Anda di halaman 1dari 55

BAB II

KONSEP DASAR CADANGAN MINYAK SISA

2.1. Pengertian Cadangan


Pada umumnya, pengertian cadangan merupakan jumlah hidrokarbon yang
terdapat didalam reservoir yang dapat diproduksikan. Tetapi secara khusus, istilah
cadangan mempunyai beberapa pengertian. Beberapa istilah yang berhubungan
dengan pengertian cadangan adalah :
 Initial oil/gas in place, yaitu jumlah total hidrokarbon yang mula-mula ada di
dalam reservoir, baik yang bisa diproduksikan maupun yang tidak dapat
diproduksikan.
 Recoverable reserve, yaitu jumlah cadangan hidrokarbon yang mungkin dapat
diproduksikan sesuai dengan teknologi yang ada pada saat itu.
 Ultimate recovery, yaitu jumlah hidrokarbon yang dapat diproduksikan
sampai batas ekonomisnya.
 Recovery factor, yaitu angka perbandingan antara hidrokarbon yang dapat
diproduksi (recoverable reserve) dengan jumlah minyak mula-mula di dalam
reservoir.
Untuk memperkirakan besarnya cadangan hidrokarbon yang terdapat
dalam resevoir dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode
volumetric, material balance dan decline curve.

2.2. Recovery Factor


Recovery factor merupakan faktor yang sangat diperhatikan dalam
pengangkatan cadangan ke permukaan. Definisi dari Recovery Factor adalah
angka perbandingan antara hidrokarbon yang dapat diproduksi (recoverable
reserve) dengan jumlah minyak mula-mula di dalam reservoir. Recovery Factor
maksimum dapat ditentukan dengan berbagai metode sesuai tenaga
pendorongnya, antara lain:
 Metode JJ. Arps.
Metode JJ.Arps adalah metode yang digunakan untuk mencari harga
Recovery Factor dan dibedakan berdasarkan jenis mekanisme pendorong yang
bekerja pada reservoir. Untuk reservoar dengan tenaga pendorong water drive
digunakan persamaan sbb:
ф(1−Sw) 0,0422 k.µwi 0,0770 Pi −0,2159
RF = 54,898 ( ) ( ) Sw −0,1903 (Pa) .............(2-1)
Boi µoi

Dimana:
RF = Recovery Factor
Ф = Porositas
Sw = Saturasi air
Boi = Faktor volume formasi mula-mula, bbl/STB
K = Permeabilitas, mD
µwi = Viskositas air mula-mula, cp
µoi = Viskositas minyak mula-mula, cp
Pi = Tekanan mula-mula, psi
Pa = Tekanan abandon, psi

untuk reservoir dengan tenaga pendorong solution gas drive dan dalam kondisi
dibawah tekanan gelembung digunakan persamaan sbb:
ф(1−Sw) 0,1611 k 0,0979 Pb 0,1744
RF = 41,815 ( ) (µob) Sw 0,3722 (Pa) ................(2-2)
Bob

dimana:
Bob = Faktor volume formasi pada bubble point, bbl/STB
K = Permeabilitas, mD
µob = Viskositas pada bubble point, cp
Pb = Tekanan bubble, psi

 Metode Guthrie dan Greenberger


Guthrie dan Greenberger memberikan persamaan Recovery Factor untuk
reservoir water drive, yaitu :
RF = 0,11403 + 0,2719 log k + 0,25569 Swc – 3,1355 log μo -
1,5380 -0,00035 h...................................................................................(2-3)
dimana:
Swc = Saturasi air connate
H = Ketebalan, ft

 Metode Craze dan Bukly


Recovery Factor ditentukan berdasarkan keadaan saturasi fluida didalam
reservoarnya. Untuk reservoar depletion drive berlaku:
(1−Swa−Sga) Boi
RF = 1 − (1−Swi)
. Boa......................................................................(2-4)

dimana:
Swa = Saturasi air abandon
Sga = Saturasi gas abandon
Boa = Faktor volume minyak abandon
untuk reservoar water drive kuat, dimana tekanan reservoar hampir tidak berubah,
berlaku:
Sor
RF = 1 − (1−Swi)
.....................................................................................(2-5)

atau
1−𝑆𝑤𝑖−𝑆𝑜𝑟
RF = (1−Swi)
........................................................................................(2-6)

dimana:
Sor = Saturasi minyak sisa

2.3. Cadangan Minyak Sisa


Cadangan minyak sisa merupakan cadangan minyak yang belum dapat
terproduksi pada tahap produksi primer, karena cadangan minyak sisa tersebut
terjebak dalam matriks batuan. Penjebakan minyak ini disebabkan oleh adanya
gaya kapiler dan tidak sempurnanya efisiensi penyapuan dan pendesakan.
Cadangan minyak sisa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
 Unrecovered Mobile Oil
Unrecovered Mobile Oil merupakan cadangan minyak sisa yang terjadi
karena berkurangnya kemampuan reservoir untuk mengangkatnya keatas,
berkaitan dengan penurunan tekanan dan temperatur reservoir. Cadangan ini dapat
diproduksi dengan proses konvensional, yaitu dengan memperbaiki ataupun
menambah kinerja tekanan reservoir, misalnya dengan menggunakan metode
artificial lift, seperti electric submersible pump dan gas lift, ataupun dengan
metode injeksi air (pressure maintenance).
 Immobile Oil
Immobile Oil merupakan cadangan minyak yang tersisa dari produksi
primer dan sekunder. Minyak ini hanya dapat diproduksi dengan metode produksi
tahap lanjut atau Enhanced Oil recovery (EOR).

Gambar 2.1.
Distribusi Perolehan Cadangan Minyak
(Gomaa, E. E., 1995)

Tahap produksi primer hanya dapat memproduksi sekitar 1/3 dari OOIP,
dimana 2/3 dari OOIP tidak dapat diproduksi dengan teknologi konvensional,
seperti terlihat pada Gambar 2.1. Penerapan teknologi EOR diharapkan dapat
memproduksi sekitar 20%-30% dari cadangan minyak sisa tersebut, dan sisanya
masih tertinggal di dalam reservoir.
Dalam reservoir, apabila suatu fluida didesak oleh fluida lainnya, maka
akan terdapat suatu zona transisi atau zona campuran. Zona tersebut mempunyai
perubahan saturasi dari fluida pendesak dan fluida yang didesaknya dengan
jarak yang cukup jelas, seperti terlihat pada Gambar 2.2.
Besarnya jarak ini tergantung beberapa hal, antara lain sifat-sifat fisik
fluida dan batuan, tingkat misibilitas antara fluida injeksi dan fluida yang
diinjeksi, dan jarak pendesakan.

Zon
Zo a
Flu

id n Min
a a y
Inj Tra

ak
ek
s
ns
i

isi

Arah Pendesakan
Gambar 2.2.
Keadaan Proses Pendesakan
(Gomaa, E. E., 1995)

Zona transisi akan mempunyai perubahan saturasi fluida dengan variasi


100% fluida pendesak sampai 100% fluida yang didesak. Bagian reservoir yang
berusukan fluida pendesak terus bertambah besar dan minyak yang terdesak
terus berkurang, karena sebagian mulai terproduksi dari sumur produksinya.

2.4. Tinjauan Mikroskopik Penyapuan


Pada dasarnya, dua atau lebih fasa fluida akan tidak saling campur di
dalam batuan reservoir. Air dan minyak tidak saling campur di segala kondisi
reservoir karena kelarutan timbal balik antara air ke minyak dan minyak ke air
bernilai kecil. Pada sub-bab ini, akan dibahas tentang konsep dasar mikroskopik
yang berkaitan dengan immiscibility dari minyak dan air.
2.4.1. Prinsip Dasar Interaksi Batuan Dengan Fluida
Interaksi batuan dengan fluida menentukan bagaimana fluida tersebut
dapat mengalir dan tertinggal di pori batuan. Faktor yang mempengaruhi
interaksi antara batuan dengan fluida ada 3, yaitu Interfacial Tension, Wettability,
dan Capillary Pressure.

2.4.1.1. Interfacial Tension


Interfacial Tension atau sering disebut sebagai tegangan permukaan
didefinisikan sebagai gaya yang diakibatkan oleh suatu benda yang bekerja pada
permukaan zat cair sepanjang permukaan yang menyentuh benda itu. Semakin
kecil tegangan permukaan, kedua jenis fluida makin mendekati miscibility.

Gambar 2.3. Tegangan Permukaan antara Minyak dengan Air


(Paul Willhite, 1986)

Dengan kata lain, interfacial tension merupakan gaya persatuan panjang


yang diperlukan untuk membentuk suatu permukaan baru atau secara matematis.
(Persamaan Young-Dupree):
σos − σws = σow cos θ c...................................................................(2-7)
dimana:
σos = interfacial energy antara minyak dan permukaan padatan,
dynes/cm.
σws = interfacial energy antara air dan permukaan padatan, dynes/cm.
σow = interfacial energy antara minyak dan air, dynes/cm.
Θc = sudut kontak yang dibuat oleh permukaan fluida dengan
permukaan padatan.

 wo
 so   sw
cos  
  wo

 so  sw

Oil Water Solid


Gambar 2.4. Pengukuran Interfacial Tension
(Harry Budiharjo, 2012)

Interfacial Tension mempengaruhi tekanan kapiler sehingga akan


mempengaruhi distribusi dan aliran fluida. Interfacial Tension adalah indicator
miscibility, dimana jika Interfacial Tension tinggi maka mengindikasikan fluida
yang tidak tercampur, sedangkan Intefacial Tension rendah maka
mengindikasikan fluida tercampur.

2.4.1.2. Wettabilitas
Wettabilitas atau derajat kebasahan didefinisikan sebagai suatu
kecendrungan batuan untuk dibasahi oleh fasa fluida apabila diberikan dua fluida
yang tak saling campur (immiscible). Dalam sistem reservoir digambarkan sebagai
air dan minyak (atau gas) yang berada diantara matriks batuan. Salah satu fluida
akan bersifat lebih membasahi batuan daripada fluida lainnya di dalam suatu
reservoir.
Kecenderungan suatu fluida untuk membasahi batuan disebabkan adanya
gaya adhesi, yaitu gaya tarik-menarik antara molekul – molekul zat yang
berlainan yang merupakan faktor tegangan permukaan antara batuan dengan
fluida. Wettabilitas berperan penting dalam perilaku reservoir, sebab akan
menimbulkan tekanan kapiler yang akan memberikan dorongan sehingga minyak
atau gas dapat bergerak.
Wettabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
 Jenis mineral yang terkandung dalam batuan reservoir.
 Ukuran butir batuan, semakin halus ukuran butir batuan maka semakin besar
gaya adhesi yang terjadi.
 Jenis kandungan hidrokarbon yang terdapat di dalam minyak mentah (crude
oil).
Wettabilitas terbagi menjadi dua kategori berdasarkan jenis komponen
yang mempengaruhi, yaitu :
a. Water Wet
Kondisi ini terjadi jika suatu batuan mempunyai sudut kontak
fluida (minyak dan air) terhadap batuan itu sendiri lebih kecil dari 90O (θ <
90O). Kejadian ini terjadi sebagai akibat dari gaya adhesi yang lebih besar
pada sudut lancip yang dibentuk antara air dengan batuan dibandingkan
gaya adhesi pada sudut yang tumpul yang dibentuk antara minyak dengan
batuan.
b. Oil Wet
Kondisi ini terjadi jika suatu batuan mempunyai sudut kontak
antara fluida (minyak dan air) terhadap batuan itu sendiri dengan sudut lebih
besar dari 90O (θ > 90O). Karakter oil wet pada kondisi batuan reservoir
tidak diharapkan terjadi, karena akan menyebabkan jumlah minyak yang
tertinggal pada batuan reservoir saat diproduksi lebih besar daripada water
wet.
Gambar 2.5. Wettabilitas Batuan dengan Fluida
(Paul Willhite, 1986)

Kondisi yang diharapkan terjadi adalah water-wet, dimana posisi minyak


akan berada diantara fasa cair. Posisi ini mengakibatkan minyak tidak mempunyai
gaya tarik-menarik dengan batuan sehingga akan lebih mudah untuk bergerak
(mengalir).
Gambar 2.5. menunjukkan adanya kesetimbangan gaya yang terjadi
pada permukaan air-minyak dan padatan. Fluida yang mempunyai sifat
membasahi dapat dilihat dari besarnya sudut kontak yang terbentuk.
Gaya yang mengakibatkan air lebih bersifat membasahi padatan untuk
sistem air-minyak dan padatan adalah :
AT = so - sw = wo. cos wo ..............................................................(2-8)
dimana :
so = Tegangan permukaan minyak-benda padat, dyne/cm
sw = Tegangan permukaan air-benda padat, dyne/cm
wo = Tegangan permukaan minyak-air, dyne/cm
wo = Sudut kontak minyak-air.
AT = Gaya adhesi, dyne/cm.
Gambar 2.6 dan Gambar 2.7 menunjukkan besarnya sudut kontak dari
air yang berada bersama-sama dengan hidrokarbon pada media yang berbeda,
yaitu pada permukaan silika dan kalsit.

Gambar 2.6
Sudut Kontak Antar Permukaan Air dengan Hidrokarbon
pada Permukaan Silika
(Amyx, J., 1960)

Gambar 2.7
Sudut Kontak Antar Permukaan Air dengan Hidrokarbon
Pada Permukaan Kalsit
(Amyx, J., 1960)

2.4.1.3. Tekanan Kapiler


Tekanan kapiler (Pc) didefinisikan sebagai perbedaan tekanan terjadi
antara permukaan dua fluida yang tidak tercampur (cairan-cairan atau cairan-gas)
sebagai akibat dari terjadinya pertemuan permukaan yang memisahkan mereka.
Perbedaan tekanan dua fluida ini adalah perbedaan tekanan antara fluida “non-
wetting phase” (Pnw) dengan fluida “wetting phase” (Pw) atau :
Pc = Pnw - Pw ...................................................................................... ..(2-9)
Tekanan permukaan fluida yang lebih rendah terjadi pada sisi pertemuan
permukaan fluida immisible yang cembung. Di reservoir biasanya air sebagai fasa
yang membasahi (wetting phase), sedangkan minyak dan gas sebagai non-wetting
phase atau tidak membasahi.
Tekanan kapiler dalam batuan berpori tergantung pada ukuran pori-pori
dan macam fluidanya. Secara kuantitatif dapat dinyatakan dalam hubungan
sebagai berikut :
2 σ cos θ
Pc = = Δρ.g.h .....................................................................(2-10)
r
dimana :
Pc = Tekanan kapiler
Σ = Tegangan permukaan antara dua fluida
cos θ = Sudut kontak permukaan antara dua fluida
r = Jari-jari lengkung pori-pori
Δρ = Perbedaan densitas dua fluida
G = Percepatan gravitasi
H = Ketinggian kolom

Persamaan 2-10 memperlihatkan bahwa semakin kecil jari-jari maka


semakin besar tekanan kapiler dan tekanan terjadi sepanjang batas fluida di dalam
tabung dengan diameter sangat besar akan sama dengan nol.
Tekanan kapiler mempunyai dua pengaruh penting dalam reservoir yaitu
mengontrol distribusi fluida di dalam reservoir dan mekanisme pendorong minyak
dan gas untuk bergerak atau mengalir melalui ruang pori-pori reservoir sampai
mencapai batuan yang impermeable. Seperti pada Gambar 2.8 dapat dilihat
bahwa tekanan kapiler berhubungan dengan ketinggian di atas permukaan air
bebas (oil-water contact), sehingga data tekanan kapiler dapat dinyatakan dalam
plot antara h vs Sw , Perubahan ukuran pori-pori dan densitas fluida akan
mempengaruhi bentuk kurva tekanan kapiler dan ketebalan zona transisi.
Gambar 2.8.
Variasi Pc terhadap Sw
a. Untuk sistem batuan yang sama dengan fluida yang berbeda
b. Untuk sistem fluida yang sama dengan batuan yang berbeda
(Cole, F.W., 1969)

2.4.2. Saturasi Minyak Sisa


Batuan reservoir minyak umumnya terdapat lebih dari satu macam fluida.
Dari sejarah terjadinya minyak menunjukkan bahwa, pori-pori batuan mula-mula
diisi oleh air. Minyak dan gas kemudian bergerak menuju reservoir, mendorong
air sampai hanya tinggal sedikit, air yang tertinggal dinamakan connate water atau
interestitial water. Bila reservoir didapatkan, kemungkinan terdapat minyak, gas
dan air yang telah terdistribusikan keseluruh bagian reservoir.
Saturasi didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori-pori
batuan yang ditempati oleh suatu fluida tertentu dengan volume pori-pori total
pada suatu batuan berpori.
Saturasi fluida dalam reservoir yaitu minyak, gas dan air yang terdapat
sebelum injeksi dimulai disebut saturasi awal (initial saturation). Besarnya harga
saturasi awal ini tergantung dari tahap produksinya. Apabila dalam reservoir telah
dilakukan tahap produksi primer, maka saturasi minyak yang ditinggalkan
merupakan saturasi minyak awal tahap produksi sekunder, kemudian saturasi
minyak sisa dari produksi sekunder akan menjadi saturasi awal (initial saturation)
pada proyek EOR.
Gambar 2.9.
Distribusi Fluida Ketika Waterflood pada Batuan Oil-Wet
(Paul Willhite, 1986)

2.4.2.1. Distribusi Saturasi Sebelum Injeksi Fluida


Fluida yang mengisi reservoir biasanya tidak terdistribusikan secara
merata, melainkan bervariasi antara lain tergantung dari lithologi batuan,
distribusi ukuran pori, posisi struktur. Pada saat produksi primer, terjadi
pengurangan saturasi fluida disekitar sumur produksi, sehingga akan
mempengaruhi saturasi fluida secara keseluruhan.
Distribusi saturasi ini juga dipengaruhi oleh faktor mikro, yaitu ukuran
pori dan derajat kebasahan reservoir tersebut. Besarnya lubang pori-pori adalah
bervariasi untuk setiap reservoir, tergantung jenis batuannya. Secara umum dibagi
menjadi pori-pori kecil, sedang, dan besar. Pembagian tergantung pada jari-jari
lubang pori-pori tersebut. Jari-jari pori yang besar cenderung diisi oleh fluida
yang tidak membasahi. Fluida yang membasahi hanya membentuk suatu film
yang tipis pada dinding pori-porinya, dan apabila jumlah fluida yang membasahi
hanya sedikit, maka fluida tersebut akan berusaha untuk menempati pori-pori
yang kecil.
Uraian diatas sesuai dengan keadaan distribusi minyak, gas dan air dalam
penelitian laboratorium. Air yang umumnya merupakan fluida membasahi, akan
menempati pori-pori yang kecil. Pada sistem minyak-gas, minyak adalah fluida
yang membasahi dan akan cenderung menempati pori-pori yang kecil, sedangkan
gas akan menempati pori-pori yang besar. Pada kondisi reservoir yang sebenarnya
air, minyak, dan gas dapat menempati ruang pori-pori dengan ukuran yang
bermacam-macam.

2.4.2.2. Distribusi Saturasi pada Saat Pendesakan


Pada saat injeksi fluida mulai dilaksanakan melalui suatu sumur injeksi,
maka fluida injeksi tersebut akan mengisi pori-pori yang semula ditempati oleh
fluida yang didesaknya. Fluida yang didesak tersebut akan berusaha menuju
sumur produksi dengan mendesak fluida yang terdesak didepannya.
Pada zona transisi akan terdapat suatu perkembangan saturasi, dari
saturasi fluida pendesak dibelakang dan saturasi fluida yang didesak dibagian
depannya. Perubahan saturasi ini tidak dialami oleh bagian reservoir yang tidak
tersapu oleh fluida pendesak. Apabila fluida yang dapat didorong yang terdapat
dimuka front lebih dari satu seperti minyak dan gas, maka distribusi saturasi yang
berada di depan front akan lebih kompleks jika dibandingkan dengan hanya satu
fluida saja.
Contohnya adalah proses pendesakan air pada reservoir solution gas
drive. Minyak dan gas yang ada didalam reservoir, keduanya dapat bergerak. Gas
umumnya mempunyai viskositas yang lebih kecil dan mobilitas yang lebih besar
dari minyak, sehingga gas akan lebih cepat bergerak meninggalkan minyak.
Perbedaan mobilitas ini membentuk zona tertentu didepan front yang mempunyai
saturasi minyak yang lebih besar. Zona ini disebut zona "oil bank".
Dalam zona transisi fluida pendesak dan fluida yang didesak, saturasi dan
fraksi aliran fluida pendesak akan bertambah besar ke arah sumur injeksi,
kemudian saturasi dan fraksi aliran fluida yang didesak akan bertambah besar ke
arah sumur produksi. Pada beberapa proses injeksi, fluida yang diinjeksikan akan
mengisi semua ruang pori-pori di daerah reservoir yang tersapu. Ada juga
kemungkinan bahwa fluida yang diinjeksikan tidak dapat mengisi semua pori-
porinya, karena pori-pori tersebut ditempati oleh minyak, air atau gas yang
merupakan suatu saturasi residu.
2.4.3. Mobilitas Fluida
Mobilitas fluida adalah suatu ukuran yang menunjukkan kemudahan suatu
fluida untuk mengalir melalui media berpori dengan suatu gradien tekanan
tertentu. Mobilitas fluida didefenisikan sebagai perbandingan antara permeabilitas
efektif fluida tersebut terhadap viskositasnya pada kondisi reservoir, sesuai
dengan persamaan:
Kf
f = ......................................................................................... (2-11)
f
dimana :
f = Mobilitas, mD/cp

Kf = Permeabilitas, mD
f = Viskositas, cp
(Subscript f menunjukan fluida tertentu, sepertiminyak, air dan gas)
Mobilitas merupakan fungsi dari sifat-sifat fluida batuannya, harganya
bervariasi sesuai dengan saturasi, tekanan dan temperaturnya. Mobilitas fluida
akan berbeda-beda tergantung pada tempat fluida itu berada dan waktu
pelaksanaan injeksi fluidanya. Mobilitas fluida kadang-kadang tidak beraneka
ragam harganya untuk suatu reservoir pada saat proses pendesakan berlangsung,
tetapi bila terjadi perubahan biasanya dicari harga rata-rata sehingga dapat
digunakan untuk perhitungan.
Mobility ratio didefenisikan sebagai perbandingan mobilitas minyak
dengan mobilitas fluida pendesak. Mobilitas ratio air terhadap minyak dinyatakan
dengan Persamaan sebagai berikut :
w K rw  o
M w, o   x .................................................................. (2-12)
o K ro  w

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam Persamaan 2-12 diatas adalah:


 Pendesakannya seperti pendesakan piston (piston like displacement), yaitu
saturasi fluida yang didesak berkurang dengan tajam dari saturasi awal
sampai dengan ke saturasi residualnya setelah dilalui bidang front.
 Pada daerah yang belum tersapu oleh fluida pendesak hanya terdapat satu
aliran fluida saja yaitu fluida yang didesak, sedangkan pada daerah yang
tersapu juga terdapat aliran satu macam fluida yaitu fluida yang merupakan
fluida pendesak.
 Seluruh batuan reservoir mempunyai spesifik permeabilitas yang sama
(reservoir homogenisotropic) Pada daerah yang belum tersapu oleh fluida
pendesak hanya terdapat satu aliran fluida saja yaitu fluida.
 Viskositas, permeabilitas efektif, mobilitas fluida pendesak dan fluida yang
didesak dianggap tetap selama pendesakan berlangsung.
 Apabila proses pendesakannya oleh fluida yang tercampur, maka
permeabilitas efektif fluida pendesak dan fluida yang didesak adalah sama.
Dengan demikian mobility rationya dapat disederhanakan menjadi
perbandingan viskositasnya saja.

2.5. Tinjauan Makroskopik Penyapuan


Tinjauan Makroskopik Penyapuan digunakan untuk menjelaskan
efisiensi penyapuan dari waterflood pada spesifik volume batuan reservoir.
Penyapuan minyak selalu bervariasi setiap waktu, demikisn pula aspek
makroskopiknya. Pada sub-bab ini akan membahas tentang tinjauan
makroskopik penyapuan yang kurang lebih terdiri dari aliran fluida dalam media
berpori, imbibisi dan drainage, serta permeabilitas relatif.

2.5.1. Aliran Fluida Dalam Media Berpori


Fluida yang mengalir dari formasi produktif ke lubang sumur
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
 Jumlah fasa yang mengalir.
 Sifat-sifat fisik fluida reservoir.
 Sifat-sifat fisik batuan reservoir.
 Konfigurasi disekitar lubang bor, yaitu adanya lubang perforasi, skin
(kerusakan formasi), gravel pack dan rekahan hasil perekahan hidrolik.
 Kemiringan lubang sumur pada formasi produktif.
 Bentuk daerah pengurasan.
Keenam faktor tersebut diatas, secara ideal harus diwakili dalam setiap
persamaan perhitungan kelakuan aliran fluida dari formasi masuk ke lubang
sumur. Tetapi hingga saat ini belum tersedia suatu persamaan praktis yang
memperhitungkan keenam faktor diatas secara serentak. Sampai saat ini tersedia
banyak persamaan untuk memperkirakan kelakuan aliran fluida dari formasi ke
dasar lubang sumur, dimana masing-masing persamaan mempunyai anggapan-
anggapan tertentu sesuai dengan teknik pengembangannya. Jadi perlu
diperhatikan tentang anggapan-anggapan tersebut sebelum menggunakan suatu
persamaan pada suatu sumur.
Aliran fluida dalam media berpori telah dikemukakan oleh Darcy (1856)
dalam Persamaan (2-13). Persamaan tersebut selanjutnya dikembangkan untuk
kondisi aliran radial, dimana dalam satuan lapangan persamaan tersebut
berbentuk:
khPe  Pwf 
q  7.08  10 3 …..…………………...……….. (2-13)
 o Bo Lnre rw 
dimana :
q = Laju produksi, STB/hari
k = Permeabilitas efektif minyak, md
h = Ketebalan formasi produktif, ft
Pe = Tekanan formasi pada jarak re dari sumur, psi
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
o = Viskositas, cp
Bo = Faktor volume formasi, BBL/STB
re = Jari-jari pengurasan sumur, ft
rw = Jari-jari sumur, ft.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menggunakan Persamaan (2-13)
tersebut adalah :
 Fluida berfasa tunggal
 Aliran mantap (steady state)
 Formasi homogen dan arah alirannya horizontal
 Fluida incompressible.
Dengan demikian apabila variabel-variabel dari Persamaan (2-13)
diketahui, maka laju produksi (potensi) sumur dapat ditentukan.

2.5.2. Imbibisi dan Drainage


Proses pendesakan dikatagorikan ke dalam 2 tipe tergantung pada
wetabilitas dari batuan reservoir, yaitu berhubungan dengan displacing fluid
(fluida pendesak) dan displaced fluid (fluida yang didesak). Jika fluida
pendesaknya wetting phasa maka proses pendesaknya digolongkan pada proses
imbibisi, sedangkan jika fluida pendesaknya non-wetting maka proses
pendesakannya digolongkan proses drainage.

Gambar. Tipe Pendesakan


Imbibisi
Gambar 2.10.
Proses Imbibisi dan Drainage
(Harry Budiharjo, 2012)

Kondisi dimana saat wetting phasa mendesak non-wetting phasa (seperti


injeksi air kedalam reservoir minyak) prosesnya disebut dengan pendesakan
imbibition. Saturasi wetting phasa selama proses imbibisi berlangsung akan naik
dan tekanan kapiler akan turun. Hal ini akan berlangsung hingga saturasi non-
wetting phasa mencapai harga residualnya (Snr).
Kondisi dimana saat non-wetting phasa mendesak wetting phasa (seperti
perpindahan minyak ke dalam reservoir bersaturasi air) prosesnya disebut dengan
pendesakan drainage. Non-wetting phasa yang masuk ke dalam pori akan
menyebabkan kenaikan tekanan kapiler yang diasosiasikan dengan ukuran pori.
Saat proses drainage berlangsung, saturasi wetting phasa akan turun dan tekanan
kapiler akan naik. Hal ini berlangsung sampai wetting phasa mencapai harga
irreduciblenya (Swc).

Gambar. 2.11.
Grafik Imbibisi dan Drainage terhadap Tekanan Kapiler
(Amyx. J., 1960)

2.5.3. Permeabilitas
Permeabilitas adalah suatu sifat fisik batuan yang menggambarkan
kemampuan batuan tersebut untuk meloloskan fluida melalui pori-pori yang
saling berhubungan tanpa menyebabkan kerusakan dan/ atau membawa serta
partikel batuan tersebut. Henry Darcy (1856) membuat hubungan empiris
dengan bentuk differensial sebagai berikut :
k dP
V =- ..................................................................................... (2-14)
μ dL

dimana:
V = Kecepatan aliran, cm/ sec
µ = Viskositas fluida yang mengalir, cp
dP
= Gradien tekanan dalam arah aliran , atm/ cm
dL
k = Permeabilitas media berpori, darcy
Tanda negatif dalam Persamaan 2-14 menunjukkan bahwa bila tekanan
bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah
pertambahan tekanan tersebut.
Asumsi yang digunakan pada persamaan di atas adalah :
 Aliran fluida dalam kondisi steady state (mantap).
 Fluida yang mengalir satu fasa.
 Viskositas fluida yang mengalir dalam kondisi konstan.
 Kondisi aliran isothermal.
 Media berpori bersifat homogen.
 Fluida incompressible.
 Tidak terjadi reaksi kimia antara fluida yang mengalir terhadap media
berpori.
Dasar penentuan permeabilitas batuan adalah hasil percobaan yang
dilakukan oleh Henry Darcy. Dalam percobaan ini, Henry Darcy menggunakan
batupasir tidak kompak yang dialiri air. Batupasir silindris yang porous ini 100%
dijenuhi cairan dengan viskositas , dengan luas penampang A, dan panjang L.
Kemudian dengan memberikan tekanan masuk P1 pada salah satu ujungnya maka
terjadi aliran dengan laju sebesar Q, sedangkan P2 adalah tekanan keluar. Dari
percobaan dapat ditunjukkan bahwa Q..L/A.(P1-P2) adalah konstan dan akan
sama dengan harga permeabilitas batuan yang tidak tergantung dari cairan,
perbedaan tekanan dan dimensi batuan yang digunakan. Dengan mengatur laju Q
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi aliran turbulen, maka diperoleh harga
permeabilitas absolut batuan. Ditunjukkan pada Gambar 2.11

Gambar 2.11.
Diagram Percobaan Pengukuran Permeabilitas
(Cole, F.W., 1969)
Q. .L
K ................................................................................(2-15)
A.( P1  P2 )
Satuan permeabilitas dalam percobaan ini adalah :
Q(cm 3 / sec). (centipoise ).L(cm)
K (darcy )  ...................................(2-16)
A( sq.cm).( P1  P2 )( atm)
Berdasarkan persamaan (2-17), maka dapat didefinisikan 1 Darcy adalah
dimana fluida dengan kekentalan (viskositas) sebesar 1 centipoise mengalir
dengan laju sebesar 1 cm3/detik melalui sebuah penampang sebesar 1 cm2 dengan
gradien tekanan sebesar 1 atm per cm. Dari persamaan (2-16) dapat
dikembangkan untuk berbagai kondisi aliran yaitu aliran linier dan radial, masing-
masing untuk fluida yang compressible dan incompressible.
Pada prakteknya di reservoir, jarang sekali terjadi aliran satu fasa,
kemungkinan terdiri dari dua fasa atau tiga fasa. Untuk itu dikembangkan pula
konsep mengenai permeabilitas efektif dan permeabilitas relatif.
Berdasarkan atas jumlah fasa cairan yang mengalir di dalam media
berpori, maka pada dasarnya permeabilitas batuan dibedakan menjadi :
a. Permeabilitas Absolut
Permeabilitas absolut suatu batuan adalah permeabilitas dimana fluida yang
mengalir pada batuan hanya terdiri atas satu fasa, misalnya hanya gas, minyak
atau air saja. Secara empiris diformulasikan sebagai berikut:
qμ L
kabs = .............................................................................. (2-17)
A (P1  P2 )
b. Permeabilitas Efektif
Permeabilitas efektif suatu batuan adalah permeabilitas dimana fluida yang
mengalir pada media berpori lebih dari satu fasa. Permeabilitas efektif untuk
masing-masing fluida adalah:
1) Permeabilitas Efektif Gas (kg)
qg μg L
kg = ................................................................................ (2-18)
A (P1  P2 )
2) Permeabilitas Efektif Minyak (ko)
qo μo L
ko = ................................................................................ (2-19)
A (P1  P2 )
3) Permeabilitas Efektif Air (kw)
qw μw L
kw = ............................................................................... (2-20)
A (P1  P2 )
c. Permeabilitas Relatif
Permeabilitas relatif adalah nilai perbandingan antara permeabilitas efektif
dengan permeabilitas absolut. Dan diformulasikan sebagai berikut:
k eff
krel = ......................................................................................... (2-21)
k abs
atau,
kg ko k
krg = ; kro = ; krw = w ....................................................... (2-22)
k k k
Keterkaitan antara harga permeabilitas efektif minyak dan air terhadap
harga saturasinya digambarkan oleh suatu kurva grafik yang ditunjukkan Gambar
2.12. Sedangkan keterkaitan antara harga permeabilitas efektif minyak dan gas
terhadap harga saturasinya digambarkan oleh suatu kurva grafik yang ditunjukkan
Gambar 2.13.

Gambar 2.12.
Hubungan Permeabilitas Efektif Minyak dan Air
(Smith, C.R., et al., 1992)
Gambar 2.13.
Hubungan Permeabilitas Efektif Gas dan Minyak
(Smith, C.R., et al., 1992)

Gambar tersebut dapat menguraikan beberapa hal penting berkaitan


dengan kedua besaran tersebut, yaitu :
 Harga ko pada Sw = 0 dan So = 1 serta kw pada Sw = 1 dan So = 0 besarnya
akan sama dengan permeabilitas absolutnya, yang dikonotasikan pada titik
A dan titik B.
 Harga ko akan turun dengan bertambahnya nilai Sg dari 0 demikian pula
sebaliknya untuk kg akan turun dengan berkurangnya Sg dari satu. Sehingga
untuk Sg yang kecil akan mengurangi laju aliran gas karena mempunyai
harga kg yang kecil, demikian halnya dengan air.
 Harga keff suatu fluida mencapai nol, saturasi fluida dalam batuan masih ada
(titik C) namun dalam hal ini sudah tidak mampu bergerak lagi. Saturasi ini
sering disebut saturasi sisa suatu fluida, untuk minyak dikonotasikan dengan
Sor (residual oil saturation) dan gas dikonotasikan Sgc (connate gas
saturation).
 Besarnya harga keff suatu fluida akan selalu lebih kecil dibandingkan
permeabilitas absolut (kecuali pada kondisi titik A) sehingga berlaku
hubungan : ko + kg  k
2.6. Faktor Efektivitas EOR
Dalam penerapannya, Enhanced Oil Recovery mempunyai efektivitas
yang berbeda-beda, bergantung dari efisiensi pendesakan dan efisiensi
penyapuannya.
2.6.1. Efisiensi Pendesakan
Efisiensi pendesakan adalah perbandingan antara volume hidrokarbon
yang dapat didesak dari pori-pori dengan volume hidrokarbon total dalam pori-
pori tersebut. Dalam prakteknya, efisiensi pendesakan merupakan fraksi minyak
atau gas yang dapat didesak setelah dilalui oleh front dan zona transisinya.

Gambar 2.14.
Skema Pendesakan Linier pada Suatu Media Berpori
(Ahmed, Tarek., 2000)

Pada kasus pendesakan linier, contohnya media berpori seperti Gambar


2.14, kemudian semua pori-pori di belakang front dapat diisi oleh fluida
pendesaknya, maka efisiensi volumetric akan mencapai 100% dan hubungan
umum yang menunjukkan efisiensi pendesakan adalah sebagai berikut:

S oi  S or
Ed  ................................................................................. (2-22)
S oi
dimana:
Ed = Efisiensi pendesakan
Soi = Saturasi minyak mula (pada awal pendesakan), fraksi volume
pori-pori.
Pada prakteknya Sor dan Ed harganya akan tetap sampai pada bidang front
mencapai titik produksinya. Pada saat dan sebelum breakthrough terjadi, efisiensi
pendesakan ditunjukan oleh persamaan:

S oi  ( S or ) BT
( Ed ) BT  ............................................ (2-23)
S oi

Harga Sor akan berkurang dan Ed akan bertambah dengan terus


berlalunya zona transisi melalui sumur produksi, sehingga setelah zona transisi ini
berlalu akan diperoleh harga Sor minimum yang merupakan harga saturasi minyak
irreducible dan efisiensi pendesakan mencapai harga maksimum, sesuai dengan
persamaan:
S oi  (S or ) min
( Ed ) max  .................................................................. (2-24)
S oi

2.6.1.1. Pendesakan Tidak Tercampur


Pendesakan tidak tercampur (immiscible displacment) adalah
menginjeksikan fluida yang mempunyai sifat tidak mencampur (immiscible) ke
dalam reservoir. Apabila fluida pendesak bersifat tidak membasahi, maka akan
terbentuk suatu bidang antar permukaan, antara fluida yang membasahi dan fluida
yang bersifat tidak membasahi. Fluida injeksi harus melalui bidang antar muka
tersebut supaya dapat masuk ke reservoir, untuk itu diperlukan suatu gradien
tekanan pendesakan (displacement pressure). Pada lubang pori-pori yang kecil
saja gradien tekanan yang diperlukan sangat besar, terutama pada lubang bor.
Dengan demikian, pada umumnya injeksi fluida yang bersifat tidak membasahi
akan lebih efisien jika digunakan pada daerah yang mempunyai lubang pori-pori
yang besar.
Contohnya adalah pendesakan air pada reservoir minyak yang bersifat oil
wet. Dalam hal pendesakan ini, air yang bersifat tidak membasahi akan berusaha
menempati pori-pori yang besar yang semula diisi oleh minyak, dan berusaha
menerobos minyak ke arah sumur produksi. Jadi dalam pendesakan ini tidak
terdapat suatu front yang jelas antara fluida pendesakan dengan fluida yang
didesak, meskipun terdapat gradien saturasi antara sumur injeksi dengan sumur
produksi, tetapi pendesakan ini mempunyai efisiensi pendesakan yang relatif kecil
sehingga masih banyak meninggalkan volume minyak residu.
Apabila fluida pendesak bersifat membasahi, maka gradien tekanan
pendesakan tidak mutlak diperlukan. Proses pendesakan akan terus berlangsung
selama fluida yang didesak masih terus mengalir hingga dicapai suatu keadaan
dimana fluida yang didesak akan merupakan fasa tidak kontinyu dan mempunyai
harga permeabilitas efektif mendekati harga nol yang sudah tidak dapat mengalir
lagi.
Proses pendesakan oleh fluida membasahi lebih efisien jika
dibandingkan dengan pendesakan oleh fluida yang tidak membasahi. Hal ini
terjadi karena adanya efek kapiler, gradien saturasi dibelakang front, zona
transisi yang sempit dan saturasi fluida yang diinjeksikan lebih sempit.
Apabila fluida pendesak lebih viscous daripada fluida yang didesak
(seperti air mendesak gas atau minyak ringan) dan perbedaan porositas yang
terdapat pada batuan reservoir tidak begitu banyak, maka bidang front akan
lebih jelas nampak. Jadi semua fluida yang didesak, baik gas ataupun minyak
akan mengalir didepan front sedangkan dibelakang front hanya terdapat
saturasi residu dari fluida-fluida yang didesak tersebut.
Apabila air yang merupakan fluida pendesak kurang viscous jika
dibandingkan dengan fluida yang didesak (misalnya minyak yang sangat berat)
atau terdapat suatu perbedaan porositas yang besar pada reservoir tersebut,
maka zona transisinya akan semakin besar dan bidang front fluida pendesak
dengan fluida yang didesak tidak tampak dengan jelas. Disamping itu suatu
penerobosan dan fluida pendesak lebih mungkin terjadi, sehingga akan
meninggalkan residu fluida yang didesak oleh minyak.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam persamaan fraksi aliran adalah:
 Aliran mantap (steady state)
 Sistem pendesakan dari fluida yang tidak larut satu sama lain
(immiscible)
 Fluida tidak dapat dimampatkan
 Aliran terjadi pada media berpori yang homogen
Persamaan yang digunakan untuk menghitung efisiensi pendesakan
dikembangkan pertama kali oleh Buckley-Leverett kemudian dikembangkan oleh
beberapa penulis lainnya.
Untuk pendesakan satu dimensi didalam media berpori, fraksi aliran
fluida pendesakan adalah:
M  g sin   P
f1   1  1 c ............................................. (2-25)
1 M v(1  M ) v(1  M )

1 k r1  2
M  ............................................................................. (2-26)
2 k r 2 1
dimana :
M = Perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dan fluida yang
didesak
λ1 = Mobilitas fluida pendesak, m2/Pa s
λ2 = Mobilitas fluida yang didesak, m2/Pa s
Δρ = Perbedaan densitas antara dua fluida, kg/m3
V = Kecepatan superfacial (permukaan), m/s
g = Percepatan gravitasi, m/s2
α = Sudut kemiringan, derajat
 Pc = Gradien tekanan kapiler
kr1 = Permeabilitas relatif fluida pendesak,
kr2 = Permeabilitas relatif fluida yang didesak
1 = Viskositas fluida pendesak, Pa s
2 = Viskositas fluida didesak, Pa s

Fraksi aliran adalah fungsi dari saturasi sepanjang variasi permeabilitas


relatif. Plot antara fraksi aliran versus saturasi fluida pendesak disebut kurva
fraksi aliran (fractional flow curve), yang biasanya berbentuk kurva - S. Bentuk
sebenarnya dari kurva ini dan posisinya tergantung dari kurva permeabilitas
relatif, viskositas fluida, densitas, sudut kemiringan dan hubungan saturasi -
tekanan kapiler.
Kemajuan front pendesakan tak tercampur dapat ditentukan dengan
menghitung saturasi fluida pendesakan sebagai fungsi waktu dan jarak dari slope
kurva fractional flow.
Termasuk juga yaitu breakthrough pada saat fluida pendesak tiba diujung
media berpori dan kemudian terproduksi water cut. Gambar 2.15
menggambarkan saturasi pada saat breakthrough, sedangkan Gambar 2.16
menunjukkan profil saturasi air sebelum, pada saat dan setelah breakthrough.
Saturasi fluida pendesak rata-rata sebelum breakthrough ditentukan
dengan material balance untuk media berpori, setelah breakthrough ditentukan
dengan perluasan tangen terhadap kurva fractional flow pada satu titik yang
menghubungkan kondisi diujung jalan keluar.
Hal ini dapat dilakukan pada waktu yang berbeda-beda sampai harga
producing cut (yang sama dengan harga f, pada ujung jalan keluar) tercapai batas
yang telah ditentukan.

Gambar 2.15.
Penurunan Saturasi Breakthrough
(Gomaa, E. E., 1995)
Gambar 2.16.
Profil Saturasi Dalam Pendesakan Tak Tercampur Satu Dimensi
(Gomaa, E. E., 1995)

Efisiensi pendesakan minyak (Ed), jika terdapat dua fluida di dalam


proses pendesakan tak tercampur (immiscible) seperti yang digambarkan diatas,
dapat dirumuskan sebagai berikut:
S o Boi
Ed = 1- .................................................................................. (2-27)
S oi Bo
Dimana :
So = Saturasi minyak rata-rata

S oi = Saturasi minyak awal rata-rata


Bo = Faktor volume formasi, RB/STB
Boi = Faktor volume formasi minyak awal, RB/STB
Berdasarkan Persamaan fraksi aliran, maka faktor yang mempengaruhi
pendesakan tak tercampur adalah:
2.6.1.1.1. Mobility Ratio
Pada Persamaan 2-25, Gaya viscous merupakan faktor yang
berpengaruh pada fraksi aliran. Pada harga saturasi tertentu, fraksi aliran fluida
pendesak akan mengecil pada mobilitas rasio yang kecil. Akibatnya terjadi
keterlambatan breakthrough dan meningkatkan efisiensi pendesakan pada volume
yang diinjeksikan. Dengan kata lain, efisiensi pendesakan pada abondoment akan
lebih tinggi pada mobilitas rasio yang lebih kecil karena berkurangnya producing
cut dari fluida pendesak.

2.6.1.1.2. Gaya Gravitasional


Suku kedua dalam Persamaan 2-25 menyajikan perbandingan antara
gaya gravitasional dan gaya viscous. Hal ini dapat ditulis lagi sebagai bilangan
Gravitasi (Ng), adalah:

f1 
M
M 1
 
1  N g sin  ................................................................. (2-27)

 2 g
Ng  ................................................................................. (2-28)

Gambar 2.17.
Pengaruh Mobilitas Rasio dan Gaya Gravitasional terhadap
Kurva Fractional Flow
(Gomaa, E. E., 1995)
Gambar 2.18.
Pengaruh Mobilitas Ratio dan Gaya Gravitasional terhadap
Efisiensi Pendesakan
(Gomaa, E. E., 1995)

Jika harga (N g sin α) besar, gaya gravitasional akan cukup berpengaruh


kuat terhadap kurva fraksi aliran. Harga positif yang lebih tinggi dari N g sin α
menurunkan fraksi aliran fluida pendesak pada saturasinya. Jadi pengaruh gaya
gravitasional positif sama dengan pengaruh mobilitas rasio yang kecil.

2.6.1.1.3. Tekanan Kapiler


Pada suku ketiga dari Persamaan 2-25, menunjukkan perbandingan
gaya kapiler dan gaya viscous. Gradien tekanan kapiler dalam arah aliran
bernilai positif, karena gradien saturasi air dan turunan tekanan kapiler
berkenaan dengan saturasi air adalah negatif. Oleh karena itu pengaruh tekanan
kapiler adalah untuk menaikkan aliran fraksional fluida pendesak pada saturasi
air yang diberikan. Pengaruh ini akan lebih besar pada gradien saturasi air yang
lebih besar, seperti pada daerah didekat flood front, seperti terlihat pada
Gambar 2.19. Akibatnya keberadaan dan pengaruh tekanan kapiler
menyebabkan terjadinya pelebaran front saturasi sampai melewati jarak tertentu.
Gambar 2.19.
Pengaruh Tekanan Kapiler terhadap Profil Saturasi
dalam Pendesakan Tak Tercampur
(Gomaa, E. E., 1995)

2.6.2. Efisiensi Penyapuan


Efisiensi penyapuan didefenisikan sebagai perbandingan antara luas
daerah hidrokarbon yang telah didesak di depan front terhadap luas hidrokarbon
seluruh reservoir atau dengan luas daerah hidrokarbon yang terdapat pada suatu
pola.

2.6.2.1. Efisiensi Penyapuan Areal


Efisiensi penyapuan areal didefinisikan sebagai perbandingan antara
luasan reservoir yang kontak dengan fluida pendesak terhadap luas areal total atau
fraksional dari reservoir yang tersapu oleh fluida injeksi. Pada pola sumur yang
terbatasi, efisiensi tersebut dapat diperkirakan sebagai suatu bentuk pola, volume
pori yang diinjeksikan, dan perbandingan mobility ratio. Tidak semua proyek
enhanced oil recovery (EOR) menggunakan pola sumur yang terbatasi, sehingga
efisiensi penyapuan areal yang diperkirakan akan lebih kecil dari coverage factor.
2.6.2.1.1. Coverage Factor (Faktor Cakupan)
Coverage Factor (factor cakupan) adalah perbandingan sederhana
antara volume reservoir didalam pola sumur yang teratur dengan volume reservoir
total, seperti terlihat pada Gambar 2.20, volume reservoir digunakan sebagai
pengganti areal untuk memasukan variasi ketebalan lapisan.

Gambar 2.20.
Gambaran Faktor Cakupan (Coverage Factor)
(Gomaa, E. E., 1995)

Pada pola sumur yang teratur, efisiensi tersebut dapat diperkirakan


sebagai fungsi dari bentuk pola, volume pori yang diinjeksikan dan perbandingan
mobilitas. Kegiatan perolehan minyak tahap lanjut tidak semuanya menggunakan
pola sumur teratur, sehingga efisiensi penyapuan areal akan menurun dengan
adanya coverage factor.

2.6.2.1.2. Korelasi Efisiensi Penyapuan Areal


Untuk sumur dengan pola yang teratur pada reservoir homogen,
diperlukan korelasi efisiensi penyapuan areal. Korelasi ini dipersiapkan untuk
pengujian pendesakan. Beberapa contoh disajikan dalam Gambar 2.21 dan
Gambar 2.22 untuk pola sumur five spot dan direct line drive.
1,0

0,9 3,0
Areal swept efficiency, Es 1,0
2,0
0,8 0,9 1,5

BR
EA
KT
0,7 0,8

HR
OU
0,7

GH
0,6
0,6
0,5
0,5
0,4 injec ted volume
displaceable pore volume
0,3
0,1 1 10 100 1000
Mobility ratio, M

Gambar 2.21.
Korelasi Efisiensi Penyapuan Areal untuk Five-Spot
(Gomaa, E. E., 1995)

Gambar 2.22.
Korelasi Efisiensi Penyapuan Areal untuk Direct Line Drive
(Gomaa, E. E., 1995)

Efisiensi penyapuan areal pada volume pori yang telah terinjeksi akan
berkurang dengan naiknya mobilitas. Perbandingan mobilitas akan meningkat
dengan naiknya volume yang telah diinjeksikan, sehingga harga akhir untuk
efisiensi penyapuan areal akan diambil pada harga volume pori yang telah
diinjeksikan dihubungkan dengan limitingcut yang ditentukan dalam produksi.
Hal yang perlu dicatat adalah harga efisiensi penyapuan yang ditentukan dari
korelasi tidak dapat menunjukkan beberapa anisotropy (variasi permeabilitas
directional) atau heterogenitas. Untuk kasus dimana terdapat faktor tersebut,
teknik simulasi reservoir harus dipakai untuk mendapatkan peramalan efisiensi
penyapuan areal yang memberikan hasil yang lebih baik.
Pada kebanyakan korelasi penyapuan areal, perbandingan mobilitas
dihitung dengan memakai permeabilitas relatif end-point, biasanya dipakai
mobilitas rasio rata-rata. Mobilitas rasio didefenisikan sebagai perbandingan
antara mobilitas total fluida dibelakang front pendesakan dengan didepan front
pendesakan, dirumuskan sebagai berikut:
( r 1   r 2 ) b
M ............................................................................. (2-28)
( r 1   r 2 ) a
dimana:
λγ1 dan λγ2 = Mobilitas relatif fluida pendesak dan fluida yang didesak
2.6.3. Subkrip b dan a berturut-turut menunjukkan kondisi pada saturasi
rata-rata dibelakang front dan saturasi awal didepan front.

2.6.2.1.3. Pengaruh Viscous Fingering


Front pendesakan yang tidak stabil akan menyebabkan fluida
pendesak menerobos kedalam fluida yang terdesak dalam bentuk yang
menyerupai jari. Sebagai hasilnya fluida terdesak tertinggal dibelakang front
pendesakan. Keadaan seperti ini dapat terjadi pada reservoir yang homogen dan
terlebih lagi pada reservoir yang heterogen. Viscous fingering phenomenon
berhubungan langsung dengan perbedaan viskositas antara fluida pendesak
dengan fluida terdesak. Hal ini akan tampak lebih jelas dalam proses injeksi gas.
Model konseptual yang digunakan untuk menghitung pengaruh
viscous fingering adalah dengan memodifikasi persamaan aliran fraksional,
dengan memasukkan transfer massa antara fluida-fluida disepanjang finger,
memodifikasi viskositas fluida, dengan mempertimbangkan pencampuran fluida
dan mengkombinasikan pengaruh dispersi dengan fingering. Pengaruh viscous
fingering pada proses pendesakan menentukan efisiensi pendesakan. Pada kondisi
tersebut, efisiensi penyapuan vertical dan areal tidak membutuhkan penyesuaian
terhadap pengaruh viscous fingering.
Jika efisiensi pendesakan tidak memasukkan pengaruh tersebut, dan
ternyata diketahui pengaruh tersebut ada, maka harus dilakukan beberapa
penyesuaian untuk efisiensi penyapuan vertikal dan areal. Perbedaan antara dua
kondisi tersebut digambarkan pada Gambar 2.23. Jika pengaruh viscous fingering
dimasukkan dalam efisiensi pendesakan, maka volume yang tersapu sama dengan
daerah terinvasi (invaded region). Jika efisiensi pendesakan tidak memasukkan
pengaruh tersebut, maka volume penyapuan hanya merupakan daerah yang
terkena kontak dengan fluida pendesak.
Cross-Section
Vertical
of Flood Pattern

Invaded
Areal View

Region

Contacted
Region

Gambar 2.23.
Perbedaan antara Invaded Region dan Contacted Region
(Gomaa, E. E., 1995)

2.6.2.2. Efisiensi Penyapuan Vertikal


Efisiensi penyapuan vertikal adalah fraksi dari bagian vertikal pada
reservoir yang tersapu oleh fluida injeksi. Efisiensi penyapuan vertikal
dipengaruhi oleh pengaruh gravitasi dan heterogenitas reservoir.
Pengaruh gravitasi disebabkan oleh perbedaan densitas antara fluida
pendesak dengan fluida terdesak. Jadi, pengaruh gravitasi dapat terjadi di semua
reservoir (homogen dan heterogen). Gas akan mendahului minyak lewat bagian
atas (overrides) dan air akan mendahului minyak pada bagian bawah
(underruns), karena itu terjadi breakthrough lebih awal dibagian atas dan bawah
reservoir.
Secara teori, stabilitas front pendesakan dan sudut pendesakan
(tergantung arah aliran) berhubungan dengan laju penginjeksian, mobilitas fluida
dan perbedaan densitas. Gambar 2.24 menunjukkan efisiensi penyapuan vertikal
sebagai fungsi perbandingan mobilitas dan Ngh/L (perbandingan bilangan
gravitasi dikalikan ketebalan terhadap panjang). Perbandingan mobilitas yang
tinggi dan bilangan gravitasi yang besar menunjukkan rendahnya efisiensi
penyapuan vertikal pada saat breakthrough.

Gambar 2.24.
Pengaruh Mobilitas Rasio dan Gravitasi terhadap
Efisiensi Penyapuan Vertikal
(Gomaa, E. E., 1995)
Gambar 2.25.
Pengaruh Mobilitas Rasio dan Heterogenitas terhadap
Efisiensi Penyapuan Vertikal
(Gomaa, E. E., 1995)

Jika reservoir menunjukkkan variasi permeabilitas dan porositas


terhadap kedalaman serta heterogenitas lapisan, flood front akan terpengaruh
oleh variasi tersebut. Fluida pendesak akan bergerak lebih cepat dilapisan
dengan permeabilitas yang tinggi breakthrough terjadi lebih awal dalam sumur
produksi. Gambar 2.25 menunjukkan kecenderungan adanya pengaruh tersebut.
Perbandingan mobilitas yang tinggi dan heterogenitas yang besar akan
menurunkan efisiensi penyapuan vertikal.

2.6.2.3. Efisiensi Invasi


Efisiensi invasi adalah perbandingan antara volume hidrokarbon dalam
pori-pori yang telah didesak oleh fluida atau front terhadap volume hidrokarbon
yang masih tertinggal dibelakang front. Pada efisiensi penyapuan, seolah-olah
dianggap bahwa yang sedang mengalami proses pendesakan mempunyai sifat
merata (uniform) ke arah vertikal. Pada keadaan yang sebenarnya, dalam
reservoir jarang terjadi hal seperti itu. Oleh karena itu, supaya pengaruh aliran
ke arah vertikal turut diperhitungkan, maka harus diketahui efisiensi invasi.
Gambar 2.26.
Pengaruh Perlapisan dan Komunikasi Antar Lapisan
terhadap Pendesakan Fluida
(Gomaa, E. E., 1995)

Pengaruh perubahan sifat batuan kearah vertikal dinyatakan dengan


adanya perlapisan dalam reservoir yang sifat batuannya berbeda terutama
permeabilitasnya. Pengaruh perlapisan terhadap bidang front akan bergerak lebih
cepat pada daerah dengan permeabilitas yang tinggi, sehingga breakthrough air
akanlebih dahulu terjadi pada lapisan yang lebih permeable. Pengaruh perlapisan
terhadap penentuan efisiensi invasi ditunjukkan pada Gambar 2.26.

2.7. Jenis Pendesakan


Mekanisme pendesakan minyak oleh air pada prinsipnya adalah bahwa
air bergerak dari daerah saturasi air yang tinggi ke daerah saturasi air yang rendah.
Karena itu air akan mendesak minyak dengan mengubah daerah yang telah
didesaknya menjadi bersaturasi air lebih tinggi. Hal ini bertujuan agar pada titik
injeksi saturasi air didalam reservoir bernilai tinggi dengan kata lain jika saturasi
air tinggi berarti volume pori yang terisi oleh air juga tinggi karena saturasi air
dengan volume pori yang diisi air berbanding lurus. Sebaliknya pendesakan
minyak oleh air dengan penginjeksian yang sifatnya kontinyu akan memperkecil
saturasi minyak yang ada di belakang front, tepatnya pada titik injeksinya.
Kondisi ini memang diharapkan karena mengupayakan minyak sisa yang berada
di titik injeksi terus berkurang dan mengalir menuju sumur produksi.

2.7.1. Pendesakan Satu Dimensi (Linear)


Pendesakan linier merupakan pendesakan yang mempunyai kecepatan
hanya dalam satu arah pada setiap saat dan setiap tempat. Contoh pendesakan
dalam prakteknya yang mendekati pendesakan linier adalah injeksi air ke dalam
aquifer dan pendesakan berpola direct-line drive (Gambar 2.28) yang jarak
antara sumur sejenis jauh lebih kecil daripada jarak sumur yang berlainan.
Didalam segi pendesakan dikenal dua konsep, pendesakan torak dan pendesakan
frontal.

2.7.1.1. Konsep Pendesakan Desaturasi


Pendesakan desaturasi atau pendesakan frontal menganggap saturasi
fluida pendesak (air) di zona minyak yang telah didesak bervariasi dari (1-Sor)
hingga Swf. Harga (Sw=1-Sor) adalah saturasi air pada titik injeksi, sedang harga
(Sw = Swf) adalah saturasi air pada front. Gambar 2.27 memperlihatkan profil
ideal saturasi air dengan konsep pendesakan desaturasi. Dibelakang front, saturasi
minyak berkisar dari (Sor) pada titik injeksi (x = o) hingga (So = 1 – Swf) pada
front. Ini berarti masih ada minyak yang mengalir bersama-sama dengan air di
belakang front. Sebaliknya hanya minyak yang mengalir di muka front apabila
(Sw = Swc) yang tidak lain adalah saturasi ekuilibrium dari air.

Gambar 2.27.
Profil Saturasi Air Berdasarkan Konsep Desaturasi
(Soengkowo, Iman., 1980)
Gambar 2.28.
Pola Injeksi Line Drive
(Kristanto, Dedy, Dr., 2005)

Anggapan yang digunakan pada Gambar 2.28 diatas adalah :


 Sumur injeksi dan produksi diperforasi pada seluruh ketebalan formasi.
 Penyimpangan dari arus aliran linier disekitar sumur diabaikan.
 Distribusi saturasi secara melebar dianggap seragam (tegak lurus bidang
gambar)

a. Persamaan Fraksi Aliran


Anggapan yang digunakan dalam penentuan persamaan fraksi aliran adalah:
1) Aliran mantap (steady state)
2) Kondisi aliran terdifusi sehingga saturasi tersebar merata di seluruh
ketebalan.
3) Dapat dipakai satu harga permeabilitas rata-rata terhadap seluruh ketebalan
karena harga kro dan krw juga tersebar merata sebagai fungsi So dan Sw.
4) Aliran terjadi pada media berpori yang homogen

Kondisi aliran terdifusi dapat terjadi pada dua kondisi, yaitu :


 Debit injeksi besar, efek kapiler dan gravitasi diabaikan
 Debit injeksi kecil, zona transisi kapiler lebih besar daripada tebal reservoir
(H>>h).
Gambar 2.29.
Hubungan Sw Vs Pc & H
(Kristanto, Dedy, Dr., 2005)

Karena H >> h, maka Sw mendekati harga yang dapat dianggap tersebar


merata pada keseluruhan h. Rumus Darcy untuk aliran linier :
 kk ro A o  o kk A  P  g sin  
qo    ro  o  o  ... ............. .(2-29)
o x  o  x 1.0133x10 6 

 kk rw A w  w kk A  P  g sin  
qw    rw  w  w  .......... .(2-30)
w x  w  x 1.0133x10 6 

 6 dm 
1atm  1.0133x10 
 cm 2 
Kemudian disubstitusikan dengan qo = qt – qw dari Persamaan (2-29) dan
Persamaan (2-30), didapat hasil:

    q to  P  g sin  
q w  w  o    A c  6
.................. .(2-31)
 kk rw kk ro  kk ro  x 1.0133x10 
Definisi fraksi aliran air pada setiap titik adalah:
qw q
fw   w
qo  q w qt
Kemudian disubstitusikan ke persamaan (2-31) dan didapat persamaan
sebagai berikut :
kk ro A  Pc  g sin  
1   
q to  x 1.0133x10 6 
fw  ............................................. .(2-32)
 w k ro
1
k rw  o
Dalam satuan lapangan:
kk ro A  Pc 
1  1.127 x10 3   0.4335  sin 
q to  x 
fw  .................... .(2-33)
 k
1  w ro
k rw  o
Keterangan :

fw = Fraksi aliran air


k = Permeabilitas, md
kro = Permeabilitas relatif minyak
ko = Permeabilitas efektif minyak, md
kw = Permeabilitas efektif air, md
μo = Viscositas minyak, cp
μw = Viscositas air, cp
qt/A = Kecepatan total fluida, cm/sec
Pc = Tekanan kapiler, atm
x = Jarak pergerakan, cm
g = Percepatan gravitasi, ft/sq sec
Δρ = Beda densitas air-minyak, gr/cc
θ = Sudut kemiringan, derajat
b. Pengaruh Gradien Tekanan Kapiler

Gambar 2.30.
Hubungan antara Saturasi dengan Tekanan Kapiler
(Kristanto, Dedy, Dr., 2005)

Pc dPc S w
 ........................................................................... (2-33)
x dS w x

Pc
Dari Persamaan 2-33 diperoleh harga selalu lebih besar dari nol,
x
sehingga selalu menambah fraksi aliran (fw). Untuk pendesakan horizontal
(sin  = 0) dengan mengabaikan gradien tekanan kapiler, maka didapat :
1
fw  ............................................................................. (2-34)
 w k ro
1
 o k rw

2.7.1.2. Konsep Pendesakan Torak (Piston Like Displacement)


Anggapan yang digunakan adalah menganggap bahwa minyak tersapu
seluruhnya oleh air, sehingga yang tertinggal dibelakang front adalah minyak
residu. Anggapan ini cocok untuk pendesakan minyak yang mempunyai viskositas
diatas 30 cp. Persamaan Darcy dan diffusivitas dapat digunakan dalam
pendesakan jenis ini. Skema pendesakan torak dapat dilihat pada Gambar 2.31
dibawah ini:
Gambar 2.31.
Perbandingan Skema Pendesakan Torak dengan Pendesakan Frontal
(Kristanto, Dedy, Dr., 2005)

Pendesakan torak menganggap bahwa dibelakang front hanya fluida


pendesak (air) yang mengalir, sedang didepan front hanya fluida yang didesak
(minyak) yang mengalir.

Gambar 2.32.
Profil Saturasi Air Berdasarkan Konsep Pendesakan Torak
(Soengkowo, Iman., 1980)

Persamaan diffusivitas untuk daerah di depan front adalah :

 2 Po  2 Po  2 Po
  0
x 2 y 2 z 2
k o Po
 ................................................................................. (2-35)
 o s
Untuk daerah di belakang front adalah :
 2 Pw  2 Pw  2 Pw
  2 0
x 2 y 2 z
k w Pw
  .................................................................................. (2-36)
 w s
Untuk daerah front, berlaku Po = Pw. Untuk persamaan diatas, ko diambil
saat saturasi air mencapai saturasi air konat, dan kw diambil saat saturasi
minyak mencapai saturasi residu.

2.7.2. Pendesakan Dua Dimensi


Anggapan yang digunakan adalah pada pendesakan reservoir yang tipis,
sehingga kecepatan dan variasi saturasi dalam arah vertikal dapat diabaikan.
Perhitungan pendesakannya dengan menggunakan komputer karena sangat rumit.
Untuk sistem injeksi dengan pola sumur yang teratur, ada model empirik
yang dapat dipakai untuk meramalkan ulah produksi reservoirnya. Percobaan
dengan model fisik kecil dilakukan untuk mencari hubungan antara efisiensi
penyapuan (Es) dengan volume yang diinjeksikan tanpa dimensi (ViD), atau
dengan fw dan perbandingan mobilitas air-minyak (M).
luas daerah yang sudah tersapu di belakang front
Es  , dan
luas unit pola injeksi

volume fluida yang telah diinjeksi (Vi )


ViD  , sehingga
volume pori yang dapat didesak (VD )

VD  Vb  1  S wc  Sor  ................................................................ (2-36)

Keterangan :
VD = Volume pori yang didesak, cuft
ViD = Volume fluida yang diinjeksikan
Vb = Volume bulk batuan, cuft
 = Porositas batuan
Swc = Saturasi air konat
Sor = Saturasi minyak residu

Sifat-sifat aliran dan reservoir yang dipakai dalam model fisik adalah :
 Tebal lapisan lebih kecil daripada ukuran reservoir, sehingga dapat
dianggap dua dimensi
 Tidak ada pengaruh gravitasi atau kemiringan reservoir kecil (<10o)
 Reservoir bersifat homogen
 Pada proses injeksi berlaku pendesakan torak dan aliran mantap

2.7.3. Pendesakan Tiga Dimensi


Untuk reservoir yang tebal dengan variasi permeabilitas ke segala arah,
maka perhitungan perkiraan ulah pendesakan yang berdimensi tiga harus
diselesaikan dengan simulasi numerik yang dibantu komputer. Penyelesaiannya
memerlukan data fluida, data petrofisik, data produksi setiap bagian reservoir
yang besarnya ditentukan (grid). Komputer akan mencari pendekatan dengan
rumus Darcy, diffusivitas dan kontinuitas untuk setiap grid.

2.8. Batuan Reservoir Karbonat


Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat
lebih dari 50 % yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan
atau karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Reijers & Hsu, 1986).
Sementara itu, (Bates & Jackson, 1987) mendefinisikan batuan karbonat sebagai
batuan yang komponen utamanya adalah mineral karbonat dengan berat
keseluruhan lebih dari 50 %.

2.8.1. Genesa Batuan Karbonat


Batuan karbonat terbentuk melalui proses biologis, biokimia dan
presipitasi anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu cekungan (Scoffin, 1987).
Menurut (Pirson, 1958), batuan karbonat terbentuk pada lingkungan laut dangkal,
dimana pada lingkungan tersebut tidak terjadi pengendapan material asal daratan.
Hal ini memungkinkan pertumbuhan organisme laut misalnya koral, ganggang,
bryozoa, dan sebagainya. Cangkang-cangkang dari organisme tersebut
mengandung mineral aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral kalsit.
Proses pembentukan batuan karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut
relatif dangkal. Hal ini dapat terjadi bila ada keseimbangan antara pertumbuhan
organisme dan penurunan dasar laut tempat terbentuknya batuan tersebut,
sehingga dapat menghasilkan batuan karbonat yang tebal. Sementara menurut
(Landes, 1959), selain dipengaruhi oleh lingkungan laut dangkal dan tanpa adanya
pengendapan material asal daratan, pembentukan batuan karbonat membutuhkan
lingkungan pengendapan dengan syarat-syarat khusus sebagai berikut:

1. Dasar laut yang relatif datar dan stabil.


2. Kedalaman laut yang dangkal.
3. Suhu air yang relatif hangat (± 38° C).
4. Ombak yang tidak begitu besar.
5. Tidak ada arus yang besar dan kuat.
6. Kegaraman air laut sekitar 13% (permil).

Gambar 2.33. Ilustrasi kondisi ideal pembentukan batuan karbonat


(James & Bourque, 1992 dalam Rizqi Amelia Melati, 2011)
Syarat-syarat kondisi yang ideal untuk pembentukan batuan karbonat antara lain
sebagai berikut:
a. Jernih
Batuan karbonat dihasilkan dari sekresi organisme laut dan presipitasi dari
air laut secara kimiawi. Hal ini mengandung arti bahwa pembentukan batuan
karbonat juga tergantung pada organisme. Sementara organisme laut
membutuhkan kondisi laut yang jernih agar sinar matahari dapat masuk tanpa
terganggu.
b. Dangkal
Dangkal disini diartikan sebagai batas sinar matahari dapat masuk ke laut.
Batas ini sering disebut zona fotik yaitu zona yang dapat ditembus oleh matahari
sebagai syarat utama untuk melakukan proses fotosintesis oleh organisme. Batas
kedalaman yang harus diperhatikan adalah carbonate compensation depth (CCD)
yaitu batas kedalaman untuk mineral karbonat terendapkan.
c. Hangat
Organisme karbonat biasanya hidup pada temperatur ± 36° C. Kondisi
yang hangat ini berhubungan dengan syarat kedalaman yang masib bisa ditembus
oleh sinar matahari.
d. Salinitas
Batuan karbonat memiliki kisaran salinitas antara 22% - 40% namun
terbentuk pada kisaran 25% - 35%. Oleh sebab itu, lingkungan laut merupakan
kondisi dengan salinitas yang relatif tinggi sehingga batuan karbonat dapat
terbentuk dengan baik.

2.8.2. Tekstur dan Struktur Batuan Karbonat


Pada umumnya yang menjadi unsur-unsur tekstur adalah:
1. Matriks
2. Semen Kalsit
3. Butir
4. Kerangka organik
5. Kehabluran/crystalinity
Tekstur batuan karbonat dapat dibagi sebagai berikut :
1. Tekstur Primer
a. Kerangka Organik
Tekstur ini disusun oleh material-material yang berasal dari
kerangka organik atau “skeletal” dalam pengertian Nelson, atau
“frame builder”.
b. Klastik/Butiran
Tekstur ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
 Tekstur Bioklastik. Terdiri dari fragmen-fragmen ataupun
cangkang-cangkang binatang, yang berupa klast (pernah lepas-
lepas) : cocquina,foraminifera, keral (lepas-lepas).
 Tekstur Intraklastik/ fragmen non organic. Dibentuk di tempat
atau ditransport, tetapi jelas hasil fragmentasidari batuan
atau sedimen gamping sebelumnya.
 Tekstur Chemiklastik/ non fragmental. Butir-butir yang
terbentuk di tempat sedimentasi karena prosescoagulasi, akresi,
penggumpalan dan lain-lain. Contoh : oolith, pisolite.
c. Massa Dasar
Tekstur ini disusun oleh butir-butir halus dari karbonat yang
terbentuk pada waktu sedimentasi. Dalam tekstur primer, hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah :
 Ukuran Butir. Ukuran butir batuan karbonat sering
dipergunakan denganmenggunakan sistem tersendiri, tetapi hal
ini tidak dianjurkan.Adapun klasifikasi ukuran butir yang
dipakai adalah klasifikasi ukuran butir dan tatanama dari Folk,
1961 yang didasarkan padaklasifikasi Grabau, 1912.
 Bentuk Butir Bentuk butir juga penting dalam mempelajari
batugampingterutama memperlihatkan energi dalam
lingkungan pengendapan.
2. Tekstur Sekunder atau Tekstur Diagenesa.
Tekstur sekunder pada umumnya adalah tekstur hablur yang didapat
padasebagian batuan ataupun meliputi keseluruhan. Tekstur sekunder
ini terbentuk apabila batuan karbonat yang terbentuk sebelumnya
mengalami prosesdiagenesa. Proses-proses diagenesa meliputi :
a. Pengisian pori dengan lumpur gamping
b. Mikritisasi oleh ganggang
c. Sementasi
d. Pelarutan
e. Polimorfisme
f. Rekristalisasi
g. Pengubahan/pergantian (replacement)
h. Dolomitisasi
i. Silisifikasi

2.8.3. Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat


Lingkungan pengendapan merupakan suatu lingkungan tempat
terkumpulnya material sedimen yang dipengaruhi oleh aspek fisik, kimia dan
biologi yang dapat mempengaruhi karakteristik sedimen yang dihasilkannya.
Lingkungan pengendapan karbonat menurut Friedman dan Reeckmann (1982):
A. Peritidal (tidal flat)
Peritidal dibagi menjadi 3 sub-lingkungan antara lain supratidal,
intertidal dan subtidal (Gambar 2.).
a. Supra tidal
1. Merupakan lingkungan yang terletak di atas batas pasang tertinggi
2. Merupakan lingkungan yang berkembang di atas pengaruh laut
normal yang jarang terairi. Terdiri atas sub-lingkungan : sabkha,
salt marsh, brindpond, coastal pond.
3. Sifat endapan tergantung pada iklim
4. Peloidal wackstone biasa dijumpai
5. Fauna terbatas seperti gastropoda, algae, foraminifera, dan
ostracoda.
6. Adanya air asin dan air tawar menjadikan supra tidal zona
pentinguntuk terjadinya alterasi diagenetik awal
7. Energi rendah.
b. Inter tidal
1. Merupakan lingkungan terletak antara pasang rata-rata tertinggi
dan terendah, dimana perubahan yang teratur antara pasang dan
surut terjadi.
2. Proses sedimentasi terjadi sacara ritmik yang mencerminkan
proses pasang surut periodik.
3. Kehidupan cukup melimpah tetapi dengan kondisi ekstrim karena
biota harus beradaptasi dengan pasang surut, suhu, ph, salinitas
dan kimia air yang berfariasi.
4. Iklim mempunyai pengaruh penting, sebagai contoh algae mats
hanya dapat terbentuk di daerah arid
5. Terdiri dari sub-lingkungan : fore shore, beach, tidal channel,
levee, mangrove, swamp dan beach ridge.
6. Merupakan zona untuk terjadinya alterasi diagenetik awal
termasuk pembentukan dolomite dan evaporit.
7. Litologi yang dijumpai : oolitic grainstone, bioklast grainstone,
interclast strom deposited.
8. Merupakan zona dengan tingkat energi tinggi, tergantung
terhadap pengaruh pasang surut, arus angin, arus, dan ada
tidaknya barrier. Porositas biasanya lebih baik dibandingkan pada
supratidal.
9. Litologi yang dijumpai : wackstone, packstone hingga grainstone.
c. Subtidal
1. Merupakan daerah yang terletak pada pasang surut rendah.
2. Umumnya merupakan zona dengan energi rendah, dengan
aktivitas arus dan gelombang yang tinggi, tingkat energi masih
tinggi dan sedimen yang dijumpai sama dengan zona intertidal.
3. Merupakan zona dimana koral tumbuh, ooid terbentuk,
pembentukan channel, delta dan bioclastic shoal.
4. Merupakan lingkungan penting untuk pengendapan karbonat
5. Mikrofauna beraneka ragam tergantung pada salinitas air
6. Litologi yang dijumpai : wackstone, packstone hingga grainstone.
B. Kompleks tepian paparan (shelf margin)
1. Dicirikan dijumpai pasir karbonat dan terumbu
2. Terumbu di jumpai di tepian paparan, dimana kerangkanya yang di
rigid mampu menahan aksi gelombang dan bahkan adanya aksi
gelombang, biota tersebut mendapat nutrisi dari laut dalam.
C. Lereng (slope)
a. Terletak di atas batas bawah air yang teroksigen dan diatas sampai di
bawah wave base
b. Kemiringan lereng sekitar 400 dan biasanya tidak stabil
c. Proses deposisi : didominasi oleh transportasi sedimen dari tepian
paparan kearah laut oleh proximal turbidity atau high density
sediment gravity flow dan slide/slump
d. Partikel berbutir halus terendapkan secara suspensi membentuk
lapisan tipis mudstone sementara slump, derbis flow dan arus turbidit
mengendapkan sedimen berbutir kasar, seperti breksi, konglomerat,
atau pasir karbonat
e. Pola fasies dipengaruhi oleh relief tepian paparan
D. Basin
a. Kadalaman mencapai ratusan meter dan berada dibawah wave base
b. Kolom air teroksigensi, salinitas air laut normal dan sirkulasi arus
baik tetap lemah
c. Didominasi oleh partikel yang berbutir sangat halus yang berasal
dari cangkang mikroorganisme planktonik yang akan membentuk
chalk pada saat terlitifikasi.
d. Fauna bentos laut dalam hadir dan terawetkan dalam bentuk fosil
utuh atau pecah. Burrow melimpah dan perlapisan nodular umumnya
dijumpai

Gambar 2.34. Penampang ideal lingkungan pengendapan batuan karbonat


(Friedman & Reeckmann, 1982 dalam Carla Goncalves 2013)
2.8.4. Klasifikasi dan Komposisi Kimia Karbonat
Batuan karbonat secara umum terjadi karena adanya proses kimia yang
bekerja padanya, baik secara langsung maupun dengan perantaraan organisme.
Batuan karbonat terdiri dari limestone (batugamping) dan dolomite.
a. Limestone
Limestone adalah istilah yang biasanya dipakai untuk kelompok batuan
yang mengandung paling sedikit 80 % calcium carbonat atau magnesium,
Istilah limestone juga dipakai untuk batuan yang mempunyai fraksi
carbonate yang melebihi unsur Non-Carbonate. Pada limestone fraksi
disusun terutama oleh mineral calcite. Tabel II-1 memperlihatkan susunan
kimia pembentuk batuan limestone, bahwa kandungan CaO dan CO2
sangat besar, mencapai lebih besar dari 95%. Unsur lain yang penting
adalah MgO dalam jumlah berkisar antara 1-5%, kemungkinan
mengandung mineral dolomit. Limestone pada umumnya mengandung
unsur MgCO3 antara 4% dan kadang-kadang mencapai lebih dari 40%.

Tabel II.1. Komposisi Kimia Limestone


(Pettijohn J.F., “Sedimentary Rock”, Second Edition, 1958)
b. Dolomite
Dolomite merupakan jenis batuan yang mengalami perubahan dari
unsur karbonate lebih dari 50% (Pettijohn, 1958) dengan adanya proses
dolomitisasi yang bekerja. Perubahan ini terjadi pada limestone dan
dolomite yang mempunyai nama macam-macam, tergantung dari unsur
kimia terbanyak yang dikandungnya. Batuan dengan unsur kalsit yang
lebih besar dari dolomite disebut dolomitic limestone, sebaliknya bila
unsur dolomite lebih besar disebut limycalcitic. Tabel II-2 menunjukkan
komposisi kimia batuan karbonat dolomite pada dasarnya hampir sama
dengan komposisi kimia batuan limestone, kecuali kalau unsur MgO-nya
merupakan unsur penyusun yang penting dan jumlahnya cukup besar
dengan silika yang rendah.

Tabel II-2. Komposisi Kimia Dolomite


(Pettijohn J.F., “Sedimentary Rock”, Second Edition, 1958)

Anda mungkin juga menyukai