP-
ATP 3, 2001) melaporkan bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko terhadap penyakit
kardiovaskular dan diabetes mellitus (DM), sehingga memerlukan intervensi modifikasi gaya
hidup yang ketat. Seseorang individu dikatakan dengan sindrom metabolik jika memiliki 3 dari 5
kriteria berikut:1

I. Resistensi insulin
II. Obesitas sentral
III. Hipertensi
IV. Dispilidemia(peningkatan kadar trigliserida dan penurunan HDL)
V. Hiperglikemia

Pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasikan kriteria
NCEP-ATP 3, yang menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan resistensi insulin,
sehingga memakai obesitas sentral sebagai kriteria utama. IDF medefinisikan sindrom metabolik
dengan sentral obesitas (IMT > 30, atau peningkatan lingkar perut), ditambah 2 dari kriteria
berikut ini;3

I. Hipertensi; TD > 130/85 mmHg


II. Trigliserida; > 1,7 mmol/L
III. Penurunan HDL; < 1,30 mmol/L (laki laki), < 1,29 mmol/L (wanita)
IV. Glukosa darah puasa; GDP > 5.6 mmol/L atau DM

Namun criteria yang diajukan oleh NCEP-ATP 3 lebih banyak digunakan atas alas an lebih
memudahkan untuk mengindentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolic
dapat ditegakkan apabila seseorang itu memiliki paling kurang tiga kriteria.

2.5 Epidemiologi

5
Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolik.
Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50
tahun sebesar 45%. Pandemic sindrom ini juga berkembang seiring dengan peningkatan
prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia.1 Berdasarkan data dari
the Third National Health and Nutrition Examination Survey ( 1988 sampai 1994), prevalensi
sindrom metabolik ( engan menggunakan criteria NCEP-ATP 3) bervariasi dari 16% pada laki-
laki kulit hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi meningkat dengan bertambahnya
usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang berusia lanjut makin bertambah
dan lebih dari separuh mempunyai berat badan lebih atau gemuk, diperkirakan sindrom
metabolik melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit kardiovaskular.
Sindroma metabolik juga merupakan prediktor kuat untuk terjadinya DM tipe 2 dikemudian hari.

2.6 Etiologi

Etiologi sindrom metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan
bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin. Resistensi insulin
mempunyai korelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat ditentukan dengan pengukuran
lingkar pinggang atau waist to hip ratio.4 Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit
kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidif yang menimbulkan disfungsi
endotel yang akan menyebabkan kerusakan vascular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain
menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal.
Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol
didalam serum ( yang disebabkan oleh stress kronik) mengalami obesitas abdominal, resistensi
insulin dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal juga terjadi akibat faktor risiko.1

2.7 Patofisiologi

Resistensi Insulin

Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum
disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakan
teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plasma
puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10%

6
sindrom metabolik. Pengukuran homeostasis Model Asessment (HOMA) dan Quantititive
Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dibuktikan berkorelasi erat dengan pemeriksaan
standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin.1 Bila melihat dari
patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adipose dan sistem kekebalan tubuh,
maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin perlu ditinjau
lagi. Oleh karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun
disepakati.

Obesitas sentral

Obesitas sentral yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitive dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi menunjukkan
bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara
jenis kelamin) lebih sensitive dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular.
Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adipose subkutan dan visceral.4 Meski dikatakan
bahwa lemak visceral lebih berhubung dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini
masih controversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular.
Variasi faktor genetic membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari suatu
obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulin dan
sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi
faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatu resistensi
insulin maupun obesitas.1

Jaringan adipose merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai faktor pro
dan anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, tumor nekrosis faktor alfa ( TNF-alfa), Interleukin-
6( IL-6) dan resistensi. Konsentrasi adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan
obesitas. Senyawa ini dipercayai memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan manusia.
Sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan
berhubungan dengan risiko kejadian kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko tradisional
kardiovaskular, IMT dan konsentrasi CRP. Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran
pengukuran marker hormonal dari jaringan adipose lebih baik daripada pengukuran secara
anatomi dalam memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolic yang terkait.1

7
Dislipidemia

Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan trigliserida dan
penurunan kolesterol HDL. Kolesterol HDL biasanya normal, namun mengalami perubahan
struktur berupa peningkatan LDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma difikirkan akibat
peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan produksi
trigliserida. Namun studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida
tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam
lemak bebas ke hati.

Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi transfer


trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi trigliserida
normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme
lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan trigliserida.
Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post prandial pada
kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-1( Apo A-1) oleh
hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL.1,5 Peran sistem imunitas pada
resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil lipid pada subyek dengan resistensi
insulin. Studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivitas sistem imun akan menyebabkan
gangguan pada lipoprotein, protein transport , reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi
perubahan profil lipid.1

Hipertensi

Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf
simpatis meningkatkan reabsorbsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan
mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infuse insulin akut dapat
menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat
resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The insulin
resistance atherosclerosis study melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi
pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM tipe 2.1

8
Gambar 1: Pengaruh Resistensi Insulin terhadap Metabolisma Tubuh.
(http://makansehat.wordpress.com/2008/09/02/penolakan-terhadap-insulin-dan-sindrom-metabolik/)

2.8 Gambaran Klinis

Sindrom metabolik biasanya tidak diasiosiasikan dengan gejala. Pada pemeriksaan fisik, lingkar
perut dan tekanan darah yang meningkat. Kehadiran satu atau salah satu dari tanda-tanda ini
harus diwaspadai dokter untuk mencari kelainan lain yang mungkin terkait dengan sindrom
metabolik. Karena temuan fisik biasanya terkait dengan resistensi insulin, komponen lain dari
sindrom metabolik harus diprediksi.

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sindrom metabolik adalah bagi mencegah komplikasi kardiovaskular pada


individu yang telah memiliki sindrom metabolik, diperlukan pemantaun yang terus menerus
dengan modifikasi komponen sindroma metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindroma
metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing komponennya.
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes mellitus tipe 2 pada pasien yang belum
diabetes.

9
Terapi buat obesitas sentral

Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada pasien. Dua obat yang
dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah sibutramin dan orlistat. Dengan
mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin dapat menjadi
pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan kemungkinan efek samping yang munkin
timbul. Cara kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek
mempercepatkan rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah berat badan
turun dapat memberikan efek tidak hanya untuk penurunan berat badan namun juga
mempertahankan berat badan yang sudah turun.1

Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan berat badan pemberian
sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan diet dan aktivitas fisik, memperbaiki
konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL. Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada
pasien-pasien yang berisiko serius akibat obesitasnya.1

Terapi buat hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hipertensi juga mengakibatkan


microalbuminuria yang dipakai sebagai indicator independen morbiditas kadiovaskular pada
pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah berbeda antara subyek dengan DM
dan tanpa DM. Pada subyek dengan DM dan penyakit ginjal, target tekanan darah darah adalah <
130/80 mmHg, sedangkan pada bukan DM targetnya < 140/90 mmHg.1 Untuk mencapai target
tekanan darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet dan aktivitas fisik.
Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dulu dengan upaya penurunan berat badan,
berolah raga, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak mengkonsumsi serat.
Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak mampu mengendalikan tekanan darah maka
dibutuhkan pendekatan medikamentosa untuk mencegah komplikasi seperti infard miocard,
gagal ginjal kronik dan stroke.

Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim pengkonversi angiotensin dan
penghambat reseptor angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam meregresi hipertrofi
ventrikel kiri dibandingkan denagn penghambat beta adrenegik, diuretic dan antagonis kalsium.
Valsartan, suatu penghambat reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroaluminuria yang

10
diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan
pemakian ACE inhibitor sebagai lini pertama pada penyandang hipertensi dengan sindrom
metabolik terutama bila ada DM. angiotensin reseptor bloker (ARB) dapat dugunakan apabila
tidak tolerans terhadap ACE inhibitor. Meski pemakian diuretic tidak dianjurkan pada subyek
dengan gangguan toleransi glukosa, namun pemakaian diuretic dosis rendah yang dikombinasi
dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat dibandingkan efek sampingnya.1

Terapi gangguan toleransi glukosa

Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi
awal suatu diabetes mellitus. Penelitian- penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan
yang kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular pada sindrom
metabolik dan diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktivitas yang teratur terbukti efektif dapat
menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki glukosa darah
2 jam pasca prandial dan konsentrasi insulin.1

Tiazolindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolic. Tiazolindion dan metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam
lemak bebas. Pada diabetes prevention program, penggunaan metformin dapat mengurangi
progresi diabetes sebesar 31 % dan efektif pada pasien muda dengan obesitas.1

Terapi untuk dislipidemia

Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti dengan medika
mentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak cukup berhasil
mencapai target. Oleh karena itu, disarankan untuk memberikan obat berbarengan dengan
perubahan gaya hidup. Menurut ATP 3, setelah kolesterol LDL sudah mencapai target, sasaran
berikutnya adalah dislipidemia aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida 200 mg/dl, maka target
terapi adalah non kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi dengan gemfibrozil
tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi jugak secara bermakna dapat menurunkan risiko
kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat menurunkan konsentrasi fibrinogen. Kombinasi fenofibrat
dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol HDL dan LDL.1

11
Target terapi berikutnya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi menunjukkan apoB lebih baik
dalam menggambarkan dislipidemia aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan kolesterol nin
HDL sehingga menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun demikian, ATP 3 tetap
menyarankan pemakaian kolesterol non HDL sebagai target terapi mengingat di beberapa
tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia. Apabila konsentrasi trigliserida 500 mg/dL,
maka target terapi pertama adalah penurunan trigliserida untuk mencegah timbulnya pancreatitis
akut. Pada konsentrasi trigliserida < 500 mg/dL , terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida
dan kolesterol LDL, untuk kolesterol HDL tidak ada target terapi tertentu, hanya dinaikkan saja.1

2.10 Pencegahan

Pencegahan pada pasien Sindrom metabolik

 Menjaga agar berat badan tetap seimbang pada (IMT 18.5-22.9)


 Memperbanyakkan aktivitas fisik
 Mengurangi asupan lemak dan karbohodrat dalam jumlah besar.
 Hindari rokok dan alcohol

2.11 Komplikasi

Antara penyakit-penyakit yang menyertai sindrom metabolik adalah;

1. Penyakit kardiovaskular
Risiko relatif onset baru CVD pada pasien dengan sindrom metabolik, pada pasien tanpa
diabetes, rata-rata 1.5 dan tiga kali lipat. Dalam sebuah penelitian, risiko penduduk yang
timbul pada pasien dengan sindrom metabolic untuk mengembangkan CVD adalah 34%
pada pria dan 16% pada wanita. Dalam studi yang sama, baik sinrom metabolic dan
diabetes stroke iskemik diprediksi dengan risiko lebih besar untuk pasien dengan sindrom
metabolic daripada untuk diabetes sendiri
2. DM tipe 2
Secara kesluruhan, risiko diabetes tipe 2 pada pasien dengan sindrom metabolik adalah
meningkat 3 sampai 5 kali lipat.

12
2.12 Prognosis

Penanganan adalah bersifat lebih kepada untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
memperparah kondisi, jadi jika penangan baik maka prognosis juga baik. Jika tidak ditangani
dengan baik mungkin akan mengalami, penyakit kardiovaskular, DM, stroke, gagal ginjal kronis
dan meningkatnya mortilitas. Pencegahan dengan pendedahan sejak usia muda lagi dengan
melakukan aktivitas fisik yang teratur, pengontrolan gula darah dan tekanan darah.

Penutup

Kesimpulan

Sindrom metabolik merupakan kumpulan kelainan metabolik tubuh yang ditandai dengan 3 dari
kriteria berikut; obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi, kadar gula darah yang abnormal, dan
resistensi insulin. Jika tidak ditangani dengan serious, berkomplikasi untuk terjadinya penyakit
kardiovaskular dan diabetes mellitus. Kumpulan penyakit ini bisa dicegah dari awal supaya
kehidupan sehari-harian kita akan lebih bermakna dan tidak bermasalah.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K M, Setiati S etc. Ilmu penyakit dalam.
In: Metabolik Endokrin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit Interna Publishing; 2009. Hal
1865-76.
2. Santoso M, Pulunggono, Bara, Naland H, Winaktu G, Yasavati etc. Blok 21 Metabolik
endokrin 2. In: Ilmu Penyakit dalam - diabetus mellitus. Jakarta: Penerbit UKRIDA;
2014.
3. Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. Oxford handbook of clinical
medicine. In: Endocrinology. 9th edi. Oxford: Oxford University Press; 2014. Page 199.
4. Walker BR, Colledge NR, Ralston SH, Penman ID. Davidson’s principles and practice of
medicine. In: Diabetes mellitus. 22nd edi. China: Elsevier Limited; 2014. Page 805-6
5. Hammer GD, McPhee SJ. Pathophysiology of disease – an introduction to clinical
medicine. In: Disorders of the endocrine pancreas. 7th Edi. China: Mc-Graw Hill
Education; 2014. Page 539.

13

Anda mungkin juga menyukai