Anda di halaman 1dari 4

Mengapa Banyak Program Pemberdayaan di Pesisir Gagal?

Ichsan Firdaus, anggota Komisi IV DPR mengeritik kebijakan Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti yang dianggap terlalu memprioritaskan perikanan tangkap
dan melupakan pemberdayaan nelayan.
Yang disampaikan Ichsan ini acap saya dengar ketika bertemu penggiat LSM pesisir di
Makassar, bahkan dengan beberapa akademisi yang selama ini getol menyigi pernak-
pernik program atau kebijakan KKP.
Tentang prioritas dan motifnya sebagaimana towelan Ichsan itu, saya amat yakin KKP
telah menyodorkan argumentasi dan bukti. Meski begitu, sebagai yang berminat dan
mengalami diskursus �pemberdayaan masyarakat terutama di pesisir� sejak dua puluh
tahun terakhir, ada baiknya kita gelar tikar tentang beragam perspektif.
ADVERTISEMENT

Titik kritis fasilitasi


Mari mulai bercerita. Dul, (45) telah bersepakat dengan warga untuk
menyelenggarakan pertemuan pukul 09.00 pagi. Tiga puluh warga desa pesisir �Susah
Senang Bersama�, di depan Kepala Desa setuju ide Dul, si fasilitator pembangunan
desa, untuk memulai pertemuan pukul 09.00. Begitulah fasilitator bekerja, meminta
kata sepakat.
Dul datang 30 menit sebelum pukul 9. Kepala desa sudah sedia. Hingga pukul 9, warga
desa yang datang ada 5 orang.
�Kita tunggu yang lain, mungkin baru pulang melaut,� kata Kades. Dul mengiyakan.
Jarum jam menepi di pukul 9.30 dan dari 30 warga bersepakat, hanya ada 9 yang
datang.
Pertemuan tersebut tetap digelar dengan peserta 9 orang karena menurut Dul, sudah
diplot sumber daya proyek untuk membiayainya. Batal berarti dana hangus dan
posisinya sebagai fasilitator akan tercoreng di muka manajer program.
�Tak apa hanya 9 orang yang penting ada Kades,� batin Dul.
Kejadian seperti yang dialami Dul ini sudah jamak dan ada ribuan bahkan puluhan
ribu kasus serupa, di kampung, di desa. Ada banyak program pemberdayaan masa lalu
yang dianggap masih kecolongan untuk menutupi urusan metodologik itu.
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi terkait fenomena itu.
Pertama, betapa tidak konsistennya fasilitator bekerja seperti Dul dan kedua,
betapa telah semakin �tidak patuhnya� warga pada proses dan niat pendampingan untuk
pembangunan desa yang sedang didorong oleh Pemerintah di wilayah-wilayah pesisir.
Sejatinya, seorang fasilitator yang punya komitmen fasilitasi berdasarkan tujuan
pemberdayaan akan memutuskan untuk pulang saja. Setelah berbincang dengan (sedikit)
orang yang datang kita dapat menyampaikan bahwa akan pulang karena warga tidak
datang dan menepati janji.
Saat memaksa warga datang pertemuan, maka saat itu kita sebagai fasiliator telah
melemahkan posisi. Seakan-akan kitalah yang butuh mereka, bukan mereka yang butuh
program. Dalam teori dan teknik fasilitasi, titik di mana kita (fasilitator)
menempuh keputusan seperti ini disebut 'titik kritis atau turning point pelaku'
pemberdayaan.
Jika kita pulang, itu berarti kita telah menunjukkan bahwa kita punya niat baik.
Jangan pernah memanggil atau meminta seseorang memanggil satu-satu warga datang,
Itu hanya membuat seakan-akan pertemuan tersebut adalah kemauan fasilitator atau
pihak luar.

Telur ikan terbang ekspor yang diolah masyarakat Takalar (foto: Kamaruddin Azis)
Tapi inilah yang terjadi dan diproduksi setiap tahun, setiap periode, setiap proyek
dan bahkan yang jelas-jelas menggunakan kata pemberdayaan sebagai inti program.
Sebuah fenomena yang direproduksi setiap tahun tanpa kesungguhan untuk
membenahinya.
Warga pesisir bukannya berdaya, tetapi bergantung terus pada bantuan saban tahun.
APBN, APBD, loan, grant, silih berganti. Ketidakpatuhan atau keberdayaan semu,
diproduksi terus menerus oleh pihak luar, oleh LSM, oleh perencana Pemerintah
sehingga masyarakat kehilangan respek dan percaya pada orang luar yang �berjiwa
karet� dan 'project minded'.
Koreksi penting
Kapasitas fasilitator adalah persoalan pada cerita di atas. Ada celah yang tidak
dipahami oleh fasilitator program di hampir semua proyek pembangunan nasional
terutama di pesisir.
Mereka menganggap bahwa mereka membawa uang dan kesempatan mengubah masyarakat
pesisir dalam hitungan hari hanya dengan memberi bantuan uang dan sarana prasrana.
Pada tingkat operasional, mereka banyak gagal dalam menjelaskan dengan sederhana
pada semua pihak di desa, di kampung, di balai-balai pertemuan tentang �apa yang
kita punya dan apa yang telah terjadi di atasnya�.
Bertanya faktuallah. Apa yang terjadi atas terumbu karang kita, pada mangrove, pada
produksi ikan, dan lain sebagainya. Dengan menanyakan ini ke warga sesungguhnya,
telah mengapresiasi pengetahuan dan pengalaman mereka. Jadi tidak bisa dimulai
dengan �saya punya uang dan anda bisa apa�.
Saat kita bercerita tentang jargon-jargon, bahasa langit tentang pemberdayaan
warga, pembangunan, kemitraan, dan segala yang berbau pembangunan pasti akan
membuat bingung para anak-anak dan kakek nenek. Mungkin yang muda atau golongan
tengah akan manggut-manggut tetapi yang tidak pernah sekolah atau membaca atau
mendengar kalimat itu sebelumnya tentu akan melongo.
Jika demikian adanya maka jika kita mulai mengadakan pendekatan atau komunikasi
dengan warga, gunakanlah kalimat yang membuat peserta berminat untuk
berpartisipasi.
Kita sejatinya dapat mengutarakan kalimat tanya yang bisa menggugah warga untuk
ikut berbagi.
Semisal, �Di desa bapak-ibu, adakah kegiatan di pesisir atau melaut yang dilakukan
bersama-sama? Siapa saja yang ikut, di mana dan kapan?�
Kalimat langsung ini pasti akan memancing warga untuk memulai perbincangan. Akan
terjawab siapa yang memang nelayan, siapa yang sekadar pelayan di pangkalan
pendaratan ikan. Saat itu Kita telah berada di wilayah aman. Doronglah warga untuk
berpikir dan menghasilkan informasi bagi semua sebelum benar-benar menyusun rencana
aksi. Bukan malah membungkam mereka dengan iming-iming.

Penulis bersama pedagang ikan di Fandoi, Biak (foto: istimewa)


Tahapan-tahapan partisipasi warga dapat ditunjukkan dimulai saat membangun
perkawanan atau kemitraan dengan mereka bahkan hingga saat mengevaluasi atau feed
back dengan warga.
Tetapi poin yang paling pokok adalah memberi penjelasan pada warga tentang
pentingnya partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan pada setiap rencana aksi
yang disepakati. Membatasi warga untuk tidak paham penganggaran dan kalkulasinya
tentu akan berdampak negatif�dimana pada beberapa kasus sepert Dana Desa atau ADD
hanya Kades dan fasilitator yang tahu.
Mendorong fasilitasi warga dalam pengambilan keputusan (termasuk dalam alokasi
anggaran) akan bermuara pada tanggung jawab dan rasa pemilikan (ownership) yang
tinggi.
Jangan disangka akan ada pembangunan yang berhasil dan berkelanjutan jika sebagai
fasilitator, kita meninggalkan warga saat desain rencana aksi dan penentuan
anggaran.
Hal lain yang perlu dicamkan adalah jika kita hanya menjadi fasilitator proyek itu
berarti kita hanya akan bekerja untuk �kepentingan proyek�, hanya kepada
kepentingan adminstrasi, distribusi anggaran biar atasan senang, semakin banyak
anggaran terserap semakin baik.
Lalu bagaimana dengan efektifitas dan keberlanjutannya saat �proyek� selesai?.
Hakikat dan saran Susi
Dalam perjalanan setelah melihat kawasan mangrove ke ke bandara Angkatan Udara Kota
Ranai, Natuna, (9/8/2017), Susi Pudjastuti menyampaikan harapannya kepada penulis
terkait pentingnya efisiensi dan efektivitas pemberdayaan masyarakat di pesisir dan
pulau-pulau.
�Saya itu mau, kita transparan ke masyarakat nelayan. Menganggarkan dan membeli
barang sesuai yang telah direncanakan. Gitu aja,� katanya sembari melepas pandangan
ke hamparan padang mangrove.
Fakta bahwa sejauh ini terdapat banyak fasilitas publik di desa pesisir yang tidak
dimanfaatkan telah membuat Susi berpikir keras. Sepertinya dia menerawang�mengapa
warga pesisir terlihat berpartisipasi sedari awal tetapi tidak menunjukkan tanggung
jawab sesudahnya?
Sebagai sosok yang paham persis luar dalam nelayan, Susi sepertinya menginderai ada
yang tidak beres dengan cara dan mental orang luar memberdayakan masyarakat
pesisir.
Menurut hemat penulis, berdasarkan pengalaman memfasilitasi proses perencanaan
dengan pemerintah, hal itu terjadi karena �perencanaan yang terpaksa�. Perencanaan
yang menghadirkan partisipasi semu dan palsu. Perencanaan bersama warga menjadi
sangat rigid dan kurang mengapresiasi peran, pengetahuan dan pengalaman mereka.
Pelibatan mereka dalam pengambilan keputusan karena dominasi aparat atau unsur
Pemerintah.
Warga nyaris tak punya kesempatan untuk menyampaikan kedalaman dan keluasan
pengetahuannya. Padahal menurut Plato, pengetahuan lebih penting dibanding angka-
angka, numbers.
Coba ambil contoh saat seorang fasilitator atau staf lapangan proyek menjajaki
pembangunan sarana sanitasi kampung nelayan. Kerap kali mereka datang dengan
pernyataan, �Kami datang membantu atasi persoalan Bapak-Ibu di pulau ini.�
�Apakah persoalan di pulau ini?� atau �Jika masalahnya adalah ketersediaan air
bersih yang kurang dan tidak higienis, maukah Bapak jika kami bantu membangun
sumur?� Warga tentu sangat berterima kasih. Mereka tanpa diperintah menyatakan
bersedia membantu.
Lalu fasilitator proyek melanjutkan, �Kami akan bantu dengan menyediakan dana
pembelian alat dan kebutuhan pembangunan fisik, maukah Anda berpartisipasi
mengerjakannya sebagai wujud dukungan Bapak-Ibu?�.
�Jika hanya tenaga, kami tentu akan siap bekerja� Kata warga spontan.
�Siapa yang mau menolak bantuan?� pikir warga tanpa bisa mengeksplorasi pengalaman
dan kekayaan khazanah pengetahuan mereka.
Cerita di atas setidaknya memberi kita kesan bahwa, nyaris tidak ada negosiasi atau
kesempatan kepada warga untuk memutuskan setiap tahapan pelaksanaan kegiatan. Uang
di tangan fasilitator, sumber daya di tangan orang luar.

Penulis dan nelayan-nelayan Padaido, Biak menunggu asuransinya. (foto: istimewa)


Padahal mendorong peran serta warga untuk mengambil posisi dalam penentuan
keputusan adalah hal mutlak yang harus diketahui sejak awal.
Jika fasilitator lalai di situ jangan harap warga akan bertanggung jawab. Inilah
fungsi fasilitator dan di sinilah mereka harus berdiri. Masyarakat tidak akan
mengambil tanggung jawab jika fasilitator tidak mengajak mereka mengambil tanggung
jawab.
Jadi tugas fasilitator adalah bagaimana mendorong mereka untuk mengambil tanggung
jawab, hal yang tidak dilakonkan oleh Dul di pembuka tulisan ini.
***
Kegagalan Dul sebagai fasilitator serta apa yang diisyaratkan Menteri Susi tentang
efisiensi dan transparasi dalam program pembangunan di pesisir menyadarkan penulis
pada posisi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Mengingatkan pada dua
hal nal fundamental.
Pertama, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat yang menekankan pada memberikan
atau mengalihkan kekuatan (sarana tangkap, pakan budidaya, jaring, dll), kekuasaan
atau kemampuan kepada masyarakat harus diselenggarakan dengan baik, tulus, tepat
dan transparan. Ini berarti cara, skill, metode, mental harus dikoreksi.
Sejatinya, perencana Pemerintah dan fasiltitator harus cekatan mendorong dan
membangun kesetaraan bersama masyarakat pesisir, nelayan, siapapun di pesisir untuk
memahami hakikat mengapa kita perlu berdaya dan jujur pada realitas.
Inilah kecenderungan primer dari hakikat pemberdayaan itu. Jadi tidak bertele-tele,
tidak manipulatif, tidak menyigi persoalan dengan bahasa susah dan njlimet
sebagaimana yang dirasakan selama ini.
�Hindari kalimat dan kata-kata yang tidak bersayap gitu lho,� kata Susi beberapa
kali pada penulis.
Hal kedua yang juga dikehendaki Susi adalah, perlunya menekankan pada proses
mengajak, mendorong, menggerakkan orang perorang agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan agar program bisa berkelanjutan dan menyejahterakan.
Menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Ya dialog.
Pilihan yang dimaksudkan sebagai apa visi dan caranya dalam menggapainya. Bukan
visi misi orang luar tetapi masyarakat pesisir yang selama ini sering kita
bincangkan dan pandang remeh itu.
Pada realitas itu, saya ingin bertanya pada mantan atau pelaku program pemberdayaan
seperti PEMP atau PNPM sejauh ini. �Ada berapa rencana aksi termasuk penyusunan
anggaran yang melibatkan masyarakat pesisir secara maksimum? Yang pesertanya
banyak, beragam dan luas?�
Gowa, 08/09.

Anda mungkin juga menyukai