Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

1. Pengertian

Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera

yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges,

(1999) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang

terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar,

leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural,

intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana

terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang

menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).

Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital

ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik

dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera

kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi

baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat

mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat

menyebabkan kematiaan.
2. Macam-macam cedera kepala

Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:

a. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak

atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan

oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi

jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan

melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/

tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen

memiliki abses langsung ke otak.

b. Cedera kepala tertutup

Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah

goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang

bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan

tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak,

kontusio memar, dan laserasi.

3. Klasifikasi cedera kepala

Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan

nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;


a. Ringan

1.) GCS = 13 – 15

2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari

30 menit.

3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,

hematoma.

b. Sedang

1.) GCS = 9 – 12

2.) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi

kurang dari 24 jam.

3.) Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Berat

1.) GCS = 3 – 8

2.) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

3.) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma

intrakranial
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 1. anatomi dan fisiologi kepala

http://darmawanimoets.files.wordpress.com

1. Tengkorak

Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan

struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang

kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan

luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan

struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai

busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya

terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis,


oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium

http://darmawanimoets.files.wordpress.com

2. Meningen

Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang

diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu,

membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan

serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput

meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:

a. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang


keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada

permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang

subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana

sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus

sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat

mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus

sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan

sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan

gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit

kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3)

linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh

yang berlawanan.

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam

dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat

menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan

perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah

arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.

Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang

di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga


dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura

mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura

mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia

mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor

serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan

akibat cedera kepala.

c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater

adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,

meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana

ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.

Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia

mater.
3. Otak

Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara

lain yaitu:

a. Cerebrum

Gambar 3. Lobus-lobus Otak

http://darmawanimoets.files.wordpress.com

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium

serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang

terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang

masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:

1. Lobus frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan

keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau

mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah

dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis


bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi

tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus

frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan

fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu

sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang

nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas

yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping

lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,

kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.

2. Lobus parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan

dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum.

Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari

daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi

pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian

tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis

menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.

Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini

disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan

yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam


mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan

bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal

dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita

bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian

maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

3. Lobus temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi

menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus

temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan

memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur

emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan

menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan

gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari

dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya.

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-

dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak

suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif

dan kehilangan gairah seksual.


4. Lobus Oksipital

Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis

akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.

5. Cereblum

Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior

dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu;

merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang

luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol

gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input

sensori.

6. Brainstem

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak

tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum

dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan

motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons

terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta

merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula

dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula

oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-

pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan,

frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan

bersin.
a. Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma
kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu:
i. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)

Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa

rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.

ii. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.

iii. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)

menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot

siliaris dan otot iris.

iv. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang

pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.

v. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah

cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan

saraf otak besar, sarafnya yaitu:

1. Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian

depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola

mata.
2. Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,

palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.

3. Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)

mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya

mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.

vi. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf

penggoyang sisi mata

vii. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya

mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam

saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk

wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk

menghantarkan rasa pengecap.

viii. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)

Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari

pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf

pendengar.

ix. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan

lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.

x. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)


Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf

motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus,

gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam

abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.

xi. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus

trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan

xii. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf

ini terdapat di dalam sumsum penyambung.

C. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI

Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

3. Cedera akibat kekerasan.

4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat

merobek otak.

5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat

sifatnya.

6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat

merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.


D. PATOFISIOLOGI

Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat

ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan

aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang

diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan

benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur

objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.

Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan

kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan

diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan

pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan

dan robekan pada substansi alba dan batang otak.

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,

yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah

cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan

merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.

Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga

sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar

pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi

karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.

Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang

berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih

merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi

sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area

cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra

kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya

bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang

terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan

volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi

arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya

peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan

robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat

mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa

terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan

terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).

E. MANIFESTASI KLINIK

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi

cedera otak.

1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)


a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah

cedera.

b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah

laku

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu

atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan

atau hahkan koma.

b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit

neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,

disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan

pergerakan.

3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah

terjadinya penurunan kesehatan.

b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera

terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area

tersebut.
F. KOMPLIKASI

Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari

perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,

komplikasi dari cedera kepala addalah;

1. Edema pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin

berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan

dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang

berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat

tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk

memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin

kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi

berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk

keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,

yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.

Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih

banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah

paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan

difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan

peningkatan TIK lebih lanjut.


2. Peningkatan TIK

Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,

dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah

yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang

merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal

pernafasan dan gagal jantung serta kematian.

3. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.

Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan

menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral

disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,

perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas

paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk

mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang

paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.

Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian

diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.

4. Kebocoran cairan serebrospinalis

Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari

fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan

merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh

dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah


hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung

atau telinga.

5. Infeksi

G. PENETALAKSAANAN

1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringannya trauma.

2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi.

3. Pemberian analgetik.

4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,

glukosa 40% atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk

infeksi anaerob diberikan metronidazole.

6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan

lunak.

7. Pembedahan.

(Smelzer, 2001)
I. Pathways Keperawatan
Benturan kepala

Trauma kepala

Trauma pada jaringan lunak Trauma akibat deselerasi/ akselerasi Robekan dan distorsi

Rusaknya jaringan kepala Cedera jaringan Jaringan sekitar tertekan

hematoma
Luka terbuka
Perubahan pada cairan lutra dan ekstra sel edema Gangguan nyaman nyeri
Peningkatan suplai darah ke daerah trauma vasodilatasi
Resiko tinggi terhadap
infeksi Tekatan intra kranial

Aliran darah ke otak

Perubahan perfusi jaringan serebral

Merangsang
hipotalamus Merangsang inferior hipofise Kerusakan hemisfer Hipoksia jaringan Penurunan kesadaran
motorik
Hipotalamus terviksasi (pd Mengeluarkan steroid & Penurunan kekuatan dan Gangguan
diensefalon) adrenal tahanan otot Kerusakan pertukaran gas
persepsi Kekacauan pola bahasa
Produksi ADH &
aldosteron sinsorik
Pernafasan dangkal
Sekresi HCL digaster
Retensi Na+H2o Gangguan komunikasi
Tdk mampu
Gangguan mobilisasi verbal kata-
menyampaiakan
Gangguanga keseimbangan fisik
Pola nafas tidak efektif Soetomo (2002), Brain (2009)
cairan & elektrolit
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
RESUME RUANG IGD

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Umur : 42 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Jenis Kelamin :L
Alamat : Brebeg, Nganjuk
Agama : Islam
Dx Medis : Cidera Kepala Ringan
Penanggung Jawab : Ny .I
II. PRIMARY SURVEY
TRIAGE : Kuning
Keluhan Utama : Nyeri pada dahi.
Keadaan Umum : Cukup Baik
Kesadaran : Composmetis
Airway : Paten
Breathing : Spontan
Circulating : Akral hangat, CRT > 2 detik, TD : 120/70 mmHg, N : 82x/menit
Disability : GCS : 4 5 6
Exposure : Terdapat Luka pada dahi.

III. SECONDARY SURVEY


Riwayat Penyakit Dahulu : Tn s tidak punya riwayat hipertensi, penyakit paru, dan
Diabetes.
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien kerja , duduk di atas truck
IV. MASALAH KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut b/d luka terbuka.
2. Kerusakan Integritas Jaringan Kulit
V. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI

VI. EVALUASI

Anda mungkin juga menyukai