Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN NANOTEKNOLOGI

Afif Tribawono H. (1301489)

1.1 DEFINISI

Nanoteknologi adalah suatu teknologi yang diperoleh dengan memanfaatkan sifat-sifat


suatu material yang berukuran nanometer. Dari ukuran tersebut, akan muncul sifat-sifat baru
yang kemudian dimanfaatkan untuk keperluan teknologi. Nanoteknologi biasanya digunakan
suatu bahan baku yang disebut nanomaterial (Setyawan, 2015).
Ada beberapa pengertian nanomaterial dan nanopartikel menurut lembaga atau
organisasi-organisasi internasional, seperti International Organization for Standardization
(ISO), American Society of Testing and Materials (ASTM), National Institute of Occupational
Safety and Health (NIOSH), Bundesanstalt für Arbeitsschutz und Arbeitsmedizin (BAuA) dll
(lihat Tabel 1.1.). Dalam tabel tersebut, definisi nanomaterial menurut BAuA adalah material
yang terdiri dari struktur nano. Sedangkan, definisi nanopartikel menurut ISO adalah partikel
yang memiliki ukuran mencakup 1-100 nm (Horikoshi & Serpone, 2013).
Tabel 1.1. Daftar definisi nanopartikel dan nanomaterial dari berbagai organisasi dan
lembaga. (Tabel diperoleh dari Horikoshi & Serpone, 2013)
Lembaga Nanopartikel Nanomaterial
ISO Partikel yang diameternya mencakup 1- -
100 nm
ASTM Partikel yang panjangnya dalam 2 atau -
3 tempat adalah 1-100 nm
NIOSH sebuah partikel dengan diameter antara -
1 dan 100 nm, atau serat yang
mencakup rentang 1-100 nm
SCCP setidaknya satu sisi dalam kisaran nano bahan yang setidaknya satu
sisi atau struktur internal
dalam skala nano
BSI semua bidang atau diameter dalam bahan yang setidaknya satu
kisaran nano sisi atau struktur internal
dalam skala nano
BAuA semua bidang atau diameter dalam materi yang terdiri dari
kisaran nano struktur nano atau zat nano
1.2. UKURAN NANOPARTIKEL

Menurut lembaga ISO, ukuran dari nanopartikel mencakup 1-100 nm. Untuk
mempermudah gambaran seberapa kecilnya ukuran nanopartikel, dapat dilihat pada Gambar
1.1. yang menunjukkan bahwa ukuran nanopartikel sangat kecil, berada di bawah ukuran
bakteri. Karena ukurannya yang kecil inilah, nanopartikel memiliki sifat yang berbeda dari
bentuk yang lebih besarnya (Setyawan, B. A., 2015).

Gambar 1.1. Scale down dari millimeter menuju nanometer (Gambar diperoleh dari
Bruus, 2004)
BAB II ALAT NANOTEKNOLOGI

Alat nanoteknologi (teknik mikroskopi dan peralatan) dapat digunakan untuk


memvisualisasikan suatu bahan pada skala nano. Alat-alat ini biasanya digunakan untuk
mengkarakterisasi suatu bahan nanomaterial hasil sintesis (Khairurrijal & Abdullah, 2008).
Adapun penjelasan beberapa alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi suatu sampel
nanomaterial akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini.

2.1. SCANNING ELECTRON MICROSCOPY (SEM)

Salah satu contoh dari mikroskop elektron adalah SEM. SEM memanfaatkan berkas
elektron untuk memvisualisasikan gambar permukaan suatu benda. Prinsip kerja SEM, yaitu
permukaan benda ditembak dengan elektron berenergi tinggi seperti digambarkan pada
Gambar 2.1. Elektron akan memantul kembali dan menghasilkan elektron sekunder ke segala
arah ketika dikenai pada permukaan benda. Namun, terdapat satu arah berkas elektron yang
memiliki intensitas tinggi. Detektor pada SEM akan mendeteksi elektron tersebut dan
menentukkan lokasi dipantulkannya. Arah pantulan tersebut, akan memberikan gambaran
permukaan benda seperti arah kemiringan dan tingkat kelandaian (Khairurrijal & Abdullah,
2008).
Cara kerja SEM, yakni memindai seluruh bagian area pengamatan di lokasi tertentu
pada permukaan benda. Dengan melakukan zoom-in atau zoom-out, kita bisa membatasi lokasi
pengamatan. Dengan didasari arah pantulan berkas di berbagai titik, profil benda dapat
divisualisasikan dengan program pengolahan gambar pada komputer (Khairurrijal & Abdullah,
2008).

Gambar 2.1. Ilustrasi Skema Elektron menembak sampel (Gambar diperoleh dari
Khairurrijal & Abdullah, 2008)
Dalam SEM, berkas elektron kecil difokuskan ke sampel (lihat Gambar 2.2.),
kemudian digunakan untuk memindai seluruh permukaan sampel. Selama pemindaian,
terdapat elektron yang dipantulkan dan kemudian ditangkap oleh detektor (F. Krumeich, 2015).
Visualisasi permukaan benda diperoleh berdasarkan hasil deteksi elektron sekunder (elektron
yang dipantulkan) oleh detektor (Setiabudi, Hardian, & Mudzakir, 2012).

Gambar 2.2. Skema representasi dari SEM (Gambar diperoleh dari


http://www.microscopy.ethz.ch/ diakses pada 18 Oktober 2016)

SEM memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, salah satu kelebihannya adalah
memiliki perbesaran yang jauh lebih besar dari mikroskop biasa sehingga dapat menganalisa
partikel yang berskala nanometer. Sedangkan, kekurangannya adalah sampel harus bersifat
konduktif karena sampel harus dapat memantulkan kembali elektron. Untuk sampel yang tidak
konduktif, sampel harus di “sputtering” (dilapisi secara tipis) dengan menggunakan logam
biasanya Au (emas) atau Pt (platina) (Khairurrijal & Abdullah, 2008). Selain itu, pengoperasian
SEM berlangsung dalam keadaan vakum. Dampaknya, sampel harus dibuat bebas air dan
lemak.

Salah satu contoh hasil karakterisasi menggunakan SEM ini dapat dilihat pada
Gambar 2.3. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa ukuran dari masing-masing perlakuan
akan menghasilkan profil gambar yang berbeda, dari mulai ukuran hingga kerapatan antar atom
(Wang, W. N. dkk., 2004). Untuk membuktikan hal tersebut, Gambar 2.3. (a) dan (b)
menunjukkan dua buah sampel dengan ukuran dan kerapatan yang berbeda. Pada Gambar 2.3.
(a) terlihat bahwa ukuran nanopartikel berkisar 300 nm dengan kerapatan yang renggang dan
bentuk partikel bulat, tetapi tidak memiliki ukuran yang homogen. Untuk Gambar 2.3. (b),
ukuran partikel cenderung lebih kecil sekitar 15 nm dengan ukuran yang sama bulat namun
lebih rapat. Berdasarkan gambar tersebut, SEM mampu memvisualisasikan suatu bentuk
material hingga ukuran nano.

Gambar 2.3. Profil gambar SEM nanopartikel Ni/NiO dihasilkan melalui sintesi dengan
perlakukan berbeda. Gambar (a) dan (b) adalah masing-masing partikel Ni/NiO dengan
ukuran sekitar 300 dan 15 nm. (Gambar diperoleh dari Wang, W. N. dkk., 2004)

2.2. TRANSMISSION ELECTRON MICROSCOPY (TEM)

TEM merupakan salah satu alat yang memiliki ketelitian yang sangat tinggi. TEM dapat
digunakan untuk menentukan ukuran partikel hingga ukuran nano dengan hasil yang sangat
jelas. Prinsip kerja dari TEM yakni sampel yang sangat tipis ditembaki dengan berkas elektron
berenergi sangat tinggi (Lihat Gambar 2.4.). Berkas tersebut kemudian akan menembus
bagian “lunak” sampel, tetapi ditahan oleh bagian keras sampel (seperti partikel). Detektor
yang berada di belakang sampel akan menangkap berkas elektron yang lolos dari bagian lunak
sampel. Akibatnya detektor menangkap bayangan yang bentuknya sama dengan bentuk bagian
keras sampel (Khairurrijal & Abdullah, 2008).
Terdapat syarat sampel untuk dapat dianalisis dalam TEM ini, yakni sampel harus
setipis mungkin sehingga dapat ditembus elektron. Sampel akan ditempatkan di atas grid TEM
yang terbuat dari karbon atau tembaga. Jika sampel berbentuk partikel, biasanya akan
dilakukan dispersi dalam zat cair yang mudah menguap seperti etanol lalu diteteskan ke atas
grid TEM. Jika sampel berupa komposit partikel di dalam material lunak (seperti polimer)
maka komposit tersebut harus diiris tipis beberapa nanometer. Alat pengiris yang digunakan
adalah microtome (Khairurrijal & Abdullah, 2008).
Gambar 2.4. Skema Alat TEM (Gambar diperoleh dari Bradbury, Joy, & Ford, 2016)

Salah satu contoh hasil karakterisasi menggunakan TEM ini dapat dilihat pada
Gambar 2.5. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa ukuran dari masing-masing sampel
akan menghasilkan profil gambar yang berbeda, dari mulai ukuran dan bentuknya. Untuk
membuktikan hal tersebut, Gambar 2.5. (a) dan (b) menunjukkan dua buah sampel dengan
ukuran dan bentuk yang berbeda. Pada Gambar 2.5. (a) terlihat bahwa ukuran nanopartikel
berkisar 45 nm dengan bentuk partikel heksagonal yang seragam dan terjadi penumpukkan.
Untuk Gambar 2.5. (b), ukuran partikel cenderung kecil sekitar 32 nm dengan bentuk bulat
lonjong dan terjadi penumpukkan juga. Berdasarkan gambar tersebut, TEM mampu
memvisualisasikan suatu bentuk dan ukuran material hingga ukuran nano.

Gambar 2.5. Profil TEM dari nanopartikel (a) Ni(OH)2 (b) NiO (Gambar diperoleh dari El-
Kemary, M., 2013)
2.3. XRD (X-RAY DIFRACTION)

Analisa XRD merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengidentifikasi
keberadaan suatu senyawa. Caranya dengan mengamati pola pembiasan cahaya dari material
yang diamati. Pola pembiasan tersebut dihasilkan dari cahaya yang dibiaskan oleh susunan
atom pada kisi kristal dari material yang diamati. XRD telah banyak digunakan untuk
penentuan struktur kristal dan konstanta kisi nanopartikel, kawat nano dan film tipis. (Setiabudi
dkk., 2012). XRD memiliki kelebihan dari segi tekniknya yakni non-destruktif dan mudah
untuk dioperasikan. XRD juga memiliki kelemahan karena hanya berlaku untuk bahan yang
polikristalin.

Prinsip kerja dari XRD adalah setiap senyawa terdiri dari atom-atom yang membentuk
bidang tertentu. Jika bidang tersebut ditembak oleh foton yang datang dari sudut tertentu maka
akan menghasilkan pola pantulan maupun pembiasan yang khas atau dapat disebut difraksi.
Pada XRD, pola difraksi dinyatakan dengan besar sudut-sudut yang terbentuk sebagai hasil
dari difraksi berkas cahaya oleh kristal pada material. Nilai sudut tersebut dinyatakan dalam
2𝜃, dimana 𝜃 menunjukan sudut datang cahaya. Sedangkan nilai 2𝜃 merupakan besar sudut
datang dengan sudut difraksi yang terdeteksi oleh detektor (Setiabudi dkk., 2012).

Gambar 2.6. Skema alat XRD (Diperoleh dari http://documents.tips diakses tanggal 16
Oktober 2016)
Jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal maka bidang kristal itu akan
membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam
kristal tersebut. Proses difraksi sinar X seperti disajikan pada Gambar 2.6. Sinar X dibiaskan
dan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Semakin
banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, semakin kuat intensitas pembiasan yang
dihasilkan. Tiap puncak yang muncul pada pola difraktogram mewakili satu bidang kristal yang
memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari
data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk semua jenis
material (Nelson, 2014).

Dalam membaca dan menginterpretasikan hasil karakterisasi menggunakan XRD,


diperlukan JCPDS card (Joint Committee on Powder Diffraction Standards). JCPDS (Lihat
Gambar 2.7.) diperlukan karena mencakup data nomor file, 3 garis terkuat, garis dengan sudut
terkecil, nama dan formula kimia, data di metode difraksi yang digunakan, data kristalografi,
data optik dan lainnya. Data spesi, data pola difraksi spektrum yang didapat dicocokan dengan
database untuk mendapatkan info yang lebih lengkap lagi sehingga data bisa diolah untuk hasil
yang lebih baik (Dwi, 2013).

Gambar 2.7. Contoh JSPDS Card NaCl (Gambar diperoleh dari Dwi, 2013)
Gambar 2.8. (a) X-Ray Diffraction rutile TiO2 (b) X-Ray Diffraction of anatase TiO2
(Gambar diperoleh dari Dwi, 2013)

Untuk membaca difraktogram tersebut, caranya yang pertama adalah dengan


menyiapkan data JCPDS yang diperlukan, sesuai dengan senyawa yang dikarakterisasi.
Kemudian, dari difraktogram ditentukan 3 puncak tertinggi. Setelah itu, dibandingkan dengan
data pada JCPDS (Dwi, 2013). Pada Gambar 2.8 (a) dapat dilihat bahwa 3 puncak tertinggi
ditunjukkan pada intensitas 110, 101, dan 211. Sedangkan, untuk Gambar 2.8. (b) memiliki 3
puncak tertinggi pada intensitas 101, 201, dan 104. Ketiga puncak tertinggi yang terdapat pada
difraktogram rutil TiO2 dan anatase TiO2 adalah masing-masing sesuai dengan JCPDS no: 88-
1.175 dan 84-1286 (Dwi, 2013).

2.4. FOURIER TRANSFORM INFRARED (FTIR)

Spektrofotometri Inframerah (IR) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan
untuk menganalisa suatu senyawa kimia. Salah satu jenis dari Spektrofotometer Inframerah ini
adalah FTIR. Analisia FTIR digunakan secara spesifik untuk mengukur suatu gugus fungsi
yang terdapat dalam suatu senyawa kimia. FTIR ini menggunakan “michelson interferometer”
yang dapat mengukur lebih cepat dan lebih sensitif, berbeda dengan sistem dispersi pada
spektrofotometer IR biasa yang menggunakan prisma (Setiabudi, Hardian, & Mudzakir, 2012).
Pada sistem optik michelson interferometer, terdapat 2 cermin yaitu cermin yang bergerak
tegak lurus dan cermin diam (Lihat Gambar 2.9.) Kelebihan FTIR dibandingkan dengan
teknik dispersi adalah kemampuan untuk menghasilkan spektra dengan ratio signal (S) dengan
noise (N) atau S/N yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif singkat.

Gambar 2.9. Skema alat FTIR (Gambar diperoleh dari http://bandiyahsriaprillia-


fst09.web.unair.ac.id diakses pada 10 Desember 2016)

Prinsip kerja dari FTIR adalah jika suatu sinar infra merah dengan frekuensi tertentu
ditembakan mengenai suatu senyawa, atom-atom dalam senyawa tersebut akan mengalami
vibrasi. Vibrasi tersebut akan menghasilkan suatu energi yang diubah menjadi panjang
gelombang. Setiap gugus fungsi memiliki daerah bilangan gelombang tertentu yang akan
muncul pada spektra FTIR (Lihat Tabel 2.5) (Setiabudi, Hardian, & Mudzakir, 2012).
Tabel 2.5. Karakteristik Frekuensi Absorpsi IR (Setiabudi, Hardian, & Mudzakir, 2012)

Gambar 2.10. merupakan spektra IR dari karakterisasi Carbon Nano Tubes (CNT),
dengan menggunakan range wavenumber 1300 – 1550 cm-1. Dari spektra tersebut dapat
diperoleh data fibrasi C-C pada ikatan antara atom C untuk karbon nanotube dengan atom C
pada epoksida yang ditandai dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 1504 cm-1.
Pada puncak 1470 cm-1 merupakan puncak yang dihasilkan dari vibrasi C-C pada ikatan atom
C untuk karbon nanotube dan atom C pada gugus butil. Data lebih lengkapnya terdapat pada
Tabel 2.6.
Gambar 2.10. Spektra IR Carbon Nanotubes (Gambar diambil dari Baudot, Tan, &
Kong, 2010)

Tabel 2.6. Data serapan IR dari Carbon Nanotubes (Diambil dari Baudot, Tan, &
Kong, 2010)

1.3.4. ATOMIC FORCE MICROSCOPY (AFM)

Perangkat utama sebuah AFM adalah sebuah tip yang sangat tajam yang ditempatkan
diujung centilever, seperti pada Gambar 2.11. Centilever beserta tip digerakkan sepanjang
permukaan benda yang diamati. Benda yang memiliki tekstur permukaan yang tidak rata akan
menggerakkan tip dengan sudut kemiringan yang berubah-ubah. Perubahan sudut tersebut
memberikan informasi tekstur permukaan benda (Khairurrijal & Abdullah, 2008).

Gambar 2.11. Skema Alat AFM (Gambar diperoleh dari Bruus, 2004)

Prinsip kerja AFM yakni cantilever bekerja dengan melakukan scanning terhadap
permukaan sampel dengan jarak antara ujung cantilever (tip) dengan permukaan sampel. Gaya
tarik menarik dan tolak menolak yang terjadi diantaranya menyebabkan perubahan posisi
cantilever. Perubahan posisi cantilever selama proses scanning permukaan sampel ditangkap
dengan laser dan menyebabkan perubahan pantulan laser pada photodiode. Perubahan posisi
tangkapan laser pada photodiode ini diolah dengan rangkaian elektronik dan komputer untuk
kemudian diwujudkan dalam bentuk data gambar tiga dimensi pada layar monitor. (Khairurrijal
& Abdullah, 2008).

Salah satu contoh gambar tiga dimensi diperoleh dari hasil visualisasi gambar oleh
AFM adalah nanocomposite SiO2. Pada Gambar 2.12. (a) terlihat bahwa permukaan benda
yang relatif halus. Sedangkan, pada Gambar 2.12. (b) permukaan benda yang diperoleh relatif
kasar. Hal ini menunjukkan bahwa AFM mampu menganalisis bentuk permukaan benda dari
suatu sampel.

Gambar 2.12. Profil gambar dari Nanocomposite SiO2 dengan komposisi berbeda. (a).
20%PDMS, 20%CaP, dan 60 % SiO2 (b). 30%PDMS, 20%CaP, dan 50 % SiO2 (Gambar
diperoleh dari Chen & He, 2001)
Contoh Soal 1.1.
Scanning Electron Microscope merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
mengkarakterisasi suatu material nano dengan menggunakan berkas electron untuk
menggambar permukaan suatu material. Salah satu syarat sampel adalah dapat
memantulkan berkas electron, bahan yang mampu demikian adalah logam. Bagaimana cara
menganalisis suatu sampel material nano yang tidak dapat memantulkan berkas electron?
Atau material bukan logam yang bersifat isolator? Jelaskan!

Solusi 1.1.
Agar suatu material bukan logam dapat diamati dengan jelas menggunakan SEM, maka
permukaan material nano tersebut harus dilapisi dengan film logam yang tipis, salah satu
metode pelapisan yang dapat dilakukan contohnya adalah evaporasi. Material yang akan
diamati permukaannya ditempatkan di chamber dengan logam pelapis, kemudian
divakumkan dan dipanaskan hingga mendekati titik leleh logam pelapis. Atom-atom akan
menguap pada permukaan logam, dan ketika sampai pada permukaan material yang
memiliki suhu lebih rendah atom-atom akan terkondensasi dan membentuk lapisan film
tipis di permukaan material tersebut. Setelah sampel terlapisi oleh logam pelapis, maka
sampel dapat dilakukan analisis menggunakan SEM.
Daftar Pustaka
Aprilia, Bandiyah Sri. (2012). Spektroforometer IR. http://bandiyahsriaprillia-
fst09.web.unair.ac.id/artikel_detail-48339-Umum-
SPEKTROFOTOMETER%20IR.html. Diakses pada tanggal 10 Desember 2016
Baudot, C., Tan, C. M., & Kong, J. C. (2010). FTIR spectroscopy as a tool for nano-material
characterization. Infrared Physics & Technology, 53, 434-438.
Bradbury, S., Joy, D. C., & Ford, B. J. (2016). Transmission Electron Microscope (TEM).
(Encyclopædia Britannica) Retrieved October 8, 2016, from
https://www.britannica.com/technology/transmission-electron-microscope
Bruus, H. (2004). Introduction to nanotechnology. Lyngby: MIC – Department of Micro and
Nanotechnology Technical University of Denmark.
Buzea, C., Pacheco, I. I., & Robbie, K. (2007). Nanomaterials and nanoparticles: Sources
and toxicity. American Vacuum Society.
Chen, D.-H., & He, X.-R. (2001). Synthesis of nickel ferrite nanoparticles by sol-gel method.
Materials Research Bulletin , 1369–1377.
Dwi, K. (2013, November 18). KARAKTERISASI BUBUK TIO2 DENGAN XRD. Retrieved
Oktober 9, 2016, from http://bisakimia.com
El-Kemary, M., Nagy, N., & El-Mehasseb, I. (2013). Nickel oxide nanoparticles: Synthesis
and spectral studies of interactions with glucose. Materials Science in Semiconductor
Processing, 16(6), 1747-1752.
Krumeich, F. (2015). Scanning Electron Microscopy (SEM).
http://www.microscopy.ethz.ch/sem.html. Diakses pada 18 Oktober 2016
Horikoshi, S., & Serpone, N. (2013). Microwaves in Nanoparticle Synthesis. Wiley Online
Library.
Khairurrijal, & Abdullah, M. (2008). Review: Karakterisasi Nanomaterial. Jurnal Nanosains
& Nanoteknologi, 2 No. 1 .
Nelson, S. A. (2014). X-Ray Crystallography. Tulane University.
Setiabudi, A., Hardian, R., & Mudzakir, A. (2012). Karakterisasi Material. Bandung: UPI.
Setyawan, B. A. SESUATU YANG TERSEMBUNYI DIBALIK NANOTEKNOLOGI.
Wang, W.-N., Itoh, Y., Lenggoro, I. W., & Okuyama, K. (2004). Nickel and nickel oxide
nanoparticles prepared from nickel nitrate hexahydrate by a low pressure spray
pyrolysis. Materials Science and Engineering , 69-76.
Mnyusiwalla, A., Daar, A. S., & Singer, P. A. (2003). ‘Mind the gap’: science and ethics in
nanotechnology. Nanotechnology, 14(3), R9.

Anda mungkin juga menyukai