Anda di halaman 1dari 8

PENGIMPLEMENTASIAN PANCASILA MELALUI

DANA PERIMBANGAN
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Bapak Astera sebagai narasumber mengawali
materi dengan mengulas cita-cita Republik Indonesia yaitu mencapai masyarakat yang adil dan
makmur. Beliau menegaskan bahwa salah satu bentuk perhatian pemerintah pusat ke daerah
yaitu melalui adanya program Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Program tersebut
merupakan salah satu instrument kebijakan disentralisasi fiskal untuk mewujudkan pelayanan
publik dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Dalam paparannya, Bapak Astera Primanto Bhakti menjelaskan bahwa dana desa mulai
ditransfer pada tahun 2015, sedangkan saat ini tujuan dana desa adalah untuk reformulasi dan
afirmasi untuk percepatan pengentasan kemiskinan, melanjutkan skema padat karya tunai,
meningkatkan porsi penggunaan untuk pemberdayaan masyarakat, penguatan kapasitas SDM desa
dan tenaga pendamping desa, dan memotivasi daerah untuk meningkatkan kinerja
Tahun 2019, alokasi Dana Desa meningkat menjadi sebesar Rp70 triliun dari sebelumnya
Rp60 triliun pada tahun 2018. Rata-rata alokasi per desa juga mengalami peningkatan dari Rp800
juta per desa pada tahun 2018 menjadi Rp934 per desa pada tahun 2019. Jumlah penerima Dana
Desa pada tahun 2019 adalah 74.953 desa yang tersebar di 434 kabupaten/kota.
Arah kebijakan dari TKDD dalam Dana Desa yang akan dialokasikan ialah pemberdayaan
& pengembangan potensiekonomi desa (pola kemitraan), mengurangi kesenjangan layanan publik
antardesa, reformulasi untuk peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, dan perluasan
kesempatan kerja serta sinergi dengan program penanggulangan kemiskinan lainnya (PKH, Rastra,
KUR).

Sedangkan arah kebijakan dari Dana Desa TA 2019 adalah :

 Meningkatkan besaran Dana Desa untuk percepatan penurunan kemiskinan, kesenjangan, dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.
 Menyempurnakan formulasi pengalokasian Dana Desa dengan memperhatikan pemerataan
dan berkeadilan
 Kebijakan penyaluran berdasarkan pada kinerja pelaksanaan, yaitu kinerja penyerapan dan
capaian output
 Meningkatkan upaya pemerintah dalam Perencanaan Partisipatif desa dan Swakelola desa.
 Memprioritaskan pemanfaatan dana desa untuk bidang pembangunan desa dan
pemberdayaan masyarakat desa.
 Memperkuat supervisi, pemantauan dan evaluasi, serta pengawasan Dana Desa.
 Meningkatkan kesiapan kelembagaan pengelola Dana Desa, kapasitas perangkat desa, serta
tenaga pendamping.

Daerah juga dapat menggunakan instrumen pembiayaan kreatif untuk akselerasi


pembangunan daerah, melalui mekanisme pinjaman dapat dari bank atau nonbank, termasuk
Regional Infrastructure Development Fund (RIDF) dari PT. SMI, penerbitan obligasi daerah,
pengembangan KPBU, dan pemanfaatan Pembiayaan Investasi Non-Anggaran (PINA).

Sebagai kesimpulan TKDD merupakan salah satu instrument penting dalam memperbaiki
kualitas dan memeratakan pelayanan dasar publik, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan
kemiskinan, serta meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Untuk
mempercepat pembangunan infrastruktur dan sarana pelayanan publik, Daerah perlu
mengoptimalkan alternatif sumber pembiayaan melalui pinjaman daerah, obligasi daerah dan
KPBU. Pengelolaan Keuangan Daerah harus dilakukan secara efisien, efektif, produktif, dan
optimal, serta transparan dan akuntabel karena keberhasilan pembangunan bukan berasal dari
besar atau kecilnya dana yang diperoleh, namun bagaimana mengelola dana yang ada dengan tepat
dan mengutamakan value for money dan bersih dari korupsi.

Bapak Astera berpesan pada semua mahasiswa PKN STAN sebagai calon duta
perimbangan keuangan dapat menyampaikan informasi dengan benar, serta mengawal bersama-
sama penggunaan transfer dana desa apakah sudah tersalurkan dengan tepat dan baik untuk
pemerataan pembangunan daerah; bahwa pendanaan yang diberikan pemerintah pusat merupakan
modal agar ekonomi masyarakat desa membaik. Salah satu fungsi dana desa adalah sebagai modal
pemberdayaan masyarakat desa melalui pembentukan atau pengelolaan Badan Usaha Milik Desa.
GOTONG ROYONG SEBAGAI AKAR KEPRIBADIAN BANGSA

Budaya membentuk ciri khas yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa
lainnya. Gotong royong merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia yang mengandung
banyak nilai-nilai positif di dalamnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa
gotong royong menjadi dasar filsafat bangsa Indonesia. Gotong royong dikatakan sebagai
hasil perasan dari Pancasila yang berati nilai-nilai dalam Pancasila juga terkandung dalam
gotong royong.
Budaya Gotong Royong sudah sangatlah melekat pada masyarakat Indonesia
sendiri. Hasil perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan pada dasarnya
merupakan bagian dari modal sosial yang dikembangkan oleh para tokoh
kemerdekaan melalui nilai-nilai kejuangan dan kegotongroyongan. Mereka
mempunyai tekad untuk terbentuknya Bangsa Indonesia yang kuat, bebas dari
bayang-bayang kekuasaan dan hegemoni sosio budaya bangsa lain. Upaya
demikian kemudian dikenal sebagai upaya national character building (NCB).
Dalam kerangka NCB ini pada 1945, Soekarno mempopulerkan istilah gotong
royong sebagai bagian esensial dari revitalisasi nilai-nilai sosio budaya pada
masyarakat lintas suku bangsa di Indonesia agar terbebas dari dominasi sosial,
ekonomi, politik, serta ideologi asing yang tidak menguntungkan bangsa
Indonesia.
Gotong royong pun dapat dijadikan sebagai suatu karakteristik atau nilai-nilai yang
melekat pada jati diri Bangsa Indonesia. Secara implisit sikap gotong royongpun
mempunyai implementasi dalam wawasan nusantara bangsa Indonesia karena wawasa
nusantara Indonesia terdiri atas wujud tatalaku yang bersifat batiniah dan lahiriah

Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan
dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama. Jadi
kata gotong royong secara sederhana berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau
juga diartikan sebagai mengerjakan sesuatu secara bersamasama. Misalnya: mengangkat
meja yang dilakukan bersama-sama, membersihkan selokan yang dilakukan oleh warga se
RT, dan sebagainya (Rochmadi, 2012:4)
Jadi, gotong royong memiliki pengertian sebagai bentuk partisipasi aktif setiap
individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap obyek,
permasalahan atau kebutuhan orang banyak di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa
berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual,
ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa
kepada Tuhan (Rochmadi, 2012:4)

Konsep gotong royong juga dapat dimaknai dalam konteks pemberdayaan


masyarakat karena bisa menjadi modal sosial untuk membentuk kekuatan kelembagaan di
tingkat komunitas, masyarakat negara serta masyarakat lintas bangsa dan negara Indonesia
dalam mewujudkan kesejahteraan. Hal tersebut juga dikarenakan di dalam gotong royong
terkandung makna collective action to struggle, self governing, common goal, dan
sovereignty (Pranadji, 2009: 62)
Penerapan nilai gotong royong di Indonesia mengalami pasang surut
penggunaannya mengikuti arus dan gelombang masyarakat penggunanya (dinamis). Kata
gotong royong telah digunakan oleh semua lapisan masyarakat, dari kalangan birokrat dan
pemimpin pemerintahan sampai kalangan buruh tani, pemimpin perusahaan, tukang ojek,
organisasi, desa. RT, RW, sampai dengan peronda malam di kampung-kampung. Bung
Karno sendiri pernah menggunakannya sebagai nama DPR Gotong Royong, dan SBY
menggunakannya sebagai nama kabinet yang disusunnya dengan sebutan kabinet gotong
royong I dan kabinet gotong royong II.
Pada saat sekarang ini, perilaku gotong royong mengalami banyak perubahan di
Indonesia (dinamis). Di daerah perkotaan perilaku gotong royong sudah semakin jarang
dilakukan, hal ini dikarenakan penduduk kota memiliki kegiatan yang padat sehingga
kesulitan menemukan waktu yang pas untuk melakukan gotong royong. Sebaliknya di
daerah pedesaan, pinggiran kota, masih banyak ditemukan perilaku gotong royong
ditampilkan oleh warganya, baik itu untuk kepentingan umum maupun kepentingan
pribadi.
Di daerah pedesaan masih mudah ditemukan orang gotong royong pada acara
hajadan pengantin atau sunatan, selain gotong royong untuk kepentingan umum
masyarakat yang lain, apalagi bilama ada musibah atau bencana. Sedangkan di daerah
perkotaan, tidak lagi bisa ditemukan orang gotong royong pada acara sunatan atau
pernikahan, semuanya dikerjakan oleh panitia dan ada biayanya, sedangkan untuk
masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum, masih bisa ditemukan di daerah
perkotaan.
Bagi bangsa Indonesia, perilaku gotong royong yang ada di tengah-tengah
masyarakat sudah menjadi kepribadian bangsa, karena sudah mengakar pada nilai-nilai
budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia juga meyakini bahwa nilai dan
perilaku gotong rotong memiliki potensi sosial yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam
pemecahan berbagai masalah kehidupan berkelompok dalam masyarakat. Implementasi
nilai gotong royong pada masyarakat Indonesia merupakan bagian esensial dari revitalisasi
nilai sosiao budaya dan adat istiadat pada masyarakat yang memiliki budaya beragan agar
terbebas dari dominasi sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, serta ideologi
lain yang tidak mensejahterahkan (Pranadji,2009: 62).
Budaya gotong royong dapat dikembangkan melalui tiga tataran,
yaitu identifikasi dan penggalian nilai-nilai dan spirit bangsa yang disarikan dari nilai-nilai
keagamaan yang diyakini dan ideologi bangsa yang dianut, proses pembuatan aturan,
kebijakan implementasi budaya gotong royong, dan
implementasi dalam pola keseharian di masyarakat, baik pola pikir, pola sikap,
dan pola perilaku.
Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini, itu terjadi
dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa
terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia
sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali. Unsur-unsur sosial
budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu
merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan
kebudayaan. Karena masuknya kebudayaan dari luar, maka terjadi proses akulturasi
(percampuran kebudayaan). Kebudayaan dari luar itu adalah kebudayaan Hindu, Islam,
Kristen dan unsur-unsur kebudayaan lain yang beraneka ragam. Semua unsur-unsur
kebudayaan dari luar yang masuk diseleksi oleh bangsa Indonesia. Kemudian sifat-sifat
lain terlihat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama
yang senantiasa dilakukan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Hal itulah yang
mendorong terwujudnya persatuan bangsa Indonesia.
Sikap gotong royong yang telah turun temurun diturunkan dari generasi ke generasi
bangsa Indonesia nampaknya bisa menjadi identitas bangsa Indonesia dan menjadikannya
berbeda dengan Bangsa yang lain, karena Bangsa Indonesia yang terdiri banyak suku yang
berbeda yang tersebar dari sabang sampai Merauke. Sikap gotong royongpun merupakan
sikap yang positif dan bisa membangun hubungan persatuan dan kesatuan selain itu juga
dapat membangun hubungan baik dala negeri maupun luar negeri.
Sikap gotong royong bangsa Indonesia nampaknya bisa menjadi suatu common
identity Wawasan Nusantara, karena Wawasan Nusantara itu sendiri juga merupakan
bagian dari wawasan nasional dan wawasan nasional sebagai cara pandang tentang diri
bangsa Indonesia dalam eksistensi yang serba terhubung dan pengembangannya di tengah-
tengah bangsa lain berdasarkan falsafah nasionalnya. Kondisi geografis bangsa
Indonesiapun mempunyai implementasi dengan sikap kegotong royongan Bangsa
Indonesia dari dulu hingga sekarang.
Dalam dunia International, bangsa Indonesia harus bisa menjalin hubungan yang
harmonis dengan negara lain. Memang tidaklah mudah untuk menampilkan diri dengan
perilaku berinteraksi dengan negara lain yang didasari oleh nilai kesetaraan, keadilan,
kebersamaan, kepedulian, apalagi bila negara yang bersangkutan memiliki tingkat
kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Tetapi dengan memiliki
sikap dan perilaku kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kepedulian kepada sesama negara
dapat menjadikan kehidupan menjadi sejahtera, aman dan tenteram. Karena tidak mungkin
terjadi kondisi yang aman dan tenteram dalam hidup bertetangga antar negara kalau tidak
ada kepeduliaan, kesetaraan, dan kebersamaan.
PENGGALIAN NILAI-NILAI PANCASILA

Nilai-nilai Pancasila sudah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dulu kala bahkan
sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan sosiologis
masyarakat Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan lagi karena dikemukakan oleh Bung Karno
sebagai penggali Pancasila, meskipun beliau dengan rendah hati membantah apabila disebut sebagai
pencipta Pancasila, sebagaimana dikemukakan Beliau dalam paparan sebagai berikut:
“Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan,
padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar
penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara
yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah
saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap manusia,
jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala, diberi ilham oleh Allah
Subhanahu Wata’ala
Makna penting lainnya dari pernyataan Bung Karno tersebut adalah Pancasila sebagai
dasar negara merupakan pemberian atau ilham dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Apabila
dikaitkan dengan teori kausalitas dari Notonegoro bahwa Pancasila merupakan penyebab
lahirnya (kemerdekaan) bangsa Indonesia, maka kemerdekaan berasal dari Allah, Tuhan Yang
Maha Esa. Hal ini sejalan dengan makna Alinea III Pembukaan UUD 1945. Sebagai makhluk
Tuhan, sebaiknya segala pemberian Tuhan, termasuk kemerdekaan Bangsa Indonesia ini wajib
untuk disyukuri. Salah satu bentuk wujud konkret mensyukuri nikmat karunia kemerdekaan
adalah dengan memberikan kontribusi pemikiran terhadap pembaharuan dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai