Halaman Pengesahan
Halaman Pengesahan
Disusun Oleh
Ricco Firmansyah, S.Ked
G1A218069
PEMBIMBING
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Kejang Demam Kompleks”.Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dr. Retno Kusumastuti, Sp.A.,M.Kes selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... 1
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. 2
KATA PENGANTAR........................................................................................ 3
DAFTAR ISI....................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................... 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….18
BAB IV ANALISIS KASUS........................................................................ …. 40
BAB V KESIMPULAN............................................................................... …. 44
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... …. 46
4
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi khususnya anak.Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 0C) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstra kranium. Umumnya kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan-5
tahun. Menurut consensus statement of febrile seizures kejang demam adalah
suatu kejadian pada bayi dan anak biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu. Kejang demam pada anak-anak yang sebelumnya pernah
menderita kejang tanpa demam tidak dimasukan pada kejang demam. Kejang dan
demam juga bisa terjadi bersamaan pada meningitis, ketidakseimbangan elektrolit,
ensefalopati, dan kondisi lain yang diakibatkan oleh gangguan system saraf pusat,
dalam hal ini tidak disebut kejang demam.1
Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak
menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga
menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat
menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari.Namun kejang merupakan
penyebab terbanyak anak masuk ke rumah sakit dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.1
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana
kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali
terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu
anak berumur berapa. Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat
klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada
waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk
demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian.
Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi.
Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada masa
anak, dengan prognosa baik secara seragam. Jumlah penderita kejang demam
5
diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi.Sekitar 20% di
antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani
secara lebih teliti.Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih
banyak menyerang anak laki-laki.2, 3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien, pada hari Minggu,tanggal 26 Mei
2019
6
Keluhan Utama : Kejang 1 jam SMRS
Keluhan Tambahan : Demam, batuk, pilek
7
Riwayat makanan
ASI : ASI diberikan sampai usia 1 tahun
Susu formula : Saat usia 5 bulan lebih sampai sekarang
Bubur nasi : Mulai dari usia 6 bulan
Nasi tim/lembek : Mulai dari usia 8 bulan
Nasi biasa : Mulai dari usia 1 tahun sampai sekarang
Riwayat imunisasi
a. BCG : + (1 kali)
b. Polio : + (4 kali)
c. DTP : + (4 kali)
d. Campak : + (2 kali)
e. Hepatitis B : + (4 kali)
Kesan : Imunisasi dasarlengkap
Riwayat pertumbuhan
Panjang badan lahir : ibu lupa
Lingkar kepala lahir : ibu lupa
BB : 10 Kg
PB : 75 cm
LK : 44 cm
Riwayat perkembangan
Gigi pertama : 8 bulan
Tengkurap : ibu lupa
Merangkak : ibu lupa
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : -
Aktifitas : Aktif
Kesan : Perkembangan normal
8
Status gizi
Usia 1 tahun 3 bulan dengan berat badan 10 kg dan panjang badan 75 cm
- BB/U = -2 SD s/d 0 SD Kesan: Normal
- PB/U = -2 SD s/d 0 SD Kesan: Normal
- BB/PB = 0 SD s/d 1 SD Kesan: Gizi baik
Riwayat penyakit yang pernah diderita
Parotitis :- Muntah berak : -
Pertusis :- Asma :-
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang :-
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak: -
Thypoid :- Kecelakaan :-
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun : - Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal :-
TBC :- Alergi :-
Kejang :- Perut kembung: +
Lumpuh :- Otitis Media : -
Batuk/pilek :+
9
SpO2 : 98 %
Berat badan : 10 kg
Panjang badan : 75 cm
c. Kulit
Sianosis :-
Warna : Kuning langsat
Turgor : cepat kembali
Pigmentasi : tidak ada
Edema : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Lain-lain : Petekie (-), Purpura (-)
d. Kepala
Bentuk : Normochepal
Rambut
Warna : hitam
Alopesia : Tidak mudah rontok, halus
Deformitas : Tidak ada
Lain-lain :-
Mata
Palpebra : Edema (-), cekung (-)
Alis dan bulu mata : Hitam
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga
Bentuk : Normal
Cairan : Sekret (-)
Serumen : (+/+) minimal
Nyeri tekan : (-/-)
Hidung
10
Bentuk : Normal
Sekret :-
Septum : Deviasi tidak ada
Epistaksis :-
Mulut dan Gigi
Bentuk : Simetris
Bibir : Sianosis (-)
Karies :-
Faring
Hiperemis :-
Edema :-
Membran / pseudomembran : -
Tonsil
Warna : Hiperemis
Pembesaran : - (T1-T1)
Abses / tidak :-
Membran / pseudomembran : -
e. Leher
Pembesaran kelenjar leher : -
Kaku kuduk :-
Massa :-
f. Thoraks
Paru
Inspeksi Bentuk : Simetris
Retraksi :-
Pernapasan : Abdomino thorakal
Sternum : ditengah
Palpasi Fokal fremitus : getaran sama kiri dan kanan
Perkusi Sonor
Auskultasi Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+)
11
Suara nafas tambahan : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra
Perkusi : Batas kiri : ICS V linea mid klavikularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop(-)
g. Abdomen
Inspeksi Bentuk : simetris, datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Defans muskular : -
Turgor : Baik
Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Massa :-
Perkusi Timpani :+
Ascites :-
h. Ekstremitas
Dextra Sinistra
Superior Look : Jejas (-), hematom (-) Look : Jejas (-), hematom (-)
edema (-) edema (-)
Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas
(+), akral hangat, CRT<2detik (+), akral hangat,CRT<2detik
12
Move : Nyeri gerak aktif (-), pasif(-), Move : Nyeri gerak aktif (-), pasif
(-), gerak aktif dan pasif
gerak aktif dan pasif dalam
dalam batas normal
batas normal
Inferior Look : Jejas (-), hematom (-) Look : Jejas (-), hematom (-)
edema (-) edema (-)
Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas
(+), akral hangat, CRT<2detik (+), akral hangat,CRT<2detik
Move :Nyeri gerak aktif (-), pasif (-), Move : Nyeri gerak aktif (-), pasif
gerak aktif dan pasif dalam (-), gerak aktif dan pasif
batas normal dalam batas normal
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Tanda perangsang selaput otak:
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Kernig : (-)
Tonus : eutoni
Kekuatan : 5/5/5/5
Refleks fisiologis:
Refleks tendon biseps : (+/+)
Refleks tendon triseps : (+/+)
Patella : (+/+)
Achilles : (+/+)
Refleks patologis:
Babinsky : (-/-)
Chadook : (-/-)
Gordon : (-/-)
13
Oppenheim : (-/-)
2.8PENATALAKSANAAN
1. IVFD D5 ¼ NS 13 tpm (makro)
2. Diazepam supp 4 mg bila kejang
14
• 3. Po Pct Syr 5cc jika suhu >38c
FOLLOW UP
Tanggal Perkembangan
15
Mata : CA(-), SI(-)
THT: faring hiperemis (-)
Paru : vesikuler (+/+) ronki (-/-),wheezing (-/-)
Jantung : BJ I/II regular. Murmur (-), gallop (-)
abdomen: nyeri tekan epigastric (-), BU (+)
ekstremitas sup & inf : akral hangat, CRT < 2 detik.
A : KDS
P:
IVFD D5 ¼ Ns 1000cc/24 jam
Diazepam 4 mg bila kejang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.Kejang demam adalah kejang yang berhubungan dengan demam
(suhu diatas 39o C per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau
gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak berusia 1 bulan dan tidak ada riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya.Berdasarkan International League Against
Epilepsy (ILAE), kejang demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak
setelah usia 1 bulan, yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan
infeksi sistem saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan
dengan kejang simptomatik lainnya.1, 3
16
Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metaboliklainnya.Bila ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak berumur antara 1-6
bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. National
Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan
Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia
lebih dari 1 bulan.
Kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik satu kali atau
multiple tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka diklasifikasikan sebagai
status epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian ini berkisar 5% dari
keseluruhan kejang yang disertai demam.
3.2 Epidemiologi
17
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang
merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang.3
18
Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang
demam, dua diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta),
atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak
sehingga terjadi kejang.1
Kejang demam juga diturunkan secara genetic sehingga eksitasi neuron
terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun beberapa
studi menunjukka keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 18q13-
21, sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan.
Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling
sering disebakan karena infeksi saluran napas akut, otitis media akut, roseola,
infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna.1,7
Faktor yang dapat menjelaskan mekanisme terjadinya kejang yaitu zat
yang dikenal sebagai gama-aminobutyric acid (GABA). GABA adalah salah satu
jenis neurotransmitter inhibisi utama di susunan saraf pusat. Ketidakseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi di otak serta penurunan fungsi GABA dapat
menimbulkan terjadinya kejang.6,7Menurunnya hambatan potensial aksi oleh
GABA disebabkan karena beberapa faktor tertentu, yang meliputi :7
1. Menurunnya kecepatan pelepasan GABA, misalnya karena menurunnya
enzim pembentuk GABA
2. Menurunnya efisiensi GABA oleh karena perubahan lingkungan seperti
demam atau anoksia.
3. Meningkatnya bahan eksogen dan endogen yang memblok aksi
pasca sinaps GABA dan hambatan lepas muatan
Hambatan atau penurunan dari GABA dapat secara langsung
menginduksiterjadinya ledakan lepas muatan yang menyebabkan kejang.
Neurotransmittereksitatori akan membuka saluran ion natrium sehingga
meningkatkan pemasukannatrium, hal ini menyebabkan depolarisasi dan
meningkatkan kecepatan lepasmuatan. Neurotransmitter inhibitori, dalam hal ini
GABA akan membuka saluranion klorida, menyebabkan pemasukan ion klorida,
menimbulkan hiperpolarisasidan menurunkan kecepatan lepas muatan neuron.
Kenaikan suhu 10C pada keadaan demam akan mengakibatkan
19
kenaikanmetabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen 20%.
Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak. Dalam waktu
singkat terjadilepasan muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang cukup besar
dapat meluas keseluruh sel di dekatnya dengan bantuan neurotransmitter,
sehingga terjadi kejang.Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan
beberapa fenomenabiokimiawi, seperti berikut:
Instabilitas membrane sel saraf sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi GABA.
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang menggangu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbanagn ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatori atau deplesi neurotransmiter inhibitorik.6,7
3.4 Klasifikasi
20
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejangdemam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejangparsial.
c. Berulangataulebihdari1kalidalamwaktu24jam.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara
2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak
yang mengalami kejangdemam
21
Gambar 3.2 Faktor Demam
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh diatas 37,8 °C rektal. Demam
dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada anak disebabkan
oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak.Demam merupakan
factor utama timbulnya bangkitan kejang.
Kenaikan suhu tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabiltas
neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme
seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan
meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan
kebutuhan glukosa dan oksigen.8,10
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.
Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energy sehingga mengganggu
fungsi normal pompa Na+ meningkat sehingga menurunkan nilai ambang kejang
dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak
neuron GABA- ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Bangkitan kejang
demam banyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9 °C - 39°C (40-
56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% dan
sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh diatas 40°C.
22
2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu :
a. Neurulasi
b. Perkembangan proensefali
c. Proliferasi neuron
d. Migrasi neural
e. Organisasi
f. Mielinisasi
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetic terkait dengan kejang
demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan
sekitar 60-80%. Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam
maka anaknya beresiko sebesar 20-22%.Apabila kedua orang tua mempunyai
riwayat pernah menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-
23
64%.Sebaliknya apabila kedua orang tuanya tidak mempunyai riwayat kejang
demam maka resiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam
lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% :7%. 8, 9,10
5. Faktor paskanatal
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi system saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus
berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang.Di Negara-negara barat
penyebab yang paling umum adalah virus herpes simpleks (tipe 1) yang
menyerang lobus temporalis. Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala
memicu kejadian kejang demam pada anak sebesar 20,6%.8, 10
3.6 Manifestasi Klinis
Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Pada
kejang demam sederhana, tipe kejang berupa kejang umum klonik atau tonik-
klonik. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit
anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Adanya tanda kejang
demam fokal atau parsial selama maupun sesudah kejang (misalnya pergerakan
satu tungkai saja, atau satu tungkai terlihat lebih lemah dibanding yang lain)
24
menunjukkan kejang demam kompleks, dapat diikuti oleh hemiparesis sementara
(hemiparesis todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.2,7
3.7 Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain
dapat disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidak
seimbangan elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis
banding tersebut, meningitis merupakan penyebab kejang demam yang lebih
mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada kejang yang disertai demam
yaitu 2-5%.2
Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak
diantaranya disebabkan proses intrakranium yang yang berbahaya ataupun proses
sistemik. Kondisi-kondisi ini harus dapat dibedakan dengan segera dari kejang
demam.
3.7.1 Anamnesis
Waktu terjadi kejang durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang, sifat kejang
(fokal atau umum)
Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
25
Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau
naik turun)
Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsy)
Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsy)
Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
Trauma kepala
26
Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan
subdural ataukelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus
Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
(ISPA, OMA, GE, TFA)
Pemeriksaan refleks patologis
Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
27
- Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifatfokal.4
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun, atau kejang demam fokal.3
PENCITRAAN
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala)tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut
dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervuskranialis.4
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik
yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan
pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:3
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
28
pungsi lumbal. Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong
dalam kejang demam atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam. 2,6
3.9 Penatalaksaan
29
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan kerumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status
epileptikus.4
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kalisehari.4
2. Antikonvulsan
a. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
Profilaksisintermitendiberikanpadakejangdemamdengansalahsatu
faktor risiko di bawahini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsiserebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalamsetahun
• Usia <6bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajatCelsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengancepat.4
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per
oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10
mg
untukberatbadan>12kg),sebanyak3kalisehari,dengandosismaksimum
diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam
pertamademam.Perludiinformasikanpadaorangtuabahwadosistersebut
cukuptinggidandapatmenyebabkanataksia,iritabilitas,sertasedasi.4
30
b. Pemberian obat antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek.4
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejangfokal
2. Kejang lama >15menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus,hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.
31
misalnya keterlambatan perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik.
Pada kejang demam sederhana, anak <18 bulan sangat disarankan untuk
dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal,
sedangkan pada anak >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika
kondisi stabil, keluarga perlu diberitahu jika terjadi kejang berulang maka
harus dibawa ke rumah sakit. Pada kejang demam sederhana, pemeriksaan
darah rutin, elektroensefalografi, dan neuroimaging tidak selalu dilakukan.
Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien umur <18 bulan, dengan
meningeal sign serta pasien dengan kecurigaan infeksi SSP.3
32
Pada kejang demam kompleks, pemeriksaan difokuskan untuk mencari
etiologi demam. Semua kejang demam kompleks membutuhkan observasi
lebih lanjut di rumah sakit.8,9 Pungsi lumbal serta beberapa tindakan seperti
elektroensefalografi dan CT scan mungkin diperlukan.3
d. Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada
anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karenavaksinasi
sangat jarang. Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang
demamterkaitvaksin(vaccine-associatedfebrileseizure)dibandingkandengan
kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-associated febrile seizure)
adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang demam
pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada
keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan
parasetamolprofilaksis.4
e. Edukasi
33
3.10 Prognosis
34
satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi
tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.4
4. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana
dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.4
BAB IV
ANALISIS KASUS
35
Pada pemeriksaan fisik di bangsal RSUD Raden Mattaher didapatkan suhu
38,9 0C, nadi 132 kali/menit, dan frekuensi napas 40 kali/menit. Pada pemeriksaan
neurologis tidak didapatkan defisit neurologis.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului dengan demam pikirkan kemungkinan terjadinya infeksi susunan saraf
pusat atau epilepsy yang disertai demam. Pada kasus ini di dadapatkan anak 1
tahun 3 bulan dimana masih dikategorikan sebagai kejang demam.
36
Pengobatan profilaksis dengan antikonvulsan segera diberikan pada waktu
pasien demam ( suhu rectal >38oC). Pemberian antikonvulsan, yaitu pemakaian
diazepam oral dosis 0,3mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko
berulangnya kejang, begitu pula dengan diazepam rectal 0,5 mg/kg setiap 8 jam
pada suhu >38oC. tetapi dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
2. Terapi kausatif
Inj. Diazepam 4 mg, bolus pelan, jika kejang
Dosis diazepam intravena = 0,3 – 0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 0,5-1 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg.
4. Terapi suportif
a) Mengganti kehilangan cairan
d) Istirahat
37
e) Makan lunak
5. Terapi edukasi
a) Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
38
BAB V
KESIMPULAN
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 38oC) akibat suatu proses ekstra kranial. Kejang
demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks.
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi
vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan
utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat.
2. Pengobatan profilaksis.
39
untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus dipertimbangkan
antara khasiat tarapeutik obat dan efek sampingnya
40
DAFTAR PUSTAKA
4. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO, IDAI, dan Bakti
Husada; 2008.
9. Karen JM, Robert MK, Hal BJ, Richard EB. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Esensial. Edisi ke VI. Jakarta : Saunders Elsevier; 2011
41
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. 2012. Buku ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed:VII.Cetakan: I.
Jakarta
12. Slootweg JP,Cardesa A. 2006. Pathology of the head and neck. Germany :
Spinger. P183-190.
13. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: P 217-225.
42