Anda di halaman 1dari 18

1.

Definisi
Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda-
tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut
ataupun kronik, sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif didalam tubuh, gangguan
primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan
metabolisme lemak dan protein.
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi
insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta yang terdapat dalam pankreas. Pada
keadaan normal, kadar insulin dalam darah akan berfluktuasi tergantung kadar gula dalam
darah. Kadar insulin akan meningkat sesaat setelah makan dan akan menurun begitu kita
tidak memakan sesuatu. Fungsi utama insulin adalah mendistribusikan glukosa yang terdapat
dalam darah ke seluruh tubuh guna di metabolisme untuk menghasilkan energi. Bila kadar
gula atau glukosa yang ada melebihi kebutuhan maka kelebihan itu akan disimpan dalam
hati. Simpanan glukosa ini akan dilepaskan jika diperlukan, misalnya saat tubuh kita
kelaparan.
Diabetes Mellitus tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh karena
terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas.
Keadaan ini akan menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi naik tidak terkendali.
Kegemukan dan riwayat keluarga menderita kencing manis diduga merupakan faktor resiko
terjadinya penyakit ini.
2. Etiologi
Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan
jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya
DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Saat seseorang menderita diabetes melitus tipe 2 maka ada dua kemungkinan yang terjadi
yaitu, sel beta yang terdapat dalam pankreas produksi insulinya tidak mencukupi atau
produksinya cukup namun tubuh resisten terhadap insulin. Kedua keadaan ini akan
menyebabkan kadar glukosa dalam darah akan meningkat.
Pada diabetes mellitus tipe 2 (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin, NIDDM),
pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh
membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif.
Diabetes tipe II bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia
30 tahun.
Menurut Triplitt (2005) beberapa faktor resiko terjadinya diabetes melitus tipe 2, antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus,
2. Obesitas dengan berat badan ≥ 20 % dari berat badan ideal atau BMI ≥ 25 kg/m2,
3. Aktivitas fisik yang kurang,
4. Mengalami gangguan toleransi glukosa atau gangguan glukosa darah puasa sebelumnya,
5. Hipertensi dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg,
6. Dislipidemia dengan HDL-kolesterol ≤ 35 mg/dL dan atau kadar trigliserida ≥ 250
mg/dL,
7. Memiliki riwayat diabetes melitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat badan
bayi lahir > 9 Pound atau > 4 Kg,
8. Mempunyai riwayat penyakit vaskuler dan polycystic ovary disease.
3. Patofisiologi
Pankreas yang disebut kelenjar ludah perut, adalah kelenjar penghasil insulin yang
terletak di belakang lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti
pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang
mengeluarkan hormone insulin yang sangt berperan dalam mengatur kadar glukosa darah.
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang
dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa
tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam darah tidak dapat masuk
ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam darah meningkat. Keadaan inilah yang
terjadi pada diabetes mellitus tipe 1.
Pada keadaan diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin bisa normal, bahkan lebih banyak,
tetapi jumlah reseptor (penangkap) insulin di permukaan sel kurang. Reseptor insulin ini
dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan DM tipe 2,
jumlah lubang kuncinya kurang, sehingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi
karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit,
sehingga sel kekurangan bahan bakar (glukosa) dan kadar glukosa dalam darah meningkat.
Dengan demikian keadaan ini sama dengan keadaan DM tipe 1, bedanya adalah pada DM
tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal. Pada DM tipe 2
juga bisa ditemukan jumlah insulin cukup atau lebih tetapi kualitasnya kurang baik, sehingga
gagal membawa glukosa masuk ke dalam sel.
Di samping penyebab di atas, DM juga bisa terjadi akibat gangguan transport glukosa di
dalam sel sehingga gagal digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolism energy.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap
awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping
kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara
lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi
insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.
Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu, dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita
DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Pathway
4. Tanda dan Gejala
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang
harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan
penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan
polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan
kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul
gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas.

Tabel 2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu (GDS) dan Puasa.

Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2
seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian
ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2
umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin
buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi
pada pembuluh darah dan syaraf.
Berikut adalah beberapa gejala diabetes melitus tipe 2, diantaranya:
1. Kelelahan
Kelelahan yang luar biasa merupakan gejala yang paling awal dirasakan oleh
penderita diabetes melitus tipe 2. Pasien akan merasakan tubuhnya lemas walaupun tidak
melakukan aktivitas yang tidak terlalu berat.
2. Penurunan berat badan secara drastis
Memakan makanan yang berlebihan akan meningkatkan resiko kegemukan.
Kelebihan lemak dalam tubuh akan menyebabkan resistensi tubuh terhadap insulin
meningkat. Pada orang yang telah menderita diabetes, walaupun ia makan makanan
secara berlebihan tubuhnya tidak menjadi gemuk dan malah mengurus. Hal ini
disebabkan karena otot tidak mendapatkan cukup energi untuk tumbuh.
3. Gangguan penglihatan
Kadar gula yang tinggi dalam darah akan menarik cairan dalam sel keluar, hal ini
akan menyebabkan sel menjadi keriput. Keadaan ini juga terjadi pada lensa mata,
sehingga lensa menjadi rusak dan penderita akan mengalami gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan ini akan membaik bila diabetes melitus berhasil ditangani dengan
baik. Bila tidak tertangani, gangguan penglihatan ini akan dapat memburuk dan
menyebabkan kebutaan.
4. Sering terinfeksi dan bila luka sulit sekali sembuh
Keadaan ini bisa terjadi karena kuman tumbuh subur akibat dari tingginya kadar
gula dalam darah. Selain itu, jamur juga sangat menikmati dirinya tumbuh pada darah
yang tinggi kadar glukosanya.
5. Pemeriksaan Diagnosis

a. Pemeriksaan Glukosa Darah atau Hiperglikemia (Puasa, 2 jam setelah makan/post


prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).
Antibodi untuk pertanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell
cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap
glutamic acid decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di
sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya
kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit
ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi
neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun
sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum
gejala DM muncul.
Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi
C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan
untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida
akan meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas.
b. Pemeriksaan Laboratorium Infeksi
Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya
kultur darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan
adalah pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan
insulin darah atau tidak. Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat
gejala komplikasi dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan
asidosis/alkalosis metabolik maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas
darah.
Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies,
misalnya aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar beta hidroksi butarat
dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk penelitian masih dilakukan
pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta
pemeriksaan genetik lain.
Tabel 3. Kriteria Penegakan Diagnosis
Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 Jam setelah Makan

Normal < 100mg/dl < 140mg/dl

Pra-diabetes 100-125 mg/dl -

IFG atau IGT - 140 – 199mg/dl

Diabetes ≥126 mg/dl ≥ 200 mg/dl

6. Intervensi Medis
Pengelolaan diabetes mellitus tanpa komplikasi akut pada umumnya selalu dimulai
dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani dulu. Apabila dengan pendekatan tersebut
belum mencapai target yang diinginkan, baru diberikan obat-obatan baik oral maupun
suntikan sesuai indikasi.
Tujuan utama pengobatan diabetes mellitus yaitu :
1. Mengembalikan konsentrasi glukosa darah menadi senormal mungkin agar penyandang
DM merasa nyaman dan sehat.
2. Mencegah atau memperlambat timbulnya komplikasi
3. Mendidik penderita dalam pengetahuan dan motivasi agar dapat merawat sendiri
penyakitnya sehingga mampu mandiri.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang
dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Tabel 4. Target Penatalaksanaan Diabetes
Parameter Kadar ideal yang diharapkan

Kadar glukosa darah puasa 80-120 mg/dL

Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dL

Kadar glukosa darah saat tidur


100-140 mg/dL
(bedtime blood glucose)

Kadar glukosa plasma saat tidur


110-15 mg/dL
(bedtime plasma glucose)

Kadar insulin <7%

Kadar HbA1c (Hemoglobin Adult 1c) < 7 mg/dL

Pria : > 45 mg/dL


Kadar kolesterol HDL
Wanita : > 55 mg/dL

Kadar trigliserida < 200 mg/dL

Tekanan darah < 130/80 mmHg

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama
pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam
penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa
obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa
terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.
1. Terapi Tanpa Obat
a. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
- Karbohidrat : 60-70%
- Protein : 10-15%
- Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi
resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa.
Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat
mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status
DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan
tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg
per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang
mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh.
Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama
daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan
serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.
Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan
berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa
lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih.
Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya
kaya akan vitamin dan mineral.
b. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai
zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan,
antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga
aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan
memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan
juga meningkatkan penggunaan glukosa.

2. Terapi Obat
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah
berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat
hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
a. Terapi Obat Hipoglikemik Oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes.
Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,
farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis
obat atau kombinasi dari dua jenis obat.
Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang
ada.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu:
1) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
2) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion,
yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.
3) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut
juga “starch-blocker”.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat hipoglikemik oral adalah
sebagai berikut:
1) Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap.
2) Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-
obat tersebut.
3) Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
4) Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan untuk
beralih pada insulin.
5) Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh sebab itu
sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang tidak diberikan
pada penderita lanjut usia.
6) Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita.

b. Terapi Insulin
Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin,
namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi
hipoglikemik oral.
Indikasi untuk terapi insulin adalah sebagai berikut:
a. Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin
endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada,
b. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin
apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah,
c. Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard akut atau stroke,
d. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin,
apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah,
e. Ketoasidosis diabetic,
f. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik,
g. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen
tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap
memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi
peningkatan kebutuhan insulin,
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat,
i. Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO.

c. Terapi Kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO
dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan
biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang
memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan
obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin,
sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman
menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak
penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.
7. Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila kadar
glukosa darah turun dibawah 50 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian
insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit
atau karena aktivitas fisik yang berat.
Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Kejadian
ini dapat terjadi sebelum makan, khususnya jika makan yang tertunda atau bila pasien
lupa makan camilan.
Hipoglikemia terbagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Hipoglikemia Ringan
Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatis akan
terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala seperti
perspirasi, tremor, takhikardia, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
2) Hipoglikemia Sedang
Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapatkan cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda
gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan
berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse, penurunan daya ingat, mati rasa di
daerah bibir serta lidah, bicara rero, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan
emosional, perilaku yang tidak rasional, pengllihatan ganda, dan perasaan ingin
pingsan.
3) Hipoglikemia Berat
Fungsi sitem saraf pusat menagalami gangguan yang sangat berat
sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi
hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan, atau bahkan kehilangan
kesadaran.
b. Diabetes Ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukup
jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinik yang penting pada diabetes
ketoasidosis yakni dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan sidosis.
Apabila jumlah insulin berkurang, maka jumlah glukosa yang memasuki sel
akan berkurang pula. Selain itu prroduksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali,
kedua faktor tersebut akan mengakibatkan hiperglikemia. Dalam upaya untuk
menghilangkan glukosa dalam tubuh, ginjal akan mensekresikan glukosa bersama-
sama air dan elektrolit (natriun dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh
urinasi yang berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan
elektrolit.
c. Syndrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK)
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness).
Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik,
cairan akan berpindah dari intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan
dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.
2. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik dari diabetes mellitus dapat menyerang semua sistem organ
tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit
makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis.
a. Komplikasi Makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada
diabetes. Perubahan aterosklerotik ini serupa dengan pasien-pasien non diabetik,
kecuali dalam hal bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia yang lebih
muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien-pasien diabetes. Berbagai tipe
penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi aterosklerotik.
Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri koroner, maka akan
menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada
pembuluh darah serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TIA
(Transiennt Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh
darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit okluisif arteri perifer
atau penyakit vaskuler perifer.
b. Komplikasi Mikrovaskeler
1) Retinopati Diabetik
Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada
retina mata, bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh darah dari berbagai
jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula dan kapiler.
2) Nefropati Diabetik
Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal ajkan
mengalami stress yang mengakibatkan kebocoran protein darah ke dalam urin.
Sebagai akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan
tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya
nefropati.
3) Neuropati Diabetikum
Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah:
a) Polineuropati Sensorik
Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Neuropati perifer
sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf extremitas bagian
bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang
simetris dan secara progresif dapat meluas ke arah proksimal. Gejala
permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan
peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari).
Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal.
Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan
sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk
mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui.
b) Neuropati Otonom (Mononeuropati)
Neuropati pada system saraf otonom mengakibatkan berbagai fungsi yang
mengenai hampir seluruh system organ tubuh. Ada lima akibat utama dari
neuropati otonom (Smeltzer, 2001) antara lain :
 Kardiovaskuler
Tiga manifestasi neuropati pada sistem kardiovaskuler adalah
frekuensi denyut jantung yang meningkat tetapi menetap, hipotensi
ortostatik, dan infark miokard tanpa nyeri atau “silent infark”.
 Pencernaan
Kelambatan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala
khas, seperti perasaan cepat kenyang, kembung, mual dan muntah.
Konstipasi atau diare diabetik (khususnya diare nokturia) juga menyrtai
neuropati otonom gastrointestinal.
 Perkemihan
Retensi urine penurunan kemampuan untuk merasakan kandung
kemih yamg penuh dan gejala neurologik bladder memiliki predisposisi
untuk mengalami infeksi saluran kemih. Hal ini terjadi pada pasien dengan
diabetes yang tidak terkontrol, mengingat keadaan hiperglikemia akan
mengganggu resistensi terhadap infeksi.
 Kelenjar Adrenal (Hypoglikemik Unawarenass)
Neuropati otonom pada medulla adrenal menyebabkan tidak
adanya atau kurangnya gejala hipoglikemia. Ketidakmampua klien untu
mendeteksi tanda-tanda peringatan hipoglikemia akan membawa mereka
kepada resiko untuk mengalami hipogllikemi yang berbahaya.
 Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual khususnya impotensi pada laki-laki merupakan
salah satu komplikasi diabetes yang paling ditakuti. Efek neuropati
otonom pada fungsi seksual wanita tidak pernah tercatat dengan jelas.
Tabel 5. Komplikasi Jangka Panjang dari Diabetes
Organ/Jaringan
Yang Terjadi Komplikasi
yang Terkena

- Plak aterosklerotik terbentuk &


menyumbat arteri berukuran besar
atau sedang di jantung, otak, tungkai Sirkulasi yang jelek menyebabkan
& penis. penyembuhan luka yang jelek & bisa
Pembuluh darah - Dinding pembuluh darah kecil menyebabkan penyakit jantung, stroke,
mengalami kerusakan sehingga gangren kaki & tangan, impoten & infeksi
pembuluh tidak dapat mentransfer
oksigen secara normal & mengalami
kebocoran.
Terjadi kerusakan pada pembuluh darah Gangguan penglihatan & pada akhirnya bisa
Mata
kecil retina. terjadi kebutaan.

- Penebalan pembuluh darah ginjal,


Ginjal - Fungsi ginjal yang buruk,
- Protein bocor ke dalam air kemih,
- Gagal ginjal.
- Darah tidak disaring secara normal.
- Kelemahan tungkai yang terjadi secara
Kerusakan saraf karena glukosa tidak tiba-tiba atau secara perlahan,
Saraf dimetabolisir secara normal & karena - Berkurangnya rasa, kesemutan & nyeri
aliran darah berkurang. di tangan & kaki,
- Kerusakan saraf menahun.
Kerusakan pada saraf yang - Tekanan darah yang naik-turun,
Sistem saraf
mengendalikan tekanan darah & saluran - Kesulitan menelan & perubahan fungsi
otonom
pencernaan. pencernaan disertai serangan diare.

Berkurangnya aliran darah ke kulit &


Kulit hilangnya rasa yang menyebabkan - Luka, infeksi dalam (ulkus diabetikum),

cedera berulang. - Penyembuhan luka yang jelek.

Mudah terkena infeksi, terutama infeksi


Darah Gangguan fungsi sel darah putih.
saluran kemih & kulit
Gluka tidak dimetabolisir secara normal
Jaringan ikat sehingga jaringan menebal atau - Sindroma terowongan karpal,

berkontraksi. - Kontraktur Dupuytren.

Anda mungkin juga menyukai