Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Usia Pre School

2.1.1 Pengertian Anak Usia Pre School

Menurut WHO, Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang

dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat

memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar

mandiri. Anak usia pre school adalah anak yang berusia 3 sampai 6 tahun .

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak merupakan individu

yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya

membutuhkan lingkungan yang dapat menfasilitasi dalam memenuhi

kebutuhan dasar untuk belajar mandiri (Supartini, 2004).

Menurut Wong (2000) dalam Supartini (2004), mengemukakan anak secara

umum terdri dari tahapan prenatal (usia 0 sampai 28 hari), periode bayi (usia

28 hari sampai 12 bulan), masa anak – anak awal (terdiri atas usia 1 sampai 3

tahun disebut toddler dan usia 3 sampai 6 tahun disebut prasekolah), masa

kanak – kanak pertengahan (6 sampai 12 tahun) dan masa kanak – kanak

akhir (12 sampai 18 tahun). Setiap individu berbeda dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik

secara herediter, lingkungan dan internal.

Pada usia prasekolah kemampuan sosial anak mulai berkembang, persiapan


diri untuk memasuki dunia sekolah dan perkembangan konsep diri telah

dimulai pada periode ini. Perkembangan fisik lebih lambat dan relatif

menetap. Keterampilan motorik seperti berjalan, berlari, melompat menjadi

semakin luwes, tetapi otot dan tulang belum begitu sempurna (Supartini,

2004).

2.1.2 Perkembangan Psikososial Anak Usia Pre School

Menurut teori perkembangan Erikson masa prasekolah antara usia 3 - 6 tahun

merupakan periode perkembangan psikososial sebagai periode inisiatif versus

rasa bersalah, yaitu anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi

terhadap apa yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah

kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai prestasinya. Perasaan

bersalah akan muncul pada anak apabila anak tidak mampu berprestasi

sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak tercapai. Anak usia

prasekolah adalah pelajar yang energik, antusias, dan pengganggu dengan

imajinasi yang aktif. Anak menggali dunia fisik dengan semua indra dan

kekuatanya.

Pada usia prasekolah anak mengembangkan perasaan bersalah ketika orang

tua membuat anak merasa bahwa imajinasi dan aktifitasnya tidak dapat

diterima. Kecemasan dan katakutan terjadi ketika pemikiran dan aktifitas

anak tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).

2.2 Konsep Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan dapat didefinisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa


gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi dari ancaman

sumber actual yang tidak nyaman, rasa khawatir akan terjadinya sesuatu

dimana sumber kecemasan tidak spesifik menimbulkan respon otonom

(NANDA, 2007).

Sedangkan Menurut Maramis (2010), Kecemasan merupakan rasa yang tidak

terikat pada suatu benda atau keadaan akan tetapi mengambang bebas.

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan ketakutan

atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan tidak mengalami

gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih utuh atau tidak

mengalami keretakan kepribadian, perilakudapat terganggu tetapimasih dalam

batas- batas normal (Hawari, 2011).

Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar

disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak

diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi

terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang

memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu

untuk bertindak menghadapi ancaman (Herdman, 2012).

2.2.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Menurut stuart (2012) faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah:

1. Faktor Predisposisi

a. Psikoanalitis

Cemas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen keribadian

: id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif,


sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh

norma budaya. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntutan dari dua

elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi cemas adalah

meningkatkan ego bahwa ada bahaya..

b. Interpersonal

Cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan

interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma

seperti perpisahan dan kehilangan menimbulkan kerentanan tertentu.

Individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan

yang berat.

2. Faktor Presipitasi

Menurut Kaplan dan sadock (1997, dalam Nursalam, 2005), menyatakan

bahwa faktor pencetus kecemasan meliputi :

a. Faktor Psikososial

Anak kecil, imatur dan tergantung pada tokoh ibu, adalah terutama rentan

terhadap kecemasan yang berhubungan dengan perpisahan, sebagai contoh

anak yang dirawat di rumah sakit (hospitalisasi) karena anak mengalami

urutan ketakutan perkembangan yaitu takut kehilangan ibu, takut

kehilangan cinta ibu, takut cidera tubuh, takut akan impulsnya dan takut

akan cemas hukuman (punishing unxiety) dari superego dan rasa

bersalah.Sebagian besar anak mengalami cemas perpisahan didasarkan

pada salah satu atau lebih ketakutan – ketakutan tersebut.


b. Faktor Belajar

Kecemasan fobik dapat di komunikasikan dari orang tua kepada anak–

anak dengan modeling langsung. Jika orang penuh ketakutan, anak

kemungkinan memiliki adaptasi fobik terhadap situasi baru, terutama pada

lingkungan baru. Beberapa orang tua tampaknya mengajari anak– anaknya

untuk cemas dengan melindungi mereka secara berlebihan

(overprotecting) dari bahaya yang diharapkan atau dengan membesar–

besarkan bahaya.

c. Faktor Genetik

Intensitas mana cemas perpisahan dialami oleh anak individual

kemungkinan memiliki dasar genetik. Penelitian keluarga telah

menunjukkan bahwa keturunan biologis dari orang dewasa dengan

gangguan kecemasan adalah rentan terhadap gangguan pada masa

anak–anak.

2.2.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Menurut Carpenito (2007), menyatakan bahwa tanda dan gejala

kecemasan antara lain:

a. Fisiologis

Peningkatan frekuensi denyut jantung, peningkatan tekanan darah,

peningkatan frekwensi pernafasan dioferesis, dilatasi pupil, suara tremor

perubahan nada, gelisah, gemetar, berdebar – debar sering berkemih, diare,

gelisah, insomnia, keletihan dan kelemahan, pucat, atau kemerahan,

pusing, mual, anoreksia.


b. Emosional

Ketakutan, ketidak berdayaan, gugup, kurang percaya diri, kehilangan

kontrol. Ketegangan individu juga sering memperlihatkan marah

berlebihan, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, kontak mata

buruk, kritisme pada diri sendiri, menarik diri, kurang inisiatif, mencela

diri reaksi baku.

c. Kognitif

Tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa, penurunan kemampuan belajar,

terlalu perhatian, orientasi pada masa lalu daripada kini atau masa depan.

2.2.4 Tingkat Kecemasan

Tingkat Kecemasan Menurut Stuart & Sundeen (2000) tingkat kecemasan

dibagi menjadi :

1. Kecemasan ringan (mild anxiety)

Tingkat kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

2. Kecemasan sedang (moderate anxiety)

Pada tingkat kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.

Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat

melakukan sesuatu yang lebih terarah.


3. Kecemasan berat (severe anxiety)

Pada tingkat kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan

spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan

untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak

pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

4. Panik (panic)

Kecemasan tingkat panik menyebabkan seseorang kehilangan kontrol,

ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang

mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan

pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik

terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan

pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan

kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi

kelelahan yang sangat, bahkan kematian.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

2.1 Rentang Respon


2.3 Kecemasan Perpisahan

Gangguan kecemasan perpisahan adalah kecemasan dan kekhawatiran yang

tidak realistik pada anak tentang apa yang akan terjadi bila ia berpisah dengan

orang- orang yang berperan penting dalam hidupnya, misalnya orang tua.

Ketakutan itu mungkin berpusat pada apa yang mungkin terjadi dengan

individu yang berpisah dengan anak itu(misalnya orang tua yang akan

meninggal,atau tidak kembali karena suatu alasan. Atau apa yang terjadi

dengan anak itu bila terjadi perpsahan( ia akan diculik,disakiti, atau dibunug).

Karena alasan tersebut anak itu enggan untuk dipisahkan dengan orang lain,

dan mungkin karena itulah ia tidak mau tidur sendirian tanpa ditemani atau

didampingi oleh tokoh kesayangannya atau tidakmampu meninggalkan rumah

tanpa disertai orang lain (Semium, 2006).

Selain masalah itu, gangguan rasa kecemasan akan perpisahan dapat

menggangu dan memperlambat perkembangan sosial anak karena ia tidak

mengembangkan independensi atau belajar bergaul dengan teman-teman

sebayanya. Selanjutnya bila anak dipisahkan (ditinggalkan) ia tidak dapat

berfungsi dengan baik karena ia tercekam oleh rasa takut terhadap apa yang

akan terjadi dengan dirinya atau terhadap orang- orang yang berpisah

dengannya. Anak-anak dan remaja dengan gangguan ini mungkin mengalami

penderitaan berlebihan berulang tentang perpisahan dari rumah atau orang

tua. Ketika terlepas dari figur kelekatan, mereka sering perlu tahu di mana

orangtua mereka dan perlu untuk tetap berhubungan atau melihat mereka.

Beberapa saat menjadi sangat rindu ketika jauh dari rumah (Jeffery, 2003).
2.4 Skala Pengukuran Kecemasan pada Anak

Spence children’s Anxiety Sacale (SCAS) pre school adalah instrumen

kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak pada usia pra sekolah.

Skala ini terdiri dari 28 pertanyaan kecemasan. Skala ini dilengkapi dengan

meminta orang tua untuk mengikuti petunjuk pada lembar instrumen.

Jumlah skore maximal pada skala kecemasan SCAS pre school adalah 112.

Dua puluh delapan item kecemasan tersebut memberikan ukuran

keseluruhan kecemasan, selain nilai pada 6 sub skala masing-masing

menekankan aspek tertentu dari kecemasan anak, yaitu kecemasan umum,

kecemasan sosial, gangguan obsesif kompulsif, ketakutan cidera fisik dan

kecemasan pemisahan (Spence, 2001). Hasil total kuesioner akan menjadi

kriteria tingkat kecemasan anak, dengan rentang skore kecemasan sebagai

berikut : ringan (score < 28) sedang (score 28-56), berat (score 57-84) dan

sangat berat/panik (score >85).

Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini terdiri dari 6 sub skala kecemasan

dan pada item pertanyaanm sebagai berikut :

1) Kecemasan umum (1,4,8,14, dan 28)

2) Kecemasan sosial (2,5,11,15,19, dan 23)

3) Gangguan Obsesif kompulsif (3,9,18,21, dan 27)

4) Ketakutan cidera fisik (7,10,13,17,20,24, dan 26)

5) Kecemasan pemisahan (6,12,16,22, dan 25).

2.5 Konsep Bermain dan Terapi Bermain

2.5.1 Pengertian Bermain

Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan


sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan

bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar

menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat

dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, 2003).

Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa

mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan

informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak

(Sudono, 2000 dalam zaenal arifin 2015.)

2.5.2 Fungsi Bermain

Soetjiningsih (2001), menyatakan bahwa fungsi utama bermain adalah

merangsang perkembangan sensoris-motorik, perkembangan intelektual,

perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran

diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi.

1. Perkembangan Sensoris – Motorik

Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensoris-motorik merupakan

komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting

untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya, alat permainan yang digunakan

untuk bayi yang mengembangkan kemampuan sensoris-motorik dan alat

permainan untuk anak usia toddler dan prasekolah yang banyak membantu

perkembangan aktivitas motorik baik kasar maupun halus.

2. Perkembangan Intelektual

Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap

segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal


warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain

pula anak akan melatih diri untuk memecahkan masalah. Pada saat anak

bermain mobil-mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat

memperbaikinya maka ia telah belajar memecahkan masalahnya melalui

eksplorasi alat mainannya dan untuk mencapai kemampuan ini, anak

menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal mungkin. Semakin

sering anak melakukan eksplorasi seperti ini akan semakin terlatih

kemampuan intelektualnya.

3. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan

lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan

menerima. Bermain dengan orang lain membantu anak untuk

mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari

hubungan tersebut. Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar

berinteraksi dengan teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar

tentang nilai sosial yang ada pada kelompoknya. Hal ini terjadi terutama

pada anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian, anak usia toddler

dan prasekolah adalah tahapan awal bagi anak untuk meluaskan aktivitas

sosialnya dilingkungan keluarga.

4. Perkembangan Kreativitas

Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan

mewujudkannya kedalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang

dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba


untuk merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan

memasang satu alat permainan akan merangsang reativitas anak untuk

semakin berkembang.

5. Perkembangan Kesadaran Diri

Melalui bermain, anak mengembangkan kemampuannya dalam mengatur

mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya

dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya

dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya

terhadap orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya

sehingga temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri

bahwa perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang tua

untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan

kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari perilakunya

terhadap orang lain.

6. Perkembangan Moral

Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari

orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan

mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga

dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan

aturan-aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya. Melalui kegiatan

bermain anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan

mana yang benar dan mana yang salah, serta belajar bertanggung-jawab atas

segala tindakan yang telah dilakukannya. Misalnya, merebut mainan teman

merupakan perbuatan yang tidak baik dan membereskan alat permainan


sesudah bermain adalah membelajarkan anak untuk bertanggung-jawab

terhadap tindakan serta barang yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan

kognitifnya, bagi anak usia toddler dan prasekolah, permainan adalah media

yang efektif untuk mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan

memberikan nasihat. Oleh karena itu, penting peran orang tua untuk

mengawasi anak saat anak melakukan aktivitas bermain dan mengajarkan

nilai moral, seperti baik/buruk atau benar/salah.

7. Bermain sebagai terapi

Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan

yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan

nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami

anak karena menghadapi beberapa stressor yang ada dilingkungan rumah

sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari

ketegangan dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan

permainan anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya

(distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan permainan. Hal

tersebut terutama terjadi pada anak yang belum mampu

mengekspresikannya secara verbal. Dengan demikian, permainan adalah

media komunikasi antar anak dengan orang lain.

2.5.3 Pengertian Terapi Bermain

Terapi bermain adalah media komunikasi antara anak dengan orang lain,

termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan di rumah sakit (Supartini,

2004). Sedangkan menurut Betz dan Sowden (2006) terapi bermain

merupakan terapi untuk mengembangkan mental anak dan untuk mengobati


anak yang sedang dalam perawatan.

2.5.4 Tujuan Terapi Bermain

Menurut Supartini (2004), bermain sebagai terapi mempunyai tujuan

sebagai berikut :

1. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal

pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan

dan perkembangannya.

2. Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi serta ide-

idenya. Permainan adalah media yang sangat efektif untuk

mengekspresiksn perasaan yang tidak menyenangkan.

3. Mengembangkan kreativitas dan kemampuannya memecahkan

masalah. Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi dan

fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam

pikirannya.

4. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena

beradaptasi dengan lingkungan baru di sekolah. Bermain dapat

dapat menurunkan rasa cemas, takut, dan marah.

2.6 Dramatik Play


2.6.1 Pengertian Dramatic Play
Permainan dramatik adalah suatu bentuk permainan yang dilakukan secara

berpura-pura, yang dimulai ketika anak sudah dapat menyimbolisasikan atau

membayangkan objek memiliki peran tertentu. anak bermain imajinasi/fantasi

(EX : dokter dan perawat)

Anda mungkin juga menyukai