KONSTITUSI DI INDONESIA
YULIANATA LIALUBISMA
170710101284
ijulyulianata@gmail.com
Abstrak
Salah satu aspek penting dalam upaya menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah proses
pengangkatan calon hakim, karena sistem pengangkatan hakim (judicial recruitment process),
merupakan instrumen yang dibutuhkan untuk dapat menemukan sosok hakim yang tidak hanya
memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni, melainkan juga integritas yang baik, independen,
jujur, dan imparsial. Hakim yang baik perlu dibentuk sedemikian rupa. Salah satu proses
pembentukannya adalah melalui proses pengangkatan. Susi Dwi Harijanti menyebutkan, pada
dasarnya sejumlah persyaratan serta prosedur dan mekanisme pengisian Hakim Konstitusi bertujuan
untuk menghasilkan hakim yang baik. Pengangkatan hakim harus merefleksikan prinsip-prinsip
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, obyektifikas, the right man on the right place, dan lainnya.
Maka tulisan ini berupaya untuk memaparkan sistem recruitment hakim di Indonesia. Untuk
memperoleh pandangan baru dan mengisi perbaikan sistem rekrutmen hakim konstitusi di
Indonesia.
1
Lihat Pasal 24C ayat (3) UUD Tahun 1945.
2
Danang Hardianto, “Hakim Konstitusi adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi” (2014) 11:2 Jurnal
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Jakarta Hlm 319.
3
‘Lihat Pasal 7 UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung Dan Pasal 5 UU Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden’.
Pelimpahan pengaturan dari legal principle ke legal norm seharusnya dapat diterjemahkan
secara lebih rigid karena kedudukan konstitusi hanya sebagai ketentuan yang bersifat umum.5
Namun, hal tersebut tidak berlaku pada UU MK sebab tidak ada kejelasan terkait penyerahan
mekanisme yang diperuntukan kepada ketiga lembaga negara sebagai penjabaran konstitusi.
Artinya, walaupun ketentuan mekanisme penyeleksian diserahkan kepada masing-masing
lembaga pengusul setidaknya MK memberikan acuan yang nantinya dikembangkan oleh
lembaga pengusul.
Selain itu mengenai regulasi persyaratan memilih hakim MK lebih menekankan pada
instrument yang bersifat abstrak. Keimanan, etika, integritas dan kenegarawanan tentu sangat
sulit diukur akibatnya seringkali instrument tersebut ditafsirkan secara subjektif oleh
pemegang otoritas. Sehingga mengakibatkan lembaga pengusul menggunakan otoritasnya
hanya berdasarkan prosedural dengan cara memenuhi persyaratan regulasi. Lembaga-lembaga
tersebut juga beberapa kali melakukan inkonsistensi terkait mekanisme dan prosedur yang
tidak sesuai dengan prinsip yang diatur dalam UU MK.6
Inkonsistensi pelaksanaan tersebut dapat dilihat ketika pada tahun 2014 MA melakukan
pengumuman pendaftaran calon hakim MK melalui pansel. Namun, di tahun 2016 terjadi
mekanisme yang berbeda karena MA secara langsung melakukan perpanjangan masa jabatan
salah satu hakim tanpa melalui proses yang
4
Dr Bayu Dwi Anggono, “Rekonstruksi Rekrutmen dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi Dalam Rangka
Memperkuat Independensi Hakim Konstitusi” 27 Hlm 16.
5
Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah perubahan UUD 1945
(Malang: Setara Press, 2010) Hlm 40.
6
Danang Hardianto, supra note 20 Hlm 319.
sama seperti tahun 2014 dengan pembentukan pansel. Mekanisme ini menjadi preseden buruk
terhadap transparansi dan kredibilitas MA. Meskipun para hakim yang dipilih selama ini
masih layak dan kredibel, namun alangkah baiknya tetap melewati mekanisme seleksi yang
sama dengan calon hakim MK lainnya.
Secara prosedural memang hakim MK dari unsur MA tidak pernah tersangkut etika maupun
tindak kejahatan lainnya. Namun harus dipahami bahwa selama ini para hakim MK dari unsur
MA nyaris tidak mengeluarkan gagasan yang baik terkait perlindungan terhadap minoritas.
Artinya secara substantial para hakim MK dari kalangan MA juga layak untuk dipertanyakan
karena secara substansial kinerja mereka masih dibawah hakim dari kalangan akademisi.
Selain itu MA selama ini terkesan menutup ruang partisipasi publik, padahal tidak ada
ketentuan yang mengharuskan MA melakukan pelaksanaan rekrutmen dari internal lembaga
saja. MA memberlakukan seleksi hakim yang hanya berasal dari hakim tinggi sehingga secara
tidak langsung menutup hak masyarakat yang memiliki kualifikasi dan syarat-syarat
berdasarkan UU untuk menjadi hakim MK. Ketidaktepatan ini dibuktikan ketika
pengumuman pansel yang menyebutkan bahwa kesempatan untuk mendaftar sebagai calon
hakim konstitusi unsur MA hanya diperuntukkan bagi hakim tinggi yang berada dibawah
MA. Hal ini merupakan merupakan kekeliruan dalam memahami dan mengimplementasikan
aturan. Seharusnya perekrutan hakim melalui tiga lembaga negara bukan dimaknai sebagai
pengajuan anggota dari lingkungan lembaga pengusul melainkan penyaringan orang-orang
kompeten yang telah mengajukan diri sebagai hakim konstitusi melalui lembaga pengusul
termasuk juga masyarakat luas.
Kewenangan MA ini memang tidak menyalahi aturan namun jika mengikuti standar
transparansi dan integritas, model rekrutmen seperti ini pada dasarnya bertentangan dengan
konstitusi serta penjabarannya dalam UU MK. Model ini telah menjadi tradisi MA dalam
memilih calon hakim konstitusi yang hingga kini menjadi acuan perekrutan unsur MA.7
Rekontruksi seleksi hakim MK dapat dilakukan dengan sistem yang memprioritaskan kualitas
sebagai syarat utama, yaitu melalui mekanisme Merit Selection. Merit selection merupakan
suatu metode pengisian jabatan hakim dimana mereka dipilih berdasarkan kualitas yang
dimiliki, bukan berdasarkan adanya pengaruh politik atau sosial.9 Metode ini sangat efektif
untuk diterapkan karena dapat meminimalisir pengaruh politik sehingga nantinya akan
melahirkan hakim yang lebih independen.58
Penerapan merit selection dalam pengangkatan hakim konstitusi oleh lembaga pengusul harus
mengedepankan kualitas dan kompetensi agar supaya dapat memhami konteks pengujian UU
dan Putusan yang berkualitas. Pengajuan hakim konstitusi dari masing-masing lembaga dapat
mensyaratkan adanya latar belakang keilmuan hukum seperti hukum tata negara, hukum
pidana dan hukum perdata. Hal ini bertujuan agar pengujian UU diluar ketatanegaraan seperti
perkara pidana dan perdata dapat dilakukan secara optimal berdasarkan latar belakang
kemampuan hakim MK.
7
Galih Gumilar, Transparansi Dan Akuntabel Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai The Guardian Of The
Constitution, Makalah yang Disampaikan Dalam Konferensi Hukum Tata Negara Mahkamah Konstitusi.
8
Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 Menegaskan Inkonstitusionalitas Panel Ahli Yang Dibentuk KY Karena
Mereduksi Kewenangan Mutlak MA, DPR, Dan Presiden
9
Krivosha, supra note 37 Hlm 19.
Sedangkan terkait mekanisme seleksi calon hakim oleh ketiga lembaga negara dimaksudkan
untuk menjaga stabilitas tiga cabang kekuasaan dalam tubuh MK. Namun sejatinya
keberadaan MK sendiri dapat mengubah ketentuan tersebut dengan kewenangan pengujian
yang dimiliki. Kewenangan MK dalam menguji perppu telah membuktikan bahwa MK juga
dapat melakukan pengujian terhadap konstitusi dengan melahirkan sumber hukum baru
melalui putusan.11 Tetapi menurut hemat penulis kebijakan ini sangat rentan memicu
terjadinya konflik kepentingan karena penafsiran tersebut mengenai kelembagaan MK sendiri.
Bahkan jika dilakukan pembaruan ketentuan melalui UU akan membutuhkan waktu yang
cukup lama dibandingkan melakukan revisi UU.
11
Luke Bierman, “Beyond merit selection” (2001) 29:3 Fordham Urban Law Journal 25 Hlm 855.
12
Manunggal K Wardaya, “Perubahan Konstitusi Melalui Putusan MK: Telaah Atas Putusan Nomor 138/Puu-
Vii/2009” (2010) 7 27 Hlm 35.
13
Anggono, supra note 51 Hlm 10.