Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tiga Aspek Pokok dari Bisnis

Dalam bisnis dan etika dalam dunia modern, terdapat suatu aspek bisnis yang sampai

sekarang jarang disinggung dalam uraian-uraian lain, tetapi semakin banyak diakui

pentingnya yaitu aspek etis atau moralnya, terutama aspek ekonomi dan hukum. Sebab, bisnis

sebagai kegiatan sosial bisa disoroti sekurang-kurangnya dari tiga sudut padang yang berbeda

tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan sudut padang ekonomi, hukum dan etika.

1. Sudut Pandang Ekonomis

Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar

menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-memperkerjakan, dan interaksi

manusiawi lainnya dengan maksud memperoleh untung. Bisnis dapat dilogiskan sebagai

kegiatan ekonomis yang kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan

keuntungan. Dalam bisnis modern, untung diekspresikan dalam bentuk uang. Tetapi hal itu

tidak hakiki untuk bisnis. Yang penting ialah kegiatan anatar-manusia ini bertujuan mencari

untung dan karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Tetapi perlu segera ditambahkan,

pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi.

Bisnis berlangsung sebagai komunikasi sosial yang menguntungkan untuk kedua belah

pihak yang melibatkan diri. Bisnis bukanlah karya amal. Karena itu bisa timbul salah paham,

jika kita mengatakan, bisnis merupakan suatu aktivitas sosial. Kata “sosial” di sini tidak

dimaksudkan dalam arti “suka membantu orang lain”, sebagaimana yang sering dimengerti

dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam konteks popular. Bisnis justru tidak mempunyai

sifat membantu orang dengan sepihak, tanpa mengharapkan suatu kembali.

Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar bebas para

pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya langka (tenaga kerja, bahan mentah,
informasi/pengetahuan, modal) menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi masyarakat.

Para produsen akan berusaha untuk meningkatkan penjualan sedemikian rupa, sehingga hasil

bersih akan mengimbangi atau malah melebihi biaya produksi. Keseimbangan itu penting

supaya perusahaan tidak merugi. Tetapi keseimbangan saja tidak cukup. Para pemilik

perusahaan mengharapkan laba yang bisa dipakai untuk ekspansi perusahaan atau tujuan lain.

Jika kompetisi pada pasar bebas berfungsi dengan semestinya, akan menyusul efisiensi

ekonomis, artinya hasil maksimal akan dicapai dengan pengeluaran minimal. Hal itu akan

tampak dalam harga produk atau jasa yang paling menarik untuk publik. Efisiensi merupakan

kata kunci dalam ekonomi modern. Untuk mencapai tujuan itu para ekonom telah

mengembangkan pelbagai teknik atau kiat. Dipandang dari sudut ekonomis, good business

atau bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa banyak untung.

2. Sudut Pandang Moral

Dengan tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis,

perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut

pandang moral. Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan.

Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Malah perlu ditekankan, arti

moralnya merupakan salah satu arti penting bagi kata “baik“. Perilaku yang baik merupakan

perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral, sedangkan perilaku yang buruk

bertentangan atau menyimpang dari norma-norma moral. Suatu perbuatan dapat dinilai baik

menurut arti terdalam justru kala memenuhi standar etis tersebut.

3. Sudut Pandang Hukum

Tidak bisa diragukan lagi, bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum Dagang” atau

“Bisnis“ merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum

banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, pada taraf nasional maupun

internasional. Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normatif, karena
menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum

bahkan lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas

putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran.

Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal

pepatah: “Quid leges sine moribus?“, yang berarti “Apa artinya undang-undang, kalau tidak

disertai moralitas?“ etika selalu harus menjiwai hukum. Baik dalam proses terbentuknya

undang-undang maupun dalam pelaksanaan peraturan hukum, etika atau moralitas memegang

peranan penting. Bila digaris bawahi bahwa dalam bidang bisnis, seperti dalam banyak

bidang lain pula, hukum dan etika kerap kali tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Memang

benar, ada hal-hal yang diatur oleh hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan

etika. Sama saja, jika lalu lintas berjalan disebelah kiri atau kanan. Disini peraturan hukum

harus ditentukan supaya keadaan tidak menjadi kacau, tetapi cara diaturnya tidak berkaitan

dengan etika. Dari segi moral, cara yang satu tidak lebih baik dari cara yang lain. Tetapi

terkadang banyak hal lain, hukum meneguhkan keyakinan moral dalam masyarakat.

Pembunuhan, perampokan, penipuan dan sebagainya adalah tidak etis dan serentak juga

dilarang menurut hukum. Disini peraturan hukum merupakan pengendapan atau kristalisasi

dari keyakinan moral dan serentak juga mengukuhkan keyakinan moral itu.

Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua

macam norma itu tidak sama. Disamping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan

sudut pandang moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan.

Pertama, banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak

semuanya yang bersifat immoral adalah ilegal juga. Malah ada perilaku yang dari segi moral

sangat penting, tetapi tidak diatur oleh hukum.


Kedua, untuk perlunya sudut pandang moral disamping sudut pandang hukum adalah

bahwa proses terbentuknya undang-undang atau peraturan hukum lainnya memakan waktu

lama, sehingga masalah-masalah baru tidak bisa segera diatur secara hukum.

Ketiga, bahwa hukum itu sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak

pernah sempurna sehingga orang yang beritikat buruk bisa memanfaatkan celah-celah dalam

hukum (the loopholes of the law). Peraturan hukum yang dirumuskan dengan cara teliti

sekalipun, barangkali masih memungkinkan praktek-praktek kurang etis yang tidak

bertentangan dengan huruf hukum.

Keempat cukup dekat dengan itu. Bisa terjadi, hukum memang bisa dirumuskan dengan

baik, tetapi karena salah satu alasan sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit

dijalankan kontrol yang efektif. Tidak bisa diharapkan, peraturan hukum yang tidak

ditegakkan akan ditaati juga.

Kelima untuk perlunya sudut pandang moral disamping sudut pandang hukum adalah

hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak di

definisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral.

Untuk bisnis, sudut pandang hukum itu penting. Bisnis harus menaati hukum dan

peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik” antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada

hukum. Tetapi sudut pandang hukum tidak cukup. Perlu diakui lagi adanya sudut pandang

yang lain, yaitu sudut pandang moral. Tidak semua hal yang pantas dilakukan perlu diatur

atau malah bisa diatur menurut hukum. Disamping hukum, kita membutuhkan etika juga.

Kita membutuhkan norma moral yang menetapkan apa yang etis atau tidak etis untuk

dilakukan. Bahkan harus digarisbawahi, pada taraf normatif etika mendahului hukum.

Misalnya kewajiban itu sendiri untuk mematuhi hukum berasal dari sudut pandang moral.

4. Tolak Ukur Untuk Ketiga Sudut Pandang


Bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tersebut ialah, secara ekonomis, bisnis

adalah baik bila menghasilkan laba. Hal itu akan tampak dalam laporan akhir tahun yang

harus disusun menurut metode control finansial dan akuntansi yang sudah baku. Untuk sudut

pandang hukum, bisnis adalah baik jika diperbolehkan oleh sistem hukum. Penyelundupan,

misalnya, adalah cara berdagang yang tidak baik, karena dilarangoleh hukum. Sedangkan

sudut moral lebih sulit untuk menentukan baik tidaknya bisnis dari sudut padang moral.

Setidak-tidaknya dapat disebut tiga macam tolok ukur yaitu :

a. Hati Nurani

Suatu perbuatan adalah baik jika dilakukan sesuai hati nurani, dan suatu perbuatan

adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Dalam bertindak dengan

hati nurani, kita menghancurkan integritas pribadi, karena kita menyimpang dari

keyakinan kita yang terdalam. Hati nurani mengikat kita dalam arti, kita harus

melakukan apa yang diperintahkan hati nurani dan tidak boleh melakukan apa yang

berlawanan dengan hati nurani. Hati nurani memang merupakan norma moral yang

penting, tetapi sifatnya subyektif, sehingga tidak terbuka untuk orang lain. Hati nurani

adalah norma yang sering kali sulit dipakai dalam forum umum dan harus dilengkapi

dengan norma – norma yang lain.

b. Kaidah Emas

Cara lebih objektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan
kaidah emas yang berbunyi: “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda
sendiri ingin diperlakukan”.
Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun negatif. Tadi diberikan
perumusan positif. Bila dirumuskan secara negatif, kaidah emas

Anda mungkin juga menyukai