Anda di halaman 1dari 22

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Terapi Bermain

2.2.1 Definisi Terapi Bermain

Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah emosi dan

perilaku anak-anak karena responsif terhadap kebutuhan unik dan beragam

dalam perkembangan mereka. Anak-anak tidak seperti orang dewasa yang

dapat berkomunikasi secara alami melalui kata-kata, mereka lebih alami

mengekspresikan diri melalui bermain dan beraktivitas. Terapi bermain

merupakan suatu bentuk permainan anak-anak, di mana mereka dapat

berhubungan dengan orang lain, saling mengenal, sehingga dapat

mengungkapkan perasaannya sesuai dengan kebutuhan mereka (Vanfleet, et

al, 2010)

Terapi bermain didefinisikan sebagai penggunaan sistematis model teoritis

untuk membangun proses antar pribadi untuk membantu seseorang mencegah

atau mengatasi kesulitan psikososial serta mencapai pertumbuhan dan

perkembangan yang optimal. (Homeyer, 2008).

2.2.2 Definisi Dramatic Play

Dramatic play merupakan suatu aktivitas yang dramatik biasanya

ditampilkan oleh sekelompok kecil siswa bertujuan mengeksploitasi

beberapa masalah yang ditemukan untuk melengkapi partisipan dan

pengamat dengan pengalaman belajar yang nantinya dapat meningkatkan

pemahaman mereka. Metode permainan ini adalah cara penguasaan bahan-


10

bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan

dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda

mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang,

bergantung pada apa yang diperankan (Kardoyo,2009).

Bermain peran sebagai suatu pembelajaran bertujuan membantu siswa

menemukan makna diri (jatidiri) di dunia sosial dan memecahkan dilema

dengan bantuan kelompok. Artinya melalui bermain peran siswa belajar

menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda

dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain.(Hamzah B Uno,

2012). Jadi, Permainan dramatik adalah suatu bentuk permainan yang

dilakukan secara berpura-pura, yang dimulai ketika anak sudah dapat

menyimbolisasikan atau membayangkan objek memiliki peran

tertentu. anak bermain imajinasi/fantasi. Contoh anak dengan orang tua,

anak dengan perawat, anak dengan guru.

Menurut Hamzah B Uno, 2012 bahwa ada tiga asumsi yang perlu

diperhatikan dalam metode bermain peran (Pertama) dibuat berdasarkan

asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogy otentik kedalam

suatu situasi permasalahan kehidupan nyata (kedua) bahwa bemain peran

dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan

melepaskannya (Ketiga) bahwa proses psikologis melibatkan sikap nilai dan

keyakinan (Belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui

keterlibatan spontan yang disertai analisis. Dari asumsi tersebut dapat

dinyatakan bahwa metode bermain adalah suatu proses pembelajaran yang


11

didalamya terdapat penguasaan imajinasi peserta didik melalui permainan

gerak dengan tujuan, dan aturan tertentu yang terdapat unsur senang dalam

proses belajar mengajar.

2.3.1 Tahapan (Prosedur) Dramatic Play (bermain peran)

Dalam proses bermain peran ada beberapa tahap yang harus dilakukan dan

dapat dijadikan sebagai pedoman. Berikut adala tahapan proses metode

bermain peran:

2.3.1.1 Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik menghangatkan

suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap

masalah pembelajaraan yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan

dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan

cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan

dimainkan.

2.3.1.2 Memilih peran dalam terapi bermain. Tahap ini peserta didik dan perawat

mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka,

bagaimana mereka merasakan dan apa yang harus mereka kerjakan,

kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk

menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran

tersebut, perawat dapat menunjuk salah satu peserta didik yang pantas dan

mampu memeranka posisi tertentu.

2.3.1.3 Menyusun tahap-tahap peran. Pada tahap ini para pemeran menyusun

garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini tidk perlu

ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan
12

berbicara secara spontan. Perawat membantu peserta didik menyiapkan

adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya dimana

pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah diperiapkan dan sebagainya.

Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan

baagi seluruh peserta didik , dan mereka siap memainkannya.

2.3.1.4 Menyiapkan pengamat. Secara pengamat dipersiapkan secara matang dan

terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut

mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif

mendisusikannya. Agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas.

2.3.1.5 Tahap pemeranan. Pada tahap ini peserta didik mulai beraksi secara

spontaan, sesuai dengan pern masing-masing. Mereka berusaha

memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses

bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan

apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan.

2.3.1.6 Diskusi dan evaluasi terapi. Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran

dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional

maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para

peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin

dimulai dengan tafsiran mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan

selnjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan,

apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

2.3.1.7 Pemeranan ulang.tahap ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan

diskusi mengenai alternaif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran

watak yang dituntut.perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan


13

baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan

mempengaruhi peran lainnya.

2.3.1.8 Diskusi dan evaluasi tahap dua. Diskusi dan evaluasi pada tahap ini

seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganaalisis hasil

pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah

lebih jelas.

Pendekatan dan
Pemilihan peran
penentuan masalah

Tahap Pemeranan Menyusun tahap


peran

Diskusi dan
Evaluasi Terapi

Gambar 2.1 Langkah prosedur Terapi dramatic play

2.2.3 Tujuan Terapi Bermain

Wong, et al (2009) menyebutkan, bermain sangat penting bagi mental,

emosional, dan kesejahteraan sosial anak. Seperti kebutuhan perkembangan

mereka, kebutuhan bermain tidak berhenti pada saat anak-anak sakit atau di

rumah sakit. Sebaliknya, bermain di rumah sakit memberikan manfaat utama

yaitu meminimalkan munculnya masalah perkembangan anak, selain itu

tujuan terapi bermain adalah untuk menciptakan suasana aman bagi anak-

anak untuk mengekspresikan diri mereka, memahami bagaimana sesuatu

dapat terjadi, mempelajari aturan sosial dan mengatasi masalah mereka serta

memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan mencoba

sesuatu yang baru.


14

Terapi bermain dapat membantu anak menguasai kecemasan dan konflik.

Karena ketegangan mengendor dalam permaianan, anak dapat menghadapi

masalah kehidupan, memungkinkan anak menyalurkan kelebihan energi fisik

dan melepaskan emosi yang tertahan. Permainan juga sangat mendukung

pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu diantaranya:

2.2.3.1 Untuk perkembangan kognitif

1) Anak mulai mengerti dunia

2) Anak mampu mengembangakan pemikiran yang fleksibel dan berbeda

3) Anak memiliki kesempatan untuk menemui dan mengatasi permasalahan –

permasalahan yang sebenarnya.

2.2.3.2 Untuk perkembangan sosial dan emosional

1) Anak mengembangakan keahlian berkomunikasi secara verbal maupun

non verbal melalui negosiasi peran, mencoba untuk memperoleh akses

untuk permainan yang berkelanjutan atau menghargai perasaan orang lain

2) Anak merespon perasaan teman sebaya sambil menanti giliran bermain

dan berbagi pengalaman

3) Anak bereksperimen dengan peran orang – orang dirumah, di sekolah, dan

masyarakat di sekitarnya melalui hubungan langsung dengan kebutuhan –

kebutuhan dan harapan orang–orang disekitarnya Anak belajar

menguasai perasaanya ketika ia marah, sedih atau khawatir dalam

keadaan terkontrol.

2.2.3.3 Untuk perkembangan fisik (jasmani)

1) Anak terlibat dalam permainan yang aktif menggunakan keahlian –

keahlian motorik kasar


15

2) Anak mampu memungut dan menghitung benda – benda kecil

menggunakan keahlian motorik halusnya.

Menurut Supartini (2004), bermain sebagai terapi mempunyai tujuan

sebagai berikut :

1) Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada

saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya.

2) Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi serta ide-idenya.

Permainan adalah media yang sangat efektif untuk mengekspresiksn

perasaan yang tidak menyenangkan.

3) Mengembangkan kreativitas dan kemampuannya memecahkan masalah.

Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi dan fantasinya untuk

menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya.

4) Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena beradaptasi

dengan lingkungan baru di sekolah. Bermain dapat dapat menurunkan

rasa cemas, takut, dan marah.

2.2 Konsep Kecemasan

2.4.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan dapat didefinisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa

gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi dari ancaman

sumber actual yang tidak nyaman, rasa khawatir akan terjadinya sesuatu

dimana sumber kecemasan tidak spesifik menimbulkan respon otonom

(NANDA, 2007).
16

Sedangkan Menurut Maramis (2010), Kecemasan merupakan rasa yang tidak

terikat pada suatu benda atau keadaan akan tetapi mengambang bebas.

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan ketakutan

atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan tidak mengalami

gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih utuh atau tidak

mengalami keretakan kepribadian, perilakudapat terganggu tetapimasih dalam

batas- batas normal (Hawari, 2011).

Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar

disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak

diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi

terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang

memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu

untuk bertindak menghadapi ancaman (Herdman, 2012).

2.4.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Menurut stuart (2012) faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah

sebagai berikut:

2.4.2.1 Faktor Predisposisi

1) Psikoanalitis

Cemas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen keribadian

: id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh

norma budaya. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntutan dari dua

elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi cemas adalah


17

meningkatkan ego bahwa ada bahaya..

2) Interpersonal

Cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan

interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma

seperti perpisahan dan kehilangan menimbulkan kerentanan tertentu.

Individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan

yang berat.

2.4.2.2 Faktor Presipitasi

Menurut Kaplan dan sadock (1997, dalam Nursalam, 2005), menyatakan

bahwa faktor pencetus kecemasan meliputi :

1) Faktor Psikososial

Anak kecil, imatur dan tergantung pada tokoh ibu, adalah terutama rentan

terhadap kecemasan yang berhubungan dengan perpisahan, sebagai contoh

anak yang dirawat di rumah sakit (hospitalisasi) karena anak mengalami

urutan ketakutan perkembangan yaitu takut kehilangan ibu, takut

kehilangan cinta ibu, takut cidera tubuh, takut akan impulsnya dan takut

akan cemas hukuman (punishing unxiety) dari superego dan rasa

bersalah.Sebagian besar anak mengalami cemas perpisahan didasarkan

pada salah satu atau lebih ketakutan – ketakutan tersebut.

2) Faktor Belajar

Kecemasan fobik dapat di komunikasikan dari orang tua kepada anak–

anak dengan modeling langsung. Jika orang penuh ketakutan, anak

kemungkinan memiliki adaptasi fobik terhadap situasi baru, terutama pada

lingkungan baru. Beberapa orang tua tampaknya mengajari anak– anaknya


18

untuk cemas dengan melindungi mereka secara berlebihan

(overprotecting) dari bahaya yang diharapkan atau dengan membesar–

besarkan bahaya.

3) Faktor Genetik

Intensitas mana cemas perpisahan dialami oleh anak individual

kemungkinan memiliki dasar genetik. Penelitian keluarga telah

menunjukkan bahwa keturunan biologis dari orang dewasa dengan

gangguan kecemasan adalah rentan terhadap gangguan pada masa

anak–anak.

2.4.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Menurut Carpenito (2007), menyatakan bahwa tanda dan gejala

kecemasan antara lain:

2.4.3.1 Fisiologis

Peningkatan frekuensi denyut jantung, peningkatan tekanan darah,

peningkatan frekwensi pernafasan dioferesis, dilatasi pupil, suara tremor

perubahan nada, gelisah, gemetar, berdebar – debar sering berkemih, diare,

gelisah, insomnia, keletihan dan kelemahan, pucat, atau kemerahan,

pusing, mual, anoreksia.

2.4.3.2 Emosional

Ketakutan, ketidak berdayaan, gugup, kurang percaya diri, kehilangan

kontrol. Ketegangan individu juga sering memperlihatkan marah

berlebihan, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, kontak mata

buruk, kritisme pada diri sendiri, menarik diri, kurang inisiatif, mencela
19

diri reaksi baku.

2.4.3.3 Kognitif

Tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa, penurunan kemampuan belajar,

terlalu perhatian, orientasi pada masa lalu daripada kini atau masa depan.

2.4.4 Tingkat Kecemasan

Tingkat Kecemasan Menurut Stuart & Sundeen tingkat kecemasan dibagi

menjadi :

2.4.4.1 Kecemasan ringan (mild anxiety)

Tingkat kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar

dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

2.4.4.2 Kecemasan sedang (moderate anxiety)

Pada tingkat kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.

Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat

melakukan sesuatu yang lebih terarah.

2.4.4.3 Kecemasan berat (severe anxiety)

Pada tingkat kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan

spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan

untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak

pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.


20

2.4.4.4 Panik (panic)

Kecemasan tingkat panik menyebabkan seseorang kehilangan kontrol,

ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang

mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan

pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik

terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan

kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan

dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama,

dapat terjadi kelelahan yang sangat, bahkan kematian.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1 Rentang Respon


21

2.3 Kecemasan Perpisahan

Gangguan kecemasan perpisahan adalah kecemasan dan kekhawatiran yang

tidak realistik pada anak tentang apa yang akan terjadi bila ia berpisah dengan

orang- orang yang berperan penting dalam hidupnya, misalnya orang tua.

Ketakutan itu mungkin berpusat pada apa yang mungkin terjadi dengan

individu yang berpisah dengan anak itu(misalnya orang tua yang akan

meninggal,atau tidak kembali karena suatu alasan. Atau apa yang terjadi

dengan anak itu bila terjadi perpsahan( ia akan diculik,disakiti, atau dibunug).

Karena alasan tersebut anak itu enggan untuk dipisahkan dengan orang lain,

dan mungkin karena itulah ia tidak mau tidur sendirian tanpa ditemani atau

didampingi oleh tokoh kesayangannya atau tidakmampu meninggalkan rumah

tanpa disertai orang lain (Semium, 2006).

Selain masalah itu, gangguan rasa kecemasan akan perpisahan dapat

menggangu dan memperlambat perkembangan sosial anak karena ia tidak

mengembangkan independensi atau belajar bergaul dengan teman-teman

sebayanya. Selanjutnya bila anak dipisahkan (ditinggalkan) ia tidak dapat

berfungsi dengan baik karena ia tercekam oleh rasa takut terhadap apa yang

akan terjadi dengan dirinya atau terhadap orang- orang yang berpisah

dengannya. Anak-anak dan remaja dengan gangguan ini mungkin mengalami

penderitaan berlebihan berulang tentang perpisahan dari rumah atau orang

tua. Ketika terlepas dari figur kelekatan, mereka sering perlu tahu di mana

orangtua mereka dan perlu untuk tetap berhubungan atau melihat mereka.

Beberapa saat menjadi sangat rindu ketika jauh dari rumah (Jeffery, 2003).
22

2.4 Respon Terhadap Kecemasan

Stuart dan Sundeen (2006) menyebutkan bahwa respon individu terhadap

kecemasan meliputi respon fisiologis, perilaku, kognitif, dan afektif. Adalah

sebagai berikut:

2.4.1 Respon fisiologis individu terhadap kecemasan, yaitu:

2.4.1.1 Kardiovaskular

Respon dari kardiovaskuler dapat berupa palpitasi, jantung berdebar,

peningkatan tekanan darah atau dapat juga menurun, rasa mau pingsan,

dan denyut nadi menurun.

2.4.1.2 Pernafasan

Respon dari pernafasan dapat berupa nafas menjadi cepat dan dangkal,

nafas pendek, tekanan pada dada, pembengkakan pada tenggorokan, sensai

tercekik, dan terengah-engah.

2.4.1.3 Neuromuskuler

Respon dari neuromuskuler dapat berupa refleks meningkat, reaksi

kejutan, mata berkedip-kedip, tremor, gelisah, wajah tegang, kelemahan

umum, kaki goyang, dan gerakan yang janggal.

2.4.1.4 Gastrointestinal

Respon dari gastrointestinal dapat berupa kehilangan nafsu makan,

menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, dan diare.

2.4.1.5 Traktus urinarius

Responnya dapat berupa sering berkemih, tidak dapat menahan BAK.


23

2.4.1.6 Kulit

Respon dari kulit berupa wajah kemerarahan, berkeringat setempat

(telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, dan

berkeringat seluruh tubuh.

2.4.1.7 Respon perilaku

Respon perilaku berupa gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara

cepat, kurang koordinasi, cenderung mendapat cidera, menarik diri dari

hubungan interpersoanl, menghalangi, dan menghindar dari masalah.

2.4.1.8 Kognitif

Responnya berupa konsentrasi terganggu dan pelupa, selalu dalam

memberikan penilaian, hambatan berfikir, kreatifitas dan produktifitas

menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilanagn

objektifitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual, takut

cidera atau kematian.

2.4.1.9 Afektif

Responnya berupa mudah terganggu, tidak sabar, gelisah dan tegang,

ketakutan, dan gugup.

2.5 Skala Pengukuran Kecemasan pada Anak

Spence children’s Anxiety Scale (SCAS) pre school adalah instrumen

kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak pada usia pra sekolah.

Skala ini terdiri dari 28 pertanyaan kecemasan. Skala ini dilengkapi dengan

meminta orang tua untuk mengikuti petunjuk pada lembar instrumen. Jumlah

skore maximal pada skala kecemasan SCAS pre school adalah 112. Hasil total

kuesioner akan menjadi kriteria tingkat kecemasan anak, dengan rentang


24

skore kecemasan sebagai berikut : ringan (score < 28) sedang (score 28-56),

berat (score 57-84) dan sangat berat/panik (score >85).

Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini terdiri dari 6 sub skala kecemasan dan

pada item pertanyaanm sebagai berikut :

1) Kecemasan umum (1,4,8,14, dan 28)

2) Kecemasan sosial (2,5,11,15,19, dan 23)

3) Gangguan Obsesif kompulsif (3,9,18,21, dan 27)

4) Ketakutan cidera fisik (7,10,13,17,20,24, dan 26)

5) Kecemasan pemisahan (6,12,16,22, dan 25).

2.6 Konsep Dasar Anak

2.6.1 Pengertian Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak adalah

siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih

didalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan

perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada

didalam kandungan hingga berusia 18 tahun (Damayanti,2008)

2.6.2 Kebutuhan Dasar Anak

Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum digolongkan

menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi, pangan atau gizi,

perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak, sanitasi, sandang,

kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih saying (Asih),
25

pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan

selaras antara ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakansyarat yang

mutlakuntuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental

maupun psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental (Asah), stimulasi

mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan

pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan

mental psikososial diantaranya kecerdasan, keterampilan, kemandirian,

kreaktivitas, agama, kepribadian dan sebagainya.

2.6.3 Tingkat perkembangan anak

Menurut Damaiyanti (2008), karakteristik anak sesuai tingkat

perkembangan :

2.6.3.1 Usia bayi (0-1 tahun)

Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya

dengan kata-kata. Oleh karena itu, komunikasi dengan bayi lebih banyak

menggunakan jenis komunikasi non verbal. Pada saat lapar, haus, basah

dan perasaan tidak nyaman lainnya, bayi hanya bisa mengekspresikan

perasaannya dengan menangis. Walaupun demikian, sebenarnya bayi

dapat berespon terhadap tingkah laku orang dewasa yang berkomunikasi

dengannya secara non verbal, misalnya memberikan sentuhan, dekapan,

dan menggendong dan berbicara lemah lembut.

Ada beberapa respon non verbal yang biasa ditunjukkan bayi misalnya

menggerakkan badan, tangan dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi

kurang dari enam bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Oleh karena

itu, perhatian saat berkomunikasi dengannya. Jangan langsung


26

menggendong atau memangkunya karena bayi akan merasa takut. Lakukan

komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya. Tunjukkan bahwa kita ingin

membina hubungan yang baik dengan ibunya.

2.6.3.2 Usia pra sekolah (2-5 tahun)

Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak dibawah 3 tahun

adalah sangat egosentris. Selain itu anak juga mempunyai perasaan takut

pada ketidaktahuan sehingga anak perlu diberi tahu tentang apa yang akan

akan terjadi padanya. Misalnya, pada saat akan diukur suhu, anak akan

merasa melihat alat yang akan ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu

jelaskan bagaimana akan merasakannya. Beri kesempatan padanya untuk

memegang thermometer sampai ia yakin bahwa alat tersebut tidak

berbahaya untuknya.

Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Hal ini disebabkan

karena anak belum mampu berkata-kata 900-1200 kata. Oleh karena itu

saat menjelaskan, gunakan kata-kata yang sederhana, singkat dan gunakan

istilah yang dikenalnya. Berkomunikasi dengan anak melalui objek

transisional seperti boneka. Berbicara dengan orangtua bila anak malu-

malu. Beri kesempatan pada yang lebih besar untuk berbicara tanpa

keberadaan orangtua. Satu hal yang akan mendorong anak untuk

meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah dengan

memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya.


27

2.6.3.3 Usia sekolah (6-12 tahun)

Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakan

yang mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila

berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan anak diusia ini harus

menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak dan berikan contoh

yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya.

Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang

dewasa. Perbendaharaan katanya sudah banyak, sekitar 3000 kata dikuasi

dan anak sudah mampu berpikir secara konkret.

2.6.3.4 Usia remaja (13-18)

Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir masa anak-

anak menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola piker dan tingkah laku

anak merupakan peralihan dari anak-anak menuju orang dewasa. Anak

harus diberi kesempatan untuk belajar memecahkan masalah secara positif.

Apabila anak merasa cemas atau stress, jelaskan bahwa ia dapat mengajak

bicara teman sebaya atau orang dewasa yang ia percaya. Menghargai

keberadaan identitas diri dan harga diri merupakan hal yang prinsip dalam

berkomunikasi. Luangkan waktu bersama dan tunjukkan ekspresi wajah

bahagia.
28

2.6.4 Tugas Perkembangan Anak

Tugas perkembangan menurut teori Havighurst adalah tugas yang harus

dilakukan dan dikuasai individu pada tiap tahap perkembangannya. Tugas

perkembangan bayi 0-2 adalah berjalan, berbicara,makan makanan padat,

kestabilan jasmani. Tugas perkembangan anak usia 3-5 tahun adalah

mendapat kesempatan bermain, berkesperimen dan berekplorasi, meniru,

mengenal jenis kelamin, membentuk pengertian sederhana mengenai

kenyataan social dan alam, belajar mengadakan hubungan emosional,

belajar membedakan salah dan benar serta mengembangkan kata hati juga

proses sosialisasi.

Tugas perkembangan usia 6-12 tahun adalah belajar menguasai

keterampilan fisik dan motorik, membentuk sikap yang sehat mengenai diri

sendiri, belajar bergaul dengan teman sebaya, memainkan peranan sesuai

dengan jenis kelamin, mengembangkan konsep yang diperlukan dalam

kehidupan sehari-hari, mengembangkan keterampilan yang fundamental,

mengembangkan pembentukan kata hati, moral dan sekala nilai,

mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok sosial dan lembaga.

Tugas perkembangan anak usia 13-18 tahun adalah menerima keadaan

fisiknya dan menerima peranannya sebagai perempuan dan laki-laki,

menyadari hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya dan kedua jenis

kelamin, menemukan diri sendiri berkat refleksi dan kritik terhadap diri

sendiri, serta mengembangkan nilai-nilai hidup.


29

2.7 Konsep Dasar Anak usia pre school

2.7.1 Pengertian Anak usia pre school

Menurut WHO, Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang

dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat

memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar

mandiri. Anak usia pre school adalah anak yang berusia 3 sampai 6 tahun .

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak merupakan individu

yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya

membutuhkan lingkungan yang dapat menfasilitasi dalam memenuhi

kebutuhan dasar untuk belajar mandiri (Supartini, 2004).

Menurut Wong (2000) dalam Supartini (2004), mengemukakan anak secara

umum terdri dari tahapan prenatal (usia 0 sampai 28 hari), periode bayi (usia

28 hari sampai 12 bulan), masa anak – anak awal (terdiri atas usia 1 sampai 3

tahun disebut toddler dan usia 3 sampai 6 tahun disebut prasekolah), masa

kanak – kanak pertengahan (6 sampai 12 tahun) dan masa kanak – kanak

akhir (12 sampai 18 tahun). Setiap individu berbeda dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik

secara herediter, lingkungan dan internal.

Pada usia prasekolah kemampuan sosial anak mulai berkembang, persiapan

diri untuk memasuki dunia sekolah dan perkembangan konsep diri telah

dimulai pada periode ini. Perkembangan fisik lebih lambat dan relatif
30

menetap. Keterampilan motorik seperti berjalan, berlari, melompat menjadi

semakin luwes, tetapi otot dan tulang belum begitu sempurna (Supartini,

2004).

2.7.2 Perkembangan Psikososial Anak Usia Pre School

Menurut teori perkembangan Erikson masa prasekolah antara usia 3 - 6

tahun merupakan periode perkembangan psikososial sebagai periode

inisiatif versus rasa bersalah, yaitu anak mengembangkan keinginan dengan

cara eksplorasi terhadap apa yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang

diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai

prestasinya. Perasaan bersalah akan muncul pada anak apabila anak tidak

mampu berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang

tidak tercapai. Anak usia prasekolah adalah pelajar yang energik, antusias,

dan pengganggu dengan imajinasi yang aktif. Anak menggali dunia fisik

dengan semua indra dan kekuatanya.

Pada usia prasekolah anak mengembangkan perasaan bersalah ketika orang

tua membuat anak merasa bahwa imajinasi dan aktifitasnya tidak dapat

diterima. Kecemasan dan katakutan terjadi ketika pemikiran dan aktifitas

anak tidak sesuai dengan harapan orang tua.

Anda mungkin juga menyukai