Anda di halaman 1dari 25

FENOMENA PERNIKAHAN USIA MUDA DI MASYARAKAT

GRINGSING

(Studi Kasus di Desa Yosorejo Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang)

KARYA TULIS ILMIYAH


Oleh :
NASRUDIN
NIM : 1111043200037
KATA PENGANTAR

Bismillahirra hmanirra him

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan
Skiripsi yang berjudul FENOMENA PERNIKAHAN USIA MUDA DI
MASYARAKAT GRINGSING (Studi Kasus di Desa Yosorejo Kecamatan
Gringsing, Kabupaten Batang). Shalawat beserta salam senantiasa tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat
serta ummatnya.
Dalam penulisan ini, banyak kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan, namun
Syukur Alhamdulillah berkat inayah-Nya, kesungguhan, kerja keras disertai
banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung. Segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya oleh penulis,
Oleh karena itu, melalui kesempatan terimakasih kepada:
1. Seluruh Dosen pengajar Fakultas Syariah yang telah memberikan
ilmu dan pengalaman selama masa perkuliahan.
2. Seluruh staf dan civitas akademik Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri (UIN) Pekalongan yang telah memberikan pelayanan
administrasi dengan baik.
3. Seluruh Masyarakat di Desa Yosorejo Kecamatan Gringsing,
Kabupaten Batang. Terimakasih atas keramahan dan bantuan khususnya
tokoh masyarakat yang telah memberikan partisipasi yang sangat baik
selama penulis melakukan penelitian.
Demikian ucapan terimakasih yang penulis sampaikan kepada pihak-pihak
yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Karena berkat do’a, motivasi, kesabaran, arahan, fasilitas, dan
bimbingan dari mereka penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Mudah-mudahan
Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan berlipat-lipat kebaikan. Dan
semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua orang Amin
Jakata, 29 Juni 2016
Penulis

VIII
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan ikatan lahir batin yang kuat dan kekal antara
dua insan, rasa cinta kasih, kewajiban, dan untuk meneruskan keturunan
bagi umat Islam. Salah satu tujuan syariat Islam adalah memelihara
kelangsungan keturunan maka, Allah memberikan wadah untuk
merealisasikan keinginan tersebut sesuai dengan syariat Islam yaitu melalui
jalan pernikahan,1 yang sah menurut agama, diakui oleh Undang-undang
dan diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat.2 Oleh sebab itu,
pernikahan yang dilakukan oleh setiap masyarakat harus sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan dan tidak boleh menyalahi ketentuan hukum
negara maupun hukum agama.
Dalam ajaran agama Islam, pernikahan adalah satu-satunya jalan yang
halal untuk menyalurkan nafsu syahwat antara laki-laki dan perempuan.
Agama Islam sangat menganjurkan para pemeluknya untuk segera
melaksanakan suatu pernikahan bagi seseorang yang sudah dianggap
mampu lahir dan batin untuk melakukan pernikahan. Pernikahan adalah
babak baru untuk mengarungi kehidupan yang baru. Ibarat membangun
sebuah rumah, diperlukan persiapan dan perencanaan yang matang mulai
dari memilih bahan bangunan, memikirkan keindahan dan kenyamanan
bangunan serta keramahan lingkungan, sampai dengan memilih perabot
rumah tangga yang serasi semuanya harus benar-benar diperhatikan, dengan
harapan pelaksanaan pembangunannya berjalan dengan baik sesuai dengan
apa yang diinginkan dan direncanakan. Sebaliknya, jika tidak disiapkan
dengan baik dan terencana maka bagunan itu kemungkinan besar akan
mengecewakan.3 Demikian halnya dengan pernikahan, hal itu perlu
disiapkan dengan matang dan direncanakan dengan sebaik-baiknya, dengan
1 Wasman wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2011),
h. 29
2 Fuaddudin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam, , (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan
Jender 1999), h. 4
3 Mudjab Mahalli, Menikah Engkau Menjadi Kaya, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), h. 31
4

harapan rumah tangga yang dibangun tidak berakhir dimeja perceraian.


Pada umumnya anak yang sudah dianggap dewasa untuk menikah
ialah setelah anak berusia di atas 18 tahun untuk perempuan dan 20 tahun
untuk lakilaki.4 Namun menurut Undang-undang perkawinan yang berlaku
batas usia dewasa seorang anak adalah untuk laki-laki 19 tahun dan untuk
perempuan 16ntahun. 5
Jika seorang anak belum mencapai usia yang ditentukan untuk
menikah maka harus memperoleh izin dari orang tua atau wali yang
diwujudkan dalam bentuk surat izin sebagai salah satu syarat untuk
melangsungkan pernikahan. Bahkan bagi calon yang usianya masih di
bawah 16 tahun harus memperoleh dispensasi dari pengadilan.6
Adanya ketentuan ini jelas menimbulkan pro dan kontra dikalangan
masyarakat, karena dalam al-Qur’an dan al-Hadist tidak diberikan ketetapan
yang jelas dan tegas tentang batas minimal usia seseorang untuk
melangsungkan pernikahan. Kedua sumber hukum tersebut hanya menyebut
setelah mencapai akil baligh. Dan baligh pada umumnya diindikasikan
dengan ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan haid (menstruasi) bagi
perempuan. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang
hendak menikah adalah orang yang sudah siap mental, fisik dan psikis,
dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari
ibadah.7
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis
merasa ada hal yang menarik dan layak untuk dibahas guna mengetahui
bangaimana bentuk pernikahan usia muda yang dilakukan masyarakat Desa
Yosorejo, Faktor apa saja yang menjadi pengaruh maraknya pernikahan usia
muda dan dampak apa yang dirasakan pasangan yang menikah usia muda.
Maka penulis akan mengangkat dalam sebuah judul skripsi “FENOMENA
PERNIKAHAN USIA MUDA

B. Rumusan Masalah
4 Abu Al-Ghifar, Badai Rumah Tangga. (Bandung: Mujahid Press, 2003), h. 132.
5 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1)
6 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al-Bayani, 1995), h. 18-19.
7 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, (Jakarta: Rahima,
2001), h. 223.
5

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka


penulis mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang terkait dengan
aplikasi pernikahan usia muda, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor apa saja yang mendorong pemuda/pemudi melakukan
pernikahan usia muda?
0. Apakah ada syarat tertentu yang harus dilakukan saat akan
melakukan pernikahan usia muda?
2. Apakah pernikahan usia muda di hanya resmi dalam pandangan
agama sedangkan menurut Undang-undang tidak resmi?
6

BAB II
PERNIKAHAN

A.Tinjauan Umum Tentang Pernikahan


1. Pengertian Pernikahan
An-nikah secara etimologi/bahasa berarti mengumpulkan atau
menggabungkan. Makna hakiki kata an-nikah adalah bersetubuh. Namun
secara majaz sering diungkapkan dengan arti akad pernikahan, penyebutan
ini termasuk al-musabbab (hubungan intim) namun yang dimaksud adalah
as-sabab (akad pernikahan).8 Adapun dalam istilah syariat, nikah adalah
akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami isteri (termasuk
hubungan seksual) antara laki-laki dan perempuan serta menetapkan hak
dan kewajiban masing-masing demi membangun keluarga yang sehat
secara lahir dan batin.9
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
memberikan pengertian pernikahan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.10
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengartikan perkawinan dengan
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti pernikahan atau
perkawinan adalah suatu akad perikatan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih
sayang dengan mencari ridha Allah SWT.12

8 Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassana, Taudhin Al-Ahkam Min Bulugh Al Maram (syarah
Bulugh Maram), (Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid 5, 2006), h. 252
9 Muhammad Bagir, Fiqih Praktis Menurut al-4 AT‟E12, AKA1212EKAGE12 1 3112GEBEW1
3E1E Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), h. 3-4.
10 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1)
11 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2016) , h. 7.
12 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Prees, 1999), h. 11
7

2. Pengertian Pernikahan Usia Muda


Yang dimaksud pernikahan usia muda ini adalah suatu pernikahan
antara laki-laki dan perempuan yang belum memenuhi syarat usia nikah
yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yakni bagi laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan bagi
perempuan belum mencapai usia 16 tahun. Pernikahan ini bisa dilakukan
di bawah tangan atau dicatatkan ke KUA namun dengan memalsukan atau
memanipulasi usia calon pengantin atau dengan meminta izin (dispensasi)
ke Kantor Pengadilan Agama setempat.13
Agama Islam mengartikan pernikahan usia muda sebagai pernikahan
yang dilakukan seseorang yang belum baligh atau belum mengalami
(mesntruasi) pertama bagi seorang wanita dan belum mengalami mimpi
basah bagi laki-laki (ikhtilam). Tetapi sebagian ulama muslim juga
memperbolehkan pernikahan usia muda dengan dalil mengikuti sunnah
Rasulullah SAW karena sejarah telah mencatat bahwa Siti Aisyah ra,
dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW pada usia yang sangat belia
sedangkan nabi Muhammad SAW telah berusia sekitar 50-an. Disamping
itu, pernikahan usia muda dinilai dapat mempertahankan norma-norma
agama seperti menghindarkan pasangan muda-mudi dari dosa seks akibat
pergaulan bebas. Sehingga sebagian orang mengartikan bahwa tujuan dari
pernikahan adalah menghalalkan hubungan seks.14
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, batas usia dewasa bagi laki-laki
ialah 25 tahun dan bagi perempuan 20 tahun, karena kedewasaan
seseorang itu tidak ditentukan secara pasti oleh hukum Islam. Maka ia
menuliskan bahwa batasan usia dikatakan di bawah umur ketika seseorang
berusia kurang dari 25 tahun bagi lakilaki dan bagi perempuan berusia
kurang dari 20 tahun.15 Pernikahan usia muda juga di definisikan sebagai
pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum

13 Kustini, Menelusuri Makna Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak
Tercatat (Releansi Penelitian Perkawinan Di Bawah Umur Dan Perkawinan Tidak Tercatat:
Sebuah Pengantar), (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2013), h. 13
14 http://www.isadanislam.com/ulasan-berita-agama/145-pernikahan-dini-dalam-Islam.
15 http://nyna0626.blogspot.compernikahan-dini-pada-kalangan-remaja
8

seorang anak matang secara fisik, fisiologis dan psikologis untuk


bertanggung jawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari
pernikahan tersebut.16
Usia pernikahan yang terlalu muda dapat mengakibatkan
meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk
bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga.

a. Pernikahan Usia Muda Perspektif Psikologi


Dalam ilmu psikologi memandang pernikahan usia muda tidaklah
sekedar batasan usia pada manusia, alasan ini lebih mengkaitkan pada
persoalan sisi perkembangan non-fisik, baik perkembangan biologis
maupun perkembangan psikologi (emosi, kognisi dan sosial). Oleh
karena itu akan dilakukan analisis terhadap pernikahan usia muda
dengan melihat psisi Perkembangan sosiologis dan psikologis
khususnya perkembangan emosi remaja.
Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat Penting untuk
menjaga kelangsungan pernikahan, karena keberhasilan rumah tangga
sangat ditentukan oleh kematangan emosi, baik suami atau isteri.
1) Pernikahan Usia Muda Berkaitan dengan Organ Seks
Baik organ seks laki-laki maupun perempuan mencapai ukuran
matang pada akhir masa remaja, kira-kira usia 21-22 tahun. Oleh
karena itu pernikahan yang dilakukan pada usia belasan tahun bukan
merupakan masa reproduksi yang sehat, karena organ seks belum
mengalami kematangan. Wanita pada usia belasan tahun secara
fisiologik memang dapat hamil dan melahirkan, tetapi pada usia
tersebut sebenarnya secara medis dan psikologi belum cukup matang
untuk mengasuh anak-anak yang mereka lahirkan.17
Selain mempengaruhi aspek fisik, usia juga mempengaruhi aspek psikologi anak.
Seorang ibu yang masih berusia remaja cenderung memiliki sifat-sifat keremajaan
seperti (emosi yang tidak stabil, belum mempunyai kedewasaan seorang ibu
sangat berpengaruh terhadap kemampuan yang matang untuk menyelesaikan
konflikkonflik yang akan dihadapi, serta belum mempunyai keterampilan yang

16 Eddy Fadlyana, “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya”artikel


17 Dalam psikologi perkembangan dij elaskan bahwa usia di bawah 18 tahun merupakan usia
yang belum siap dan belum matang untuk berumah tangga. Mereka masih berada dalam naungan
perlindungan orang tua.
9

cukup tentang masa depan yang baik). Hal itu sangat mempengaruhi
perkembangan psikologi anak nantinya, karena perkembangan anak, karena ibu
yang dewasa secara psikologis akan lebih terkendali emosi maupun tindakannya
jika dibandingkan dengan ibu muda
2) Pernikahan Usia Muda Berkaitan dengan Emosi18
Usia remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi
meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Remaja
pada umumnya memiliki sifat yang masih labil, emosi tinggi dan
susah diatur. Bagaimana jika pernikahan dilakukan pada usia muda,
dimana remaja belum memiliki kesiapan secara fisik maupun psikis
untuk menanggung beban pernikahan. Jika itu terjadi, perwujudan
keluarga yang penuh dengan cinta, mawaddah dan warahmah
mungkin akan jauh dari impian.
3) Pernikahan Usia Muda Berkaitan dengan Kesehatan
Reproduksi19
Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang
dari 17 tahun meningkatkan resiko komplikasi medis, baik pada ibu
ataupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata
berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan
bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun beresiko lima kali lipat
meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia
20-24 tahun, sementara resiko ini meningkat dua kali lipat pada
kelompok usia 15-19 tahun.
Karena tubuh_anak belum siap untuk proses mengandung
maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa
obsitructed labour serta obstetric fistula, fistula merupakan
kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran
urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun
sangat rentan mengalami obsitructed labour serta obstetric fistula,
karena diakibatkan hubungan seksual di usia dini.
Menjadi orang tua di usia muda yang tidak disertai
keterampilan yang cukup untuk mengasuh anak sebagaimana yang
dimiliki orang dewasa dapat menempatkan anak yang dilahirkan
18 Eddy Fadlyana, “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya” artikel
19 Eddy Fadlyana, “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya”artikel
10

beresiko mengalami perlakuan salah atau bahkan penelantaran.


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari
pernikahan usia muda beresiko mengalami kekurangan kasih sayang,
gangguan prilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di usia
muda. Apalagi kebiasaan masyarakat di Desa Yosorejo adalah
merantau atau mencari nafkah keluar dari Gringsing jadi para ibu
akan menitipkan anak mereka kepada nenek dan kakeknya.

b. Pernikahan Usia Muda Perspektif Hukum Islam


Rasulullah SAW memerintahkan bagi mereka yang mampu untuk
segera menikah :
‫اعسن اعسبهد الَلهه بسهن امسسلعوُدد رضي ال عنه اقاَال لَااناَ ارلسوُلل الَلهه صلى ال‬
‫ب ! مهن استَااطاَ ه‬
‫عليه وسلم ) اياَ امسعاشار الَلشاباَ ه ا س ا‬
‫ فاهإنلهل‬, ‫ع مسنلكلم الَساباَءااة فاتسلياتَاتازلوسج‬
‫ ومن الس يستَاهطسع فاتاعلاسيهه بهاَلَ ل ه ه‬, ‫صن لَهسلافرهج‬ ‫أااغ ض ه‬
‫صسوُم ; فاإنلهل لَاهل هواجاَءء‬ ‫ اوأاسح ا ل س ا ا س ا س‬, ‫صهر‬ ‫ض لَسلبا ا‬
ِ‫علاسيه‬
‫( لمتَلتافءق ا‬
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi
muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga
hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan
memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya
berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.

Sedangkan dalam Al-qur’an Allah SWT Berfirman dalam surat Ar-


rum ayat 21.
ۚ‫يوممنِ يءاَي ٰيتممهۦۦ أأنَ يخلييق ليكك ممنِ أأنكفمسككۡ أأزَۡيوٰٗجا ل ميتسۡكك ك ۦنوُااَ اَيليۡيها يويجيعيل يبيۡنيكك دميوُددةَّٗ يويرحَۡيمةة‬
‫إ‬
ٖ ‫اَدنَ مف يذٰ م يل ي لليۦ ٰي‬
ۡ ‫ت لم ي‬
َ‫قوُٖم ي ييتيفكدكروين‬
‫إ‬
“Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk
kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-rum (30):21)
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia
memberikan solusi terbaik bagi manusia dalam memadu cinta kasih.
Tidak membiarkan mereka mengumbar gejolak syahwat layaknya
seekor binatang. Tetapi Islam membolehkan manusia untuk memadu
cinta dan kasih sayang dengan ikatan pernikahan. Melalui jalinan
11

pernikahan tersebut, pasangan suami isteri diberi tuntunan akan hak dan
tanggung jawab masing-masing demi kebahagiaan hidup yang lebih
sempurna.
Diantara keistimewaan ajaran agama Islam adalah bersifat
fleksibel, universal, rasional, sesuai dengan tempat dan zaman serta
mudah diterima oleh kebanyakan orang, baik yang berkaitan dengan
masalah ibadah, akhlak, muamalah, maupun yang berkaitan dengan
hukum munakahat atau pernikahan.20
Pernikahan usia muda sering menjadi polemik bahkan menjadi
kontroversi dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, dikarenakan
masih adanya asumsi bahwa pernikahan di usia muda tersebut
dianjurkan oleh agama, didorong serta di contohkan oleh baginda nabi
Muhammad SAW. Agama Islam dalam prinsipnya tidak melarang
secara terang-terangan tentang pernikahan usia muda, akan tetapi juga
tidak pernah mendorong pernikahan usia muda untuk dilakukan, apalagi
jika dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-
dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan fisik terutama pihak wanita,
bahkan masyarakat berdalih bahwa agama Islam sendiri tidak melarang.
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu
perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Dari
kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga
jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu agar jalur nasab tetap
terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus
melalui pernikahan yang sah secara agama dan hukum. 21 Hukum Islam
mengajarkan kepada kita bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah
untuk meneruskan keturunan yang sah, dan keturunan yang dibuahkan
adalah keturunan yang mempunyai kualitas terbaik, baik itu fisik
maupun mental. Apabila tujuan pernikahan untuk membuahkan
generasi yang kuat dan berkualitas, tentu saja pernikahan usia muda

20 Muhammad Yusuf, Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan Dini Di Pengadilan


Agama Mungkid (Studi Atas Perkara NO. 0065/Pdt.P/2009/PA.Mkd). Skripsi S1 Program Studi Al-
Hawal Asy-Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: 2010)
21 Hairi, Pernikaha Dini Dikalangan Masyarakat Gringsing (Studi Kasus Di Desa Bajur
Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan), Skripsi S1 Program Studi Sosiologi Agama Fakultas
Ushulluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2009), h. 45
12

seharusnya tidak dilakukan oleh masyarakat guna menghindari hal-hal


yang tidak diinginkan terhadap calon bayi dan ibu.
Tujuan pernikahan tidak hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan seksual, tetapi tujuan tersebut lebih dipandang secara
integral. Sebagai muslim, konsekuensinya adalah pelaksanaan Islam
harus dilaksanakan secara kaffah tidak hanya sekedar memilih,
bershahadat saja, atau cukup dengan melakukan shalat tanpa melakukan
ibadah-ibadah yang lain baik itu ibadah wajib maupun ibadah sunnah.
Sama halnya dengan pernikahan, menikah tidak hanya sekedar berakad
nikah saja tetapi bagaimana caranya membina yang sakinah mawadah
warahmah. Karena pernikahan merupakan rangkaian utuh untuk
membentuk bahagia dunia dan akhirat yang diridhai oleh Allah SWT.
c. Pernikahan Usia muda Perspektif Sosiologi
Dari sisi Sosiologi, pernikahan usia muda adalah upaya untuk
menyatukan dua keluarga besar dari kedua pasangan yang akan
menikah. Terbentuknya pranata sosial yang mempersatukan beberapa
individu dari dua keluarga yang berbeda dalam satu jalinan hubungan.
Dengan dilangsungkannya pernikahan maka status sosialnya dalam
kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami isteri dan sah
secara agama. Dengan demikian pernikahan di usia muda bukanlah
suatu penghalang untuk menciptakan suatu tatanan sosial dalam rumah
tangga yang harmonis dan bahagia.
Pernikahan usia muda akan dianggap sah apabila memenuhi
beberapa persyaratan diantaranya:
a. Wali bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan dan
pengurusannya.
b. Pernikahan itu dilakukan dengan niat baik dan adil, artinya
sematamata demi kebaikan anak yang akan menikah.
c. Anak yang dijodohkan menyatakan persetujuannya. Anak
yang menikah di usia muda tidak akan kehilangan haknya untuk
menolak, berarti kedudukannya sebagai subjek pokok dalam
pernikahan tetap dijamin menurut ajaran agama Islam.22

22 Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga Muslim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), h. 39
13

B. Rukun dan Syarat Pernikahan


1. Rukun Pernikahan
Disebutkan dalam bukunya Hasbi Indra yang mengambil dari
matan Fathul Al-Qorib bahwa rukun nikah ada empat yaitu:23
a. Akad, ijab qobul adalah ikrar dari calon isteri melalui
walinya dan calon suami untuk hidup bersama seiya sekata,
selangkah seirama dan seiring sejalan, guna mewujudkan keluarga
sakinah dengan melaksanakan kewajiban masing-masing.
b. Wali adalah orang yang dianggap memenuhi syarat untuk
menjadi wakil dari calon mempelai perempuan.24
c. Saksi adalah orang yang hadir dan menyaksikan akad nikah
atau ijab qobul. Saksi dalam pernikahan harus terdiri dari dua orang
yang harus balig, berakal, merdeka, laki-laki, adil, mendengar dan
melihat, mengerti maksud ijab dan wobul, kuat ingatannya, tidak
sedang menjadi wali dan beragama Islam.25
d. Calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan

2. Syarat Pernikahan
Syarat pernikahan menurut Prof. Dr. Ainur Rofiq adalah sebagai
berikut :26
a. Calon mempelai laki-laki syaratnya adalahberagama
Islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikanpersetujuan,
tidak terdapat halangan pernikahan.
b. Calon mempelai perempuan syaratnya adalah: beragama
Islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuannya,
tidak terdapat halangan pernikahan.
c. Syarat wali nikah adalah laki-laki, dewasa, mempunyai hak
perwalian dan tidak terdapat halangan perwaliannya.

23 Hasbi Indra dkk, Potret Wanita Sholehah, (Jakarta: Pena Madani, 2005), h. 89
24 Nasrul Usman Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama, (Depok: Qoltum
Media, 2004), h. 32
25 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet I, 1994), h. 238-239
26 Ainur Rofiq, Hukum Islam di indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 50
14

d. Saksi nikah syaratnya adalah minimal dua orang laki-laki,


hadir dalam ijab qobul, orang yang dapat mengerti maksud akad,
beragama Islam, orang yang telah dewasa.
e. Ijab Qobul syaratnya adalah pernyataan mengawinkan dari
wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria,
memakai kata-kata nikah atau tajwid atau terjemahan dari kata
nikah, antara ijab dan qobul bersambungan, antara ijab dan qobul
jelas maksudnya, orang yang berkait dengan ijab dan qobul tidak
sedang dalam ihram haji atau umrah, majelis ijab dan qabul tidak
sedang dalam haji atau umrah, majelis ijab dan qabul itu harus
dihadiri minimal empat orang yaitu: calon mempelai pria atau
wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang
saksi.
Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
disebutkan syarat-syarat pernikahan diantaranya: Pasal 2 Undang-
undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah:27
a. Syarat-syarat materil yang berlaku umum.
Syarat-syarat yang termasuk ke dalam kelompok ini diatur di
dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan mengenai hal sebagai berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
suami isteri (Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Perkawinan).
2) Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus
mendapatkan izin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat 2
Undang-undang Perkawinan).
3) Perkawinan di ijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun
(Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Perkawinan).
Salah satu asas yang terkandung dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 dalah kematangan fisik dan mental calon mempelai.
Prinsip kematangan calon mempelai dimaksudkan bahwa calon suami
isteri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan

27 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2


15

perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari


perkawinan dan mendapat keturunan itu harus dicegah adanya
perkawinan di bawah umur. Maka dari itu dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa “perkawinan
hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”. Namun dalam ketentuan ayat
(2) Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 menyatakan dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita.
Calon suami isteri yang belum mencapai usia 19 tahun dan 16
tahun yang ingin melangsungkan perkawinan. Orang tua yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan dispensasi kawin
kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.28
1) Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh calon
mempelai pria yang belum berusia 19 tahun dan, calon mempelai
wanita yang belum berusia 16 tahun dan atau orang tua calon
mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai
tersebut tinggal.
0) Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dapat
memberikan dispensasi kawin setelah mendengar keterangan
dari orang tua, keluarga dekat atau walinya.
1) Permohonan dispensasi kawin besifat voluntair (produknya
berbentuk penetapan), jika pemohon tidak puas dengan
penetapan tersebut maka pemohon dapat mengaj ukan upaya
kasasi.
Permohonan dispensasi nikah yang telah didaftar sebagai perkara,
oleh hakim akan diterima dan diputus dengan membuat penetatapan
yang mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Hakim dalam
hal memberikan izin dispensasi nikah di bawah umur, harus
berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum, diantara

28 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 29


16

pertimbangan tersebut adalah, telah memenuhi persyaratan


administratif yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama antara
lain: tidak ada halangan untuk menikah, dewasa secara fisik, saling
mencintai dan tidak ada unsur paksaan, sudah memiliki pekerjaan dan
hamil di luar nikah.29
Perkawinan selanjutnya disebut pernikahan merupakan sebuah
lembaga yang memberikan legitimasi seseorang pria dan wanita
untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga.
Maka dari itu pernikahan pernikahan itu harus sesuai dengan tuntutan
syariat Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain yang
mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan
Agama/ Catatan Sipil.
Pencacatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar
dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap
isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak
waris dan lain-lain. Dalam hal nikah sirri atau perkawinan yang tidak
dicatatkan dalam administrasi Negara mengakibatkan perempuan
tidak memiliki kekuatan hukum dalam hak status pengasuhan anak,
hak waris, dan hak-hak lainnya sebagai isteri yang pas, akhirnya
sangat
merugikan pihak perempuan. Di bawah ini ada beberapa dasar hukum
mengenai pencacatan perkawinan/pernikahan,30 antara lain:
Undang-undang Nomor I tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2
Ayat 2 menyatakan: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku."31
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bab II
Pasal 2 Ayat 1: "Pencatatan Perkawinan dari mereka yang

29 Shofiyah Firdaus, Fenomena Dispensasi Perkawinan di Bawah Umur di Pengadilan Agamma


Blitar (Studi Kasus Tahun 2008-2010). Sskripsi Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah. Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki). Malang
30 Ni’ami, Uswatun. Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Pandangan Masyarakat Kelurahan
Buring Kecamatan Kedungkandang Kota Malang). Tesis, Program Studi Al A hwal Al
Syahkhshiyyah, Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
2011
31 Undang-undang No I tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 Ayat 2
17

melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan


oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 1954 Tentang Pencatat Nikah, Talak, dan
Rujuk."32
Ayat 2: "Pencatatan Perkawinan dari mereka yang
melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatn Sipil
sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundangundangan mengenai
pencatatan perkawinan."
Ayat 3: "Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang
khusus
berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku, tatacara pencatatn perkawinan dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 samapai Pasal 9 Peraturan
Pemerintah."
Pasal 6; Ayat 1: "Pegawai Pencatat yang menerima
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti
apakah syarat-sayart perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang."
Nikah yang sah menurut Undang-undang adalah nikah yang
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan dicatat oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pencatatan ini dilakukan jika
ketentuan dan peraturan sebagaimana Peraturan Menteri Agama
Nomor 11 Tahun 2007 telah dipenuhi.

C. Batas Ideal Usia Untuk Menikah


Batas usia untuk dapat melangsungkan pernikahan dapat dimaksudkan
ke dalam syarat yang harus dipenuhi calon pengantin sebagai bagian dari
rukun nikah. Islam tidak pernah memberikan batasan secara spesifik usia
untuk menikah, kecuali jika dikaitkan dengan pembagian fase perkembangan

32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawi nan. Bab II Pasal 2 Ayat 1
18

manusia dari segi tingkat kemampuannya menerima dan melaksanakan


hukum (ahliyyah al-wujub wa al-ada‟).
Status baligh seseorang dapat diketahui melalui peristiwa terjadinya
hadast besar yang ditunjukkan dengan keluarnya air mani atau mimpi basah
(ikhtilam) bagi laki-laki dan keluarnya darah atau mestruasi (haid) bagi
perempuan. Peristiwa datangnya hadast tersebut menandakan bahwa secara
biologis organ-organ tubuh seseorang yang mengalaminya sudah berfungsi
secara utuh dan sempurna tersmasuk alat reproduksi.33
Perbuatan seseorang dinilai sah menurut hukum bilamana diantara
pelakunya telah mampu memahami hukum secara baik. Indikasi untuk
mengetahui kemampuan itu dapat diketahui dari indikator biologis. Indikator
biologis adalah suatu kondisi seseorang ketika seseorang telah mengalami
perubahan biologis ke dalam bentuk dan fungsi tubuh yang dewasa.
Misalnya seorang perempuan mengalami haid dan laki-laki mimpi basah.
Indikasi ini dapat dijadikan sebagai indikator baligh sebab kondisi biologis
berperan dalam menentukan kondisi mental, artinya organ tubuh yang
matang akan mengasilkan suatu hormon tertentu yang menjadikan
seseorang tumbuh berfikir dan bersikap dewasa.
Akan tetapi kalau melihat konteks di Indonesia,bahwa
mempunyai Undang-undang yang mengatur penetapan usiamenikah.
Undang-undang setempat yaitu disebut sebagai Ijtihat Jamai yakini ijtihat
yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu
masa.
Sementara dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,34
terdapat beberapa kriteria usia anak. Menurut Undang-undang Nomor. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa batas usia anak adalah usia
18 tahun, baik untuk laki-laki ataupun untuk perempuan. Usia 18 tahun juga
diadopsi untuk Undang-undang Nomor. 13 tahun 2003 Tentang
ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor. 12 Tahun 1995 Tentang

33 Riyanto, Batas Minimal Usia Nikah (Studi Komparatif Antara Inmpres No. 1 Tahun 1991Tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Counter Legal Draft (CLD)), Skripsi S1 Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, (Yoyakarta: 2009)
34 Kustini, Ed. Menelusuri Makna Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak
Tercatat (Releansi Penelitian Perkawinan Di Bawah Umur Dan Perkawinan Tidak Tercatat:
Sebuah Pengantar), h. xxi
19

Permasyarakatan, Undang-undang Nomor. 39 Tahun 1999 Tentang HAM,


Undang-undang Nomor. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-undang
Nomor. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, Undang-undang Nomor. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan,
Undang-undang Nomor 03 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, serta
Undang-undang Nomor. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, usia 18
tahun untuk menghadap dan untuk saksi. Sementara Undangundang Nomor.
08 Tahun 2013 Tentang Pemilu menyebutkan usia 17 tahun atau sudah kawin
yang mempunyai hak pilih. Usia 17 tahun juga ditetapkan dalam Undang-
undang Nomor. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Penduduk. Sementara
untuk KUHPerdata, yang sudah tidak dianggap anak adalah usia 21 tahun
atau sudah menikah. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Pasal 7, usia yang di izinkan untuk kawin adalah
19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Sebenarnya dalam
Undangundang yang sama dalam Pasal 50 menyebutkan bahwa sebelum usia
18 tahun, anak berada dalam kekuasaan wali.
1. Usia Matang Secara Biologis
Adapun ciri-ciri kedewasaan seseorang menurut para ulama
adalah sebagai berikut: para ulama ahli fiqih sepakat dalam menentukan
taklif (dewasa dari segi fisik, yaitu seseorang sudah dikatakan mukallaf)
ketika sudah keluar mani (bagi laki-laki), dan sudah haid atau hamil
(bagi perempuan).65 Apabila tanda-tanda itu dijumpai pada seseorang
anak lakilaki maupun perempuan maka para fuqaha sepakat menjadikan
usia suatu ukuran, akan tetapi mereka berselisih pahan mengenai batas
seseorang yang telah dianggap sudah dewasa, berdasarkan ilmu
pengetahuan kedewasaan seseorang tersebut akan dipengaruhi oleh
keadaan zaman dan daerah dimana ia berada, sehingga ada perbedaan
cepat atau lambatnya kedewasaan seseorang.
2. Usia Matang Secara Psikologis
Ciri-ciri secara psikologi yang paling pokok adalah mengenali
pola sikap, pola perasaan, pola fikir dan pola perilaku tampak
diantaranya: pertama stabilitas mulai timbul dan meningkat, pada masa
ini terjadi banyak penyesuaian dalam aspek kehidupan; kedua, citra diri
20

dan sikap pandang lebih realistis, pada masa ini seseorang mulai dapat
menilai dirinya sebagai mana adanya, menghargai apa yang menjadi
miliknya, keluarganya orang lain seperti keadaan sesungguhnya
menjauhkan dari rasa kecewa; ketiga, mengahadapi masalah secara
lebih matang; keempat, perasaan merasa lebih tenang, ketenangan
perasaan dalam menghadapi kekecewaan atau hal-hal lain yang
mengakibatkan kemarahan mereka, ditunjang oleh adanya kemampuan
pikir dan dapat menguasai atau mendominasi perasaan-perasaannya
serta keadaan yang realistis dalam menentukan sikap, minat dan cita-
cita mengakibatkan mereka tidak terlalu sehingga timbul perasaan
puas dan kecewa dengan adanya kegagalan yang dijumpainya,
kebahagiaan akan semakin kuat jika mereka mendapat tanggapan baik
dari orang lain.35
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan fisik, ekonomi
maupun mental baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan untuk
memasuki jenjang kehidupan baru tersebut. Karena suatu ikatan dalam
pernikahan tersebut akan membentuk suatu keluarga yang baru yang akan
memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan oleh pasangan hidupnya, agar
terwujud keluarga yang bahagia dan kekal di dunia maupun akhirat
(sakinah, mawadah, warahmah).
Jadi setiap orang tidak dapat ditentukan batas usia minimal atau
maksimal mengalami menstruasi bagi perempuan, atau mimpi basah bagi
laki-laki. Usia baligh antara satu orang dengan orang lainnya tidak sama,
ada yang lebih cepat.

35 Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 36-40


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami isteri
(termasuk hubungan seksual) antara laki-laki dan perempuan serta
menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi membangun
keluarga yang sehat secara lahir dan batin. Sedangkan pernikahan muda
adalah suatu pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang belum
memenuhi syarat usia nikah yang ditentukan dalam Undang-undang
Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yakni bagi laki-laki belum
mencapai usia 19 tahun dan bagi perempuan belum mencapai usia 16
tahun.
2. Faktor penyebab pernikahan usia muda yang paling dominan adalah
tradisi, rendahnya pendidikan dan kebiasaan para orang tua yang selalu
menjodohjodohkan anak-anak mereka, serta masih adanya anggapan 1I‟
FSIjuXFOIhtX F (perempuan tidak laku) jika usia anak mereka lebih dari
12-15 tahun tapi belum menikah. Selain faktor tradisi faktor rendahnya
pendidikan dan ekonomi juga ikut ambil bagian terhadap tingginya minat
masyarakat Desa Yosorejo dalam melakukan pernikahan usia muda.
3. Dampak dari pernikahan usia muda adalah sering terjadinya pertengkaran
dalam rumah tangga meskipun tidak berakibat pada perceraian.
Sedangkan dampak yang akan dirasakan anak yang lahir dari pernikahan
usia muda ialah kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya, karena
mereka akan diasuh oleh nenek dan kakek mereka sedangkan orang tua
akan pergi merantau ke kota lain untuk mencari nafkah.

B. Saran
Dari kesimpulan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka
penulis juga memberikan saran-saran terkait dengan pernikahan usia muda,
yakni sebagai berikut:
1. Kepada masyarakat Desa Yosorejo untuk meningkatkan kesadaran
hukum dan pentingnya kematangan dan kedewasaan seseorang untuk
melaksanakan pernikahan, karena semakin dewasa calon pengantin,
semakin matang fisik dan mental seseorang akan semakin mampu
menghadapi tantangan kehidupan jadi lupakan mitos tentang
kewajiban menerima pinangan dan mengatakan bahwa anak yang
tidak menikah usia muda itu tidak laku.
0. Menumbuhkan semangat pendidikan bagi orang tua khususnya
bagi anak muda, Agar orang tua selalu memberikan motivasi kepada
anaknya bahwa betapa pentingnya pendidikan dan pengembangan
diri.
1. Kepada Pejabat Kantor KUA agar lebih intensif memberikan
penyuluhan, khususnya mengenai dampak negatif pernikahan usia
muda dan pentingnya pencatatan pernikahan.
2. Perlu adanya peran aktif dari tokoh agama dan tokoh masyarakat
agar bias bekerjasama untuk ikut serta meminimalisir jumlah
pernikahan usia muda, karena masyarakat banyak yang menikahkan
anaknya kepada kiayi yang mendapatkan persetujuan dari tokoh
masyarakat.
23

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Himpunana Peraturan Undang-undang Tentang Perkawinan,


Jakarta, Akademika Presindo, 1986.
Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia. 1999.
Adzim, Muhammad Fauzil. Indahnya Pernikahan Dini. Yogyakarta: Gema Insani
Press. 2003.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Prees, 1997.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group,
2007.
Indra, Hasbi, dkk. Potret Wanita Sholehah. Jakarta: Pena Madani, 2005.
Ed. Menelusuri Makna Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan
Tidak Tercatat (Releansi Penelitian Perkawinan Di Bawah Umur Dan
Perkawinan
Tidak Tercatat: Sebuah Pengantar). Jakarta Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Agama RI, 2013 Litbang dan Diklat Kementerian

Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Prenada Group, 1995


Kompilasi Hukum Islam. Bandung: UII Prees, 1999.
Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan. Yogyakarta: Lkism 2001.
Muhdlor, Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan. Bandung: Al-Bayani, 1995.
Nurudin, Amiur dan Azhari Trigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-undang Nomor.
1 Tahun 1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2006.
Rifae, Mien Ahmad. Manusia Gringsing, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998.
Sabiq, As-Sayyid . Fiqh as-Sunnah, cet. III. Beirut: Dar Al-Fikr, 1977. Shihab,
Muhammad Quraish. Wawasan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 2000.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Cet ke 19, 1999.
Sudarsono. Sepuluh Aspek Agama Islam, cet. I. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu. Sosiologi Keluarga. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
Thayib, Anshari. Struktur Rumah Tangga Muslim. Surabaya: Risalah Gusti, 1992

Firdaus, Shofiyah. “Fenomena Dispensasi Perkawinan di bawah umur di


Pengadilan Agama Blitar” (Studi Kasus Tahun 2008-2010).Skripsi.
Jurusan: Al-Ahwal al-Syakhshiyah. Fakultas: Syari’ah, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang.
Gaffar, Abdul. “Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) di MA Al-Azhar Yosorejo Gringsing
Batang.” Skripsi. Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Maulana Malik
Ibrahim, 2009.
Hairi. Fenomena Pernikahan Dini Dikalangan Masyarakat Gringsing (Studi
Kasus Di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pamekkasan), Skripsi
S1 Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushulluddin, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
Miftahun Ulul. “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkawinan Usia Muda dan
Upaya Pengendaliannya Terhadap Keutuhan Rumah Tangga (Studi
Kasus di Jember Wilayah Utara),” Magister Administrasi Publik
Program Pascasarjana Universitas Jember, 2006.
Pratama, Bintang. “Perspektif Remaja Tentang Per nikahan Dini (Studi Kasus di
SMA Negeri 04 Kota Bengkulu.)” Skripsi. Bengkulu: Fakultas Sosial
Dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu Bengkulu, 2014.
Antara Inpres No. 1 Tahun 1991).” Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Syariah Dan
Hukum IAIN

Anda mungkin juga menyukai