Anda di halaman 1dari 2

Self-healing Concrete

Gambaran umum:

Beton merupakan bahan konstruksi yang paling sering dijumpai dalam struktur bangunan. Alasan
beton sering digunakan adalah karena keunggulannya yang memiliki kuat tekan yang tinggi dan
tahan terhadap suhu yang tinggi. Akan tetapi, seperti bahan konstruksi lainnya, beton juga
memiliki kelemahan yang dapat menimbulkan kerusakan pada beton. Kerusakan ini dapat
ditimbulkan karena kesalahan saat perencanaan, pelaksanaan, dan karena pengaruh faktor
lingkungan sekitar.
Jenis kerusakan yang terjadi pada beton diantaranya adalah retak, voids, spalling, scaling, erosion,
drumminess, akibat serangan kimia, dan akibat serangan fisik. Untuk mengatasi hal-hal tersebut,
para engineer telah mengembangkan banyak metode, seperti jacketing, coating, routing and
sealing, dry packing, grouting, shotcrete, dan lainnya. Selain usaha-usaha tersebut, sejak awal
tahun 90-an para ilmuwan sudah mengembangkan metode dimana beton dapat “mengurus” dirinya
sendiri.

Diane Gardner, peneliti dari Cardiff University, Wales, meraih penghargaan saat British Science
Festival atas karyanya, yakni beton yang mampu memperbaiki dirinya sendiri. Gardner yang
berasal dari School of Engineering Cardiff University bergabung dalam kelompok peneliti yang
telah berusaha mengembangkan beton yang mampu mendeteksi dan merespon kerusakan yang ada
di dalam infrastrukturnya. Temuan baru ini berpotensi memberikan dampak besar pada instalasi
beton di Inggris dan negara lain, mengurangi biaya perbaikan secara signifikan, serta mereduksi
jumlah karbon.
Cara kerja:
Dalam memperbaiki dirinya sendiri, beton ini bekerja dengan tiga cara utama. Celah -
celah retakan “dikontrol” menggunakan serat yang dapat dibuat dari material plastik
daur ulang, seperti botol. Setelah itu, bakteri dite mpatkan pada beton dan akan
“meremajakan” diri saat timbul keretakan. Saat kerusakan mulai terjadi, bakteri itu
akan menanamkan “semen biologis” yang akan mengisi celah -celah ke retakan
tersebut. Berikutnya, kapsul -kapsul berukuran nano dan mikro yang beri si getah atau
“lem penyembuh keretakan” dilepaskan saat kerusakan atau keretakan mulai terjadi di
dalam struktur beton yang bersangkutan.

Bakteri yang direkayasa secara genetik itu diprogram untuk menemukan retakan pada
beton. Kemudian, setelah mendapatkan titik yang dicari, bakteri tersebut memproduksi
kalsium karbonat dan “lem bakteri”. Perekat ini bersinergi dengan sel -sel filamen
bakteri yang dapat mengembalikan kekuatan beton yang retak dan pada dasarnya
"menjahit" beton tersebut kembali ke kondisi sem ula.
Kegunaan:

Dapat memperbaiki keretakan2 di beton

Ia juga mengatakan bahwa pengembangan bakteri perekat ini sangat berguna di daerah
rawan gempa bumi. Sebab setelah gempa, ratusan bangunan harus dirobohkan karena
hingga saat ini belum ada cara yang mudah untuk memperbaiki retakan pada beton dan
mengembalikannya menjadi struktur yang benar-benar aman.
Beton konvensional cenderung seperti keramik yang rapuh dan kaku. ECC ini dapat
menanggulangi kerusakan akibat bencana ketika terjadi regangan dalam gem pa bumi
atau akibat penggunaan rutin yang berlebihan. Ketika diberi tekanan, ECC cenderung
melengkung dan tidak patah. ECC tetap utuh dan aman hingga tensile strain 5%. Beton
konvensional akan mengalami keretakan dan tidak dapat mengangkat muatan lagi
pada tensile strain 0,01 %. Rata-rata lebarnya keretakan pada self healing
concrete milik Prof. Li ini adalah di bawah 60 µm, setara dengan setengah dari lebar
rambut.

Kekurangan:
Namun, proses “memperbaiki” tersebut hanya berlaku di retakan -retakan dalam.
Proses penimbunan kapur dari bakteri tidak akan sampai ke permukaan beton sebab
bakteri itu akan mati jika terpapar sinar matahari secara langsung.
Namun, proses “memperbaiki” tersebut hanya berlaku di retakan -retakan dalam.
Proses penimbunan kapur dari bak teri tidak akan sampai ke permukaan beton sebab
bakteri itu akan mati jika terpapar sinar matahari secara langsung.

Anda mungkin juga menyukai