Anda di halaman 1dari 4

BAB III

RUU PENANAMAN MODAL

Salah satu bentuk kurangnya kepastian hukum dalam iklim investasi adalah
berlarutnya penyelesaian RUU Penanaman Modal yang hingga kini sudah
memakan waktu sekitar 7 tahun. Terakhir penyelesaian RUU Penanaman Modal
berusaha dipercepat dengan menetapkannya sebagai action plan dalam Inpres No.
5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya
Program Kerjasama dengan IMF. Tetapi tetap belum dapat dirampungkan
hingga saat ini.

Secara ringkas beberapa masalah pokok yang sebelumnya menghambat


penyelesaian RUU Penanaman Modal adalah sebagai berikut.

Pertama, masalah kelembagaan dimana sebelumnya BKPM berkeinginan agar


statusnya disesuaikan menjadi setingkat menteri. Alasan ini sebagian ada
benarnya. Masalah-masalah investasi umumnya bersifat lintas sektor sehingga
dengan status hanya sebagai badan, BKPM relatif sangat sulit untuk
mengkoordinasi kebijakan sektoral. Kedua, masalah kewenangan perijinan di
bidang investasi. Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, pemberian ijin
investasi tidak lagi merupakan kewenangan pemerintah pusat kecuali untuk
industri yang bersifat strategis. Permasalahan timbul menyangkut perijinan PMA.
Dengan pertimbangan bahwa perijinan PMA terkait dengan ketentuan hukum
antar negara, timbul pemikiran bahwa perijinan untuk PMA merupakan
kewenangan pusat; sedangkan PMDN adalah daerah. Ketiga, masalah insentif
investasi. Disini terjadi perbedaan pandangan yang tajam mengenai pelimpahan
wewenang yang pada dasarnya menggambarkan kuatnya kepentingan sektor.

Kompleksnya permasalahan pada waktu itu mengakibatkan sasaran Inpres


No. 5/2003 untuk menyampaikan RUU Penanaman Modal ke DPR selambat-
lambatnya bulan Desember 2003 tidak terpenuhi. Koordinasi penyelesaian RUU
Penanaman Modal pada waktu itu sempat dialihkan dari Kantor Menko
Perekonomian kepada Kantor Meneg BUMN dengan menghilangkan pasal-pasal
yang menjadi perdebatan antara lain status BKPM yang ingin disesuaikan
setingkat kementerian. Pokok-pokok RUU Penanaman Modal dalam Kabinet
Gotong Royong dapat dilihat pada boks di bawah ini.

Tim Investasi, Direktorat Perencanaan Makro, III—1


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Agustus 2005
 
POKOK-POKOK RUU PENANAMAN MODAL
(Sebelum Draft per Juni 2005)

1. RUU Penanaman Modal dimaksudkan sebagai payung bagi kegiatan penanaman


modal di luar usaha hulu minyak dan gas bumi serta jasa keuangan yang sudah
diatur dalam UU tersendiri.
2. Dalam RUU Penanaman Modal sudah tidak dibedakan lagi antara istilah
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
RUU Penanaman Modal akan menjamin diberikannya perlakuan yang sama kepada
semua penanam modal tanpa membedakan asal negara (berdasarkan prinsip Most
Favored Nations/MFN) dan juga kepada sesama perusahaan penanam modal.
Namun pengecualian perlakuan sama tersebut dimungkinkan sepanjang tercantum
dalam UU Penanaman Modal atau diatur dalam undang-undang lainnya atau
peraturan internasional yang berlaku.
3. RUU Penanaman Modal mengusulkan adanya fasilitas fiskal dan non fiskal. Fasilitas
fiskal dapat diberikan kepada penanaman modal untuk bidang usaha tertentu atau
lokasi tertentu atau penanaman modal yang dilakukan oleh usaha kecil dan koperasi
atau perusahaan penanaman modal yang bekerjasama dengan usaha kecil dan
koperasi melalui pelayanan satu atap oleh Badan Penanaman Modal. Fasilitas non-
fiskal dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berupa
kemudahan di bidang perijinan pertanahan, kelonggaran penggunaan tenaga kerja,
dan penyediaan infrastruktur.
4. RUU Penanaman Modal tidak mencantumkan lagi ketentuan mengenai divestasi
perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh PMA sebagaimana dalam UU No.
1/1967 tentang PMA yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 20/1994.
5. RUU Penanaman Modal menjamin tidak akan dilakukan tindakan nasionalisasi atau
pencabutan/pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal. Apabila
pemerintah akan melakukan nasionalisasi harus terlebih dahulu ditetapkan oleh UU
dan pemerintah berkewajiban memberi ganti rugi yang jumlah, jenis, dan cara
pembayarannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
berdasarkan asas-asas hukum nasional dan hukum internasional.
6. Dalam RUU Penanaman Modal, PMA diberikan hak transfer dan repatriasi dalam
valuta asing atas modal, keuntungan, pembayaran pokok dan bunga pinjaman, hasil
penjualan saham, ganti rugi dalam hal nasionalisasi/pengambilalihan, hasil penjualan
kekayaan/aset, pendapatan karyawan yang dipekerjakan dari luar negeri setelah
penanam modal memenuhi kewajiban perpajakan dan kewajiban pembayaran.
7. Dalam RUU Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal diwajibkan untuk
mengutamakan tenaga kerja Indonesia. Tenaga ahli asing dapat digunakan untuk
jabatan dan keahlian tertentu yang belum dapat dipenuhi oleh tenaga kerja
Indonesia.
8. Apabila terjadi perselisihan antara penanam modal asing dengan pemerintah dan
tidak dapat diselesaikan, maka dapat dipilih penyelesaian sengketa melalui lembaga
pengadilan atau lembaga arbitrase nasional atau lembaga arbitrase internasional.
9. Dalam RUU Penanaman Modal, izin usaha PMA diberikan sesuai jangka waktu
pendirian perusahaan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya, berbeda dengan
UU Penanaman Modal yang berlaku saat ini dimana izin usaha PMA diberikan
terbatas untuk jangka waktu 30 tahun.

Tim Investasi, Direktorat Perencanaan Makro, III—2


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Agustus 2005
 
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu, pada bulan Januari 2005 dilakukan diskusi
untuk menyempurnakan draft RUU Penanaman Modal dengan
departemen/LPND, pemerintah daerah, Kamar Dagang Indonesia dan negara-
negara mitra, Asosiasi, Kawasan Industri, Investor Dalam dan Luar Negeri,
Kalangan Profesi, dan Bank Dunia sehingga tersusun draft per Juni 2005.

Dalam highlight RUU Penanaman Modal yang disampaikan 24 Juni 2005


dalam acara Working Group on Investment, ada beberapa tambahan materi baru dari
draft yang lama. Pertama, penyederhanaan prosedur yang diupayakan beralih dari
sistem perijinan kepada registrasi. Kedua, penyusunan Daftar Negatif Investasi
(DNI) yang akan dituangkan secara singkat dan jelas. Ketiga, perubahan fungsi
badan penanaman modal yang diarahkan untuk: (a) mengkoordinasi
implementasi dari kebijakan investasi nasional dan daerah; (b) merumuskan
aturan, standar, dan prosedur; (c) menunjang pengembangan dan/atau promosi
investasi; serta (d) mengevaluasi prosedur penanaman modal dan memberi
rekomendasi untuk menyederhanakan dan memperbaiki sistem.

SARAN DAN REKOMENDASI

1. Mengingat RUU Penanaman Modal ini sudah lama disusun, diperlukan upaya
lebih sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Meskipun secara substansi,
materi dalam RUU tidak dapat menghilangkan semua hambatan investasi,
berlarutnya penyelesaian RUU ini akan membentuk image bahwa pemerintah
kurang dapat menangani konflik antar sektor di bidang investasi. Terkait
dengan urgensi untuk segera menyelesaikan RUU ini, pada tanggal 18 Juni
2006 kami telah meminta kepada DPR RI melalui Panja Belanja dan RKP
2006 untuk memberi prioritas pada pembahasan RUU Penanaman Modal
segera setelah Pemerintah menyampaikannya kepada DPR. 1

2. Mengingat satu dari tiga materi baru yang ditambahkan dari draft lama (yaitu
penyederhanaan perijinan investasi dan peralihan dari sistem perijinan ke
sistem registrasi) apabila akan dirinci secara detail membutuhkan harmonisasi
yang lama, materi perubahan ini dalam RUU cukup bersifat umum saja.
Adapun dua materi baru lainnya yaitu transparansi dalam penyusunan DNI
dan perubahan fungsi BKPM diperkirakan tidak membutuhkan waktu yang
lama.

3. Materi dan pengaturan setiap UU (termasuk RUU Penanaman Modal)


seharusnya memuat aturan dan memberi arahan yang lebih didasarkan pada
aspek-aspek filosofis penanaman modal; dan buka aspek-aspek yang bersifat

                                                 
1
Dalam Prolegnas yang disusun oleh Balegnas DPR, penyelesaian RUU Penanaman
Modal merupakan salah satu prioritas yang harus diselesaikan tahun 2005
Tim Investasi, Direktorat Perencanaan Makro, III—3
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Agustus 2005
 
implementatif. Tatacara dan prosedur penanaman modal sebaiknya
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang materi
pengaturannya lebih bersifat pelaksanaan (implementasi). Prinsip-prinsip
yang harus dipenuhi dalam proses perijinan penanaman modal antara lain:
cepat, transparan, adil, tidak diskriminatif, sederhana, dan biaya ringan.

4. Terdapat pemikiran bahwa materi DNI diatur dalam UU yang terpisah


mengingat materi pengaturan DNI menyangkut kepentingan nasional secara
mendasar (bidang-bidang yang harus ditutup) serta terkait dengan strategi
pembangunan nasional terutama kebijakan sektor-sektor pembangunan yang
penting. Materi DNI sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan
nasional secara menyeluruh. Mengingat peranannya yang besar bagi
perekonomian nasional, maka DNI akan lebih baik apabila dapat ditetapkan
oleh Pemerintah bersama-sama DPR sebagai perwakilan rakyat.

5. Mengingat fungsi BKPM nantinya relatif hanya mengkoordinasikan


implementasi dari kebijakan investasi, perlu dipikirkan lembaga yang
berfungsi mengkoordinasikan kebijakan investasi nasional. Tanpa adanya
lembaga yang mengkoordinasikan kebijakan iklim investasi, maka iklim
investasi di Indonesia akan bersifat sangat sektoral.

6. Target RUU Penanaman Modal disahkan sebagai UU diupayakan tahun 2005


ini. Dengan demikian pada tahun ini dan tahun depan dapat segera disusun
kebijakan-kebijakan investasi untuk menjabarkan UU Penanaman Modal
yang baru. Target ini sudah tertuang dalam RKP Tahun 2006.

Tim Investasi, Direktorat Perencanaan Makro, III—4


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Agustus 2005
 

Anda mungkin juga menyukai