Anda di halaman 1dari 3

Mengurai Benang Kusut Soal Perbedaan Generasi dalam Pengelolaan SDM

Bagus Adi Luthfi, M.S.M, Talent Analytics Specialist Lembaga Management FEB UI

email penulis; bagusluthfi07@gmail.com

Belakangan, frekuensi pembicaraan mengenai generasi millenial mendapatkan perhatian sangat


besar baik dari sisi kubu praktisi maupun kubu akademisi. Antusiasme ini semakin menjadi-jadi
ketika dibumbui dengan berbagai macam informasi dan “temuan” dari konsultan ternama. Pidato,
diskusi, dan ceramah yang ada bahkan sampai pada suatu kesimpulan memberikan “label” bahwa
perbedaan generasi adalah salah satu “akar masalah” yang perlu diseriusi. Sebagai contoh, terdapat
stereotyping jika generasi millenial memiliki karakter komitmen terhadap organisasi yang rendah,
pemalas, memiliki etika kerja yang berbeda dengan generasi sebelumnya, lebih menuntut
keseimbangan hidup dibandingkan kelompok generasi lainnya, lebih menyukai tantangan , dan
seterusnya. Intinya, terdapat suatu klaim bahwa generasi baby boomer, generasi X, dan millenial
harus diperlakukan dengan cara yang berbeda, karena mereka memiliki beragam sikap yang
berhubungan dengan pekerjaan. Pada akhirnya (melalui pemikiran yang kritis), pembicaraan soal ini
demagoginya (busa-busa kalimat) lebih menonjol dibandingkan dengan diskusi soal dasar asumsi,
data, maupun pengujiannya.

Apa Kepentingannya Membicarakan Perbedaan Generasi ?

Konteks multi-generasi dalam dunia kerja saat ini diterjemahkan sebagai tantangan keberagaman
paling anyar untuk pengelolaan SDM di seluruh dunia. Untuk alasan tersebut, banyak organisasi
menginvestasikan waktu dan biaya dalam program pelatihan, seminar, dan beragam bentuk
intervensi lainnya untuk menangani beberapa varian generasi. Kondisi ini (pelatihan, seminar,
intervensi multi-generasi), merupakan pemandangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sayangnya, gagasan-gagasan yang ada untuk mempertajam keyakinan adanya perbedaan generasi
lebih banyak bersifat deduktif. Data dan informasi seperti dipilah sedemikian rupa untuk
mengkonfirmasi keyakinan perbedaan varian tadi dibandingkan mencari tahu fakta yang
sebenarnya. Sedikit dari tulisan ini mencoba menyajikan hasil dari berbagai macam studi ilmiah yang
solid dan reliabel untuk melawan pandangan dan fantasi-fantasi yang berkembang soal isu
perbedaan generasi yang dikemas secara tidak bertanggung jawab. Artikel ini akan menyajikan hasil
yang berlawanan berdasarkan studi yang sangat solid dan dapat diandalkan mengenai apa yang
dikatakan oleh penelitian ilmiah tentang perbedaan generasi dalam dunia kerja.
Seperti Apa Buktinya ?

Masalah utama ketika mengurai perbedaan multi-generasi ini adalah sudut pandang yang tidak
mencukupi dengan hanya mengambil potret dari kondisi saat ini. Konsekuensi logisnya, yang kita
bandingkan sebenarnya adalah orang-orang yang berada pada tahapan kehidupan yang berbeda
bukan karakter khususnya. Selanjutnya, ketika masuk ke dalam definisi operasional siapa yang dapat
dilabeli sebagai generasi millenial, X, dan baby boomer mungkin anda akan terkejut. Kurang lebih
terdapat 8 definisi operasional yang berbeda (berdasarkan rentang tahun kelahiran) ketika kita
mendefinisikan kategorisasi orang dalam kelompok generasi tertentu. Sebagai contohnya, apabila
ada seseorang yang lahir pada tahun 1980 maka dia bisa dimasukkan dalam kategori millenial
menurut 5 pendapat. Sebaliknya, 3 pendapat lainnya justru mengkategorisasikannya dalam kategori
generasi X. Ketika soal definisi ini saja gagal teridentifikasi, maka resultante-nya bisa nol atau bahkan
negatif.

Selanjutnya, ada mitos yang sengaja diciptakan (untuk tujuan moneter) bahwa pegawai dari
kelompok generasi yang berbeda memiliki prinsip, harapan, tujuan, dan aspirasi yang berbeda yang
mempengaruhi organisasi sekaligus kehidupan mereka. Namun, hasil meta analysis temuan dari 20
publikasi ilmiah yang handal (disaring dari 265 publikasi ilmiah) mendapati perspektif tersebut tidak
memiliki fundasi teoritis yang solid (Costanza, 2012). Lebih lanjut, Zabel et al (2016) menyarikan hasil
dari 105 penelitian untuk isu yang sama dan tidak ditemukan sama sekali perbedaan skor rata-rata
untuk etika kerja seperti kerja keras, moralitas, kemandirian, maupun manajemen
waktu.Konsekuensi dari temuan tersebut menjadikan argumen atau hipotesis terhadap klaim di atas
(dampak perbedaan generasi terhadap organisasi) menjadi sangat lemah dan terbatas atau secara
ringkas “hipotesisnya tidak cukup sehat”.

Klaim soal perbedaan sikap kerja antar generasi (contoh; millenial komitmen organisasi rendah, turn
over intentionnya lebih tinggi, atau generasi baby boomer motivasinya rendah) secara ilmiah juga
batal. Hasil meta analysis dari 802 studi menemukan bahwa hubungan antara kelompok generasi
dan sikap kerja (35 sikap kerja) sebagian besar lemah, atau bahkan sangat lemah (Ng et al., 2010).
Kecenderungan pekerja untuk merasa puas dan tidak meninggalkan organisasi lebih berkorelasi
terhadap perbedaan usia atau masa kerja pegawai, bukan karena perbedaan generasi. Pada
umumnya, pegawai yang semakin senior dan kariernya terus berkembang mendapatkan derajat
otonomi yang lebih tinggi, variasi tugas lebih luas, serta makna yang lebih mendalam atas pekerjaan
mereka dibandingkan pegawai baru. Pada studi selanjutnya, Ng et al. (2012) menemukan bahwa
stereotyping soal motivasi, adaptasi terhadap perubahan, dan lainnya tidak terbukti memliki
hubungan dengan perbedaan generasi.
Terkait dengan kebutuhan pengembangan yang lebih tinggi dari generasi millenial dibandingkan
dengan generasi lainnya juga tidak terbukti berdasarkan beberapa hasil meta analysis (Koij et al.,
2010) dan hal ini juga didukung oleh hasil studi Ng et al. (2008). Secara umum, temuan keduanya
menjelaskan bahwa perbedaan yang ada bukan kepada berapa besar kebutuhan pengembangan
masing-masing generasi namun lebih kepada bagaimana format dan objek pengembangan yang
dilakukan. Pegawai yang lebih tua cenderung tidak menyukai format pelatihan formal (terjadwal)
apalagi terkait teknis, namun mereka tidak keberatan dengan format yang lain (jadwal yang
fleksibel) dengan objek yang berbeda (contoh; supervisi, mentoring, dan lainnya).

Apa hikmahnya untuk kita ?

Dari uraian ringkas ini kita melihat bahwa perbedaan lintas generasi bukanlah masalah yang nyata.
Para “orator lintas generasi” terindikasi mencoba mengambil untung melalui penciptaan histeria
generasi dengan jalan membesar-besarkan konsekuensi perbedaan generasi daripada kenyataan
yang ada. Mereka sengaja menjual solusi untuk masalah yang belum diverifikasi secara ilmiah,
bahkan mereka gagal mengidentifikasi symptom dari masalah. Dengan demikian, alih-alih
menggelontorkan waktu dan biaya untuk melakukan intervensi maupun program pelatihan untuk
menyadarkan pentingnya isu “perbedaan generasi”, hasil penelitian ilmah justru tidak mendukung
gagasan tersebut.

Sebagai jalan keluar, ketika anda ingin meningkatkan produktivitas pegawai sekaligus menunjang
efisiensi organisasi, yang perlu didalami pertama kali adalah perbedaan individu dan kelompok yang
khas dibandingkan mengandalkan mitos kesenjangan generasi. Mengandalkan “label” perbedaan
generasi dalam pengelolaan SDM merupakan kemalasan berpikir sekaligus asumsi yang tidak
berguna. Jika anda menemukan “pedagang” isu lintas generasi menggunakan “cara-cara” kasar
untuk menjual produk mereka, maka anda dapat melakukan kritik dengan tepat melalui temuan-
temuan di atas. Pada akhirnya, para praktisi dan akademisi di bidang HR perlu fokus kembali untuk
mencari cara yang benar-benar bermanfaat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan motivasi
beragam pegawai yang mereka tangani.

Anda mungkin juga menyukai