Ichsan Firdaus, anggota Komisi IV DPR mengeritik kebijakan Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti yang dianggap terlalu memprioritaskan perikanan tangkap
dan melupakan pemberdayaan nelayan.
Yang disampaikan Ichsan ini acap saya dengar ketika bertemu penggiat LSM pesisir di
Makassar, bahkan dengan beberapa akademisi yang selama ini getol menyigi pernak-
pernik program atau kebijakan KKP.
Tentang prioritas dan motifnya sebagaimana towelan Ichsan itu, saya amat yakin KKP
telah menyodorkan argumentasi dan bukti. Meski begitu, sebagai yang berminat dan
mengalami diskursus �pemberdayaan masyarakat terutama di pesisir� sejak dua puluh
tahun terakhir, ada baiknya kita gelar tikar tentang beragam perspektif.
ADVERTISEMENT
Telur ikan terbang ekspor yang diolah masyarakat Takalar (foto: Kamaruddin Azis)
Tapi inilah yang terjadi dan diproduksi setiap tahun, setiap periode, setiap proyek
dan bahkan yang jelas-jelas menggunakan kata pemberdayaan sebagai inti program.
Sebuah fenomena yang direproduksi setiap tahun tanpa kesungguhan untuk
membenahinya.
Warga pesisir bukannya berdaya, tetapi bergantung terus pada bantuan saban tahun.
APBN, APBD, loan, grant, silih berganti. Ketidakpatuhan atau keberdayaan semu,
diproduksi terus menerus oleh pihak luar, oleh LSM, oleh perencana Pemerintah
sehingga masyarakat kehilangan respek dan percaya pada orang luar yang �berjiwa
karet� dan 'project minded'.
Koreksi penting
Kapasitas fasilitator adalah persoalan pada cerita di atas. Ada celah yang tidak
dipahami oleh fasilitator program di hampir semua proyek pembangunan nasional
terutama di pesisir.
Mereka menganggap bahwa mereka membawa uang dan kesempatan mengubah masyarakat
pesisir dalam hitungan hari hanya dengan memberi bantuan uang dan sarana prasrana.
Pada tingkat operasional, mereka banyak gagal dalam menjelaskan dengan sederhana
pada semua pihak di desa, di kampung, di balai-balai pertemuan tentang �apa yang
kita punya dan apa yang telah terjadi di atasnya�.
Bertanya faktuallah. Apa yang terjadi atas terumbu karang kita, pada mangrove, pada
produksi ikan, dan lain sebagainya. Dengan menanyakan ini ke warga sesungguhnya,
telah mengapresiasi pengetahuan dan pengalaman mereka. Jadi tidak bisa dimulai
dengan �saya punya uang dan anda bisa apa�.
Saat kita bercerita tentang jargon-jargon, bahasa langit tentang pemberdayaan
warga, pembangunan, kemitraan, dan segala yang berbau pembangunan pasti akan
membuat bingung para anak-anak dan kakek nenek. Mungkin yang muda atau golongan
tengah akan manggut-manggut tetapi yang tidak pernah sekolah atau membaca atau
mendengar kalimat itu sebelumnya tentu akan melongo.
Jika demikian adanya maka jika kita mulai mengadakan pendekatan atau komunikasi
dengan warga, gunakanlah kalimat yang membuat peserta berminat untuk
berpartisipasi.
Kita sejatinya dapat mengutarakan kalimat tanya yang bisa menggugah warga untuk
ikut berbagi.
Semisal, �Di desa bapak-ibu, adakah kegiatan di pesisir atau melaut yang dilakukan
bersama-sama? Siapa saja yang ikut, di mana dan kapan?�
Kalimat langsung ini pasti akan memancing warga untuk memulai perbincangan. Akan
terjawab siapa yang memang nelayan, siapa yang sekadar pelayan di pangkalan
pendaratan ikan. Saat itu Kita telah berada di wilayah aman. Doronglah warga untuk
berpikir dan menghasilkan informasi bagi semua sebelum benar-benar menyusun rencana
aksi. Bukan malah membungkam mereka dengan iming-iming.