Anda di halaman 1dari 4

Pagi itu sekitar jam 3 shubuh Jarwo terbangun.

Dia mencoba mengangkat punggungnya


yang terasa pegal karena terlalu lama menempel di dipan. Dengan punggung tanggan, dia
menutup uapan mulutnya yang jelas tidak segar. Sesekali dia meringis dan meletakan kedua
tangannya di kepala. Menahan rasa pusing karena aliran darah dalam tubuhnya sudah lama
tidak digerakan. Dia berharap, “semoga ini rasa pusing yang terakhir setelah darahku
membeku seminggu di ranjang”. Siapapun orangnya pasti akan merasakan hal serupa bila
berada dalam kondisi sakit.

Dinginnya udara pagi bagaikan komando untuk membangunkan insan di Kampung Dukun
agar kembali memulai aktivitas. Nyanyian ayam jantan dari sekitar rumah penduduk
merupakan pertanda bahwa mereka telah lebih siap untuk pergi ke peraduan menafkahi
betinanya masing-masing.

Tidak terdengar suara adzan sedikit pun. Di kampung dengan mayoritas penduduk yang
masih memegang budaya; percaya tahayul, membuat sesajen di bawah pohon beringin,
ritual tumbal, memuliakan kepala Dukun bagaikan Tuhan satu-satunya, belum tampak
aktivitas pagi seperti manusia normal pada umumnya.

Jum’at Pagi. Sudah tidak heran bila ada beberapa lelaki tergeletak di bawah pohon beringin
bagaikan mayat tak diurus. Atau perempuan berlari sambil menangis histeris karena harus
kehilangan bayinya yang dijadikan tumbal. Tak satu pun orang peduli pada perempuan itu.
Ditambah berserakannya bunga melati menutupi jalan kampung, sisa pesta upacara sakral
di malam jum’at keliwon.

Matahari mulai menyengat atap-atap rumah yang hanya terbuat dari tumpukan injuk pohon
aren yang disusun serapih mungkin sesuai dengan keterampilan arsitektur di Kampung
Dukun. Pintu rumah penduduk semua tertutup rapat. Suasana sepi, lengang, bagaikan tak
da tanda kehidupan.

Hanya Jarwo yang waktu itu sudah bangun pagi. Dengan berjalan tertatih-tatih, mengendap-
endap, dia membuka pintu rumah sambil menengok ke kanan kiri bagaikan seorang pencuri
sedang beroperasi. Dibantu sebatang tongkat kayu di tangan kanan sebagai penyangga, dia
mencoba turun menginjakan kaki ke tanah. “Praaak ! “, terdengar suara pecah. Sudah jatuh
tertimpa tangga. Jarwo terpeleset ketika menapakan kaki ke tanah, menginjak kulit pisang
yang terbuang. Tubuh Jarwo menimpa Guci sebesar bokongnya yang gempal.

Sungguh sial nasib Jarwo pagi itu. Dia mengumpat, “Dasaaaaar, Roh jahat goblok!”. Dia
langsung terperanjat, karena tidak sadar mengeluarkan umpatan dengan suara keras.
“Aduuuuh!”, dia membungkam mulutnya dengan sepontan.

Dalam keadaan takut yang luar biasa, takut keberadaanya di luar rumah diketahui hulu
balang. Dia dikagetkan lagi dengan pukulan benda keras tepat mengena di punggungnya.
“Mampussss kau roh jahat!, dimana bayiku?” teriak perempuan setengah baya, dengan
perawakan kurus, rambut acak-acakan.
Jarwo hampir setengah pingsan. Dadanya sesak luar biasa, badannya sempoyongan
memegang ulu hati menahan sesak, kaget, dan takut. Dengan menahan rasa nyeri dia
membalikan badan. Dengan pandangan mata sedikit runyam dia melihat perempuan
dengan kain sarung dan baju kebaya lusuh.

“Edaaaan! Kau itu sudah edan ! aku ini manusia bukan setan !” Jarwo sesumbar karena
amarah yang ditampung di dadanya sudah tak tertahankan.

“Hey Marni !, aku ini Jarwo pamanmu. Dimana otakmu? Atau kau sudah edan?” Kemarahan
jarwo sedikit mereda setelah mengetahui yang menimpuk tadi adalah Marni keponakannya.

Marni menangis sejadi-jadinya. Histeris tangisannya mampu mengalahkan suara binatang


ternak yang sedang lapar menunggu rumput dari majikan.

“Dasar paman setaaaaaan! Kubunuh kau !” Dalam keadaan pipi basah, Marni mengambil
batu sebesar helm dan mengangkatnya untuk dilemparkan ke kepala Jarwo. Jika telat satu
detik saja Jarwo menghindar tentu dia sekarang terkapar hanya tinggal nama.

Melihat sikap aneh keponakannya, Jarwo langsung berpikir cepat. Dalam benaknya dia
menyimpulkan bahwa Marni tengah kerasukan roh jahat. Dia langsung memaksa badannya
untuk berusaha keras masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan slot Kayu sebagai
kunci penghalang.

Jarwo yang baru sedikit pulih, merasakan sakit sekujur tubuh. Dia mencoba merebahkan
badan di atas ranjang bambu beralas tikar rumput. Di luar rumah suasana kembali hening.
Dia bergumam sendiri, “wahai roh leluhur, tolonglah keponakanku dari gangguan roh
jahat!”. Kurang lebih sepuluh menit suasana di luar rumah tetap hening.

Jarwo akhirnya merasa lega. Dalam kondisi setengah ngantuk dia menyimpulkan bahwa
do’anya dikabulkan roh leluhur.

Ketika kesadarannya hampir larut dalam buaian kantuk. Hidung jarwo merasakan ada bau
asap, sehingga membuat dia bersin beberapa kali. Kian lama asap tersebut terasa lebih
pekat di hidungnya. Akhirnya dia terbangun perlahan.

Kaget seribu kaget. Asap tadi mengepul di empat penjuru rumahnya, dibarengi api yang
terlihat mulai membesar. Jarwo mengambil sapu injuk di bawah kaki dan mencoba
memukul api tersebut supaya padam. “Air, di mana air?” jarwo berusaha mengambil guci
besar penampung air di dapur. Dalam kondisi panik, jarwo bagaikan orang yang sudah sehat
seratus persen. Belum sampai mengambil air, mata jarwo terbelalak melihat ke atas atap.
Dia melihat atap injuk digerayangi api yang kian besar.

Karena kehabisan cara, Jarwo langsung nekat meloncat, menerobos bilik bambu rumah dan
menghempaskan badan keluar. “Pruk!” terdengar suara badan mendarat entah di sebelah
mana.
***

Ternyata, secara historis Kampung Dukun memiliki budaya abnormal selayaknya kampung
lain. Dari cerita nenek moyang, setiap malam jum’at kliwon selalu diadakan ritual sakral di
kampung tersebut. Pengorbanan tumbal bayi usia tujuh bulan menjadi kewajiban yang telah
menjadi undang-undang yang disepakati masyarakat. Darah bayi hasil penumbalan
kemudian disiramkan ke tujuh pohon beringin yang dianggap sebagai istana raja siluman
ular.

Pada malam penumbalan, masyarakat berpesta menari telanjang bulat. Mulai dari usia tua,
muda, bahkan anak-anak harus menari di malam itu. Sungguh budaya iblis telah merasuk ke
setiap hati penduduk. Mereka menari di bawah tujuh pohon beringin yang tumbuh berjejer;
dengan batang pohon yang besar berdiameter sekitar 1,5 meter, ketinggian pohon
mencapai 15 meter, daunnya lebat begitu rindang.

Dengan dipimpin oleh kepala Dukun, mereka membaca mantra sebelum menari. Kemudian
sesaji berupa buah-buahan, kemenyan, bunga, diletakan di bawah pohon beringin. Darah
bayi dikucurkan ke akar pohon beringin satu persatu. Setelah itu mereka menari telanjang
bulat sambil minum arak dalam guci kecil sebesar mug.

Keluarga yang bayinya dikorbankan merasa sangat bahagia. Karena mereka menganggap diri
terpilih oleh raja siluman sebagai calon penerima uang gaib. Kepingan logam uang emas
akan mereka terima beberapa hari setelah upacara pengorbanan. Namun, Si Ibu bayi selalu
sedih luar biasa. Rata-rata setelah upacara pengorbanan Si Ibu bayi menjadi stress dan gila.

Satu hal lagi yang menjadi adat penduduk Kampung Dukun seusai pesta. Sepanjang hari
jum’at, penduduk kampung dukun dilarang beraktivitas apa pun. Mereka harus tinggal di
rumah masing-masing, tidak boleh membuka pintu keluar rumah, walau hanya beberapa
detik. Menurut cerita, penduduk tidak boleh mengganggu raja siluman ular yang sedang
tidur di hari jum’at setelah menerima darah suci bayi yang ditumbalkan. Siapa pun
penduduk yang ketahuan baik sengaja atau tidak, keluar rumah di hari sakral tersebut. Maka
hukumannya adalah harus menerima digantung di bawah batang pohon beringin. Kepala
Dukun mengutus 7 hulu balang untuk mengawasi Kampung Dukun, dari pagi hingga sore
hari. Siapa pun yang ditemukan berada di luar rumah, akan ditangkap oleh hulu balang dan
bernasib tragis di bawah pohon beringin.

Sukarya. Sosok pria tua dengan tubuh tinggi besar, rambut gondrong, kumis hampir sebesar
ibu jari orang dewasa. Merupakan turunan ketujuh dari Ki Mangunlaga. Dia adalah leluhur
Kampung Dukun yang menjadi pewaris budaya iblis di kampung tersebut.

Anda mungkin juga menyukai