Anda di halaman 1dari 47

GAMBARAN SIKLUS ESTRUS TIKUS PUTIH (Rattus

norvegicus) OVARIEKTOMI YANG DIBERI TEPUNG


DAGING TERIPANG (Holothuria scabra)

DAUD ABDULLAH NURSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran Siklus
Estrus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Ovariektomi yang Diberi Tepung Daging
Teripang (Holothuria scabra) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

Daud Abdullah Nursyah


B04070081
ABSTRAK

DAUD ABDULLAH NURSYAH, B04070081. Gambaran Siklus Estrus Tikus


Putih (Rattus norvegicus) Ovariektomi yang Diberi Tepung Daging Teripang
(Holothuria scabra). Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI
SISMIN SATYANINGTIJAS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran siklus estrus pada tikus
putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley betina yang diovarektomi dan
kemudian diberi tepung daging teripang (Holothuria scabra). Tikus yang menjadi
objek penelitian berjumlah 12 ekor, dibagi menjadi 6 kelompok: kelompok K
(kontrol), kelompok OK (ovariektomi), kelompok EST (ovariektomi dan diberi
estrogen 0,02 μg/100 g BB) dan 3 kelompok lainnya yaitu (ovariektomi dan
diberi tepung daging teripang dengan dosis 30 μg/100 g BB-TD 30, 40 μg/100 g
BB-TD 40 dan 50 μg/100 g BB-TD 50). Estrogen dan tepung daging teripang
diberikan selama 20 hari dengan cara memasukkan langsung ke lambung
(pencekokan). Ulasan vagina dari seluruh kelompok dilaksanakan selama 15 hari,
dimulai pada saat pencekokan telah berjalan 5 hari. Pemeriksaan ulasan vagina
dilakukan guna memeriksa gambaran sel epitel pada vagina tikus sehingga dapat
menentukan fase estrus dan menghitung panjang siklus estrus. Pengambilan
ulasan vagina dilakukan secara rutin sehari tiga kali dengan rentang waktu 8 jam.
Hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah tepung daging teripang dapat
mengembalikan siklus estrus pada tikus ovariektomi. Waktu estrus paling panjang
dijumpai pada kelompok TD 50.
Kata kunci : teripang, ovariektomi, siklus estrus, estrogen.
ABSTRACT

DAUD ABDULLAH NURSYAH, B04070081. The estrous cycle of


ovariectomized rats (Rattus norvegicus) and given sea cucumber (Holothuria
scabra) powder. Under direction of NASTITI KUSUMORINI and ARYANI
SISMIN SATYANINGTIJAS.

The aim of this research was to know the return of estrous cycle of female
Sprague-Dawley rats (Rattus norvegicus). Which have been ovariectomized and
given sea cucumber (Holothuria scabra) powder. Twelve rats were used in this
study and divided into six groups: K groups, OK (ovariectomized) group, EST
(ovariectomized and given estrogen 0,02 µg/100 g BW) group and other three TD
groups (ovariectomized and given sea cucumber powder with doses of 30 µg/100
g BW-TD 30, 40 µg/100 g BW-TD 40 and 50 µg/100 g BW-TD 50). Estrogen
and sea cucumber powder are given for 20 days by entering directly into the
stomach. The vaginal swab has taken for all groups during 15 days, started at the
fifth day of treatment. The purpose of vaginal swab were to check vaginal
ephitelium cell of rat to assess the duration of estrous cycle. Vaginal swab had
been done three times a day with eight hours interval. Results obtain indicated
that sea cucumber powder has an effect on returning the estrous cycle of
ovariectomized rats. The longest estrous duration found in the TD 50.

Keywords : sea cucumber, ovariectomy, estrous cycle, estrogen.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
GAMBARAN SIKLUS ESTRUS TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus) OVARIEKTOMI YANG DIBERI TEPUNG
DAGING TERIPANG (Holothuria scabra)

DAUD ABDULLAH NURSYAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Gambaran Siklus Estrus Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Ovariektomi yang Diberi Tepung Daging Teripang
(Holothuria scabra)
Nama Mahasiswa : Daud Abdullah Nursyah
NIM : B04070081
Program Studi : Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor

Disetujui

Dr. dra. Nastiti Kusumorini, AIF. Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc., AIF.
Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono MS, Ph.D., APVet.


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah


SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa
kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Dengan segala keikhlasan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima
kasih kepada
1. Abah (Drs. Adang Yuliansyah) dan Ema (Nurlita) tercinta dan tersayang, yang
senantiasa memberikan kasih sayang dan dorongan dalam bentuk doa,
motivasi, dan materi
2. Adik-adik (Muh. Solehudinsyah) dan (Fauzi Mustofa Nabhansyah) yang terus
memberikan semangat dan keceriaan sehingga membuat penulis dapat selalu
tersenyum.
3. Dr. dra Nastiti Kusumorini, AIF. dan Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc.,
AIF., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan,
dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Beliau adalah sumber motivasi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc. sebagai pembimbing akademik penulis selama
menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
5. Keluarga besar Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang
membantu penulis selama penelitian yaitu Pak Edi, Bu Ida dan Bu Sri.
6. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis “suju-run” : Adit, Antok, cholil, rissar,
rio, ridwan, kiki atas kerjasamanya sebagai tim ceria. Ucapan terimakasih juga
kepada teman-teman Gianuzzi FKH 44, yang dalam empat tahun terakhir selalu
bersama baik di dalam suka maupun duka. Selanjutnya saya ucapkan
terimakasih kepada keluarga Istana Ceria: Martua, Sauqi, Undu, Rendra, Adit,
Fakhri, Antok, Dion, Abdal, Eko, Loris, dan Tuan Guntur, yang selalu
memberikan arti penting persaudaraan. Serta terima kasih keluarga Teratai:
Arip, Abang Indra, Rudi, Juntoji, Saprol, Fahmi dan semuanya atas
dukungannya.
7. Mira Suryaningsih atas kesabaran, kasih sayang, perhatian, doa, dan semangat
kepada penulis.
8. Serta semua pihak yang telah terlibat dalam pengerjaan penelitian dan
penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang membutuhkan.
Amin.

Bogor, Oktober 2012

Daud Abdullah Nursyah


B04070081
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 26 Mei 1990 dari
ayah Drs. Adang Yuliansyah dan ibu Nurlita. Penulis merupakan putra pertama
dari tiga bersaudara. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMAN 1 Cibeber
Cianjur dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun
2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Mayor yang dipilih
penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB). Penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan
Indonesia (IMAKAHI) sebagai Ketua Departemen Zoonosis, Himpunan Minat
dan Profesi Ruminansia FKH IPB (2008-2010).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. vi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. vii
PENDAHULUAN ………………………………………………………….. 1
I.1. Latar belakang ……………………………………………………... 1
I.2. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 2
I.3. Hipotesis …………………………………………………………… 2
I.4. Manfaat Penelitian …………………………………………………. 2
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………. 3
II.1. Teripang (Holothuria scabra) …………………………………….. 3
II.1.1. Biologi Teripang …………………………………………....... 3
II.1.2. Manfaat Teripang …………………………………………….. 4
II.1.3. Penggunaan Teripang pada Hewan Percobaan ……………….. 5
II.1.4. Kandungan Nutrisi Teripang ………………………………..... 5
II.2. Tikus Putih (Rattus norvegicus) …………………………………… 6
II.2.1. Biologi Tikus Putih …………………………………………… 6
II.2.2. Konsumsi Pakan ……………………………………………… 11
II.3. Hormon …………………………………………………………….. 12
II.3.1. Hormon Steroid ………………………………………………. 12
II.3.2.Hormon Estrogen ……………………………………………… 15
BAHAN DAN METODE PENELITIAN …………………………………… 18
III.1. Waktu dan Tempat ………………………………………………... 18
III.2. Bahan dan Alat ……………………………………………………. 18
III.3. Hewan Coba dan Pemeliharaanya ………………………………… 18
III.4. Pelaksanaan Penelitian ……………………………………………. 18
III.4.1. Pengelompokan Hewan Coba ………………………………... 18
III.4.2. Perlakuan …………………………………………………….. 19
III.4.3. Pengamatan …………………………………………………… 20
III.4.4. Analisis Data …………………………………………………. 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………… 22
IV.1. Pengaruh Pemberian Tepung Daging Teripang (TD) Terhadap
Total Panjang Siklus Estrus ………………………………………. 22
IV.2. Pengaruh Pemberian Tepung Daging Teripang (TD) Terhadap
Waktu Setiap Fase Pada Siklus Estrus ……………………………. 24
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….. 28
Simpulan ……………………………………………………………... 28
Saran ………………………………………………………………….. 28
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 29
DAFTAR TABEL
Halaman

1 Data fisiologis tikus ……………………………………………………………….. 7


2 Kebutuhan zat makanan tikus putih ………………………………………………. 12
3 Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina …………………………………. 20
4 Rataan total panjang siklus estrus …………………………………………………. 22
5 Panjang rataan setiap fase pada siklus estrus tikus ………………………………… 24
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Rattus norvegicus …………………………………………………………………. 8


2 Struktur kolesterol ………………………………………………………………… 13
3 Struktur estrogen ………………………………………………………………….. 14
4 Steroidogenesis pada betina ………………………………………………………. 15
5 Diagram pelaksanaan penelitian ………………………………………………….. 19
6 Gambaran mikroskopis fase estrus ulas vagina pada tikus ………...…………….. 20
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Reproduksi adalah proses fisiologis yang terjadi pada seluruh makhluk
hidup guna mempertahankan keturunan dan kelangsungan hidup. Proses ini
memerlukan bantuan hormon reproduksi yaitu hormon yang secara langsung atau
tidak langsung berpartisipasi dalam proses reproduksi. Beberapa hormon yang
termasuk dalam hormon reproduksi adalah estrogen, progesteron dan testosteron.
Perkembangan organ reproduksi tergantung dari hadirnya hormon-hormon
reproduksi tersebut. Estrogen adalah salah satu hormon reproduksi yang
dihasilkan oleh sel-sel granulosa folikel de Graaf dan berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi, perkembangan sifat seksual
sekunder, perilaku persiapan kawin (siklus estrus), persiapan uterus untuk
implantasi (kehamilan) dan perkembangan kelenjar mamae (Hafez et al. 2000).
Pentingnya peran hormon terhadap proses reproduksi mendorong peneliti
melakukan berbagai percobaan untuk mencari alternatif sumber hormon dari luar
tubuh sebagai pengganti atau penambah hormon dalam tubuh, apabila terjadi
gangguan yang diakibatkan oleh hormon tersebut.
Menopause adalah kondisi penurunan fungsi fisiologis reproduksi pada
wanita sebagai akibat penurunan fungsi ovarium yang menyebabkan
berkurangnya hingga hilangnya produksi estrogen. Keadaan menopause sering
dihubungkan dengan beberapa masalah seperti gangguan vasomotor dan
penurunan masa tulang sehingga wanita berisiko mengalami osteoporosis,
kekeringan vagina, kolesterol dan penyakit jantung (Cassidy et al. 2006). Pada
masa menopause dimana kadar estrogen sangat rendah, asupan bahan yang
mempunyai fungsi seperti estrogen misalnya fitoestrogen mampu berfungsi
sebagai estrogen yang melindungi tubuh dari sindrom menopause dan
osteoporosis (Wirakusumah 2003).
Beberapa senyawa yang berasal dari hewan laut diketahui mempunyai
sifat androgenik dan estrogenik yaitu senyawa yang mengandung substansi yang
bersifat seperti hormon androgen dan estrogen, sehingga dapat berikatan dengan
reseptornya. Teripang adalah salah satu hewan laut yang diduga mengandung
2

senyawa androgenik (Kustiariyah 2006). Riani et al. (2008) telah melakukan


ekstraksi testosteron dari teripang pasir. Sementara itu Kustiariyah (2006) juga
berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang, dan telah diaplikasikan sebagai
aprodisiaka pada manusia (Kustiariyah 2006 dan Dewi 2008). Pemberian
testosteron pada laki-laki lanjut usia juga dapat meningkatkan kekuatan otot, hal
ini karena pemberian testosteron dapat meningkatkan sintesis protein otot rangka
(Urban et al. 1995). Adanya testosteron pada teripang, juga diduga dapat menjadi
sumber estrogen untuk memperbaiki kinerja reproduksi. Dasar pemikirannya
adalah hadirnya testosteron pada individu betina dapat dirubah menjadi estrogen.

1.1 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran siklus estrus pada tikus
betina (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley ovariektomi dan diberi tepung
daging teripang (Holothuria scabra).

1.2 Hipotesis
Pemberian tepung daging teripang diharapkan dapat memperbaiki konsentrasi
estrogen tubuh dengan indikator kembalinya siklus estrus pada tikus ovariektomi.

1.3 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pengaruh tepung daging teripang pada perbaikan reproduksi tikus putih dewasa.
Manfaat aplikasi pemberian tepung daging teripang ini diharapkan dapat dijadikan
dasar pengetahuan untuk dapat diaplikasikan pada manusia yang kekurangan
hormon estrogen seperti pada manusia yang berada dalam keadaan menopause
dan dapat mengatasi masalah yang menyertainya seperti osteoporosis dan
kolesterol dalam tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Teripang (Holothuria scabra)


II.1.1. Biologi Teripang
Teripang adalah hewan laut yang penyebaran hidupnya sangat luas dan
paling banyak ditemukan di wilayah Indo-Pasifik Barat. Teripang umumnya
menempati ekosistem terumbu karang dengan perairan yang jernih, bebas dari
polusi, air relatif tenang dengan mutu air cukup baik. Habitat yang ideal bagi
teripang adalah air laut dengan salinitas 29-33 % yang memiliki kisaran pH 6,5-
8,5, kecerahan air 50-150 cm, kandungan oksigen terlarut 4-8 ppm dan suhu air
laut 20-25 C (Wibowo et al. 1997).
Klasifikasi teripang Holothuria scabra menurut Wibowo et al. (1997)
adalah sebagai berikut:
Filum : Echinodermata
Sub Filum : Echinozoa
Kelas : Holothuroidea
Sub Kelas : Aspichitotecea
Ordo : Aspidoochirota
Famili : Aspidochirotae
Genus : Holothuria
Spesies : Holothuria a.H. Scabra J.

Teripang atau yang juga disebut ketimun laut, merupakan hewan tidak
bertulang belakang yang termasuk dalam famili Holothuridae dan Stichopdidae.
Panjang tubuh teripang sekitar 5-40 cm dan pada saat hidup bobotnya dapat
mencapai 500 g (Wibowo et al. 1997). Menurut James et al. (1994) teripang pasir
mempunyai panjang maksimal 40 cm dan bobot saat kondisi hidup adalah 500 g,
serta matang gonad saat usia 18 bulan. Ukuran saat matang gonad pertama
diperkirakan 20 cm dan usia teripang bisa mencapai 10 tahun. Teripang pasir
berbentuk bulat, panjang seperti ketimun, dengan punggung abu-abu atau
kehitaman berbintik putih atau kuning, di seluruh permukaan tubuh diselimuti
lapisan kapur. Tubuh teripang kesat, berotot tebal dengan kulit berbintik-bintik.
4

Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik teripang pasir (Holothuria scabra)


(Wibowo et al. 1997).
Rata-rata usia teripang dewasa adalah 5,5-8 bulan. Teripang yang telah
dewasa atau matang gonad sangat penting untuk bahan baku ekstraksi testosteron
alami karena sudah mulai memproduksi hormon-hormon reproduksi untuk
melangsungkan kegiatan reproduksi. Adanya hormon reproduksi pada teripang
telah dewasa (matang gonad) memungkinkan perolehan hormon tersebut dari
ekstraksi terhadap bahan bakunya. Karakteristik teripang pasir dalam penelitian
yang digunakan Riani et al. (2008) dalam mengekstrak testosteron, yakni teripang
berwarna abu-abu sampai kehitaman dengan garis melintang berwarna hitam.
Bobot rata-rata teripang yang digunakan pada penelitian Riani et al. (2008) adalah
300-500 g/ekor, dengan ukuran panjang tubuh lebih dari 20 cm. Karakteristik
teripang yang digunakan Nurjanah (2008) dalam mengekstrak testosteron
memiliki bobot 200-500 g dan panjang lebih dari 9 cm. Dijelaskan lebih lanjut,
bahwa teripang segar mengandung testosteron lebih banyak dari pada teripang
yang sudah dikeringkan (Riani et al. 2008), sedangkan bagian tubuh teripang yang
paling banyak mengandung testosteron adalah daging teripang dibandingkan testis
dan jeroan. Bobot daging adalah sebesar 44,63 ±12,54% dari bobot teripang segar,
bobot testis sebesar 5,00 ±0,17 % dari bobot teripang segar dan jeroan sebesar
28,13 ± 1,89 % dari bobot teripang segar.

II.1.2. Manfaat Teripang


Pemanfaatan dan penelitian tentang teripang telah dimulai sejak lama.
Etnis Cina mengenal teripang sebagai makanan berkhasiat medis sejak dinasti
Ming. Sedangkan di Indonesia, teripang telah dimanfaatkan cukup lama terutama
oleh masyarakat sekitar pantai sebagai bahan makanan (teripang kering, teripang
kaleng, kerupuk teripang dan lain-lain) (Nuraini & Wahyuni 1989). Tubuh dan
kulit teripang Stichopus japonicus banyak mengandung asam mukopolisakarida
yang bermanfaat untuk penyembuhan penyakit ginjal, anemia, diabetes, paru-paru
basah, anti tumor, anti inflamasi, pencegahan penuaan jaringan tubuh dan
mencegah arteriosklerosis, sedangkan ekstrak murninya menghasilkan holotoksin
(anti bakteri) yang efeknya sama dengan antibiotik (Wibowo et al. 1997).
5

Menurut Wibowo et al. (1997), teripang mengandung bahan bioaktif


(antioksidan) yang berfungsi mengurangi kerusakan sel jaringan tubuh. Selain itu
teripang juga mengandung antibakteri (Haug et al. 2002), dan anti fungi (Murray
et al. 2001). Teripang Stichopus japonicus mengandung enzim arginin kinase
(Guo et al. 2003), teripang Holothuria glaberrina mengandung serum amyloid A
(Cardona et al. 2003), teripang Stichopus mollis mengandung glikosida (Moraes et
al. 2004), dan teripang Stichopus japonicus mengandung fucan sulfat sebagai
penghambat osteoclastogenesis (Kariya et al. 2004).
Hasil penelitian Idid et al. (2001) dan Jha & Zi-roung (2004) menyatakan
bahwa teripang mengandung senyawa steroid saponin, diantaranya aktif sebagai
antibakteri dan anti-inflamasi serta cytotoxic. Disamping mengandung antibakteri,
teripang juga dilaporkan mengandung berbagai asam lemak tak jenuh seperti
linoleat, oleat, eikosa pentaenoat (EPA), dan docosaheksaenoat (DHA) (Fredalina
et al. 1999).

II.1.3. Penggunaan Teripang pada Hewan Percobaan


Kustiariyah (2006), berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang dan
mengaplikasikan pada ayam jantan yang berusia tujuh hari, hal ini
memperlihatkan munculnya ciri-ciri seksual sekunder yang sangat dini,
ditunjukkan berupa munculnya jengger, taji serta munculnya sifat-sifat kejantanan
seperti suara berkokok dan keinginan untuk berlaga. Pemanfaatan teripang
sebagai aprodisiaka pada manusia telah dilakukan (Kustiariyah 2006 dan Dewi
2008) dan diuji coba pada mencit (Nurjanah 2008). Ekstrak steroid teripang yang
mengandung testosteron (Kustiariyah 2006) juga dapat diaplikasikan terhadap
komoditi lain seperti pada udang galah dan ikan gapi jantan (Riani et al. 2008).

II.1.4. Kandungan Nutrisi Teripang


Zat gizi yang terkandung dalam teripang antara lain protein 6,16 %, lemak
0,54%, karbohidrat 6,41 % dan kalsium 0,01% (kondisi segar, kadar air 86,73%).
Teripang kering mempunyai kadar protein tinggi yaitu 82% dengan kandungan
asam amino yang lengkap dan asam lemak jenuh yang penting untuk kesehatan
jantung. Selain itu teripang juga mengandung phospor, besi dan yodium, natrium,
6

kalium, vitamin A dan B, thiamin, riboflavin dan niacin (Wibowo et al. 1997).
Menurut Ibrahim (2001) cairan dan tubuh teripang mengandung protein lebih dari
44%, karbohidrat antara 3-5% dan lemak 1,5%, sedangkan Martoyo et al. (2000)
menjelaskan bahwa kandungan gizi teripang kering adalah protein 82%, lemak
1,7%, air 8,9%, abu 8,6% dan karbohidrat 4,8%.

II.2. Tikus Putih (Rattus norvegicus)


II.2.1. Biologi Tikus Putih
Tikus putih sudah lama digunakan sebagai hewan laboratorium. Biasanya
hewan ini digunakan dalam melakukan penelitian-penelitian (percobaan). Tikus
putih ini berasal dari China dan diperkirakan menyebar ke bagian Eropa pada
abad 16-18 (Amori & Clout 2002). Secara fisik, ukuran badan jantan biasanya
lebih besar daripada betina (Avalos & Callahan 2001). Tikus merupakan salah
satu hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah,
karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus memiliki beberapa galur yang
merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk
penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley (Weihe 1989).
Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin
pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-
Dawley memiliki ciri-ciri kepala yang pendek dan ekor yang lebih panjang
daripada badannya dibandingkan dari galur lainnya (Harkness & Wagner 1989).
Tikus yang banyak digunakan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih
(Rattus norvegicus). Hewan percobaan ini memiliki beberapa keunggulan yaitu
penanganan dan pemeliharaannya mudah, biaya yang dibutuhkan tidak mahal,
umur relatif pendek, sifat reproduksi menyerupai mamalia besar, lama
kebuntingan singkat, angka kelahiran tinggi, siklus estrus pendek dan karakteristik
setiap fase siklus jelas (Malole & Pramono 1989). Secara garis besar, data
fisiologis tikus putih dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
7

Tabel 1 Data Fisiologis Tikus


Kriteria Nilai
Berat badan dewasa jantan 450 - 520 g
Berat badan dewasa betina 250 - 300 g
Berat lahir 5-6g
Suhu tubuh 35,9 - 37, 5 0C
Harapan hidup 2,5 - 3,5 tahun
Konsumsi makanan 10 g/100 g/hari
Konsumsi air minum 10 - 12 ml/100 g/hari
Detak Jantung 250 - 450/menit
Volume darah 54 - 70 ml/kg
Tekanan darah 84 - 134/60 mmHg
Protein Serum 5,6 - 7,6 g/dl
Albumin 3,8 - 4,8 g/dl
Globulin 1,8 - 3,0 g/dl
Glukosa serum 50 - 135 mg/dl
Nitrogen urea darah 15 - 21 mg/dl
Kreatinin 0,2 - 0,8 mg/dl
Total bilirubin 0,20 - 0,55 mg/dl
Lemak serum 70 - 415 mg/dl
Fosfolipid 36 - 130 mg/dl
Trigliserida 26 - 145 mg/dl
Kolesterol 40 - 130 mg/dl
Sumber: Malole & Pramono 1989

Fungsi dan bentuk organ, serta proses biokimia dan biofisik antara tikus
dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan manusia
antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus, tingkat pertumbuhan
tikus yang lebih cepat dari manusia, dan kurang pekanya tikus pada senyawa
neurotoksik dan teratogen. Tikus dapat membuat vitamin C sendiri sedangkan
manusia hanya memperoleh vitamin C dari makanan. Berbeda dengan manusia,
tikus tidak mempunyai kantung empedu. Sifat-sifat dari tikus yang sudah
diketahui dengan sempurna inilah yang menjadikan tikus sering digunakan dalam
penelitian (Malole & Pramono 1989).
8

Taksonomi tikus putih menurut Hedrich (2006), sebagai berikut:


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Famili : Muroidae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus Norvegicus Gambar 1 Rattus norvegicus
(Jondriatno 2012).

Menurut McNamara (2006), tikus mengalami dewasa kelamin pada umur


60-90 hari. Lama kebuntingannya sekitar 20-22 hari, sedangkan masa laktasinya
adalah 21 hari. Masa hidup dari tikus putih ini adalah lebih kurang 4 tahun. Dalam
aktivitas reproduksinya, tikus mempunyai sifat poliestrus yaitu hewan yang
memiliki siklus berahi lebih dari dua kali dalam setahun. Siklus berahi
dipengaruhi dan diatur oleh hormon-hormon reproduksi dan berlangsung selama
4-6 hari. Siklus berahi pertama timbul setelah 1-2 hari dari mulainya pembukaan
vagina yang terjadi pada umur 28-29 hari (Malole & Pramono 1989). Untuk
menentukan tahapan deteksi siklus berahi dapat dilakukan dengan teknik
papsmear (ulas vagina), dengan melihat gambaran epitel vaginanya menggunakan
mikroskop sehingga dapat dibedakan menjadi proestrus, estrus, metestrus dan
diestrus (Partodiharjo 1992).
Fase estrus dipengaruhi mekanisme hormonal yaitu hubungan antara
hormon-hormon hipotalamus-hipofisis (GnRH, LH, FSH), hormon-hormon
ovarial (estradiol dan progesteron) dan hormon uterus (prostaglandin). Siklus
estrus hewan dapat dibagi menjadi fase folikuler dan fase luteal dengan masing-
masing memiliki periode perkembangan yang berkaitan dengan periode
fungsional ovarium (Macmillan & Burke 1996). Fase folikuler merupakan fase
siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya
9

folikel de Graaf saat ovulasi. Sedangkan fase luteal yang terjadi setelah ovulasi
merupakan periode sekresi progesteron oleh korpus luteum meliputi lebih dari dua
pertiga siklus estrus. Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi
menjadi empat stadium yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase
folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi; fase luteal
terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan diakhiri dengan luteolisis
(Macmillan & Burke 1996).
Proestrus merupakan fase menjelang estrus dimana gejala berahi mulai
muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan
kawin. Pada fase ini folikel de Graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan
menghasilkan estrogen dalam jumlah banyak. Pada fase ini, estradiol
menyebabkan betina mulai mau didekati jantan. Saluran reproduksi termasuk
mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga sel-
sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Menurut Baker et al. (1980),
fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang
muncul secara tunggal atau bertumpuk (berlapis-lapis) jika dilihat dengan
menggunakan metode ulas vagina. Pada tikus fase ini berlangsung selama kira-
kira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Fase proestrus akan dilanjutkan ke fase estrus yang ditandai dengan
keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi.
Pada fase ini estradiol yang berasal dari folikel de Graaf yang matang akan
menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi betina (Toelihere
1985). Baker et al. (1980) menyatakan bahwa fase estrus dapat diketahui dengan
adanya sel-sel tanduk yang banyak pada lumen vagina yang biasanya nampak
pada preparat ulas vagina dan berlangsung selama 12 jam. Menurut Baker et al.
(1980) pembelahan dan proses penandukan (kornifikasi) epitel vagina tergantung
dari meningkatnya kadar estrogen dalam tubuh sehubungan dengan akhir periode
pertumbuhan folikel. Proses estrus sangat erat kaitannya dengan mekanisme
sistem hormonal.
10

Pada fase estrus, estrogen meningkatkan sensitivitas sel-sel penghasil


gonadotropin pada hipofisa sehingga menghasilkan LH yang dapat menyebabkan
ovulasi ketika kadar LH mencapai puncak (Hafez et al. 2000). Telah dilaporkan
oleh beberapa peneliti sebelumya bahwa pada saat estrus konsentrasi estrogen
meningkat sesuai dengan pertumbuhan folikel de Graaf, dan selanjutnya di bawah
pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisis anterior terjadilah
ovulasi dan pembentukan corpus luteum (CL). Ovulasi terjadi pada akhir estrus
dalam waktu yang sangat singkat. Setelah ovulasi terjadi, pada ovarium akan
mengalami fase luteal, fase luteal adalah fase pembentukan CL yang dapat
menghasilkan progesteron, sedangkan pada vagina terjadi fase metestrus dan
diestrus. Pada waktu CL telah mencapai ukuran maksimal dan fungsional akan
terjadi peningkatan konsentrasi progesteron (Turner & Bagnara 1988).
Korpus luteum pada tikus tidak hanya memproduksi progesteron tapi juga
memproduksi hormon estrogen, androgen dan hampir semua hormon steroid yang
aktif (Khan et al. 1985). Menurut Silva et al. (2004), secara in vitro FSH dapat
mempengaruhi pertumbuhan folikel primordial pada kambing. Yu et al. (2003)
melaporkan bahwa FSH dan LH dapat mencegah terjadinya folikel atresia.
Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung
selama 21 jam (Baker et al. 1980). Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
menyatakan bahwa fase metestrus dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium 1 yang
berlangsung kira-kira 15 jam dan stadium 2 kira-kira berlangsung selama 6 jam.
Pada fase ini umumnya tidak terjadi perkawinan. Pada fase metestrus dan diestrus,
uterus mengalami fase sekretoris. Pada fase ini, ovarium mengandung corpora
lutea dan folikel-folikel kecil. Fase ini ditandai dengan bertumbuhnya CL dan sel-
sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh LH dari adenohiphofisa.
Menurut Baker et al. (1980) fase metestrus dapat diketahui dengan adanya
dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan
metode ulas vagina. Selama metestrus, uterus menjadi agak lunak karena terjadi
pengendoran otot serta melakukan persiapan untuk menerima dan memberi makan
embrio.
11

Pelepasan epitel dan penyusunan leukosit terjadi bila kadar estrogen


menurun dan bila pengaruh estrogen menghilang epitel vagina kembali dalam
keadaan inaktif. Kondisi demikian disebabkan oleh banyaknya pembelahan
mitosis yang terjadi di dalam mukosa vagina dan sel-sel baru yang menumpuk,
sementara lapisan permukaan memiliki bentuk skuamosa dan bertanduk. Sel-sel
bertanduk ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Partodihardjo 1992). Fase
diestrus adalah fase setelah metestrus. Fase ini merupakan fase terpanjang diantara
fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60-70 jam. Pada
fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar
mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan
leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulasan vagina pada fase ini
menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner & Bagnara 1988).

II.2.2. Konsumsi Pakan Tikus


Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) kebutuhan pakan bagi seekor
tikus putih setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, jika
pakan tersebut merupakan bahan kering. Hal ini dapat meningkat sampai 15% dari
bobot tubuhnya, jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Tikus putih
dewasa makan setiap hari antara 12-20 g/kg BB. Bahan dasar makanan tikus dapat
bervariasi, dengan komposisi protein 20-25% (akan tetapi hanya 12% jika protein
lengkapnya berisi asam amino esensial dengan konsentrasi yang benar), lemak
5%, pati 45-50%, serat kasar kira-kira 5% dan abu 4-5% (Smith &
Mangkoewidjojo 1988). Makanan tikus juga harus mengandung vitamin A (4000
IU/kg), vitamin D (1000 IU/kg), alfa-tokoferol (30 mg/kg), asam linoleat (3 g/kg),
tiamin (4 mg/kg), riboflavin (3 mg/kg), pantotenat (8 mg/kg), vitamin B 12 (50
µg/kg), biotin (10 µg/kg), piridoksin (40-300 µg/kg) dan kolin (1000 mg/kg).
Kebutuhan nutrisi lengkap tikus putih tercantum pada Tabel 2.
12

Tabel 2 Kebutuhan Zat Makanan Tikus Putih


Konsentarsi dalam Ransum
Nutrisi Satuan
Hidup Pokok Pertumbuhan
Protein (ideal) g 50 150
Lemak g 50 50
Energi dapat dicerna kkal/g 3,8 4,1
Asam Amino
Arginin g - 0,67
Histidin g 0,8 2,8
Isoleusin g 3,1 6,2
Leusin g 1,8 10,7
Lisin g 1,1 9,8
Methionin g 0,25 0,67
Threonine g 1,8 6,2
Tryptophan g 0,5 2,0
Valine g 2,3 7,4
Nonesensial g - 66
Mineral
Kalsium g - 5
Fosfor g - 3
Vitamin
A mg - 0,7
D mg - 0,025
E mg - 18
K mg - 1
Sumber: NRC (1995). NRC berdasarkan as fed dengan kandungan kadar air 10% dan 3,8 – 4,1 kkal ME/gram

Menurut NRC (1995), tikus putih membutuhkan nutrien untuk hidup


pokok sebesar 50 gram protein, 150 gram lemak dan 3,8 kkal ME/g energi,
sedangkan untuk pertumbuhan sebesar 150 gram protein kasar, 50 gram lemak
dan 4,1 kkal ME/g energi. Menurut McNamara (2006), tikus dalam masa
pertumbuhannya membutuhkan 12-13% protein dan 4-6% untuk hidup pokok.
Kandungan lemak, energi, kalsium dan fosfor yang dibutuhkan tikus dalam masa
pertumbuhannya secara berturut-turut adalah 5%; 3,8 kkal ME/g; 0,5% dan 0,4%.

II.3. Hormon
II.3.1. Hormon Steroid
Hormon adalah bahan kimia organik, merupakan senyawa aktif biologis
yang dihasilkan oleh kelenjar, jaringan atau organ tertentu dari hewan dan
manusia, bekerja pada konsentrasi kecil dan mempunyai cara kerja yang spesifik.
Sedangkan steroid merupakan hormon turunan kolesterol yang mengandung 27
atom C dan dihasilkan oleh testis, ovarium, korteks adrenalis dan plasenta. Steroid
mempunyai bobot molekul sekitar 300 gram/mol (Bischof & Islami 2003).
13

Gambar 2 Struktur kolesterol (Johnson & Everitt 1984)

Klasifikasi hormon steroid berdasarkan respon fisiologis adalah sebagai


berikut (Nogrady 1992) :
1. Glukokortikoid, seperti kortikal (C21) yang mengatur metabolisme protein,
lemak dan karbohidrat, serta mempengaruhi fungsi-fungsi penting seperti
reaksi inflammatori dan meredakan stress.
2. Aldosteron dan mineralkortikoids lainnya, mengatur pembuangan garam dan
air melalui ginjal.
3. Androgen dan estrogen yang mengatur perkembangan dan fungsi seksual.
Testosteron, komponen C19 merupakan hormon androgen yang mengatur
fungsi seks jantan.
Penggunaan hormon steroid dalam kegiatan reproduksi adalah untuk
proses diferensiasi kelamin, pembentukan gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan,
ciri kelamin sekunder, perubahan morfologis atau fisiologis saat musim pemijahan
dan produksi feromon (Yamazaki 1983). Menurut Piferrer et al. (1994), perlakuan
hormon steroid selain berpengaruh terhadap diferensiasi seks juga dapat
menimbulkan efek terhadap pertumbuhan. Hormon steroid disintesis dari
kolesterol yang berasal dari asetat pada banyak jaringan dalam tubuh. Perubahan
kolesterol menjadi pregnenolon merupakan tahapan pertama pada formasi
keseluruhan proses pembentukan steroid. Selama proses sintesis pada hewan
betina, progesteron dan testosteron akan disintesis pertama kali, progesteron akan
14

diubah menjadi testosteron dan kemudian testosteron diubah menjadi estrogen


(Johnson & Everitt 1984).
Pregnenolon kemudian diubah menjadi seks steroid. Struktur hormon
steroid mempunyai kemiripan dengan struktur kolesterol. Sifat hormon steroid
juga sama dengan kolesterol yaitu tidak larut dalam air sehingga membutuhkan
protein carrier sebagai pembawa hormon steroid dalam sirkulasi untuk menuju sel
targetnya. Protein carrier tersebut bisa berupa albumin dan globulin. Perbedaan
hormon steroid antara progesteron, estrogen dan testosteron adalah terletak pada
jumlah atom karbonnya. Progesteron memiliki aton karbon 21, testosteron
memiliki atom karbon 19 sedangkan estrogen memiliki atom karbon 18 (Johnson
& Everitt 1984).
Hormon steroid yang banyak berperan dalam proses reproduksi dibagi
dalam tiga kelompok di bawah ini (Nogrady 1992)
1. Estrogen; merupakan hormon kelamin betina, diproduksi oleh ovarium,
plasenta dan korteks adrenalis. Terdapat tiga tipe hormon dalam kelompok ini,
yaitu estron, estradiol dan estriol.
2. Progesteron (Gestagen); merupakan hormon kelamin betina yang menjaga
kehamilan, diproduksi oleh korpus luteum dan plasenta.
3. Testosteron; merupakan hormon kelamin jantan, diproduksi oleh testis, dan
dalam jumlah yang lebih kecil oleh korteks adrenalis dan ovarium.

Gambar 3 Struktur estrogen (Guyton & Hall 1997)


15

II.3.2. Hormon Estrogen


Hormon estrogen terutama dihasilkan oleh ovarium pada sel teka dan sel
granulose, sedikit oleh korpus luteum, plasenta, korteks adrenal dan testis.
Estrogen bekerja pada organ target yaitu ovarium, vagina dan uterus. Pengaruhnya
yang jelas adalah langsung terhadap pertumbuhan dan aktivitas glandula mammae
dan endometrium (Johnson & Everitt 1984). Estrogen terdapat dalam bentuk
estradiol, estron, dan estriol. Potensi estrogenik estradiol adalah 12 kali kekuatan
estron dan 80 kali lebih besar daripada estriol, sehingga estradiol dianggap
sebagai estrogen utama (Guyton & Hall 1997). Hormon yang paling dominan
yaitu estradiol-17β karena jumlahnya paling banyak terdapat dalam tubuh dan
aktivitasnya paling tinggi (Cao et al. 2004).
Dalam ovarium, asetat akan diubah menjadi kolesterol dan melalui reaksi
enzimatik, kolesterol diubah menjadi hormon steroid. Pembentukan estrogen di
folikel ovarium dipengaruhi oleh hormon FSH. Estrogen dapat terbentuk dari
androstenedion maupun testosteron (Johnson & Everitt 1984). Biosintesis
estrogen melibatkan hidroksilasi dari prekursor androgen yang dimediasi oleh
kompleks enzim yang dikenal sebagai aromatase (Favaro & Cagnon 2007). Proses
pembentukan estrogen (steroidogenesis) pada betina dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Steroidogenesis pada betina (Johnson & Everitt 1984)


16

Estrogen yang beredar terikat pada protein plasma dan proses


metabolismenya terjadi di dalam hati yaitu dengan menginaktifkan steroid. Kira-
kira 50 persen estrogen dalam darah dikonjugasi dengan glukoronida dan sulfat;
dan hampir seperlima dari produk konjugasi ini diekskresikan lewat empedu,
sedangkan sebagian besar diekskresikan ke dalam urin dan feses. Tujuan
konjugasi ini yaitu untuk memudahkan estrogen menjadi inaktif sehingga dapat di
ekskresikan (Turner & Bagnara 1988). Johnson & Everitt (1984) menggambarkan
mekanisme kerja estrogen memerlukan reseptor protein yang dapat ditemukan
pada sistem reproduksi wanita, kelenjar ambing, hipofisa dan hipotalamus.
Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel
sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor yaitu reseptor α dan β dalam
sitoplasma sel target yaitu sitosol membentuk kompleks hormon reseptor,
kemudian bermigrasi ke inti. Ia segera memulai proses transkripsi DNA-RNA
dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel
(Guyton & Hall 1997).
Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen
REα pada organ reproduksi (Kusmana et al. 2007). Estrogen akan berikatan pada
2 subtipe dari reseptor estrogen yakni, estrogen reseptor α (ERα) dan estrogen
reseptor β (ERβ). Pada gen manusia yang mengkodekan ERα terdapat pada
cabang dari kromosom ke-6, sedangkan gen yang mengkodekan estrogen reseptor
β (ERβ) terletak pada untaian q22-24 pada kromosom ke-14 (Faustini et al. 1999).
Kedua reseptor estrogen merupakan protein tingkat tinggi pada homologi
tingkatan asam amino. ERα dan ERβ diekspresikan khususnya pada jaringan
reproduksi wanita (ovarium, endometrium, payudara) dan laki-laki (prostat), dan
juga kulit, pembuluh darah, tulang dan otak. ERα dan ERβ diekspresikan secara
seimbang pada ovarium, tetapi ERβ predominan pada sel granulosa. Sebaliknya,
ERα predominan pada endometrium. ERβ terdapat pada hampir seluruh otak,
kecuali hippocampus yang khusus mengandung ERα (Brown 2004). Distribusi
reseptor estrogen ERβ yang tinggi terdapat pada kelenjar prostat, ovarium, paru-
paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis (Tsourounis 2004). Distribusi
reseptor estrogen dan aromatase yang cukup tinggi pada traktus reproduksi jantan,
menggambarkan biosintesis estrogen berlangsung pada traktus reproduksi jantan
17

dan disekitarnya menghasilkan dan mengedarkan estrogen yang dapat berinteraksi


dengan reseptor estrogen dalam bentuk intrakrin/parakrin atau bentuk endokrin
(Gruber et al. 2002).
Fungsi utama dari estrogen adalah untuk menimbulkan proliferasi sel dan
pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan
dengan reproduksi (Johnson & Everitt 1984). Estradiol bertanggungjawab atas
timbulnya sifat-sifat kelamin pada hewan betina. Hormon ini menyebabkan
timbulnya estrus, merangsang kontraksi uterus, merangsang pelemasan symphysis
pubis pada waktu partus, menggertak pertumbuhan sistem saluran kelenjar
ambing untuk laktogenesis dan mempercepat osifikasi epifise tulang-tulang tubuh.
Susunan syaraf pusat adalah target lain dari estrogen yang akan memodulasi
sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis hewan jantan dan betina
(Johnson & Everitt 1984). Zat yang memiliki aktivitas seperti estrogen disebut
estrogenik. Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut xenoestrogen.
Teripang telah terbukti dapat diekstrak steroidnya dan mengandung testosteron
(Kustiariyah 2006). Testosteron pada hewan betina akan mengalami aromatase
menjadi estradiol 17β seperti yang tertuang pada gambar 4 (Johnson & Everitt
1984). Pemberian ekstrak steroid tubuh teripang pada tikus betina, diharapkan
akan mempengaruhi kinerja reproduksinya.
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 hingga bulan Februari
2012 di Kandang Animal Facility Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

III.2. Bahan dan Alat


Tepung daging teripang berasal dari teripang pasir (Holothuria scraba)
yang disiapkan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Bahan lain yang digunakan yaitu sekam sebagai alas kandang,
pakan tikus berupa pelet, larutan fisiologis berupa NaCl 0.9%, methanol, larutan
giemsa 10%, eter dan akuades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
kandang tikus yang terbuat dari plastik, jaring kawat penutup kandang, botol
minum tikus, gelas objek, mikroskop, spoit 1cc dengan sonde lambung dari
stainless steel, cotton bud, tisu, kapas, kertas label, dan timbangan digital.

III.3. Hewan Coba dan Pemeliharaannya


Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih betina
(Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley usia 3 bulan pada awal penelitian.
Tikus percobaan dikandangkan secara individu dalam bak plastik yang berukuran
(40x30x15) cm3 dengan menggunakan kawat untuk menutupi bagian atas
kandang. Dalam menjaga kebersihan dan kesehatan, kandang dialasi dengan
menggunakan sekam yang diganti 3 hari sekali. Kandang juga dilengkapi dengan
botol air minum dan tempat pakan. Pakan dan minum diberikan ad libitum.

III.4. Pelaksanaan Penelitian


III.4.1. Pengelompokan Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan adalah 12 ekor tikus betina yang terdiri dari
10 ekor hewan yang sudah diangkat ovariumnya (hewan ovariektomi) dan dua
19

ekor hewan normal. Semua hewan dibagi ke dalam 6 kelompok yaitu: 1).
Kelompok K, merupakan kelompok kontrol, yaitu tikus yang tidak diovariektomi
dan tidak diberi perlakuan apapun, 2). Kelompok OK, merupakan kelompok
kontrol perlakuan adalah hewan yang diovariektomi tetapi tidak diberi perlakuan
apapun, 3). Kelompok EST, merupakan kelompok kontrol positif, adalah tikus
yang telah diovariektomi dan diberi estrogen murni dengan dosis 0,02 µg/100 g
BB 4). Kelompok TD 30, merupakan kelompok tikus yang telah diovariektomi
dan diberi tepung daging teripang dengan dosis 30 µg/100 g BB, 5). Kelompok
TD 40, merupakan kelompok tikus yang telah diovariektomi dan diberi tepung
daging teripang dosis 40 µg/100 g BB, dan 6). Kelompok TD 50, merupakan
kelompok tikus yang telah diovariektomi dan diberi tepung daging teripang dosis
50 µg/100 g BB.

III.4.2. Perlakuan
Tepung daging teripang dan estrogen diberikan dengan volume 2 ml dan
dilakukan secara pencekokan (force feeding) yang dilaksanakan setiap hari selama
20 hari berturut-turut. Pengambilan data untuk menentukan panjang siklus estrus
dengan cara melakukan ulas vagina. Ulas vagina dilakukan 3 (tiga) kali sehari,
yaitu pada pagi hari (pukul 05.00 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB), dan malam
hari (pukul 21.00 WIB) selama 15 hari berturut-turut dimulai dari H-5
pencekokan (Gambar 5).

Pencekokan (20 hari)

I I
Adaptasi Tikus
Ulas Vagina ( 15 hari)
(7 hari)
I I I I
I I I I
-7 (7 hari) 1 (5 hari) 5 (15 hari) 20

Tikus Tikus Tikus mulai


masuk mulai diulas vagina
dicekok

Gambar 5 Diagram pelaksanaan penelitian.


20

III.4.3. Pengamatan
Pengambilan ulas vagina dilakukan dengan menggunakan cotton bud yang
telah direndam dalam NaCl fisiologis 0.9% sesaat sebelum digunakan, kemudian
diulaskan pada dinding vagina dengan diputar 360º. Hasil ulasan dioleskan secara
merata pada gelas objek, difiksasi dengan methanol selama 5 menit dan diwarnai
dengan Giemsa 10% selama 30 menit, preparat tersebut selanjutnya dicuci dengan
air mengalir perlahan dan dikering anginkan. Untuk menetapkan siklus estrus
preparat diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 40x10.
Penentuan fase siklus estrus dari hasil ulas vagina dilakukan berdasarkan
keberadaan sel-sel epitel vagina dan jumlah kuantitatif sel-sel epitel vagina.
Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina dan tahapan fase pada siklus
estrus dituangkan pada Tabel 3 dan Gambar 6.

Tabel 3 Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina


Fase siklus berahi Ulasan vagina
Proestrus Sel epitel berinti ± 75%
Sel kornifikasi (sel tanduk) ± 25%
Estrus Sel kornifikasi ± 75%
Sel pavement (menumpuk) ± 25%
Metestrus Sel pavement 100%
Sel pavement dan leukosit
Diestrus Leukosit 100%
Leukosit dan sel berinti mulai muncul
Sumber : Baker et al. (1980)

a b
Sel epitel berinti
Sel kornifikasi
a Sel kornifikasi

Sel pavement

c d

Leukosit
Sel pavement Leukosit

Gambar 6 Gambaran mikroskopis fase estrus ulas vagina pada tikus (Hill 2006)
(Keterangan : Perbesaran 10x)
21

III.4.4. Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA, dan jika
terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut (Duncan Test)
(Sudjana 2001).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Pengaruh Pemberian Tepung Daging Teripang (TD) Terhadap Total


Panjang Siklus Estrus

Rataan total waktu siklus estrus pada tikus kontrol, tikus ovariektomi,
tikus ovariektomi yang mendapatkan estrogen dan tikus ovariektomi yang
mendapatkan tepung daging teripang selama 20 hari dengan dosis yang berbeda
disajikan pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 Rataan total panjang siklus estrus (jam)


Kelompok Total waktu siklus estrus
K 108±0,00b
OK 74±2,83a
EST 122±2,83cd
TD 30 128±0,00de
TD 40 120±5,67c
TD 50 132±0,00e
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan
nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.
K: kelompok kontrol, OK: kelompok hewan yang diovariektomi, EST: kelompok hewan
ovariektomi yang diberi estrogen murni, TD 30: kelompok hewan ovariektomi yang diberi tepung
daging teripang dengan dosis 30 µg/100 g BB, TD 40: kelompok hewan ovariektomi yang diberi
tepung daging teripang dengan dosis 40 µg/100 g BB, dan TD 50: kelompok hewan ovariektomi
yang diberi tepung daging teripang dengan dosis 50 µg/100 g BB.

Data menunjukkan bahwa panjang siklus estrus kelompok OK lebih


pendek bila dibandingkan dengan kelompok K (p<0,05). Hal ini dapat dipahami
karena pada kelompok OK fungsi organ ovarium telah ditiadakan dan
menyebabkan kadar estrogen rendah sehingga proliferasi dan kornifikasi sel-sel
epitel vagina terganggu, dan tidak terjadi proses penandukan sel (Toelihere 1985).
Hal ini sesuai pernyataan Safrida (2011) bahwa kadar hormon estrogen tikus
ovariektomi sangat rendah karena kekurangan estrogen sehingga tidak terjadi fase
estrus, yang memerlukan kadar estrogen yang optimal. Kelompok OK ini dapat di
analogikan dengan kondisi menopause yang juga mempunyai kandungan estrogen
rendah atau tidak ada. Ovarium merupakan organ reproduksi atau genitalia primer
yang berfungsi menghasilkan hormon steroid seperti estrogen, progesteron dan
hormon protein seperti relaxin (Toelihere 1985). Ovarium mempunyai
kemampuan menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam
23

peredaran darah, dan juga penghasil ovum (sel telur) yang dapat dilepaskan dari
ovarium (Partodihardjo 1992).
Kelompok EST terlihat memiliki waktu siklus estrus yang lebih panjang
bila dibanding kelompok OK (p<0,05), ini menunjukkan bahwa senyawa estrogen
yang diberikan terhadap tikus dapat memberikan pengaruh pada panjang siklus
estrus. Bila dibandingkan dengan kelompok K, kelompok EST mempunyai
panjang siklus estrus lebih lama. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kelompok K
memiliki kadar estrogen yang kurang maksimal untuk kinerja reproduksi.
Fungsi estrogen menurut Toelihere (1985) adalah merangsang
pertumbuhan uterus dengan menghasilkan peningkatan masa endometrium dan
miometrium, merangsang kontraktilitas uterus, merangsang peningkatan
pertumbuhan epitelium vagina, merangsang estrus pada hewan betina,
merangsang perkembangan duktus kelenjar ambing, merangsang pelemasan
simphisis pubis pada waktu partus, mempercepat osifikasi epifise tulang-tulang
tubuh dan mempengaruhi perkembangan alat kelamin sekunder. Salisbury & Van
Demark (1985) menyatakan bahwa pemanjangan lama fase estrus
mengindikasikan adanya peningkatan pertumbuhan dan pematangan folikel
ovarium karena secara normal aktivitas estrus tidak akan terjadi sebelum folikel
yang bertumbuh dan matang terlihat di dalam ovarium.
Secara umum, semua kelompok TD berbeda secara nyata bila
dibandingkan kelompok K (P<0,05) dan kelompok OK (P<0,05). Pada kelompok
TD, total waktu siklus estrus lebih lama dibandingkan kelompok K dan kelompok
OK. Tepung daging teripang diduga memiliki senyawa aktif yang berpengaruh
terhadap panjang siklus estrus seperti yang terjadi pada kelompok EST. TD adalah
tepung daging yang berasal dari daging teripang yang menurut Nurjanah (2008)
bahwa kandungan steroid teripang yang tertinggi terdapat pada bagian daging
yaitu 58,46 x 10-4 g/g bk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kustiariyah (2006)
bahwa ekstrak steroid teripang mengandung senyawa androgenik. Riani et al.
(2008) juga melaporkan bahwa teripang yang telah dewasa atau matang gonad
sangat penting untuk bahan baku ekstraksi testosteron alami karena sudah mulai
memproduksi hormon-hormon reproduksi untuk melangsungkan kegiatan
reproduksi. Adanya hormon reproduksi pada teripang telah dewasa (matang
24

gonad) memungkinkan perolehan hormon tersebut dari ekstraksi terhadap bahan


bakunya. Stonik (1986) juga menunjukkan bahwa teripang pasir (Holothuria
scabra) mengandung steroid.
Bila dilihat lebih jauh, total panjang siklus estrus kelompok TD 30 dan TD
40 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok EST, hal ini menimbulkan
dugaan bahwa kandungan senyawa aktif yang terdapat pada kelompok TD 30 dan
TD 40 mempunyai nilai dan pengaruh yang sama dengan kelompok yang
diberikan estrogen murni. Sedangkan kelompok TD 50 mempunyai total waktu
siklus estrus yang berbeda nyata dan lebih lama bila dibandingkan dengan
kelompok EST, hal ini menimbulkan dugaan bahwa dosis kelompok TD 50
mempunyai senyawa aktif yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan dosis yang
dimiliki oleh kelompok EST.

IV.2. Pengaruh Pemberian Tepung Daging Teripang Terhadap Panjang


Setiap Fase Pada Siklus Estrus

Perbandingan panjang setiap fase pada siklus estrus masing-masing


perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Panjang rataan setiap fase pada siklus estrus tikus (jam)
Kelompok Fase Proestrus Fase Estrus Fase Metestrus Fase Diestrus
K 12±0,00ab 12±0,00b 24±0,00a 60±0,00bc
OK 10±2,83a 0,00±0,00a 28±0,00b 36±0,00a
EST 16±0,00abc 22±2,83d 24±0,00a 60±5,66bc
TD 30 18±2,83bcd 18±2,83cd 24±0,00a 68±5,66c
TD 40 20±5,66cd 16±0,00c 26±2,83ab 58±2,83b
TD 50 24±0,00d 20±0,00cd 28±0,00b 60±0,00bc
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan
nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.
K: kelompok kontrol, OK: kelompok hewan yang diovariektomi, EST: kelompok hewan
ovariektomi yang diberi estrogen murni, TD 30: kelompok hewan ovariektomi yang diberi tepung
daging teripang dengan dosis 30 µg/100 g BB, TD 40: kelompok hewan ovariektomi yang diberi
tepung daging teripang dengan dosis 40 µg/100 g BB, dan TD 50: kelompok hewan ovariektomi
yang diberi tepung daging teripang dengan dosis 50 µg/100 g BB.

Fase Proestrus
Pada fase proestrus, kelompok K mempunyai panjang waktu yang tidak
berbeda nyata dengan kelompok OK, EST, dan TD 30. Berbeda dengan kelompok
diatas, kelompok TD 40 dan TD 50 mempunyai perbedaan panjang waktu yang
nyata dengan kelompok K. Sedangkan pada kelompok OK, menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan kelompok TD 30, TD 40 dan TD 50 (p<0,05). Hal
25

ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daging teripang pasir menyebabkan


perpanjangan waktu pada fase proestrus. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan
Toelihere (1985) yang menyatakan pada fase proestrus terjadi peningkatan
vaskularisasi epitel vagina dan kornifikasi yang terjadi pada beberapa spesies.
Peningkatan vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen yang semakin tinggi.
Johnson & Everitt (1984) juga melaporkan bahwa fungsi utama estrogen adalah
menstimulasi pertumbuhan jaringan organ kelamin serta jaringan lain yang
berkaitan dengan reproduksi.
Pada fase proestrus ini kadar estrogen mulai meningkat dan saluran
mukosa vagina mulai mendapatkan peningkatan aliran darah (vaskularisasi) yang
lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi.
Proliferasi yang terjadi pada sel-sel epitel endometrium uterus, epitel vagina, dan
epitel duktus kelenjar ambing terjadi secara tidak langsung dibantu oleh faktor
parakrin yang dihasilkan sel stroma akibat induksi estrogen (Cooke et al. 1995).
Bila dibandingkan dengan kelompok K dan EST, panjang fase proestrus pada
kelompok TD 50 lebih lama dan berbeda nyata secara statistik. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa selain senyawa androgenik dalam teripang, terdapat
senyawa lain yang mempengaruhi panjang fase proestrus, dengan terjadinya
peningkatan vaskularisasi epitel vagina dan kornifikasi (Toelihere 1985).
Fase Estrus
Pada kelompok OK fase estrus tidak terbentuk, hal ini sesuai dengan apa
yang diungkapkan oleh Safrida (2011) yang menyatakan bahwa kadar hormon
estrogen tikus ovariektomi sangat rendah sehingga tidak terjadi fase estrus pada
siklus estrusnya. Panjang fase estrus kelompok EST, TD 30, TD 40 dan TD 50
terlihat lebih lama dan memberikan beda nyata dengan kelompok K (p<0,05). Hal
ini membuktikan bahwa tikus ovariektomi yang diberi EST dan tepung daging
teripang masih bisa kembali mengalami fase estrus. Pemberian tepung daging
teripang berpengaruh terhadap fase estrus tikus, karena senyawa androgenik yang
terdapat pada tepung daging teripang tersebut mempunyai efek seperti yang
dihasilkan oleh estrogen. Riani et al. (2008) melaporkan bahwa teripang sudah
diteliti mengandung testosteron. Teripang segar mengandung testosteron lebih
banyak dari pada teripang yang sudah dikeringkan (Riani et al. 2008), sedangkan
bagian tubuh teripang yang paling banyak mengandung testosteron adalah daging
26

teripang dibandingkan testis dan jeroan. Testosteron adalah hormon yang dapat
berfungsi sebagai pembentuk estrogen pada sel teka dan sel granulosa dari
ovarium hewan betina (Johnson & Everitt 1984).
Fase estrus adalah fase dimana tikus betina dapat atau mau didekati
pejantan karena pengaruh hormon estrogen yang meningkat. Pada fase estrus yang
dapat dideteksi dari gambaran sel epitel vagina, ovarium berada dalam fase
folikuler. Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal
pembentukan folikel sampai pecahnya folikel de Graaf saat ovulasi. Seiring
dengan peningkatan ukuran folikel, sintesis estrogen didalamnya akan meningkat.
Sedangkan fase luteal terjadi ketika sudah terbentuk korpus luteum hasil dari
folikel yang kolaps. Korpus luteum akan mensekresikan progesteron (Johnson &
Everitt 1984). Fase estrus memiliki kadar estrogen tinggi dan suplai darah ke
vagina bertambah sehingga epitel vagina mengalami kornifikasi dengan cepat
(Toelihere 1985).
Pemanjangan lama fase estrus memberikan peluang lebih banyak folikel
matang dan mensekresi estrogen sehingga betina dapat menerima perkawinan
yang lebih frekuen dari hewan jantan. Salisbury & Van Demark (1985)
menyatakan bahwa pemanjangan lama fase estrus mengindikasikan adanya
peningkatan pertumbuhan dan pematangan folikel ovarium karena secara normal
aktivitas estrus tidak akan terjadi sebelum folikel yang bertumbuh dan matang
terlihat di dalam ovaria. Sedangkan menurut Tou et al. (2003) perpanjangan fase
estrus pada tikus mempunyai implikasi yang penting pada reproduksi karena
berpotensi dalam hal fertilitas karena mempunyai waktu kawin yang panjang.
Perpanjangan waktu estrus pada semua kelompok TD dan EST dibandingkan
kelompok K adalah menguntungkan dan potensial dalam segi fertilisasi. Tetapi
hal ini berdampak pada total waktu keseluruhan siklus estrus menjadi panjang,
sehingga satu siklus harus menunggu lama untuk estrus kembali.
Fase Metestrus
Pada fase metestrus kelompok EST, TD 30 dan TD 40 tidak memberikan
beda nyata dengan kelompok K. Namun demikian semua kelompok diatas
berbeda nyata dengan kelompok OK yang memiliki waktu lebih panjang. Pada
fase metestrus, kadar estrogen menurun dan vaskularisasi berkurang sehingga
27

terjadi pelepasan sel epitel vagina dan penyusunan leukosit. Pada fase ini
umumnya tidak terjadi perkawinan. Menurut Baker et al. (1980) fase metestrus
dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika
dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Selama metestrus, uterus
menjadi agak lunak karena terjadi pengendoran otot serta melakukan persiapan
untuk menerima dan memberi makan embrio.
Fase Diestrus
Pada fase diestrus, semua kelompok perlakuan (EST, TD 30, TD 40 dan
TD 50) tidak memberikan beda nyata bila dibandingkan dengan kelompok K.
Namun demikian semua kelompok memiliki beda nyata bila dibandingkan dengan
kelompok OK yang memiliki waktu lebih pendek. Hal ini disebabkan pada fase
diestrus, kadar estrogen pada level rendah lebih lama untuk menuju ke fase
berikutnya. Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan
kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih
pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak.
Respon biologis dari suatu organ target terhadap suatu hormon ditentukan
oleh beberapa faktor diantaranya konsentrasi hormon, konsentrasi reseptor dan
afinitas dari interaksi hormon reseptor. Zat yang memiliki aktivitas seperti
estrogen disebut estrogenik. Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut
xenoestrogen. Teripang telah terbukti dapat diekstrak steroidnya dan mengandung
testosteron (Kustiariyah 2006). Testosteron pada hewan betina akan mengalami
aromatase menjadi estradiol 17β seperti yang tertuang pada Gambar 4 (Johnson &
Everitt 1984). Pemberian ekstrak steroid tubuh teripang pada tikus betina,
mempengaruhi kinerja reproduksinya, termasuk dalam pemulihan fase estrus pada
tikus yang diovariektomi. Dengan mekanisme yang sama, diduga bahwa tepung
daging teripang akan berfungsi atau berperan dalam proses reproduksi melalui
reseptor-reseptor yang ada. Fungsi dari reseptor adalah untuk mengenal suatu
hormon tertentu diantara banyak molekul yang ditemukan dalam waktu tertentu
dan setelah berikatan dengan hormonnya akan memberikan tanda-tanda yang
dihasilkan oleh suatu respon biologis (Schunack et al. 1990).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Pemberian tepung daging teripang (Holothuria scabra) terhadap tikus


putih betina (Rattus norvegicus) ovariektomi dapat menggantikan fungsi estrogen
yang ditandai dengan kembalinya siklus estrus.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis tepung daging


teripang yang tepat sehingga didapatkan hasil panjang siklus estrus yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Amori G dan Clout M. 2002. Rodent on Island: A Conservation Challenge. In:


Singelton GR, L A Hinds, C H Krebs, D M Spratt (Ed). Rats, Mice and
people: Rodent Biology and Management. Canberra: Australian Centre for
International Agriculture Research.

Avalos L dan Callahan C. 2001. Classification and Characteristics of Mammals.


http://www.humboldt.edu/~cmc43/mamm alcharacters.htm [24 Januari
2011].

Baker DEJ, Lindsey JR, dan Weisborth SH. 1980. The Laboratory Rat. Vol II.
Research applications. Academic Press Inc. London.

Bischof P dan Islami D. 2003. Sexual Hormones. A. Campana (Ed.)


http://www.gfmer.ch/Endo/Lectures_08/sexual_hormones.htm
[8 November 2003]

Brown DJ. 2004. Is Black Cohos a Selective Estrogen Modulator! Herbal Gram
61: 33-35.

Cao ZT, Swift TA, West CA, Rossano TG dan Rej R. 2004. Immunoassay of
estradiol: unanticipated suppression by unconjugated estriol. Clin Chem
50(1):160-165.

Cardona PGS, Berrios CA, Ramirez F, dan Arraras JEG. 2003.


Lipopolysaccharides Induce Intestinal Serum Amyloid A Expression in the
Sea Cucumber Holothuria glaberrima. Development and Comparative
Immunology 27:105-110.

Cassidy A, Paola A, Inge LN, Wendy H, Gary W, Inge T, Steve A, Heide C,


Yannis M, Alicja W, Claudia S, dan Francesco B. 2006. Critical review of
health effects of soyabean phyto-oestrogens in post-menopausal women.
Proceedings of the Nutrition Society 65:76-92.

Cooke PL, Buchanan DL, Lubchan DB dan Cunha GR. 1995. Mechanism of
estrogen action: lessons from the estrogen receptor-α knockout mouse.
Biol Reprod 59:470-475.

Dewi KH. 2008. Kajian ekstraksi steroid teripang pasir (Holothuria scabra J)
sebagai sumber testosteron alami [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Faustini-Fustini M, Rochira V, dan Carani C. 1999. Oestrogen Deficiency In Men


: Where Are We Today? Eur J Endocrinal. 140: 111-129.
30

Favaro WJ dan Cagnon VHA. 2007. Immunolocalization of androgen and


oestrogen receptors in the ventral lobe of rat (Rattus norvegicus) prostate
after long-term treatment with ethanol and nicotine. Int J Androl 31:609-
618.

Fredalina BD, Ridzwan BH, Abidin AAZ, Kaswandi MA, Zaiton H, Zali I,
Kittakoop P, dan Mat Jais AM. 1999. Fatty acid composition in local sea
cucumber, Stichopus chloronatus, for wound healing. General
Pharmacology 3:337-340.

Gruber CJ, Tschugguel W, Schneeberger C, dan Huber JC. 2002. Production


Actions of Estrogens. N Engl J Med 346: 340-352.

Guo SY, Guo Z, Guo Q, Chen BY dan Wang XC. 2003. Expression, Purification
and Characterization of Arginine Kinase from the Sea Cucumber
Stichopus japonicus. Protein Expression and Purification 29:230-234.

Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9.
Setiawan, Tengadi, dan Santoso, penerjemah; Setiawan, editor. Jakarta:
EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Hafez ESE, Jainudeen MR, dan Rosnina Y. 2000. Hormones Growth Factors and
Reproduction. Di dalam : Reproduction in Farm Animals. Ed ke-3.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Harkness JE dan Wagner JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and
Rodent. Philadelphia: Lea and Febiger.

Haug T, Kjuul AK, Styrvold OB, Sandsdalen E, Olsen OM, Stensvag K. 2002.
Antibacterial Activity in Strongylocentrotus droebachiensis (Echinoidea),
Cucumaria frondosa (Holothuroidea), and Asterias rubens (Asteroidea).
Journal of Invertebrate Pathology 81:94-102.

Hedrich HJ. 2006. Taxonomy and stock and strains. J Lab Rat 71-92.

Hill M. 2006. Estrous Cycle. The University of New Southwales. Sidney.

Ibrahim MN. 2001. Isolasi dan uji aktivitas biologi senyawa steroid dari lintah
laut, Discodoris sp. Tesis Program Studi Biologi, Program Pascasarjana
IPB. Bogor.

Idid SZ, Jalaludin DM, Ridzwan BH, Bukhori A, Hazlinah SN, Hood CC dan
Marthivarman LK. 2001. The Effect of two extracts from Stichopus
badionotus Selenka upon induced pleurisy in rat. Pakistan Journal of
Biological Sciences. 4(10):1291-1293.

James DB, AD Gandhi, N Palaniswamy dan JX Rodrigo. 1994. Hatchery


Techniques and Culture of Sea Cucumber Holothuria scabra. CMFRI
Special Publication. No. 57. India. 41pp.
31

Jha RK dan Zi-roung X. 2004. Biomedical compounds from marine organisms


(review). Marine Drugs 2:123-146.

Johnson MH dan Everitt BJ. 1984. Essential Reproduction. Ed ke-2. Blackwell


Scientific Publications. London.

Jondriatno D. 2012. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella


alpina) Pada Hari 1-13 Kebuntingan Terhadap Keberhasilan Implantasi
Pada Tikus Putih (Rattus sp.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kariya Y, Mulloy B, Imai K, Tominaga A, Kaneko T, Asari A, Suzuki K, Masuda


H, Kyosashima M dan Ishii T. 2004. Isolation and Partial Characterization
of Fucan Sulfates from the Body wall of Sea Cucumber Stichopus
japonicus and their ability to inhibit Osteoclastogenesis. Carbohydrate
Research 339:1339-1346.

Khan I, Belanger A, Chen YDI, Gibori G. 1985. Influence of HDL on estradiol


stimulation of luteal steroidogenesis. Biol Reprod. 32:92-104.

Kusmana D, Lestari R, Setiorini, Dewi AN, Ratri PR dan Soraya RRR. 2007.
Efek estrogenik ekstrak etanol 70% kunyit (Curcuma domestica Val.)
terhadap mencit (Mus musculus L.) betina yang diovariektomi. Makara
Sains 11(2):90-97.

Kustiariyah. 2006. Isolasi dan Uji Aktivitas Biologis Senyawa Steroid dari
Teripang sebagai Aprodisiaka Alami. Thesis. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Macmillan KL dan Burke AJ. 1996. Superovulatory doses of pregnant mare


serum gonadotropin cause delayed implantation and infertility in immature
rats. Bio. Reprod. 25 : 253-260.

Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan


di Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.

Martoyo J, Aji N dan Winanto TJ. 2000. Budidaya Teripang. Jakarta: Penebar
Swadaya.

McNamara JP. 2006. Principles of Companion Animal Nutrition. Upper Saddle


River, New Jersey: Pearson Education.

Moraes G, Norchote PC, Kalinin VI, Avilov SA, Silchenko A, Dmitrenok PS,
Stonik VA dan Levin V. 2004. Structure of the Major Triterpene
Glycoside from the Sea Cucumber Stichopus malls and Evidence to
Reclassify this Species into the New Genus Australostichopus.
Biochemical Systematic and Ecology 32:637-650.
32

Murray AP, Muniain C, Seldes AM, dan Maier M. 2001. Patagonicoside A : a


Novel Antifungal Disulfated Triterpene glycoside from the Sea Cucumber
Psolus patagonicus. Tetrahedron 57: 9563-9568.

National Research Council (NRC). 1995. Nutrient Requirement of Laboratory


Animal. 4th Revised Ed. Washington DC: National Academy of Science.

Nogrady T. 1992. Medicinal Chemistry. Penerjemah: Rasyid R dan Musadad A.


Bandung: Penerbit ITB.

Nuraini S dan Wahyuni S. 1989. Perikanan Teripang di Kepulauan Karimun Jawa


dan Jepara. Jurnal Pen. Perikanan Laut 52:77-81.

Nurjanah S. 2008. Identifikasi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) dan


Pemanfaatannya Sebagai Sumber Steroid Alami (Disertasi). Bogor :
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Partodiharjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Jakarta.

Piferrer F, Januy S, Carillo M, Solar I, Devlin RH dan Donaldson EM. 1994. Brief
treatment with an aromatase inhibitor during sex differentiation causes
fmale salmon to develop as normal. Functional males. Journal of
experimental zoology 270:255-262.

Riani E, Khaswar S dan Kaseno. 2008. Pemanfaatan Steroid Teripang Sebagai


Aprodisiaka Alami untuk Pengembangan Budidaya Perikanan. Laporan
Eksekutif Hibah Penelitian Pascasarjana-HPTP. Institut Pertanian Bogor.

Safrida. 2011. Perubahan Kadar Hormon Estrogen pada Tikus yang diberi Tepung
Kedelai dan Tepung Tempe. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Salisbury GW dan NL VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi


Buatan pada Sapi. R Djanuar, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari: The Reproductive System of the Cow.

Schunack W, Klaus M dan Manfred H. 1990. Senyawa Obat. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Silva JRV, Van den Hurk R, de Matos MHT, Dos Santos RR, Pessona C, de
Moraes MO, dan Fiqueiredo JR. 2004. Influences of FSH and EGF on
primordial folicles during in vitro culture of caprine ovarian cortical tissue.
Theriogenology 61: 1691-1704.

Smith JB dan S Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan


Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
33

Stonik V.A. 1986. Some Terpenoid and Steroid Derivates form Achinoderms and
Sponges. Pure & Appl. Chem. Vol 58, No. 3:423-439.

Sudjana. 2001. Metoda Statistika. Ed ke-6. Bandung: PT. Tarsito Bandung.

Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit


Angkasa.

Tou JCL, Grindeland RE, dan Wade CE. 2003. Effect of Diet and Exposure to
Hindlimb Suspension on Estrous Cycling in Sprague-Dawley rats. Am J
Endrocrinol Metab 286

Tsourounis C. 2004. Clinnical Effect of Fitoestrogens. Clinical Obstretict and


Gynecology: 44(4): 836-42.

Turner CD dan Bagnara JT. 1988. Endokrinologi Umum. Ed ke-6. Surabaya:


Unair Pr.

Urban RJ, Bodenburg YH, Gilkison C, Foxworth J, Coggan AR, Wolfe RR dan
Ferrando A. 1995. Testosterone administration to elderly men increases
skeletal muscle strength and protein synthesis. Am. J. Physiol. Endocrinol.
Metab. Vol. 269:E820-E826.

Wibowo S, Yunizal, Setiabudi E, Erlina MD dan Tazwir. 1997. Teknologi


Penanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuridea). Jakarta: IPPL Slipi.

Wirakusumah ES. 2003. Menopause. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Weihe WH. 1989. The Laboratory Rat. In the UFAW Hand Book on the Care and
Management of laboratory Animals 6th. TB Poole, Robinson, editor.
Terjemahan dari: Longman Scientific & Technical. England: Bath Pr.

Yamazaki F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture 33:329-


354.

Yu Y, Li W, Han Z, Luo M, dan Tan J. 2003. The effect of folicle-stimulating


hormone on folicular development, granulosa cell apoptosis and
steroidogenesis and its mediation by insulin like growth factor in the goat
ovary. Theriogenology 60: 1691-1704.

Anda mungkin juga menyukai