Anda di halaman 1dari 15

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul HAM dan Demokrasi dalam Islam tepat pada
waktunya. Penulisan makalah ini merupakan tugas yang diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Agama
Islam di INSTITUTE TEKNOLOGI PADANG.

Kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat
akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi penyempurnaan penulisan makalah ini.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan
tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Akhir kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami maupun
rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.

Padang, 26 desember 2018

Tim Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada hakekatnya manusia sudah memiiki hak-hak pokok dari lahir sampai meninggal. Hak-hak pokok
tersebut adalah hak asasi manuasia yang dikenal dengan HAM. Hak asasi manusia bersifat universal. Hak
asasi manusia ( HAM ) dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal.
Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan.
Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas
kamu”. Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai
kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada
perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga perbedaan agamanya. Islam tidak hanya
menjadikan itu sebagai kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi
melindungi hak-hak ini.

Disisi lain umat Islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi
sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima secara utuh. Sebagian kalangan
memang bisa menerima tanpa timbal balik, sementara yang lain, justru bersikap ekstrim. Menolak
bahkan mengharamkannya sama sekali. Sebenarnya banyak yang tidak bersikap seperti keduanya.
Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri
yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.

Kami akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya HAM dan Demokrasi menurut ajaran dan
pandangannya islam dalam makalah ini.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:

· Apa pengertian HAM?

· Bagaimana sejarah hak asasi manusia?

· Bagaimana latar belakang adanya HAM?

· Bagaimana perspektif islam terhadap hak asasi manusia?

· Apa saja dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an?


· Apa pengertian demokrasi demokrasi?

· Bagaimana asal-usul demokrasi?

· Bagaimana Islam memandang demokrasi?

· Apa saja prinsip-prinsip demokrasi?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

· Memahami apa itu hak asasi manusia.

· Mengetahui sejarah hak asasi manusia.

· Mengetahui latar belakang pemikiran hak asasi manusia.

· Memahami perspektif islam terhadap hak asasi manusia.

· Mengetahui dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an.

· Memahami pengertian demokrasi.

· Mengetahui bagaimana asal-usul demokrasi.

· Memahami pandangan islam terhadap demokrasi.

· Mengetahui prinsip-prinsip demokrasi dalam islam.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

2.1.1. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

Didalam kamus besar bahasa Indonesia, Hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok
seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan. Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang
dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan daripada hakekatnya dan karena itu
bersifat suci.

Selanjutnya hak-hak asasi manusia yang dianggap sebagai hak yang dibawa sejak seseorang lahir
ke dunia adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Pencipta (hak yang bersifat kodratif). Oleh karena itu,
tidak ada satu kekuasaan pun di dunia yang dapat mencabutnya. Jadi, hak asasi mengandung kebebasan
secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena itu HAM atas dasar
yang paling fundamental yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari kedua dasar ini pula lahir HAM
yang lainnya.

2.1.2. Hak-hak Asasi Manusia dan Sejarahnya

Kedatangan Islam di muka bumi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk
membawa rahmat bagi makhluk seisi bumi termasuk didalamnya manusia. Menurut ajaran Islam,
manusia tidak hanya menjadi objek tapi sekaligus menjadi subjek bagi terciptanya keselamatan dan
kedamaian itu. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut pertanggungjawaban atas keselamatan diri dan
lingkungannya. Seorang muslim harus dapat memberikan rasa aman bagi orang lain baik dari ucapan
maupun tindak-tanduknya.

Berdasarkan ini, maka penghargaan tertinggi kepada manusia dan kemanusiaan menjadi
perhatian yang paling utama dan prinsipil di dalam Islam. Penghargaan yang tidak dibatasi oleh
kesukuan, ras, warna kulit, kebangsaan dan agama. Misalnya nilai persamaan, persaudaraan, dan
kemerdekaan merupakan nilai-nilai universal Islam yang berlaku pula untuk seluruh umat manusia di
jagad raya ini. Hal ini tercermin dari penegasan Allah didalam kitab suci al-qur’an :

“Sesungguhnya kami telah memuliakan Bani Adam (manusia) dan Kami angkat mereka di daratan dan di
lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra’/17:70).
Hal itu sesungguhnya manusialah yang diberikan kebebasan memilih antara hal-hal yang baik
dan yang buruk, benar dan salah, bermanfaat dan mendatangkan mudarat dan sebagainya. Kunci dari
itu semua adalah manusia dikaruniai akal pikiran dan hati nurani (qalb). Untuk dapat menjalankan tugas
dan fungsi kekhalifahan itu setiap manusia harus mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat
pada dirinya seperti kebebasan, persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan
merupakan pemberian seseorang, organisasi, atau Negara tapi adalah anugerah dari Allah yang sudah
dibawanya sejak lahir ke alam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian disebut dengan Hak Asasi Manusia
(HAM).

Tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil ia dapat menjalankan tugas serta kewajibannya
sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya, apakah setiap manusia dan setiap muslim sudah
menyadari hak-hak tersebut? Jawabnya, mungkin belum setiap orang, termasuk umat Islam
menyadarinya. Hal ini mungkin akibat rendahnya pendidikan atau sistem sosial politik dan budaya
disuatu tempat yang tidak kondusif untuk anak dapat berkembang dengan sempurna.

2.1.3. Latar Belakang Pemikiran tentang HAM

Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa serta bahasa dan warna kulit yang
berbeda-beda. Karena itu manusia menurut pandangan Islam adalah umat yang satu “ummatun
wahidatun”.

Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya, manusia tidak boleh
diperbudak oleh manusia lain. Manusia bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan
paksaan orang lain. Manusia, menurut islam, hanya milik Allah dan hamba Allah (‘Abd Allah) dan tidak
boleh menjadi hamba dari makhluk-Nya, termasuk hamba dari manusia.

Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul manusia yang
lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, meyalurkan pendapat, bergerak, kebebasan dari
penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup semua sisi dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia
seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat,
mendapat pekerjaan, hak memperoleh pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak berkeluarga dan hak
diperlakukan sebagai manusia yang terhormat (mulia) dan sebagainya.
2.1.4. Perspektif Islam tentang Hak Asasi Manusia

a. HAM sebagai tuntutan fitrah manusia

Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia dikirim kebumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya.
Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri
mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan
kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.

Berdasarkan pandangan ini, maka manusia memikul beban serta tanggung jawab sebagai
individu dihadapan Tuhan-Nya kelak, tanpa kemungkinan untuk mendelegasikannya kepada pribadi lain.
Punya pertanggung jawaban yang dituntut dari seseorang haruslah didahului oleh kebebasan memilih.
Tanpa adanya kebebasan itu lantas dituntut dari padanya pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman
dan ketidakadilan, yang jelas hal itu bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha adil.

Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu itu, yang mempunyai hak dianggap menyalahgunakan
haknya apabila:

1. Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.

2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya menimbulkan kerugian baginya.

3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.

b. Perimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat

Untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat,didalam islam tidak dikenal
adanya kepemilikan mutlak pada manusia. Oleh karena itu,didalam syariat islam apabila disebut hak
Allah,maka yang dimaksud adalah hak masyarakat atau hak umum. Allah adalah pemilik yang
sesungguhnya terhadap alam semesta,termasuk apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hal ini
ditegaskan oleh firman-nya antara lain:

1. “Ketahuilah bahwa milik Allahlah apa-apa yang ada dilangit dan dibumi” (Q.S Yunus/10:55)

2. “Dan Dialah yang menciptakan bagimu semua yang terdapat dibumi” (Q.S Al-Baqarah/2:29)

3. “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah dikaruniakan-Nya kepadamu”
(Q.S An-Nuur/24:33)

4. “……..di dalam harta mereka tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan tak
punya” (Q.S Al-Ma’arij/70:24:25)
2.1.5. Dasar-dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Al-Qur’an

a. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat

Al-Qur’an menegaskan:

· “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung”
(Q.S Ali-Imran/3:104)

· “Hendaklah kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan dengan penuh kesabaran”
(Q.S Al-Ashr/103:3)

· “Berilah berita gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal” (Q.S Az-Zumar/39:17:18)

Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya kepada orang
lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu
disampaikan bukan saja karena ada hak tapi sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang
beriman.

b. Hak kebebasan memilih agama

Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan kepercayaan, Al-Qur’an menyebutkan antara lain:

· “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang Ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus
dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)

· “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)

· “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya ?“ (Q.S. Yunus/10:99)

Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau kepercayaan
sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya. Didalam islam, kita hanya
diperintah untuk berdakwah yang bertujuan menyeru, mengajak dan membimbing seseorang kepada
kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-
munkar” (menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari kemjungkaran ).
c. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial

Sehubungan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ini Al-Qur’an menyebutkan sebagai
berikut :

“ Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S Al-Baqarah/2:29)

Ayat ini menjadi dasar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dari apa-apa yang sudah disiapkan Allah dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan dalam firman-Nya :

“ Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi…..” (Q.S Al-
Baqarah/2:168)

2.2. DEMOKRASI DALAM ISLAM

2.2.1. Pengertian Demokrasi

Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem
pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat
hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan

d. Kebebasan bertingkah laku

Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di
dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi
oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada
hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
2.2.2. Asal Usul Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari
kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada
pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat
pada tahun 508 SM.

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi
telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa kota
yang independen. Di setiap kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu
permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang
merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil
dan independen. Kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki,
monarki, tirani dan juga demokrasi. Salah satunya Athena, kota yang mencoba sebuah model
pemerintahan baru yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah
Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM
menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam
demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya
sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk
Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi
mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang
dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia.
Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat.
Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan
tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja
berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit,
beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar
belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

2.2.3. Demokrasi dan Islam

Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan
manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para
cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis.
Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada
kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak perhatian
diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi islam dianggap sebagai
sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura),
persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam
tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai
banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya,
istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi dikalangan masyarakat
muslim.

Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena itu
perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah. Hal ini
disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun
wanita adalah khalifah Allah di bumi. Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan
mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara.
Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura
ayat 3 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang
Kami berikan kepada mereka”.(QS Asy-Syura : 38).

Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yakni
konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum
Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam
pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif
bagi demokrasi Islam modern.

Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yakni
ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan
di suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh Khursid Ahmad: “Tuhan hanya
mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip
tersebut dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk
seruan untuk melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat dinamis, pendekatan
kitalah yang telah menjadi statis. Oleh karena itu sudah selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang
mendasar untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas.

Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara konsensus
demokratisasi dan ijtihad. Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia
menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap majelis-majelis
legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah awal yang besar. Musyawarah, konsensus, dan
ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka
Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.
2.2.4. Prinsip-prinsip demokrasi dalam islam

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159.
Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl
halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas
memilih kepala negara atau khalifah.

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab
bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga
merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang
disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen
dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Arti pentingnya
penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-
Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya.
Prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang berbunyi “Negara
yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia
negara (yang mengatasnamakan) Islam”.

Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari
yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya
terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan
demi menghindari hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan
peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab
besar dihadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah,
memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-
musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang
sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.

Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada
orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks
kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu
melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait
dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan
jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa
tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah
ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan
juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha
untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa
tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-
ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan
dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
ditinggalkan.

Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat
diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-
nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus
diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan
kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka
kezaliman akan semakin merajalela.

Ada beberapa alasan mengapa islam disebut sebagai agama demokrasi, yaitu sebagai berikut:

1) Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam berlaku bagi semua orang tanpa
memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat jelatah dikenakan hukum yang sama.
Jika tidak demikian, maka hukum dalam islam tidak berjalan dalam kehidupan.

2) Islam memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya perkara-perkara


mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi bersama-sama mengajukan pemikiran
secara bebas dan terbuka diakhiri dengan kesepakatan.

3) Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap, harus
terus meningkat untuk menghadapi kehidupan lebih baik di akhirat.

Jadi, prinsip demokrasai pada dasrnya adalah upaya bersama-sama untuk memperbaiki
kehidupan, kareana itulah islam dikatakan sebagai agama perbaikan “diinul islam” atau agama inovasi.
Untuk itu, islam selau menghendaki demokrasi yang merupakan salah satu ciri atau jati diri islam sebagai
agama hukum.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

a. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat.

b. Demokrasi menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang
banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai-nilai keagamaan.

c. HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.

d. HAM dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan kewajiban bagi negara
dan individu tersebut untuk menjaganya.

3.2. Saran

a. Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di Indonesia dan
demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.

b. Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM dalam kehidupan
kita dan kewajiban kita untuk menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta: Salemba Diniyah
MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

TEKNIK SIPIL C

Dosen : ZAINAL ASRIL, M.Ag

Di SusunOleh :

KELOMPOK 11

1. Novarlen Aradhana Putra (2018210119)


2. Yeni Herdiana Putri (2018210120)
3. M. Iqbal Alfharoji (2018210121)
4. Reri Faldi Furzani (2018210122)

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

INSTITUT TEKNOLOGI PADANG

2018

Anda mungkin juga menyukai