UNIVERSITAS TADULAKO 2016 Sistematika dan Isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dikelompokkan ke dalam 11 Bab dan dituangkan ke dalam 53 Pasal dan 26 Bagian, yang cakupan materi dan sistematikanya sebagai berikut.
NO. BAB PERIHAL/ISI/TENTANG/MATERI PASAL JUMLAH
1 I Ketentuan dan Umum 1 1 pasal 2 II Asas dan Tujuan 2 s.d. 3 2 pasal 3 III Perjanjian yang Dilarang 4 s.d. 16 13 pasal 4 IV Kegiatan yang Dilarang 17 s.d. 24 8 pasal 5 V Posisi Dominan 25 s.d. 29 5 pasal 6 VI Komisi Pengawas Persaingan Usaha 30 s.d. 37 8 pasal 7 VII Tata Cara Penanganan Perkara 38 s.d. 46 9 pasal 8 VIII Sanksi 47 s.d. 49 3 pasal 9 1X Ketentuan Lain 50 s.d. 51 2 pasal 10 X Ketentuan Peralihan 52 1 pasal 11 XI Ketentuan Penutup 53 1 pasal Jumlah 53 53 pasal
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diperlengkapi pula dengan:
1. Penjelasan Umum; dan 2. Penjelasan Pasal Demi Pasal. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa secara umum, materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengandung 6 bagian pengaturan yang terdiri atas: 1. Perjanjian yang Dilarang; 2. Kegiatan yang Dilarang; 3. Posisi Dominan; 4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 5. Penegakan Hukum; 6. Ketentuan Lain-lain
Perjanjian, Kegiatan dan Posisi Dominan yang Dilarang Dalam Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia 1. Jenis-Jenis Perjanjian yang Dilarang Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan "perjanjian" adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Adapun jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Antimonopoli diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16 sebagai berikut: a. Oligopoli (pasal 4); b. Penetapan harga (pasal 5); c. Diskriminasi harga dan diskon (pasal 6 sampai dengan pasal 8); d. Pembagian wilayah (pasal 9); e. Pemboikotan (pasal 10); f. Kartel (pasal 11); g. Trust (pasal 12); h. Oligopsoni (pasal 13); i. Integrasi vertikal (pasal14); j. Perjanjian tertutup (pasal 15); dan k. Perjanjian dengan luar negeri (pasal 16). 2. Jenis-Jenis Kegiatan yang Dilarang Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha yang berkaitan dengan proses dalam menjalankan kegiatan usahanya. Adapun jenis-jenis kegiatan yang dilarang menurut Undang-Undang Antimonopoli adalah sebagai berikut: a. monopoli (Pasal 17); b. monopsoni (Pasal 18); c. penguasaan pasar (Pasal 19); d. dumping (Pasal 20); e. manipulasi biaya produksi (Pasal 21); dan f. persekongkolan (Pasal 22). 3. Posisi Dominan Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki "posisi dominan" apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa posisi dominan yang dilarang dalam dunia usaha karena dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dibedakan menjadi 4 macam yakni: a. kegiatan posisi dominan yang bersifat umum (Pasal 25); b. jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi (Pasal 26); c. kepemilikan saham mayoritas atau terafiliasi (Pasal 27); d. penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan perusahaan (Pasal 28 dan Pasal 29). Penegakan Hukum Persaingan Usaha Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Di Indonesia, esensi keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pasti memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan kebijakan persaingan (competitive policy) diikuti dengan berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam Undang-Undang Antimonopoli tersebut. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, dimana dalam menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah maupun pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden. KPPU juga merupakan lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan usaha. a) Tugas KPPU Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur secara rinci dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diulangi dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditugaskan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti perjanjian-perjanjian oligopoli, penerapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri; melakukan penilaian terhadap kegiataan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, dan melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yang disebabkan penguasaan pasar yang berlebihan, jabatan rangkap, pemilikan saham dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha atau saham. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, di mana pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha telah membuat perjanjian yang dilarang atau melakukan kegiatan yang terlarang atau menyalahgunakan posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif dengan memerintahkan pembatalan atau penghentian perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang, serta penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha tersebut. Tugas lain dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang tidak kalah penting adalah memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan menyusun pedoman dan/atau publikasi atau sosialisasi yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. b) Wewenang KPPU Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, secara lengkap kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; c. melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya; d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan f pasal ini, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; h. meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; j. memutuskan dan menerapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; 1. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. c) Fungsi KPPU Selain tugas dan wewenang yang telah diuraikan di atas, KPPU juga memiliki fungsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Fungsi tersebut antara lain sebagai berikut: 1) Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan. 2) Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan. 3) Pelaksanaan administratif.
F. Tata Cara Penanganan Perkara Penegakan Hukum Persaingan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih lanjut mengatur tata cara penanganan perkara penegakan hukum persaingan usaha pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46. Dalam menangani perkara penegakan hukum persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukannya secara proaktif atau dapat menerima pengaduan atau laporan dari masyarakat. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini walaupun tidak ada laporan, yang pemeriksaannya dilaksanakan sesuai tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39. Sebelumnya, dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkannya secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Demikian pula pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan rnenyertakan identitas pelapor. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan penyelidikan, pemeriksaan, dan/atau penelitian terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha bisa berasal dari laporan atau pengaduan pihak-pihak yang dirugikan atau pelaku usaha; bahkan dari masyarakat atau setiap orang yang rnengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini bisa disampaikan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau berasal dari prakarsa Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sebagai jaminan atas diri pelapor, Pasal 38 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk merahasiakan identitas pelapor, terutama pelapor yang bukan pelaku usaha yang dirugikan. Mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terdiri dari 7 tahapan, antara lain: 1. Penelitian dan klarifikasi laporan, yang mencakup: penyampaian laporan, kegiatan penelitian dan klarifikasi, hasil penelitian dan klarifikasi, dan jangka waktu penelitian dan klarifikasi. 2. Pemberkasan, yang mencakup: pemberkasan, kegiatan pemberkasan, hasil pemberkasan, dan jangka waktu pemberkasan. 3. Gelar laporan, yang mencakup: rapat gelar laporan, hasil gelar laporan, dan jangka waktu gelar laporan. 4. Pemeriksaaan pendahuluan, yang mencakup: tim pemeriksa pendahuluan, kegiatan pemeriksaan pendahuluan, hasil pemeriksaan pendahuluan, jangka waktu pemeriksaan pendahuluan, dan perubahan perilaku. 5. Pemeriksaan lanjutan tim pemeriksa lanjutan, kegiatan pemeriksaan lanjutan, hasil pemeriksaan lanjutan, dan jangka waktu pemeriksaan lanjutan. 6. Sidang majelis komisi, yang mencakup: majelis komisi, sidang majelis komisi, dan putusan komisi. 7. Pelaksanaan putusan, yang mencakup: penyampaian petikan putusan, monitoring pelaksanaan putusan.