Anda di halaman 1dari 25

BAB I

STATUS PASIEN

1.1.IDENTITAS
Nama : Novita Sari Sitorus
Usia : 26 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Kristen
Suku : Batak
Pendidikan : SMA
Alamat : Monosari Dusun XII Tanjung Morawa

1.2.ANAMNESIS
Keluhan Utama : Rasa gatal pada wajah disertai benjolan +
1 bulan.
Keluhan Tambahan : Rasa panas di wajah dan kulit mengelupas.
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Seorang pasien datang dengan keluhan rasa gatal pada wajah disertai
benjolan. Hal ini sudah dialami ± 1 bulan yang lalu. Awalnya timbul bercak
kemerahan di daerah wajah. Kemudian timbul benjolan berisi cairan. Keluhan
tersebut disertai rasa panas dan kulit mengelupas. Riwayat penggunaan
kosmetik (+)
Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi (-), riwayat DM (-).
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat alergi makanan (+), Riwayat DM
(-), Riwayat Hipertensi (-).
Riwayat Penggunaan Obat : Cetirizine
Riwayat Alergi : Alergi terhadap seafood dan debu.

1.3.PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran Umum : Baik
Sensorium : Compos Mentis

1
Tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 78 x/menit
- Frekuensi napas : 20 x/menit
- Suhu : 37,0oC

1.4.LOKASI DERMATOLOGIST
Lokasi : Seluruh wajah
Ruam Primer : Eritem, Papul
Ruam Sekunder :-

1.5.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
-
1.6.RESUME
Seorang perempuan berusia 26 tahun datang ke Poliklinik kulit dan
kelamin RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dengan keluhan rasa gatal pada
wajah disertai benjolan. Hal ini sudah dialami ± 1 bulan yang lalu. Awalnya
timbul bercak kemerahan di daerah wajah. Kemudian timbul benjolan berisi
cairan. Keluhan tersebut disertai rasa panas dan kulit mengelupas. Riwayat
penggunaan kosmetik (+). Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan ruam
primer berupa eritem dan papul di wajah.

2
1.7.DIAGNOSIS BANDING
- Dermatitis Kontak Alergi
- Dermatitis Kontak Iritan
- Akne Vulgaris ringan

1.8.DIAGNOSIS SEMENTARA
Dermatitis Kontak Alergi

1.9.PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan eosinofil darah tepi
- Uji Tempel ( Patch test)

1.10.PENATALAKSANAAN
- Prednison 3 x 5 mg
- Cetirizine 1 x 10 mg
- Desoksimetason krim 0,25 %

1.11.PROGNOSIS
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik,
dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak
mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau
yang terdapat dilingkungan penderita.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema,
edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya
beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.1
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan
atau substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis
dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis
kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik.
Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik,
sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen.1
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin
bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung
bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi mengenai
prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga
berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat.1
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak
80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi
yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan dari satu penelitian
ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dari
pada DKA akibat kerja. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi,

4
tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada anak-anak. Prevalensi pada
wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki. Bangsa kaukasian lebih
sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain.1
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang
belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat
menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya
(sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya
potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah yang terkena,
lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan
pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik
(misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).2
Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA
bertujuan untuk menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi
bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen
(dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau terpajan oleh
alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan penderita) dapat
menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu penting
untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan
morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.2

2.2.Dermatitis Kontak Alergi (DKA)


2.2.1. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.2
2.2.2. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-
1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis

5
yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.2
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu
dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi
mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron,
misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron
mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic
3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-
bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat
rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-
obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan
parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi).3
Macam-macam alergan yang paling sering menimbulkan
dermatitis kontak alergi menurut North American Dermatitis
Group terdapat pada tabel dibawah ini.4
Allergen Penularan Utama
Nikel sulfat Logam, perhiasan
Neomisin sulfat Kandungan obat salep
Balsam peru Pengobatan topical
Pewangi campuran Pewangi, kosmetik
Thimerosal Antiseptic
Sodium emas thiosulfate Medikasi
Formaldehyde Desinfektan, palstik
Quaternium-15 Desinfektan
Basitrasin Obat salep, bedak
Carba mix Karet, latex
Parabens Bahan pengawet
Pentadecylcatechols Tanaman

2.2.3. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis
kontak alergi. Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal:2
- Potesi sensitisasi allergen
- Dosis per unit area

6
- Luas daerah yang terkena
- Lama pajanan
- Oklusi
- Suhu dan kelembaban lingkungan
b. Faktor Internal/ Faktor Individu:2
- Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
- Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan
sinar matahari.
- Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun
misalnya mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih
berperan karena alergi nickel.
- Status higinie dan gizi
Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama
lain yang masing – masing dapat memperberat penyakit atau
memperingan. Sebagai contoh, saat keadaan imunologik seseorang
rendah, namun apabila satus higinienya baik dan didukung status
gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi
dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh
dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila dibandingkan
dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah.
Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan
kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas
kulit terganggu, misalnya dermatitis statis.2
2.2.4. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh
pajanan secara berulang oleh suatu alergen tertentu secara
berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan seringkali

7
mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia
tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang
lebih dalam menembus stratum corneum dan membentuk
kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah
bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat
mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier
yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak
selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan
respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan
terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin.
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi
dan fase elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada
kedua fase ini akan melepaskan mediator-mediator inflamasi
seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya, sebagai
respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan
mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis
khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini
akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa
waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun.
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan
adanya vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang
terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah,
genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema
memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam
(spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai
bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata.2

8
Skema Patogenesis DKA

Kontak Dengan Alergen


secara Berulang

Alergen kecil dan larut


dalam lemak disebut
IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-
hapten
7, MHC I dan II
Sel langerhans
keluarkan sitokin
Menembus lapisan
corneum
Sitokin akan
memproliferasi sel T
dan menjadi lebih
Difagosit oleh sel
banyak dan memiliki
Langerhans dengan
sel T memori
pinositosis

Sitokin akan keluar dari


Hapten + HLA-DR getah bening

Membentuk antigen Beredar ke seluruh


tubuh

Dikenalkan ke limfosit
T melalui CD4
Individu tersensitisasi

Fase Sensitisasi (I)

2-3 minggu

9
Fase Elitisasi (II)

24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi


lebih kompleks

Respons klinis DKA

Proliferasi dan ekspansi


sel T di kulit Faktor kemotaktik, PGE2
dan OGD2, dan leukotrien
B4 (LTB4) dan eiksanoid
menarik → neutrofil,
IFN – γ → keratinosit → monosit ke dermis
LFA -1, IL-1, TNF-α

Eikosanoid (dari sel mast Molekul larut (komplemen


dan keratinosit dan klinin) → ke epidermis
dan dermis

Dilatasi vaskuler dan


peningkatan
permeabilitas vaskuler

10
2.2.5. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang
cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya
mengeluh gatal.1
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala
ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal
dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan
yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah
dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun
keluarganya. Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel berikut.

Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).

Demografi dan Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama,


riwayat pekerjaan status pernikahan, pekerjaan, deskripsi
dari pekerjaan, paparan berulang dari
alergen yang didapat saat kerja, tempat
bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat
2. P penyakit Faktor genetik, predisposisi
dalam
e keluarga
Riwayat
m penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang
sebelumnya
e diderita, obat-obat yang digunakan,
r tindakan bedah
Riwayat
i dermatitis Onset, lokasi, pengobatan
yang spesifik

11
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat
lokasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat
dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan
kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.1

Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).


Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang
ada di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara,
zat warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet

12
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
Paha dan Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
tungkai bawah sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara
umum dapat diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Wujud kelainan kulit
dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan
karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi
eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa
papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak
langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena


lipstick. Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan
eritema pada bibir

13
c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat
topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar,
gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak,
bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang
menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat
dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga
mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel
yang bisa mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis
kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.
Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh


tekstil, zat warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik,
deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian. Dermatitis
kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari

14
celananya. Terlihat adanya eritema yang berbatas tegas sesuai
dengan daerah yang terkena alergen.

e. Genitalia. Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon,


kondom, pembalut wanita alergen yang berada di tangan,
parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi
pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung
neomisin, terlihat eritema

f. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat


disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon,
obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis
kontak alergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan
pengawet pada pelembab.Kaki mengalami skuama dan krusta.

15
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak
alergi.2
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya
boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian,
sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka
uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang
direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet,
atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil
positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10
orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi.1

16
Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel:1
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau
‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar

17
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel
dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut:2
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

18
Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu
setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah
96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk
melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi.1
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,
berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo).1

b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara:1
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,
kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.

19
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X
volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,


menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik.1
1) Epidermis:
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini
ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis:
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

20
Histopatologik dermatitis kontak alergi
Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,
spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis
yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,
2010).
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh
karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui.2

21
2.2.6. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi.
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk
terkena dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan
aktivitas yang bersentuhan dengan allergen.
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi.
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat
(CTM) sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk
dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak
untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika
(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk
terkena dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen

22
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun,
jika tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar
allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan
aktivitas yang berisiko terhadap paparan alergen

2.2.7. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularis atau psoriasia).
Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen
yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan
tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.

2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku
menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen
simplex chronicus).1

23
BAB III
KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang


timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak
jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji
tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil
positif.
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta
nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk
mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi kortikosteroid,
mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk
mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk
nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
2. Djuanda Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta :
FKUI.
3. Trihapsoro, Iwan. 2012. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat
Jalan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara,
Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 21
Juli 2019.
4. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009. h.
20-33

25

Anda mungkin juga menyukai