Anda di halaman 1dari 36

TEORI PEMOTONGAN PPH 21/26

MAKALAH

Oleh:
M. Prayoga Dwiyuna 120104170087
Yuga Estu Wibawa 120104170098
Muhammad Akbar Ramadhan 120104170051
M. Alfindra 1201041700

PROGRAM STUDI AKUNTANSI PERPAJAKAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
i

DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................................................................. i
Bab 1: Pendahuluan .............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
1.3. Tujuan Makalah .............................................................................................. 5
1.4. Manfaat Makalah ............................................................................................ 5
Bab 2: Landasan Teori
2.1. PPH 21............................................................................................................6
2.2. Gugatan ..........................................................................................................7
2.2.1. Definisi Gugatan ................................................................................7
2.2.2. Ruang Lingkup Gugatan ....................................................................7
2.3. Peninjauan Kembali .......................................................................................9
2.3.1. Dasar Hukum .....................................................................................9
2.3.2. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali .............................................10
2.3.3. Hal-hal Lain .......................................................................................11
2.3.4. Jangka Waktu Peninjauan Kembali ...................................................11
2.3.5. Cara Penyampaian .............................................................................12
2.3.6. Kewajiban Pelunasan Hutang Pajak ..................................................14
2.3.7. Proses Penyelesaian Peninjauan Kembali ..........................................14
2.3.8. Keputusan Peninjauan Kembali ......................................................... 14
Bab 3: Studi Kasus ..............................................................................................................16
3.1 Kasus I ...............................................................................................................16
3.2 Kasus II ..............................................................................................................18
Bab 4: Analisis ....................................................................................................................19
4.1. Pembahasan Kasus I .......................................................................................19
4.2. Pembahasan Kasus II .....................................................................................21
Bab 5: Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................................................24
5.1. Kesimpulan .....................................................................................................24
5.2. Rekomendasi ..................................................................................................29
Daftar Pustaka .....................................................................................................................iii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang sangat potensial untuk
pembiayaan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pertahanan dan pembangunan
nasional dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Maka dari itu, sektor
pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Penting dan
strategisnya peran sektor perpajakan dalam penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN setiap tahun
yang disampaikan pemerintah, yaitu terjadinya peningkatan persentase sumbangan
perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun.

Pengertian pajak dari aspek ekonomis yaitu peralihan kekayaan dari swasta kepada sektor
publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan
secara langsung dapat ditunjukkan, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan
sebagai pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar
bidang keuangan negara. Pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul
karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang untuk membayar uang kepada negara yang dapat
dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dan yang digunakan sebagai
alat pendorong atau penghambat untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan Negara.

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau
badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut,
tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia,
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, “Segala
pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang”.

Pajak yang ditetapkan dalam bentuk undang-undang memiliki sifat memaksa karena
memuat sanksi hukum berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana.Sekalipun pajak
bersifat memaksa, fiskus tidak boleh menyalahgunakan pajak yang dibayar oleh wajib
pajak. Pajak diperlukan oleh negara untuk membiayai pelaksanaan tujuan negara yang
tercantum dalam Alinea IV Pembukuan UUD 1945, yang menegaskan sebagai berikut

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Dari segi hukum, pajak yang dipungut oleh fiskus digunakan untuk membiayai biaya
umum pemerintah, bukan ditujukan untuk biaya khusus pemerintah. Setiap Anggaran
2

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibuat oleh pemerintah, paling tidak
terdapat tiga sumber penerimaan negara yang menjadi andalan, yaitu: penerimaan dari
sektor pajak, penerimaan dari sektor migas, dan penerimaan dari sektor bukan pajak4 .
Berdasarkan ketiga sumber tersebut, ternyata dalam setiap APBN terlihat bahwa
penerimaan dari sektor pajak merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara.
Hal ini ditandai dari tahun ke tahun penerimaan dana yang berasal dari sektor pajak selalu
dikatakan sebagai penerimaan negara yang paling potensial dalam pembiayaan
pembangunan nasional, dibandingkan dari sektor-sektor lainnya, seperti dari sektor migas
yang sekarang ini sudah tidak dapat diharapkan lagi sebagai sumber penerimaan keuangan
negara yang terus menerus, karena sifatnya yang tidak bisa diperbarui.

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut pada obyek pajak atas penghasilannya.
Pajak penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha yang
memperoleh penghasilan di Indonesia. Undang-undang pajak penghasilan mengatur
pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan, dalam Undang-Undang PPH disebut wajib pajak. Wajib pajak dikenai pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula
dikenai oahak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir. Indonesia menganut 3 sistem perpajakan yaitu Self
Assesment, Official Assesment dan WithHolding System. Self assessment merupakan sistem
yang memeberi kepercayaan dan tanggung jawab secara penuh kepada wajib pajak agar
memenuhi kewajiban nya dalam menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah
pajak yang terhutang. Official Assesment merupakan cara pemungutan ajak dengan
wewenang berada di pemungut pajak/Dirjen Pajak, sedangkan Withholding System
merupakan system yang serupa dengan Official Assesment namun dengan bantuan pihak
ketiga dalam hal penentuan besar jumlah pajak dan juga pemotongannya. Dengan adanya
system Withholding diharapkan para wajib pajak dapat lebih mudah dengan kewajiban
perpajakannya.

Berdasarkan uraian diatas kami tertarik menulis mengenai bagaimana pajak penghasilan
terutama yang berhubungan dengan PPh pasal 21 dan atau pasal 26 untuk menentukan
besarnya pajak penghasilan yang harus dilaporkan dan disetor ke pemerintah dengan
secara khusus menggunakan withholding system.

.
3

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Pemotongan dan Pemungutan PPh?
2. Apa yang dimaksud dengan Potongan PPh 21?
3. Apa yang dimaksud dengan Potongan PPh 26?

1.3. Tujuan Makalah


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Pemotangan dan Pemungutan PPh.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Potongan PPh 21.
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Potongan PPh 26.

1.4. Manfaat Makalah

Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca mampu memperkaya ilmu serta
memberikan manfaat bagi para pembaca agar kedepannya lebih memahami mengenai apa
itu Potongan dan Pemungutan PPh juga Potongan PPh Ps. 21/26.

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Pemotongan dan Pemungutan

Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal konsep pemotongan dan pemungutan pajak
atau biasa disebut dengan withholding tax. Sistem withholding tax memiliki keunggulan di
antaranya, mencoba meringankan beban wajib pajak karena pajak dipotong/dipungut dan
dibayarkan ke kas negara saat penghasilan belum diterima. Sistem ini sejalan dengan salah
satu dari the four maxim dari Adam Smith yaitu asas convenience of payment. Meskipun
begitu, sebagian orang berpendapat sistem ini dapat juga menambah beban bagi pihak
pemotong/pemungut pajak karena beban administrasi yang harusnya ditanggung oleh otoritas
pajak dialihkan kepada wajib pajak selaku pemotong/pemungut pajak.

Di Indonesia, pemotongan pajak penghasilan (PPh) diatur dalam Undang-Undang (UU) PPh
yang tercakup dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 4
ayat (2) yang bersifat final. Selain itu, ada juga Pasal 22 yang mengatur pemungutan PPh.
Selain itu, ada pula pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) menurut UU PPN.
4

2.1.1. Pemotongan

Kegiatan memotong sebesar pajak yang terutang dari keseluruhan pembayaran yang
dilakukan. Pemotongannya dilakukan oleh pihak yang melakukan pembayaran atau gaji
terhadap penerima gaji atau pegawainya. Pihak pembayar penghasilan atau gaji memiliki
tanggung jawab penuh atas pemotongan, penyetoran, hingga pelaporan pajak yang dilakukan
pada pegawainya.
Contoh:
PT A membayar jasa konsultasi (jasa kena pajak) kepada PT B sebesar Rp10.000.000. Atas
pembayaran tersebut, PT A wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% x Rp10.000.000 =
Rp200.000. Dengan demikian, pembayaran sebesar Rp1.000.000 dari PT A ke PT B telah
dipotong PPh sebesar Rp200.000 sehingga jumlah pembayaran yang diterima oleh PT B
adalah Rp9.800.000.

2.1.2. Pemungutan

Kegiatan memungut sejumlah pajak yang terutang atas suatu transaksi. Pemungutan pajak
akan menambah besarnya jumlah pembayaran atas perolehan barang. Meski begitu, ada juga
beberapa kasus dimana pemungutan diakukan oleh pihak pembayar dengan mekanisme yang
sama dengan pemotongan pajak.
Contoh:
Dalam kasus soal yang sama, PT A dan PT B merupakan perusahaan yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Oleh sebab itu, PT B harus memungut PPN sebesar
10% X 10.000.000 = Rp1.000.000. Dengan demikian, pembayaran Rp10.000.000 dari PT A
ke PT B telah dipungut PPN sebesar Rp1.000.000 sehingga jumlah pembayaran yang diterima
oleh PT B adalah Rp1.100.000. Secara keseluruhan jumlah pembayaran yang dilakukan PT A
kepada PT B adalah Rp10.000.000 + Rp1.000.000 (PPN) – Rp200.000 (PPh Pasal 23) =
Rp10.800.000.*

2.1.3. Perbedaan Pemotongan dan Pemungutan

Pemotongan Pemungutan
Jenis pajak PPh Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26 dan PPh PPh pasal 22 dan Pajak
Final Pasal 4 Ayat 2. Pertambahan Nilai (PPN).
Subjek pajak Pemberi kerja Pihak ketiga
Objek pajak Penghasilan atau pendapatan yang Penghasilan atau pendapatan
merupakan hak WP yang belum tentu menjadi
hak WP
Pengisian Diisi dengan NPWP Pemotong Diisi dengan NPWP yang
5

SSP dipungut pajaknya (WP)


Makna Memotong (mengurangi) pembayaran atau Memungut (menambah)
jumlah yang diterima (DPP) jumlah tagihan atau jumlah
yang seharusnya diterima
(DPP)

2.1.4. Persamaan Pemotongan dan Pemungutan

Sedangkan persamaannya, yaitu dari pihak yang melakukan pemotongan atau pemungutan
pajak merupakan wewenang fiskus untuk mengambil dan menyetorkan pajak ke kas negara.
Pasal 20 ayat (1) UU PPh “Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak,
dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan
pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.”

2.2 Pengertian PPh Pasal 21


Pph pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang Undang Pajak Penghasilan

2.2.1. Dasar Hukum PPh Pasal 21


1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang
Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata
Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
6

5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah


dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.

2.2.1.1. UU PPh Ps. 21 (UU No. 36 Th 2008)


(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
suatu kegiatan.

(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan
organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah
jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang
besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong
pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak
dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan
Peraturan Pemerintah.
7

(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib
Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen)
daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
(6) Dihapus.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

2.2.1.2. PMK, PP, Per-DJP, SE, KEP, dan S


No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal
1 PP No. 68 Tahun 16 November 2009 Tarif PPh 21 atas
2009 penghasilan berupa
uang pesangon,
uang manfaat
pensiun, tunjangan
hari tua, dan
jaminan hari tua
yang dibayarkan
sekaligus
2 PP No. 80 Tahun 20 Desember 2010 Tarif pemotongan
2010 dan pengenaan PPh
21 atas penghasilan
yang menjadi beban
APBN atau APBD
3 PP No. 53 Tahun 23 April 2012 Perubahan
2012 kedelapan atas PP
No. 14 Tahun 1993
tentang
penyelenggaraan
program jaminan
sosial tenaga kerja
8

4 PP No. 41 Tahun 17 Oktober 2016 Perlakuan PPh 21


2016 atas penghasilan
pegawai dari
pemberi kerja
dengan kriteria
tertentu
5 PP No. 73 Tahun 30 Desember 2016 PPh atas program
2016 jaminan sosial yang
diselenggarakan
badan
penyelenggara
jaminan sosial
6 247/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Bantuan atau
santunan yang
dibayarkan oleh
badan
penyelenggara
jaminan sosial
kepada wajib oajak
tertentu yang
dikecualikan dari
objek PPh
7 250/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Besarnya biaya
jabatan atau biaya
pensiun yang dapat
dikurangkan dari
penghasilan bruto
pegawai tetap atau
pensiunan
8 252/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Petunjuk
pelaksanaan
pemotongan PPh
sehubungah dengan
9

pekerjaan, jasa, dan


kegiatan orang
pribadi
9 16/PMK.03/2010 25 Januari 2010 Tata cara
pemotongan PPh 21
atas penghasilan
berupa uang
pesangon, uang
manfaat pensiun,
tunjangan hari tua,
dan jaminan hari
tua yang
dibayarkan
sekaligus
10 262/PMK.03/2010 31 Desember 2010 Tata cara
pemotongan PPh 21
atas bagi pejabat
negara, PNS,
anggota TNI,
anggota Polri, dan
pesiunannya atas
penghasilan yang
menjadi beban
APBN atau APBD
11 258/PMK.011.2011 28 Desember 2011 Batasan maksimum
biaya remunerasi
Tenaga Kerja Asing
untuk kontraktor
kontrak kerja sama
minyak dan gas
bumi
12 102/PMK.010/2016 22 Juni 2016 Penetapan bagian
penghasilan
10

sehubungan dengan
pekerjaan dari
pegawai harian dan
mingguan serta
pegawai tidak tetap
lainnya yang tidak
dikenakan
pemotongan PPh
13 40/PMK.03/2017 10 Maret 2017 Tata cara pelaporan
dan penghitungan
pemotongan PPh 21
atas penghasilan
pegawai dari
pemberi kerja
dengan kriteria
tertentu
14 PER-14/PJ/2013 18 April 2013 Bentuk, isi, tata
cara pengisian dan
penyampaian SPT
masa PPh 21 dan
atau/ Pasal 26 serta
bentuk bukti
pemotongan PPh
pasal 21 dan atau/
pasal 26
15 PER-14/PJ/2013 27 Februari 2014 Ralat peraturan
direktur jendral
pajak nomor PER-
14/PJ/2013 tentang
bentuk, isi, tata cara
pengisian dan
penyampaian SPT
masa PPh 21 dan
11

atau/ Pasal 26 serta


bentuk bukti
pemotongan PPh
pasal 21 dan atau/
pasal 26
16 PER-16/PJ/2016 29 September 2016 Pedoman teknis tata
cara pemotongan,
penyetoran dan
pelaporan PPh 21
dan atau/ pasal 26
sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan
kegiatan orang
pribadi
17 KEP-173/PJ/2002 22 Mei 2002 Pedoman standar
gaji karyawan asing
18 SE-16/PJ.44/1992 12 Mei 1992 Pembagian bonus,
gratisifikasi, jasa
produksi dan
tantiem
19 SE-15/PJ.41/1993 09 Agustus 1993 Penjelasan biaya
jabatan untuk
pegawai tetap yang
bekerja pada dua
pemberi kerja atau
lebih
20 SE-56/PJ.42/1999 31 Desember 1999 Perlakuan PPh 21
atas pemberian
hadiah saham
kepada pegawai
21 SE-02/PJ.03/2007 16 April 2007 Penegasan
pemotongan PPh 21
pimpinan dan
12

anggota Komisi
Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan
Umum Provinsi,
Komisi Pemilihan
Umum
Kabupaten/Kota
dan anggota
kepanitiaan
sehubungan dengan
Pemilu atau Pilkada
22 S-37/PJ.13/2014 02 April 2014 Pemberitahuan
Ralat dan Distribusi
II Peraturan
Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-
14/PJ/2013

2.2.2. Subjek, Objek, Tarif dan DPP PPh ps.21


Wajib Pajak
Wajib pajak PPh Pasal 21 atau penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 berdasarkan pasal 3 peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-32/PJ/2015 adalah
orang pribadi yang merupakan:
1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya juga merupakan wajib pajak PPh Pasal 21.
3. Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
o Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
13

o Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang


sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
o Olahragawan;
o Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
o Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
o Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
o Agen iklan;
o Pengawas atau pengelola proyek;
o Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
o Petugas penjaja barang dagangan;
o Petugas dinas luar asuransi; dan/atau
o Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya
Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai
Tetap pada perusahaan yang sama juga merupakan wajib pajak PPh Pasal 21. Selain itu,
kategori di bawah ini juga termasuk wajib pajak PPh 21:

4. Mantan pegawai; dan/atau


5. Wajib pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
o Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
o Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
o Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
o Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
o Peserta kegiatan lainnya.
Subjek Pajak
Dalam PER-16/PJ/2016, penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah orang
pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri. Penerima Penghasilan yang
dipotong pajak penghasilan pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:
14

1. pegawai;
2. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa;
4. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
5. mantan pegawai;
6. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

Subjek pajak orang pribadi bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pemberian jasa meliputi:

1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.
15

Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


keikutsertaannya dalam suatu kegiatan bisa merupakan:

1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. peserta pendidikan dan pelatihan;
5. peserta kegiatan lainnya.

Objek Pajak

PER-16/PJ/2016 menjabarkan penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21 sebagai


berikut:

1. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur;
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
4. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
7. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
8. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;
16

9. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.

Tarif Pajak

Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah
jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang
besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap
lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan. Tarif pemotongan atas penghasilan adalah tarif pajak sebagaimana
dimaksud dalam UU PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan
Pemerintah.

Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Contoh:

Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00

Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:

5% x Rp50.000.000,00= Rp2.500.000,00

15% x Rp25.000.000,00= Rp3.750.000,00 (+)

Jumlah Rp6.250.000,00
17

Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:

5% x 120% x Rp50.000.000,00= Rp3.000.000,00

15% x 120% x Rp25.000.000,00= Rp4.500.000,00 (+)

Jumlah Rp7.500.000,00

Kemudian atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

1. dividen;
2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5. hadiah dan penghargaan;
6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8. keuntungan karena pembebasan utang.

Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia adalah negara tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner). Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi
yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
18

Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Pemotongan pajak tersebut di atas bersifat final, kecuali:

1. pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia dan penghasilan yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap.

Dasar Pengenaan Pajak

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala adalah penghasilan kena pajak.

Penggunaan penghasilan kena pajak sebagai dasar pengenaan dan pemotongan pajak
penghasilan pasal 21 juga berlaku bagi subjek pajak orang pribadi dalam negeri bukan
pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.

Penghasilan kena pajak juga menjadi dasar pengenaan dan pemotongan pajak penghasilan
pasal 21 bagi pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau dengan
jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi
Rp4.500.000.

Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah
satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan
kalender belum melebihi Rp4.500.000, dasar pengenaan dan pemotongannya adalah Jumlah
penghasilan yang melebihi Rp450.000 sehari.
19

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri bukan pegawai yang menerima imbalan yang tidak
bersifat berkesinambungan, dasar pengenaan dan pemotongannya adalah 50% dari jumlah
penghasilan bruto.

Penerima-penerima penghasilan selain yang disebutkan di atas dikenai dan dipotong PPh
pasal 21 dengan dasar jumlah penghasilan bruto.

2.2.3. Pemotongan PPh Ps. 21


Pemotong PPh Pasal 21/26 terdiri dari:

1. Pemberi kerja
2. Bendahara dan pemegang kas pemerintah
3. Dana pensiun
4. Orang pribadi pembayar honorarium
5. Penyelenggara kegiatan

Adapun penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21/26 terdiri dari:

1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya juga merupakan wajib pajak PPh Pasal 21.
3. Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
o Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
o Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
o Olahragawan;
o Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
o Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
20

o Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
o Agen iklan;
o Pengawas atau pengelola proyek;
o Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
o Petugas penjaja barang dagangan;
o Petugas dinas luar asuransi; dan/atau
o Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama juga merupakan Wajib Pajak PPh Pasal
21. Selain itu, kategori di bawah ini juga termasuk Wajib Pajak PPh 21:
5. Mantan pegawai; dan/atau
6. Wajib Pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
o Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
o Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
o Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
o Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
o Peserta kegiatan lainnya.

Dalam hal Anda merupakan pemberi kerja yang memotong PPh Pasal 21/26, hal-hal yang
harus Anda lakukan adalah:

1. melakukan melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan tarif PPh
yang berlaku;
2. membuat bukti potong PPh Pasal 21 melalui aplikasi e-SPT PPh Pasal 21;
3. melakukan penyetoran PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dengan terlebih
dahulu membuat kode billing (MAP-KJS 411121-100). Penyetoran dilakukan paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Misalnya: pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan
21

pada bulan April 2019, maka penyetoran PPh-nya adalah paling lambat dilakukan
pada tanggal 15 bulan Mei 2019; dan
4. melakukan pelaporan PPh Pasal 21 dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPh melalui
djponline.pajak.go.id atau ASP.

Jika Anda adalah orang pribadi penerima penghasilan dari pemberi kerja yang bertindak
sebagai pemotong PPh Pasal 21/26, Anda perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Meminta dan mendapatkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A1 dan 1721-A2)
atas penghasilan yang diterima dan dipotong PPh Pasal 21 secara berkala.
2. Apabila Anda berstatus sebagai pegawai tetap dan penerima pensiun yang PPh Pasal
21 nya dipotong oleh pemberi kerja maupun dana pensiun, maka Anda berhak
menerima bukti pemotongan setiap awal tahun.
3. Apabila Anda berstatus sebagai penerima honorarium, bukan pegawai, dan peserta
kegiatan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21-nya oleh pemberi penghasilan,
maka Anda berhak menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 setelah penghasilan
dibayarkan.
4. Apabila Anda menerima penghasilan dari pemberi kerja, namun PPh Pasal 21-nya
tidak dipotong, maka penghasilan tersebut wajib diperhitungkan dan dilaporkan
melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pada tahun pajak yang sama.

2.2.4. Perhitungan Pemotongan PPh Ps. 21


1. Penghasilan Bruto (Penghasilan Kotor) PPh Pasal 21

Penghasilan bruto atau penghasilan kotor adalah jenis penghasilan yang dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21.

Unsur-unsur penambah penghasilan yang termasuk dalam penghasilan bruto, adalah:

 Penghasilan Rutin
Cara perhitungan PPh 21 tidak akan terlepas dari penghasilan rutin wajib pajak orang
pribadi, yakni upah atau gaji yang diterima secara teratur dalam jangka waktu tertentu,
seperti:
22

o Gaji Pokok
Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan satu jabatan
atau pekerjaan tertentu pada golongan pangkat dan waktu tertentu.
o Tunjangan
Tunjangan adalah penghasilan tambahan di luar gaji pokok yang berkaitan
dalam pelaksanaan tugas dan sebagai insentif. Misalnya adalah tunjangan
jabatan, tunjangan transportasi, tunjangan makan, dll.

2. Penghasilan Tidak Rutin

Penghasilan tidak rutin adalah upah atau gaji yang diterima secara tidak teratur oleh seorang
pegawai atau penerima penghasilan lainnya, seperti:

 Bonus
Bonus adalah tambahan penghasilan di luar gaji kepada pegawai atau dividen
tambahan kepada pemegang saham.
 Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR)
THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada
pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan dengan perhitungan
proposional dan dibayarkan menjelang hari raya keagamaan.
 Upah Lembur
Upah lembur adalah tambahan upah yang dibayarkan perusahaan karena pekerja
melakukan perpanjangan jam kerja dari jam kerja normal yang telah ditentukan

3. Iuran BPJS atau premi asuransi pegawai yang dibayarkan perusahaan

BPJS adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).

Setiap warga negara Indonesia dan asing yang telah tinggal di Indonesia selama lebih dari 6
bulan wajib menjadi anggota BPJS.
23

Iuran BPJS dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja dengan persentase iuran dari gaji atau
upah (tidak dijelaskan dalam peraturan bahwa apakah gaji ini merupakan gaji pokok, gaji
bruto, gaji bersih, dsb) yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.

4. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

Jaminan Kecelakaan Kerja adalah kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang
mengalami kecelakaan saat mulai berangkat kerja sampai tiba kembali di rumah atau
menderita penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.

Iuran JKK dibayar sepenuhnya oleh perusahaan. Besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis
usaha dan risiko:

 Kelompok I : premi sebesar 0,24% x upah kerja sebulan.


 Kelompok II : premi sebesar 0,54% x upah kerja sebulan.
 Kelompok III : premi sebesar 0,89% x upah kerja sebulan.
 Kelompok IV : premi sebesar 1,27% x upah kerja sebulan.
 Kelompok V : premi sebesar 1,74% x upah kerja sebulan.

5. Jaminan Kematian (JK)

Jaminan Kematian diperuntukkan bagi ahli waris dari peserta program BPJS Ketenagakerjaan
yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja.

Pengusaha wajib menanggung iuran program Jaminan Kematian sebesar 0,3% dari gaji atau
upah.

6. Jaminan Kesehatan (JKes / BPJS Kesehatan) berlaku sejak Juli 2015

Jaminan Kesehatan adalah program BPJS Kesehatan yang diikuti wajib pajak.

Sejak 1 Juli 2015, tarif iuran Jaminan Kesehatan adalah 5% dari gaji per bulan yaitu sebanyak
4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% oleh pegawai.
24

Gaji atau upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan iuran Jaminan Kesehatan terdiri
dari gaji atau upah pokok dan tunjangan tetap.

Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan iuran
adalah 2 kali PTKP dengan status kawin dengan 1 anak.

Untuk keluarga lainnya, yaitu terdiri dari anak keempat dan seterusnya, orang tua dan mertua,
besarnya iuran adalah 1% per orang dari gaji/upah.

7. Tunjangan PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan, jika ada)

Bagi pemberi kerja yang memberikan tunjangan PPh 21 kepada pegawainya, dalam hal ini
tunjangan PPh 21 penuh atau sebagian, maka jumlah tunjangan PPh 21 ini merupakan
komponen penambah penghasilan bruto.

Sedangkan metode perhitungan gaji bagi pegawai yang menerima tunjangan PPh 21 adalah
metode gaji bersih atau gross-up.

8. Tunjangan BPJS (yang dibayarkan perusahaan, jika ada)

Bagi pemberi kerja yang memberikan tunjangan BPJS (JKK, JK, JP, JKes) secara penuh
dengan metode perhitungan gaji bersih atau gross up, maka tunjangan ini dijadikan komponen
penambah penghasilan bruto.

9. Pengurang Penghasilan Bruto

Pengurang penghasilan bruto adalah biaya-biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto
atau kotor. Termasuk di dalamnya adalah:

 Biaya Jabatan
Biaya jabatan adalah biaya yang diasumsikan petugas perpajakan sebagai pengeluaran
(biaya) selama setahun yang berhubungan dengan pekerjaan. Peraturan Direktur
25

Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 menetapkan, biaya jabatan adalah sebesar 5% dari
penghasilan bruto setahun dan setinggi-tingginya Rp 500.000 sebulan atau Rp 6 juta
setahun. Dari staf biasa hingga direktur berhak mendapatkan pengurang penghasilan
bruto ini.
 Biaya Pensiun
Biaya pensiun adalah pengurang penghasilan bruto dalam menghitung PPh Pasal 21
yang terutang dan harus dipotong atas penghasilan yang diterima penerima pensiun
secara bulanan. Besarnya biaya pensiun yang ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak No. PER-16/PJ/2016 adalah 5% dari penghasilan bruto dan setinggi-tingginya
Rp 200.000 per bulan atau Rp 2.400.000 per tahun.
 Iuran BPJS yang Dibayarkan Karyawan
Dalam hal iuran BPJS yang persentasenya dibayarkan karyawan, maka komponen
dimasukkan sebagai pengurang penghasilan bruto. Iuran BPJS yang termasuk sebagai
pengurang penghasilan bruto tersebut adalah:
i. Jaminan Hari Tua (JHT)
Program ini ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja
karena meninggal, cacat atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem
tabungan hari tua. Jumlah iuran program jaminan hari tua yang ditanggung
perusahaan adalah 3,7%, sedangkan yang ditanggung pekerja adalah 2%.
Premi JHT yang diberikan pemberi kerja tidak dimasukkan sebagai komponen
penambah penghasilan. Pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat
karyawan menerima JHT. Sedangkan premi JHT yang dibayar sendiri oleh
karyawan merupakan pengurang penghasilan bruto.
ii. Jaminan Pensiun (JP)
Jaminan pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan memberikan derajat
kehidupan yang layak bagi pesertanya dan/atau ahli warisnya dengan
memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, cacat total
atau meninggal dunia. Jaminan Pensiun (JP) berlaku sejak Juli 2015. Iuran
program JP adalah 3%, yang terdiri atas 2% iuran pemberi kerja dan 1% iuran
pekerja.
iii. Jaminan Kesehatan (JKes)
Sejak 1 Juli 2015, tarif iuran Jaminan Kesehatan yang dibayarkan pegawai
adalah 1%.
26

 PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)


Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang merupakan komponen penting cara
perhitungan PPh 21 2018 adalah jumlah nilai penghasilan bruto bagi wajib pajak yang
tidak dikenakan pajak. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
16/PJ/2016 dan PMK No. 101/PMK.010/2016, berikut ini tarif PTKP terbaru yang
perlu Anda ketahui:
o Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 4.500.000 per bulan untuk diri Wajib Pajak
orang pribadi
o Rp 4.500.000,- per tahun atau Rp 375.000 per bulan tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin
o Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 375.000 per bulan untuk istri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
o Rp 4.500.000 per tahun atau Rp 375.000 per bulan tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
orang untuk setiap keluarga.

2.3 Pengertian PPh Pasal 26


Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap
(BUT) di Indonesia. PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan
yang dibayarkan, disediakan atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan
atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia.

2.3.1. Dasar Hukum PPh Pasal 26


2.3.1.1. UU PPh Ps. 26 (UU No. 36 Th 2008)
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
27

membayarkan:

a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.

(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial
owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh
persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:

a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status
menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
28

2.3.1.2. PMK, KMK, Per-DJP, dan SE


No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal
1 PP No. 18 Th 2015 06 April 2015 Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk
Penanaman Modal Di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah
Tertentu
2 PP No. 9 Th 2016 15 April 2016 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal Di Bidang – Bidang Usaha
Tertentu Dan/ Atau Di Daerah – Daerah
Tertentu
3 21/PMK.011/2010 28 Januari 2010 Pemberian Fasilitas Perpajakan Dan
Kepabeanan Untuk Kegiatan Pemanfaatan
Sumber Energi Erbarukan
4 89/PMK.010/2015 28 April 2015 Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak
Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di
Bidang Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau
Di Daerah Daerah Tertentu Serta
Pengalihan Aktiva Dan Sanksi Bagi
Wajib Pajak Badan Dala Negeri Yang
Diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan
5 150/PMK.010/2018 26 November 2018 Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan
6 Peraturan Menteri 05 Mei 2015 Kritteria Dan/Atau Persyaratan
Pariwisata No. 9 Pemanfaatan Fasilitas Pajak Penghasilan
Th 2015 Untuk Penanaman Modal di Bidang
Usaha Kawasan Pariwisata
7 Peraturan Menteri 13 Mei 2015 Kriteria Dan/Atau Persayaratan Dalam
Energi dan Sumber Pemanfaatan Fasilitas Pajak Penghasilan
Daya Mineral No. Untuk Penanaman Modal Di Bidang
16 Th 2015 Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di
Daerah Daerah Tertentu Pada Sektor
Energi Dan Sumber Daya Mineral
8 Peraturan Mentri 10 Januari 2018 Kriteria Dan/Atau Persyaratan Dalam
Perindustrian NO. Implementasi Pemanfaatan Fasilitas Pajak
11 Th 2018 Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di
Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di
Daerah Tertentu Pada Sektor Industri
9 PER-44/PJ/2011 29 Desember 2011 Tata Cara Pelaporan Penggunaan Dana
Dan Realisasi Penanaman Modal Bagi
Wajib Pajak Badan Yang Mendapatkan
Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan
Pajak Penghasilan Badan
10 PER-45/PJ/2011 29 Desember 2011 Tata Cara Penetapan Saat Dimulainya
Berproduksi Secara Komersial Bagi
29

Wajib Pajak Badan Yang Mendapatkan


Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan
Pajak Penghasilan Badan
11 SE-16 /PJ./2017 05 April 2007 Penyampaian Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal Di Bidang Bidang Usaha Tertentu
Dan/Atau di Daerah – Daerah Tertentu
Beserta Peraturan – Peraturan
Pelaksanaanya
12 SE-15/PJ/2015 09 Maret 2015 Penegasan Atas Pelaksanaan Peraturan
Direktur Jendral Pajak Nomor PER-
41/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pemberian
Fasilitas Pajak Penghasilan, Penetapan
Realisasi Penanaman Modal,
Penyampaian Kewajiban Pelaporan, Dan
Pencabutan Keputusan Persetujuan
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan
Untuk Wajib Pajak Yang Melakukan
Penanaman Modal Di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-
Daerah Tertentu
13 Peraturan Kepala 30 November 2011 Pedoman Dan Tata Cara Pengajuan
Badan Koordinasi Permohonan Fasilitas Pembebasan Atau
Penanaman Modal Pengurangan Pajak Penghasilan
Nomor 12 Th 2011
14 Peraturan Badan 21 Januari 2019 Rincian Bidang Usaha Dan Jenis Produksi
Koordinasi Industri Pionir Yang Dapat Diberikan
Penanaman Modal Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan
Republik Indonesi Badan Serta Pedoman Dan Tata Cara
Nomor 1 Th 2019 Pemberian Fasilitas Penguranggan Pajak
Penghasilan Badan

2.3.2. Subjek Pajak PPh Ps. 26


Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri (orang pribadi
maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan
2.3.3. Objek dan Tarif PPh ps. 26

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri berupa :
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
30

g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau


h. Keuntungan karena pembebasan utang.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia
dengan negara pihak pada persetujuan.

2.3.4. Pemotongan PPh Ps. 26


Pemotongan PPh Pasal 26 bersifat final, kecuali :
1. Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
dilakukan BUT di Indonesia.
2. Pemotongan atas penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh pasal 26 yang
diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimakasud.
3. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau
BUT.
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 26 wajib dilakukan oleh:
1. Badan pemerintah
2. Subjek pajak dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk usaha tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri laiinya
6. Pembeli yang ditunjuk sebagai pemtong PPH pasal 26
31

2.3.5. Perhitungan Pemotongan PPh Ps. 26


1. PPh Pasal 26 = Penghasilan Bruto × 20%
2. PPh Pasal 26 = (Penghasilan Bruto × Perkiraan Penghasilan Netto) × 20% (harta)
3. PPh Pasal 26 = (Penghasilan Bruto × Perkiraan Penghasilan Netto) × 20% (saham)
4. PPh Pasal 26 = (PKP – PPh Terutang) × 20%
Contoh perhitungan :
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal
kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan April
2017, Mike memperoleh gaji US$ 5000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp 13.500 per
US$ 1.
Penghitungan PPh Pasal 26 :
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan :
5000× Rp13.500 = Rp67.500.000
Penerapan tarif :
20% × Rp67.500.000 = Rp13.500.000
PPh Pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2017 adalah Rp13.500.000 yang dipotong oleh
perusahaan dan Mike mendapatkan bukti potongnya.

BAB 3
STUDI KASUS

3.1 Kasus I

3.2 Kasus 2

BAB 4
ANALISIS

4.1.1. Pembahasan kasus 1


32

4.1.2. Analisis Kasus 1


4.2.1. Pembahasan kasus 2
4.2.2. Analisis Kasus 2

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan

5.1.1. Pemotongan dan Pemungutan PPh

5.1.2. Pemotongan PPh Ps. 21


5.1.3. Pemotongan PPh Ps. 26
5.2 Rekomendasi
iii

DAFTAR PUSTAKA

1. Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2010, Hukum Pajak Edisi 5, Salemba Empat, Jakarta, hlm.
11.
2. Rahmat Soemitro, 1992, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Bandung, hlm
12.
3. Saidi, M.D., 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 5
4. Wirawan B.Ilyas & Richard Burton, 2007, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hlm.25.
5. Gunadi, 2009, Akuntansi Pajak Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Baru, PT Gramedia
Widiasarana Indinesia.Jakarta, hlm. 2.
6. http://serlania.blogspot.com/2012/01/perumusan-kebijakan-perpajakan-dalam.html, diakses
tanggal 2 Februari 2014
7. MaPPI FHUI, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak, http://www.Pemantau peradilan
com/detil/detil.php?id=205&tipe=kolom, diakses tanggal 1 Februari 2014
8. Atep Adya Barata, 2002,Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, Socia danaLP3AB-
IBTA, Jakarta, hlm. 5
9. Ketentuan pasal I angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
10. http://www. kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id
11. Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa
Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183
12. Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, dalam Makalah“Prosedur Beracara
Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”, Jakarta, 2002, hlm.2
13. Perpustakaan Mahkamah Agung. (n.d). Retrieved December 1 2018, from: Problematik
Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak di Indonesia:
https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resources/ebook/39.pdf
14. Badan Pembinaan Hukum Nasional. (n.d). Retrieved December 1 2018, from: Naskah Akademik
RUU Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak:
https://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_perubahan_atas_uu
_no._14_tahun_2002_tentang_pengadilan_pajak.pdf
15. https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/prosedur-berperkara/prosedur-
peninjauan-kembali
iv

16. Pengadilan Pajak:


https://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_perubahan_atas_uu
_no._14_tahun_2002_tentang_pengadilan_pajak.pdf
17. https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/prosedur-berperkara/prosedur-
peninjauan-kembali

Anda mungkin juga menyukai