Anda di halaman 1dari 3

Dewi Sartika

(Sisi lain kehidupan Kartini)

Kelas XII MIPA 4

Dewi Sartika
(Pendidik dari Pasundan)

Orientasi

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi daerah Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan
Raden Somanagara. Walaupun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah ibunya bersih keras
untuk menyekolahkan Dewi Sartika di sakola Belanda.

Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika di asuh oleh pamannya yang pada saat itu menjadi patih di
Cicalengka. Oleh pamannya, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda.

Sedangkan wawasan kebudayaan barat ia dabatkan dari seorang Nyonya Asisten Residen
berkebangsaan Belanda.

Peristiwa dan Masalah

Dari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidikan dan kegigihan yang dimilikinya
untuk dapat meraih kesuksesan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering
melakukan kegiatan-kegiatan yang pernah ia dapat di sakola.
Yaitu belajar membaca, belajar menulis, belajar bahasan Belanda, bersama anak-anak
pembantu di Kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannnya
sebagai media untuk mereka belajar bersama.

Waktu itu, Dewi Sartika baru berusia sekitar sepuluh tahun. Ketika Cicalengka digemparkan oleh
kemampuan baca tulis dan beberapa kalimat yang diucapkan oleh anak-anak pembantu dengan
menggunakan bahasa Belanda.

Hal itu membuat masyarakat menjadi heboh, karena pada saat itu belum ada anak-anak yang
memiliki kemampuan untuk berbahasa Belanda.

Setelah beranjak Remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang
telah tumbuh menjadi dewasa semakin membawanya untuk dapat mewujudkan cita-citanya.

Hal ini di dorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang mempunyai keinginan
yang sama dengan Dewi Sartika. Tetapi, meski keinginan yang sama dengan pamannya, tidak
menjadikan cita-cita tersebut dapat terwujud dengan mudah.

Karena pada saat itu terdapat adat yang mengekang kaum wanita. Hal itulah yang membuat
pamannya mengalami kesulitan dan khawatir terhadap Dewi Sartika.

Namun karena kegigihan dan perjuangannya, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya
dan mendapatkan izin untuk mendirikan sekolah untuk perempuan.

Sejak tahun 1902, Dewi Sartika sudah dapat merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, tepatnya di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di
hadapan beberapa anggota keluarganya yang perempuan.

Merendam memasak, membaca, menulis, jahit-menjahit menjadi materi pelajaran pada saat
itu.

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A Martanagara pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika
membuka sebuah Sakola Istri yang merupakan sekolah perempuan pertama se- Hindia Belanda.

Tenaga pengajarnya ada 3 orang, yaitu Dewi Sartika sendiri dan dibantu oleh dua saudaranya,
Nyi Poerwa dan Nyi. Oewid, Murid-muridnya pada saat itu terdiri dari 20 orang.

Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian
pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi ini dibeli oleh Dewi Sartika dengan uang
tabungannya sendiri. Serta bantuan dana dari Bupati Bandung.

Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa Sunda lebih memenuhi syarat kelengkapan
sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya, dibeberapa wilayah di Pasundan bermunculan beberapa sakola
Istri, terutama sekolah yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang mempunyai cita-
cita yang sama dengan Dewi Sartika.

Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan sakola Istri di kota-kota Kabupaten Se-Pasundan.
Memasuki usia yang ke sepuluh, nama sekolah ini diganti menjadi Sakola Keutamaan Istri.

Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang lainnya yang belum memiliki Sakola Keutamaan
Istri hanya tinggal di tiga tempat. Semangat ini sampai menyebrang ke Bukit Tinggi, dimana
Sakola Keutamaan Istri di dirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap mempunyai Sakola Keutamaan Istri di tiap daerahnya pada
tahun 1920. Ditambah lagi beberapa yang berdiri di kota Kewedanaan.

Pada bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang
berusia 25 tahun itu, yang kemudian berganti nama lagi menjadi “Sakola Raden Dewi”. Atas jasa
dalam bidang pendidikan, Dewi Sartika dianugrahi bintang jasa oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 947 di Tasikmalaya dan dimakamkan di
Cigagadon Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dia dimakamkan kembali di
kompleks pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

Reorientasi

Sudah sepantasnya kita sebagai generasi muda harus mengenang jasa Dewi Sartika. Semangat
dan jasanya dalam memperjuangkan pendidikan untuk kaum wanita tidak sepantasnya kita
lupakan begitu saja.

Anda mungkin juga menyukai