Anda di halaman 1dari 21

NAMA : 1.

FEMY LIA UTAMI

2. ILUN CAHIRUNISYAH NAPITU

3. PUTRI AYU AMALIA

DIV KEPEARWATAN POLTEKKES PALEMBANG

RISET KEPERAWATAN

1. Masalah :

a) Departemen : KMB (Keperawatan Medikal Bedah)

b) Tema : Penyakit Tidak Menular (PTM)

c) Topik : Hipertensi

d) Subtopik : Hubungan Merokok dengan Kejadian Hipertensi

2. Dikatakan masalah karena :

Hasil Riskesdas pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi PTM mengalami

kenaikan, penyakit PTM tersebut antara lain kanker, stroke, penyakit gagal

ginjal kronik, diabetes miletus, dan hipertensi. Prevalensi kanker naik dari

1,4% menjadi 1,8%, stroke naik dari 7% menjadi 10,9%, gagal ginjal kronik

naik dari 2% menjadi 3,8%, diabetes mellitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%,

dan hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%. Dari data tersebut terbukti

bahwa hipertensi menjadi prevalensi PTM yang paling banyak terjadi.

Untuk wilayah Sumatera Selatan, hipertensi merupakan penyakit tidak

menular yang menduduki peringkat pertama. Prevalensinya penyakit

hipertensi pada tahun 2011 adalah 54,3% per 10.000 penduduk, tahun 2012

menjadi 59,3% per 10.000 penduduk, dan tahun 2013 tercatat 54,8 per

10.000 penduduk. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018


menunjukkan prevalensi hipertensi di Sumatera Selatan menduduki

peringkat ke 12. Prevalensi penyakit hipertensi di Kota Palembang pada

tahun 2012 sebanyak 62,07% per 10.000 penduduk (6.856 kasus), tahun

2013 sebesar 49,61% per 10.000 penduduk (5.534 kasus), dan tahun 2014

sebesar 39,17% per 10.000 penduduk (4.552 kasus) hipertensi.

Zaman sekarang hipertensi sering dikenal berbagai orang dengan julukan

“The Silent Killer”, karena menurut Kemenkes 2018, “Penderita hipertensi

sering mendapatkan dirinya sudah terdapat penyakit penyulit atau

komplikasi dari hipertensi padahal sebelumnya penderita tidak tahu bahwa

dirinya mengidap hipertensi, bahkan penderita merrasa tidak ada keluhan”.


Hubungan Merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Laki-Laki

di Puskesmas Merdeka Palembang

Terdapat permasalahan yang semakin lama semakin meningkat setiap

tahunnya, sehingga menyebabkan kematian dini pada masyarakat di dunia,

permasalahan tersebut adalah hipertensi. Hipertensi merupakan Penyakit Tidak

Menular (PTM) yang perlu menjadi fokus utama tidak hanya di Indonesia bahkan

dunia. Menurut (Mills et al, 2016), hipertensi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.

Hasil Riskesdas pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi PTM

mengalami kenaikan, penyakit PTM tersebut antara lain kanker, stroke, penyakit

gagal ginjal kronik, diabetes miletus, dan hipertensi. Prevalensi kanker naik dari

1,4% menjadi 1,8%, stroke naik dari 7% menjadi 10,9%, gagal ginjal kronik naik

dari 2% menjadi 3,8%, diabetes mellitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%, dan

hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%. Dari data tersebut terbukti bahwa

hipertensi menjadi prevalensi PTM yang paling banyak terjadi. Hipertensi juga

merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia, karena hipertensi bisa

merupakan pintu masuk atau faktor resiko yang menyebabkan banyak komplikasi,

misalnya jantung, gagal ginjal, dan stroke. Zaman sekarang hipertensi sering

dikenal berbagai orang dengan julukan “The Silent Killer”, karena menurut

Kemenkes 2018, “Penderita hipertensi sering mendapatkan dirinya sudah terdapat

penyakit penyulit atau komplikasi dari hipertensi padahal sebelumnya penderita

tidak tahu bahwa dirinya mengidap hipertensi, bahkan penderita merrasa tidak ada

keluhan”.
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 ada

sekitar 1,13 miliyar orang didunia mengidap hipertensi, yang mana artinya

terdiagnosisis 1:3 orang di dunia. Karena penyandang hipertensi semkain lama

semakin meningkat setiap tahunnya, WHO memperkirakan pada tahun 2025

sebanyak 1,5 miliyar orang menderita hipertensi, akibat hipertensi dan

komplikasinya ini diperkirakan setiap tahunnya ada 9,4 juta orang meninggal dunia.

Berdasarkan Riskesdas 2018, data hipertensi berdasarkan golongan

umur, didapatkan hasil yaitu pada 31-44 tahun (31,6%), umur 45-55 tahun

(45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%), bahkan didapatkan juga hasil pengukuran pada

penduduk usia 18 tahun yang mengidap hipertensi sebesar 34,1%, tertinggi di

Kalimantan Selatan (44,1%), dan yang terendah di Papua (22,2%). Dari prevalensi

hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8% terdiagnosa hipertensi dan

13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak minum obat serta 32,3% tidak rutin

minum obat, karena sebgaian besar penderita tidak mengetahui bahwa dirinya

hipertensi sehingga tidak dapat pengobatan. Banyak alasan kenapa penderita

hipertensi tidak minum obat anatar lain, penderita hipertensi merasa sehat (59,8%),

kunjungan tidak teratur ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) (31,3%),

minum obat tradisional (14,5%), menggunakan terapi lain (12,5%), lupa minum

obat (11,5%), tidak mampu membeli obat (8,1%), terdapat efek samping obat

(4,5%), dan obat hipertensi tidak tersedia di fasyankes (2%).

Untuk wilayah Sumatera Selatan, hipertensi merupakan penyakit tidak

menular yang menduduki peringkat pertama. Prevalensinya penyakit hipertensi

pada tahun 2011 adalah 54,3% per 10.000 penduduk, tahun 2012 menjadi 59,3%

per 10.000 penduduk, dan tahun 2013 tercatat 54,8 per 10.000 penduduk. Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi di

Sumatera Selatan menduduki peringkat ke 12. Prevalensi penyakit hipertensi di

Kota Palembang pada tahun 2012 sebanyak 62,07% per 10.000 penduduk (6.856

kasus), tahun 2013 sebesar 49,61% per 10.000 penduduk (5.534 kasus), dan tahun

2014 sebesar 39,17% per 10.000 penduduk (4.552 kasus) hipertensi.

Tingginya prevalensi hipertensi di dunia, dipengaruhi oleh 2 macam

faktor yaitu bisa diubah dan tidak bisa diubah. Untuk yang tidak bisa diubah seperti

umur, jenis kelamin, ras, dan yang bisa diubah diantaranya obesitas, konsumsi

alkohol, kurang olahraga, konsumsi garam yang berlebihan, dan kebiasaan

merokok (Yashinta Octavian Gita Setyanda, dkk 2015).

Merokok merupakan suatu aktivitas yang masih banyak digandrungi

oleh masyarakat saat ini dan ini merupakan salah satu penyebab dari tingginya

angka hipertensi diindonesia bahkan didunia. Merokok merupakan kebiasaan buruk

yang sampai saat ini masih menjadi masalah besar di dunia baik di negara maju

maupun negara berkembang. Menurut WHO tahun 2016, Pada tahun 2015 lebih

dari 1,1 triliun orang merokok tembakau. Dan prevalensi pria lebih banyak

dibandingkan wanita. Walaupun terjadi penurunan secara luas di seluruh dunia dan

dibeberapa negara, prevalensi dari merokok tembakau sejatinya mengalami

kenaikan .

Menurut riskesdas pada tahun 2018 prevalensi perokok di Indonesia

setiap tahun semakin meningkat. prevalensi merokok pada remaja (10-18 tahun)

pada tahun 2013 yaitu sebanyak 7,2%, sedangkan pada tahun 2016 menurut

Sirkenas jumlah perokok sebanyak 8,8% dan menurut Riskesdas pada tahun 2018

jumlah perokok sebesar 9,1%. Presentasi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah)
pada penduduk laki-laki berumur ≥15 tahun pada tahun 2007 mencapai 65,6%, di

tahun 2013 mencapai 66%, dan pada tahun 2018 mecapai 62,9% (Riskesdas, 2018).

Rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia, 200 diantaranya

mengandung bahan beracun, dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan terjadinya

kanker (Menurut Yashinta Octavian Gita Setyanda, dkk 2015). Zat-zat inilah yang

jika masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan sistem organ

termasuk sistem kardiovaskuler (jantung dan peredaran darah). Pada penelitian

yang banyak dilakukan, dijelaskan bahwa banyak sekali efek yang disebabkan oleh

merokok, anatar lain meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah karena

adanya peningkatan kadar hormon epinefrin dan norepinefrin karena aktivasi

sistem saraf simpatis. Banyak penelitian juga mengatakan bahwa efek jangka

panjang dari merokok adalah peningkatan tekanan darah karena adanya

peningkatan zat inflamasi, disfungsi endotel, pembentukan plak, dan kerusakan

vaskuler. Untuk lebih jelasnya, kandungan yang terdapat didalam rokok seperti

nikotin, tar, dan karbonmonoksida memegang peranan penting terjadinya

hipertensi. Kandungan nikotin akan memicu otak untuk memberikan sinyal pada

kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin atau adrenalin, ini akan menyebabkan

penyempitan pada pembuluh darah sehingga tubuh akan memaksa jantung untuk

bekerja lebih berat. Zat ini juga akan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri

sehingga lebih rentan terjadi penumpukan plak atau yang kita kenal dengan istilah

aterosklerosis. Sedangkan untuk kandungan Tar terbukti dapat mempercepat

aterosklerosis sehingga ketika tar masuk ke dalam tubuh, jantung akan memompa

darah lebih kuat. Kandungan monoksida atau CO didalam rokok dapat

menyebabkan pengentalan darah. Selain itu, karbon monoksida juga berikatan


dengan hemoglobin dalam darah sehingga bisa mengganggu ikatan hemoglobin

dengan oksigen yang dibutuhkan tubuh. Tubuh pun bekerja lebih keras untuk bisa

mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh.

Pada tahun 2017 WHO menunjukkan kematian akibat PTM pada

kelompok usia 30-69 tahun sebanyak 15 juta. Dan sebanyak 7,2 juta kematian

tersebut disebabkan akibat konsumsi tembakau seperti merokok dan 70% kematian

tersebut terjadi di Negara berkembang termasuk di Indonesia.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara

merokok dan hipertensi, seperti hasil penelitian oleh karya Yashinta Octavian Gita

Setyanda, dkk pada tahun 2015 didapatkan hasil penelitian 60 (65,2%) dari 92

responden mengalami hipertensi. Kejadian hipertensi yang paling sering dijumpai

pada rentang umur 55-65 tahun dengan jumlah 27 (45%). Dari karakteristik

pendidikan, kejadian hipertensi dijumpai paling tinggi pada tingkat tamat SMA

dengan angka 23 orang (38,3%), sedangkan bila dilihat dari status perkawinan,

kejadian hipertensi tinggi pada responden yang telah kawin, yaitu sebanyak 59

(98,3%) . Dari penelitian itu didapatkan jumlah responden perokok ialah 57

responden (62%) dan bukan perokok sebesar 35 responden (38%). Ini menandakan

jumlah perokok lebih banyak dibandingkan yang bukan perokok. Sedangkan untuk

hubungan kebiasaan merokok dan hipertensi didapatkan hasil responden yang

merokok dan mengalami hipertensi sebanyak 44 responden (77,2%), responden

yang merokok tetapi tidak mengalami hipertensi sebanyak 13 responden (22,8%),

responden yang tidak merokok namun mengalami hipertensi sebanyak 16

responden (45,7%), dan responden yang tidak merokok dan tidak mengalami

hipertensi sebanyak 19 responden (54,3%), karya penelitian Sya’diah tahun 2019


juga menunjukkan ada hubungan antara jumlah merokok dengan kejadian

hipertensi (p=0,005; OR=10,500; 95% CI = 2,004-55,028), jenis rokok (p=0,050;

OR = 6,000; 95% CI = 1,223-29,445), dan penelitian oleh Pratiwi N, Wowor, dkk

tahun 2014 di Wilayah kerja Puskesmas Tompaso Kecamatan Tompaso Kabupaten

Minahasa menunjukkan faktor resiko kebiasaan merokok mempunyai hubungan

bermakna dengan kejadian hipertensi (p=0,009, OR = 2,970, dan 95% CI= 1,304-

6,764), dari hal ini menunjukkan bahwa terdaoat hubungan antara kebiasaan

merokok dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Tompaso

Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa . Dari semua ketiga hasil peneitian

tersebut, enunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dan hipertensi

ditandai dengan tingginya hasil prevalensi kebiasaan merokok dan hipertensi.

Dari data yang diambil di Poli Umum Puskesmas Merdeka Palembang pada bulan

Agustus 2019 sebagian penderita mengidap hipertensi dan penderita tersebut

merupakan perokok aktif. Dari itu peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian

penelitian tentang “Hubungan Merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Laki-

Laki di Puskesmas MerdekaPalembang”.


Komponen Tertulis Seharusnya

Hipertensi merupakan Penyakit Tidak Menular (PTM)

yang perlu menjadi fokus utama tidak hanya di Indonesia

bahkan dunia. Menurut (Mills et al, 2016), hipertensi

adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.

Menurut data World Health Organization (WHO) pada

tahun 2015 ada sekitar 1,13 miliyar orang didunia

mengidap hipertensi, yang mana artinya terdiagnosisis

1:3 orang di dunia. Karena penyandang hipertensi

semkain lama semakin meningkat setiap tahunnya, WHO

memperkirakan pada tahun 2025 sebanyak 1,5 miliyar

Masalah orang menderita hipertensi, akibat hipertensi dan

komplikasinya ini diperkirakan setiap tahunnya ada 9,4

juta orang meninggal dunia.

Berdasarkan Riskesdas 2018, data hipertensi berdasarkan

golongan umur, didapatkan hasil yaitu pada 31-44 tahun

(31,6%), umur 45-55 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun

(55,2%), bahkan didapatkan juga hasil pengukuran pada

penduduk usia 18 tahun yang mengidap hipertensi

sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan Selatan (44,1%),

dan yang terendah di Papua (22,2%).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018

menunjukkan prevalensi hipertensi di Sumatera Selatan


menduduki peringkat ke 12. Prevalensi penyakit

hipertensi di Kota Palembang pada tahun 2012 sebanyak

62,07% per 10.000 penduduk (6.856 kasus), tahun 2013

sebesar 49,61% per 10.000 penduduk (5.534 kasus), dan

tahun 2014 sebesar 39,17% per 10.000 penduduk (4.552

kasus) hipertensi.

Pada penelitian yang banyak dilakukan, dijelaskan bahwa

banyak sekali efek yang disebabkan oleh merokok,

anatar lain meningkatnya denyut jantung dan tekanan

darah karena adanya peningkatan kadar hormon epinefrin

dan norepinefrin karena aktivasi sistem saraf simpatis.

Banyak penelitian juga mengatakan bahwa efek jangka

panjang dari merokok adalah peningkatan tekanan darah

karena adanya peningkatan zat inflamasi, disfungsi

endotel, pembentukan plak, dan kerusakan vaskuler.


Dampak
Untuk lebih jelasnya, kandungan yang terdapat didalam

rokok seperti nikotin, tar, dan karbonmonoksida

memegang peranan penting terjadinya hipertensi.

Kandungan nikotin akan memicu otak untuk memberikan

sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin

atau adrenalin, ini akan menyebabkan penyempitan pada

pembuluh darah sehingga tubuh akan memaksa jantung

untuk bekerja lebih berat. Zat ini juga akan menyebabkan

kerusakan pada dinding arteri sehingga lebih rentan


terjadi penumpukan plak atau yang kita kenal dengan

istilah aterosklerosis.

Di Poli Umum Puskesmas Merdeka Palembang, karena

dari data yang diambil di Poli Umum Puskesmas


Area
Merdeka Palembang pada bulan Agustus 2019 sebagian
Spesifik
penderita mengidap hipertensi dan penderita tersebut

merupakan perokok aktif.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya

hubungan antara merokok dan hipertensi, seperti :

1. Hasil penelitian oleh karya Yashinta Octavian Gita

Setyanda, dkk pada tahun 2015 didapatkan hasil

penelitian 60 (65,2%) dari 92 responden mengalami

hipertensi. Sedangkan untuk hubungan kebiasaan

merokok dan hipertensi didapatkan hasil responden

yang merokok dan mengalami hipertensi sebanyak 44

Elaborasi responden (77,2%), responden yang merokok tetapi

tidak mengalami hipertensi sebanyak 13 responden

(22,8%), responden yang tidak merokok namun

mengalami hipertensi sebanyak 16 responden

(45,7%), dan responden yang tidak merokok dan tidak

mengalami hipertensi sebanyak 19 responden (54,3%)

2. Karya penelitian Sya’diah tahun 2019 juga

menunjukkan ada hubungan antara jumlah merokok

dengan kejadian hipertensi (p=0,005; OR=10,500;


95% CI = 2,004-55,028), jenis rokok (p=0,050; OR =

6,000; 95% CI = 1,223-29,445)

3. Penelitian oleh Pratiwi N, Wowor, dkk tahun 2014 di

Wilayah kerja Puskesmas Tompaso Kecamatan

Tompaso Kabupaten Minahasa menunjukkan faktor

resiko kebiasaan merokok mempunyai hubungan

bermakna dengan kejadian hipertensi (p=0,009, OR =

2,970, dan 95% CI= 1,304-6,764), dari hal ini

menunjukkan bahwa terdaoat hubungan antara

kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi di

wilayah kerja Puskesmas Tompaso Kecamatan

Tompaso Kabupaten Minahasa .

Karena tidak ada

penelitian yang

menyatakan bahwa tidak

Kontroversi Tidak ada ada hubungan anatar

kebiasaan merokok

dengan kejadian

hipertensi.
HUBUNGAN SELF CARE DENGAN KUALITAS HIDUP
PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN 2019

Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak

di Indonesia. Keadaan dimana penyakit menular masih merupakan masalah

kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas PTM

makin meningkat merupakan beban ganda dalam pelayanan kesehatan, tantangan

yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia.

Salah satu penyakit tidak menular adalah Diabetes Mellitus. Di

Indonesia Diabetes Mellitus merupakan ancaman serius bagi pembangunan

kesehatan karena dapat menimbulkan kebutaan, gagal ginjal, kaki diabetes

(gangrene) sehingga harus diamputasi, penyakit jantung dan stroke.Jumlah

penderita Diabetes terbanyak memang berada di rentang usia antara 40 dan 59

tahun.Diabetes berkembang cepat di sekitar usia 45 sampai 64 tahun,dan semakin

meningkat pesat lagi pada orang dewasa berusia 65 dan lebih tua.

Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) pada

tahun 2015 didapatkan 1 dari 11 orang menderita Diabetes (410 juta). Sebanyak

46,5%, orang dengan diabetes tidak terdiagnosa. 12% pengeluaran kesehatan

global dihabiskan untuk diabetes. 1 dari 7 kelahiran berpotensi terkena Diabetes

Gestasional. Tiga perempat dari penderita diabetes tinggal di negara dengan

penghasilan rendah dan menengah. 542.000 anak menderita Diabetes Tipe 1.

Setiap 6 detik, 1 orang meninggal dunia karena diabetes (5.0 juta kematian). Pada

tahun 2040 diperkirakan 1 dari 10 orang menderita diabetes (642 Juta). Sedangkan
Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan prevalensi diabetes tertinggi di

bawah Tiongkok, India, USA, Brazil, Rusia dan Mexico (IDF,2015).

Prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2018 mengalami kenaikan

jika dibandingkan pada tahun 2013, hal ini berdasarkan pemeriksaan gula darah,

diabetes mellitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%. Kenaikan prevalensi ini

berhubungan dengan pola hidup, antara lain kebiasaan merokok, konsumsi

minuman beralkohol, aktivitas fisik (kurang olahraga), berat badan berlebihan

dan obesitas, serta penurunan konsumsi buah dan sayur pada penduduk > 5 tahun

(Riskesdas, 2018).

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2017, prevalensi

penyakit diabetes melitus tertinggi berada di kota palembang sebesar 15522 orang.

Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan bahan yang sangat berat untuk

dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis bahkan semua tenaga kesehatan yang

ada (Dinkes provinsi Sumatera Selatan,2017).

Berdasarkan data yang di peroleh dari rekam medik RS

Muhammadiyah palembang,di dapatkan 150 orang dalam kurun waktu 3 bulan

terakhir yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di RS Muhammadiyah

Palembang.

Diabetes mellitus merupakan suatu gangguan metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak akibat dari ketidakseimbangan antara ketersediaan insulin

dengan kebutuhan insulin. Dalam kondisi normal sejumlah glukosa dari makanan

akan bersirkulasi dalam darah, kadar glukosa dalam darah diatur oleh insulin,

yaitu hormon yang diproduksi oleh pankreas,berfungsi mengontrol kadar glukosa


dalam darah dengan cara mengatur pembentukan dan penyimpanan glukosa

(Damayanti, 2015).

Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus

tipe 1(insulin-dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe 2

(noninsulin- dependent diabetes mellitus). Diabetes mellitus tipe 1 yaitu dicirikan

dengan hilangnya sel penghasil insulin pada pulau-pulau langerhans pankreas

sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes mellitus tipe 2, terjadi

akibat ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan wajar terhadap aktivitas

insulin yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar

glukosa yang normal dalam darah.Diabetes mellitus tipe 2 ini terjadi akibat

penurunan sensitivitas terhadap insulin atau karena gangguan sekresi insulin

(Smeltzer & Bare, 2013).

Pasien DM tipe 2 rentan mengalami peningkatan terhadap risiko

terjadinya komplikasi. Komplikasi yang bisa terjadi dalam jangka waktu yang

lama adalah penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronis, kerusakan retina yang

mengakibatkan kebutaan, kerusakan saraf, serta ganggren dengan risiko amputasi

(Hermawan, 2009). Hal ini dikarenakan masyarakat belum mampu melakukan

perawatan mandiri yaitu self care sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup

penderita dari segi keadaan kesehatan fisik, psikologis, sosial dan lingkungan.

Kemampuan seorang melakukan self care sering dilatarbelakangi karena

perekonomian, pekerjaan, ataupun pendidikan dan sosial (Kusniawati, 2011).

Diabetes Melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering

diderita oleh masyarakat. Diabetes melitus tipe 2 memiliki risiko terjadinya


masalah komplikasi yang dapat mengancam jiwa jika tidak segera ditangani,

sehingga secara tidak langsung DM tipe 2 sangat mempengaruhi aspek kehidupan

manusia. Pada penderita DM tipe 2 wajib dilakukan pengontrolan diet gula secara

ketat. Komplikasi DM tipe 2 dapat dikontrol jika penderita memiliki pengetahuan

dan kemampuan yang cukup dalam melakukan self care. Self care menunjukkan

perilaku mandiri individu, bersifat universal dan terbatas pada diri sendiri (Weiler

& Janice, 2007).

Teori keperawtaan self care dikemukakan oleh Dorothea Orem dengan

definisi asuhan keperawatan yang lebih memfokuskan pada kebutuhan klien

terhadap perawatan diri sendiri. Filosofi tentang teori self care yang dikemukakan

oleh Orem menggambarkan tindakan perawatan diri sendiri secara terus-menerus

dengan tujuan untuk mempertahankan kualitas hidup, mengatasi

ketidakberdayaan yang dihadapi oleh klien. Ketika klien tidak mampu melakukan

self care secara mandiri, perawat akan akan membantu klien dalam pemenuhan

self care, akan tetapi tidak seluruh prosedur, melainkan dengan memberikan

instruksi dan pengawasan yang berkala hingga klien mampu melakukan self care

secara mandiri (Potter, 2005).

Keperawatan mandiri (selfcare) menurut Orem adalah suatu

pelaksanaan kegiatan yang di prakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri

untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan

kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit. (Orem 1980) pada

dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan

selfcare dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kebutuhan itu sendiri,

kecuali bila tidak mampu.


Peran perawat berupaya memandirikan pasien DM khusunya tipe 2

dalam proses pengontrolan gula darah dan pencegahan terhadap risiko komplikasi

yang mungkin terjadi akibat DM tipe 2. Upaya tersebut disebut dengan self care

diabetes yang merupakan salah bentuk pendekatan teori self care Dorothe Orem

dalam asuhan keperawatan pasien DM tipe 2. Bai et al (2009) menyebutkan

bahwa self care Orem merupakan tindakan yang wajib dilakukan oleh pasien

diabetes untuk mengontrol gula darah dan mencegah terjadinya komplikasi (Bai,

et al, 2009;Sigurdardottir, 2005). Self care yang dilakukan pasien diabetes

meliputi pengaturan pola makan, latihan fisik, pemantauan gula darah,

pengobatan dan perawatan kaki (Toobert, 2000).

Sebuah penelitian Kusniawati (2011) mengenai self care yang

dilakukan di salah satu rumah sakit di Indonesia menyebutkan bahwa self care

masih belum bisa dilakukan oleh pasien DM tipe 2. Dari 4 domain pada self care,

pasien DM tipe 2 tidak taat dalam hal pengobatan dikarenakan faktor kejenuhan.

Demikian pula dalam hal pengontrolan diet, ketika dirumah pasien DM tipe 2

tidak mampu mengontrol pola makan mereka. Pasien DM tipe 2 juga tidak mampu

melakukan perawatan kaki secara rutin dikarenakan kurangnya pengetahuan

mengenai perawatan kaki. Pasien juga jarang untuk melakukan latihan fisik

(Kusniawati, 2011).

Dalam penelitian dengan judul “Hubungan self-care dengan kualitas

hidup pada pasien diabetes mellitus di Puskesmas tigo baleh”yang dilakukan oleh

chaidir, wahyuni & furkhani pada tahun 2017 menyimpulkan bahwa diperoleh

nilai r = 0.432. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara

self care dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus di wilayah kerja
Puskesmas Tigo Baleh yang berbanding lurus dan memiliki tingkat korelasi yang

sedang.

Untuk dapat melakukan self care diabetes terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi, misalnya dukungan keluarga, pengetahuan mengenai self care

diabetes, motivasi dan komunikasi dengan petugas kesehatan. Ketika pasien DM

tipe 2 termotivasi untuk melakukan perawatan mandiri yang bertujuan mencegah

terjadinya komplikasi karena DM tipe 2 akan berpengaruh pada kualitas hidupnya

(Darren, 2010). Demikian pula ketika seorang telah mendapatkan cukup informasi

mengenai penyakitnya khususnya self care diabetes dan mampu menjalin

komunikasi yang efektif dengan petugas kesehatan, maka pasien DM tipe 2

mampu melakukan self care diabetes sehingga memiliki kualitas hidup yang lebih

baik daripada pasien yang tidak mampu melakukan self care diabetes (Inoue,

2013).

Kontrol gula darah dan penggunaan terapi insulin maupun obat oral

merupakan salah satu indikator dari self care. Ketika pasien teratur dalam

penggunaan insulin maka kadar gula darah dapat terkontrol dengan baik, sehingga

terjadi peningkatan kualitas hidup pasien DM tipe 2 (Hajos, 2011). Ketika pasien

mampu melakukan diet pengaturan pola makan, latihan fisik, kontrol gula secara

teratur, pengobatan dan perawatan kaki dengan baik maka tingkat kualitas hidup

pasien dengan DM tipe 2 cukup tinggi (Sulistria, 2013).

Kualitas hidup merupakan keadaan dimana seseorang mampu

mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut

kesehatan fisik dan mental (Saragih, 2010). Kualitas hidup pasien diabetes
merupakan perasaan puas dan bahagia dapat menjalani kehidupan sehari-hari

sebagaimana mestinya. Menurut Yudianto (2008) menyebutkan beberapa aspek

dari penyakit diabetes yang mempengaruhi kualitas hidup adalah adanya

kebutuhan khusus yang terus-menerus berkelanjutan dalam perawatan DM,

seperti pengaturan diet, adanya pembatasan aktivitas fisik, mengontrol kadar gula

darah; gejala apa saja yang kemungkinan timbul ketika kadar gula darah tidak

stabil; komplikasi yang dapat timbul akibat dari penyakti diabetes dan disfungsi

seksual (Yudianto, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Caldwel et al mengenai kualitas hidup

pasien diabetes, menyebutkan bahwa hidup dengan penyakit diabetes baik dengan

ataupun tanpa komplikasi memberikan dampak negatif pada kualitas hidup

(Caldwel et al dalam Yudianto, 2008).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan, kemampuan

self care dapat meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe 2. Maka

oleh karena itu peneliti tertarik untuk penelitian “ Hubungan self care dengan

kualitas hidup pasien diabetes mellitus di RS Muhammadiyah Palembang”


Komponen Tertulis Sebenarnya
Prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2018

mengalami kenaikan jika dibandingkan pada tahun

2013, hal ini berdasarkan pemeriksaan gula darah,

diabetes mellitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%.

Kenaikan prevalensi ini berhubungan dengan pola

hidup, antara lain kebiasaan merokok, konsumsi

Masalah minuman beralkohol, aktivitas fisik (kurang olahraga),

berat badan berlebihan dan obesitas, serta penurunan

konsumsi buah dan sayur pada penduduk > 5 tahun

(Riskesdas, 2018).

Pasien DM tipe 2 rentan mengalami peningkatan

terhadap risiko terjadinya komplikasi. Komplikasi yang

bisa terjadi dalam jangka waktu yang lama adalah

penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronis, kerusakan

retina yang mengakibatkan kebutaan, kerusakan saraf,


Dampak
serta ganggren dengan risiko amputasi (Hermawan,

2009). Hal ini dikarenakan masyarakat belum mampu

melakukan perawatan mandiri yaitu self care sehingga

akan mempengaruhi kualitas hidup penderita dari segi

keadaan kesehatan fisik, psikologis, sosial dan

lingkungan.Kemampuan seorang melakukan self care

sering dilatarbelakangi karena perekonomian,


pekerjaan, ataupun pendidikan dan sosial (Kusniawati,

2011).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan,

kemampuan self care dapat meningkatkan kualitas

hidup pasien diabetes mellitus tipe 2. Maka oleh karena

itu peneliti tertarik untuk penelitian “ Hubungan self

care dengan kualitas hidup pasien diabetes mellitus di


Area Spesifik
RS Muhammadiyah Palembang”

Dalam penelitian dengan judul “Hubungan self-care

dengan kualitas hidup pada pasien diabetes mellitus di

Puskesmas tigo baleh”yang dilakukan oleh chaidir,

Elaborasi wahyuni & furkhani pada tahun 2017 menyimpulkan

bahwa diperoleh nilai r = 0.432. Kesimpulan dari

penelitian ini adalah terdapat hubungan antara self care

dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus di

wilayah kerja Puskesmas Tigo Baleh yang berbanding

lurus dan memiliki tingkat korelasi yang sedang.

Tidak ada, karena tidak


ada penelitian yang
Kontrovensi menyatakan bahwa
selfcare tidak
memengaruhi
penyembuhan diabetes
militus

Anda mungkin juga menyukai