Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
a. DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), merupakan pengobatan
penderita TB yang dilakukan dalam jangka pendek, dan dilakukan dengan
pengawasan langsung terhadap penderita TB.
b. TB01 : Kartu pengobatan pasien TB, merupakan kartu status atau kartu
rekam medis pasien TB. Disimpan di unit DOTS.
c. TB02 : Kartu Identitas pasien TB, merupakan kartu kontrol pengobatan TB,
disimpan oleh pasien.
d. TB03 : Buku Register TB Kabupaten atau Kota. Merupakan buku besar
pengobatan TB yang mencatat seluruh perjalanan pengobatan pasien TB,
disimpan di Unit DOTS.
e. TB04 : Buku Register Laboratorium TB. Mencatat semua pemeriksaan dahak
(BTA) yang dilakukan di laboratorium RS Pusri tidak menyediakan
pelayanan HIV/AIDS untuk pelayanan. Disimpan di laboratorium.
f. TB05 : Merupakan formulir permohonan laboratorium TB untuk
pemeriksaan dahak
g. TB06 : Merupakan buku daftar suspek TB yang diperiksa dahak SPS.
Disimpan di Unit DOTS.
h. TB09 : Formulir rujukan atau pindah pasien TB.
i. TB10 : Formulir hasil akhir pengobatan pasien TB pindahan.
j. TB 12 : Formulir pengiriman sediaan untuk cross check.

1
BAB II
RUANG LINGKUP

A. Lingkup Area

1. Pelaksana panduan ini adalah tenaga kesehatan terdiri dari :


a. Staf Medis
b. Staf Perawat

2. Instalasi yang terlibat dalam pelaksanaan Panduan Pelayann TB DOTS


a. Instalasi Rawat Jalan
b. Instalasi Gawat darurat
c. Instalasi Intensive Care Unit
d. Instalasi laboratorium
e. Instalasi Rawat Inap terdiri dari :

B. Kewajiban Dan Tanggung Jawab


1. Seluruh Staf Rumah Sakit wajib memahami tentang Panduan Pelayann TB
DOTS
2. Perawat Yang Bertugas (Perawat Penanggung jawab Pasien) Bertanggung
jawab melakukan Panduan Pelayann TB DOTS
3. Kepala Instalasi / Kepala Ruangan
a. Memastikan seluruh staf di Instalasi memahami Panduan Pelayann TB
DOTS
b. Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap Panduan Pelaksanaan Panduan
Pelayann TB DOTS
4. Manajer
a. Memantau dan memastikan Panduan Pelayann TB DOTS dikelola dengan
baik oleh Kepala Instalasi
b. Menjaga standarisasi dalam menerapkan Panduan Pelayann TB DOTS

2
BAB III
TATALAKSANA

A. Tata laksana Penemuan Pasien TB


Kegiatan penemuan pasien TB terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

1. Penjaringan Suspek
Dilakukan pada pasien rawat jalan maupun rawat inap yang berada dalam
lingkungan Rumah Sakit Pusri dan memenuhi standar diagnosis yang ditetapkan oleh
standar internasional penanganan TB.

Yang termasuk suspek TB antara lain :


a. Semua orang yang datang ke rumah sakit dengan keluhan batuk berdahak 2
(dua) minggu atau lebih dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB,
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
b. Semua kontak dengan pasien TB Paru BTA positif yang menunjukkan gejala
yang sama harus dianggap sebagai seorang suspek TB dan dilakukan
pemeriksaan dahak.
c. Semua keluarga pada penderita TB anak yang menunjukkan gejala yang sama
harus dianggap sebagai seorang suspek TB dan dilakukan pemeriksaan dahak.

Untuk anak-anak di mana batuk bukanlah gejala dominan untuk infeksi TB, berikut
adalah hal-hal yang dapat dipakai untuk menjaring suspek TB anak: a. Kontak erat
dengan penderita TB BTA positif.
a. Reaksi cepat BCG ( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3
(tiga) – 7 (tujuh) hari setelah imunisasi BCG.
b. Anoreksia atau nafsu makan menurun disertai gagal tumbuh, berat
badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang
tidak naik dalam 1 (satu) bulan meskipun sudah dengan penanganan
gizi.
c. Demam lama (>2 minggu) atau berulang tanpa sebab yang jelas
(singkirkan dulu kemungkinan infeksi saluran kencing, Malaria,
demam typhoid, dan lain-lain).
d. Batuk lama (>3 minggu) dengan menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain.
e. Pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik (leher, axilla,
inguinal).
f. Skrofuloderma.
g. Tes tuberculin positif (> 10 mm)
h. Konjungtivitis fliktenularis.

Pemeriksaan atau follow up TB terhadap anak di bawah lima (5) tahun pada
keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan
pengobatan TB atau pengobatan pencegahan. Semua suspek TB yang dilakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis dicatat di buku TB06 (Unit DOTS) dan TB04
(Laboratorium).

3
Untuk rawat Inap, suspek TB dan seluruh pasien yang didiagnosis TB dilaporkan
oleh kepala ruang kepada unit DOTS (koordinator IRJ)

2. Diagnosis
a. Diagnosis TB Paru Dewasa
Diagnosa TB Paru Dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis. Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosa utama . Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasi. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran
yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Selain untuk
diagnosis, pemeriksaan dahak digunakan juga untuk menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak untuk diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 (tiga)


spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa dahak sewaktu pagi-sewaktu (SPS).
• S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur pagi, Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas laboratorium.
• S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di laboratorium pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

Permintaan pemeriksaan dahak BTA SPS menggunakan formulir TB05 dan


dicatat di TB04 (laboratorium) dan TB06 (unit DOTS). Apabila tidak tersedia
formulir TB05, dapat menggunakan lembar permintaan laboratorium rumah
sakit dan akan dipindah ke formulir TB05 oleh petugas laboratorium.Semua
suspek TB Paru dilakukan pemeriksaan dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
dengan kemungkinan hasil :
a. Semua spesimen atau 2 (dua) dari 3 (tiga) spesimen hasilnya BTA positif
: TB
b. Hanya 1 (satu) dari 3 (tiga) spesimen dahak hasilnya BTA positif, maka
pada kasus ini diperlukan foto toraks atau biakan kuman TB untuk
mendukung diagnosis TB atau bukan TB
c. Semua spesimen hasilnya BTA negatif, maka diberikan antibiotika non
OAT non Quinolon selama 2 minggu.

Apabila ada perbaikan gejala maka bukan kasus TB, jika tidak ada perbaikan
maka dilakukan pemeriksaan ulang dahak SPS.
a. 1 saja dari 3 spesimen dahak SPS ulangan hasilnya BTA positif : TB.
b. Ketiga spesimen dahak SPS tetap negatif maka dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya termasuk foto thoraks. Dengan
mempertimbangkan hasil pemeriksaan penunjang dokter akan mennetukan
TB atau bukan TB.

4
Jika suspek TB menolak melakukan pemeriksaan BTA SPS, perlu dikaji ulang
alas an penolakan. Sering kali pasien menolak pemeriksaan dahak karena alasan
di bawah ini :
a. Faktor biaya : sarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan dahak
BTA SPS di puskesmas terdekat (dari rumah pasien). Jika pasien
setuju, beri surat pengantar ke puskesmas dan kalau memungkinkan
kontak petugas TB puskesmas tujuan.
b. Sulit mengeluarkan dahak : sarankan pasien untk banyak minum,
KIE cara berdahak yang efektif (tarik dan keluarkan nafas dalam
beberapa kali, batukkan dahak sekuatnya, dan keluarkan dahak yang
telah dibatukkan dengan cara di-hoek-kan ke pot sputum, kalau
dirasa perlu dapat diberikan mukolitik untuk mempermudah
pengeluaran dahak. Jika dengan cara tersebut masih kesulitan,
diijinkan untuk melakukan pemeriksaan dahak pagi semua.

5
Alur Diagnosa TB Paru

6
3. Diagnosis TB Anak.

Diagnosis TB pada anak adalah hal yang sulit sehingga sering terajdi
misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak yang dapat
mengeluarkan dahak, penegakakan disgnosis TB anak juga harus melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis SPS. Sedangkan pada anak yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, digunakan
criteria lain berupa system skor.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan system skor. Pasien denga skor
lebih atau sama dengan 6 (enam) harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara
klinis kecurigaan ke arah TB kuat, maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik
lain sesuai indikasi untuk memperkuat diagnosis TB seperti bilas lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT scan , dan lain-lain.

Sistem Skoring TB Anak

Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak Tidak Laporan BTA positif
TB jelas keluarga,
BTA negatif
atau tidak
tahu, BTA
tidak jelas
Uji Negatif Positif (≥10 mm
tuberculin atau ≥5 mm
pada keadaan
imunosupresi
Berat Bawah garis
badan/ merah
keadaan (KMS) atau
gizi BB/U < 80%
Demam ≥ 2 minggu
tanpa
sebab jelas
Batuk* ≥ 3 minggu
Pembesara ≥ 1 cm,
n kelenjar jumlah > 1,
limfe koli, tidak nyeri
aksila,
inguinal
Pembengk Ada
akan pembengkak
tulang/sen an
di
panggul,

7
lutut,
falang
Foto Normal/t Kesan TB
thoraks idak jelas
Jumlah
# batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronis lainnya
seperti asma, sinusitis dan lain-lain

Interpretasi :
> 6 (enam) : dapat di tata laksana sebagai pasien TB
< 6 (enam) : tetapi klinis sangat mencurigakan TB maka perlu dilakuka
pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi

4. Diagnosis TB Ekstra Paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena misalnya kaku kuduk pada
meningitis TB, nyeri dada pada TB Pleura, pembesaran kelenjar limfe superficial
pada Lymphadenitis TB, danlain-lain. Diagnosispasti ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan atau histopatologi yang diambil dari
jaringan tubuh yang terkena. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, missal uji
mikrobiologi, patologi anatomi , dan lain-lain.
Seorang pasien TB ekstra paru sangat mungkin juga menderita TB Paru. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak. Jika hasil pemeriksaan dahak
negatif, dapat dilakukan foto toraks.

5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena Tuberkulosis Paru,


Tuberkulosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
3. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang,dan lain-
lain.

6. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis (pada TB


paru)

1. Tuberkolosa BTA positif


a. Sekurang-kurangnya 2 (dua) dari 3 (tiga) spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberculosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif setelah dan biakan
kuman TB positif

8
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkolose BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik.

TB paru BTA negatif harus meliputi :


a. Paling tidak 3 (tiga) spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b. Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotikan non OAT, bagi pasien
dengan HIV negatif.
d. Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan.

7. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1. TB paru BTA negatif foto thoraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (missal proses far
advanced) dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra paru dibagi berdasar pada tingkat keparahan penyakit, yaitu
a. TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.
b. TB ektra paru berat misalnya meningitis, ilier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB
saluran kemih dan alat kelamin.

Catatan :
1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien ekstra
paru.
2. Bila seorang pasien denagn TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
3. Pasien yang didiagnosa TB paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat
dicatat sebagai kasus TB Paru BTA negatif.

8. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasar riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe


pasien yaitu :
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati denga OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif.
2. Kasus yang sebelumnya pernah diobati
a. Kambuh (Relaps)

9
Adalah pasien tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur)
b. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 (dua) bulan atau
lebih denagn BTA positif.
c. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
4. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti :
a. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
b. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya.
c. Kembali diobati dengan BTA negatif

B. Tata Laksana Pengobatan TB

a. Prosedur dan Tata Cara Pengobatan TB


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :


1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Tidak
diperkenankan menggunakan OAT Tunggal (monoterapi). Penggunaan
OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh pengawas menelan
obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap awal (intensif)
dan tahap lanjutan.

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis di Indonesia adalah :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4 (HR)3
2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZES)/5(HR)3E3
3. OAT sisipan : HRZE
4. OAT Anak : 2HRZ/4HR

10
Dosis OAT Dewasa

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan


(mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isiniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10 10


(8-2) (8-12)
Pyrazinamide Bakterisid 25 35
(Z) (20-30) (30-40)
Streptomycin Bakterisid 15
(S) (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)

Panduan OAT dan Peruntukannya

KategoriDiag Pasien TB Panduan OAT


nosisTB Fase awal Fase
(harian) Lanjutan( 3
x seminggu)
I a. TB paru kasus baru 2 HRZE 4H3R3
TB paru BTAnegatif
kasus baru
II TB paru BTA positif 2 HRZES / 1 5H3 R3 E3
dengan pengobatan HRZE
terdahulu :
a. Kasus kambuh
b. Kasus putus berobat
c. Kasus gagal
III TB paru BTA negatif 2 HRZE 4 H3R3
kasus baru ( selain
kategori 1 ) TB ektra
paru ringan
IV Kasus kronik atau MDR Rujuk ke fasilitas yang memiliki
(BTA masih poritif pelayanan DOTS plus
setelah pengobatan ulang
yang diawasi

11
Dosis Kombipak Anak
Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 –19 kg BB 20-32 kg
Isonoasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 300 mg

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) Tuberkulosis pada anak

Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita
TB BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan system scoring. Bila
hasil evaluasidengan system scoring didapat skor < 5, kepada anak tersebut
diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Bila
anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan
setelah pengobatan pencegahan selesai. Catatan :
a. Bila isoniazid dikombinsaikan dengan rifampicin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari
b. Rifampisin tidka boleh diracik dalam satu puyer bersama OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin.
c. Rifampisin diabsorpsi baik melalui GIT pada saat perut kosong (satu jam
sebelum makan)
d. Pengambilan OAT paket harus sepengetahuan koordinator Rawat Jalan atau
koordinator DOTS, sehingga semua resep OAT paket baik dari rawat jalan
maupun rawat inap harus I acc koordinator rawat jalan atau koordinator DOTS.

Sebelum memulai pengobatan TB, pasien dan PMO harus mendapatkan edukasi
mengenai hal-hal di bawah ini :
1. Cek domisili pasien. Jika domisili pasien TB di luar wilayah kotamadya
Malang, rujuk ke UPK terdekat, kecuali ada pertimbnagan khusus (bekerja di
wilayah kota madya Malang atau karyawan Rumah Sakit Panti Nirmala atau
perjanjian kerja sama perusahaan hanya dengan RS Panti Nirmala). Jelaskan
kepada pasien dan keluarga bahwa alas an merujuk adalah untuk memperkecil
kemungkinan DO.
2. Apa itu penyakit TB, bagaimana cara penularannya, pencegahan penularan,
dan bagaiman gejala TB.
3. Rencana pengobatan : berapa lama, cara pengobatan (oral saja atau oral +
injeksi), frekuensi kontrol, biaya-biaya yang mungkin akan dikeluarkan selam
pengobatan. Jika pasien dan atau kelaurga merasa berat dengan biaya-biaya
yang akan dikeluarkan selama masa pengobatan, rujuk ke puskesmas untuk
pengobatannya.
4. Pengaturan nutrisi.
5. Efek samping obat yang mungkin timbul.
6. Pengobatan tidak boleh terputus walau pasien sudah tidak ada keluhan atau
merasa sehat, perlu dijelaskan pula resiko jika putus berobat.

12
b. Pengobatan TB pada Keadaan Khusus
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomycin. Streptomicyn tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanen ototoxic dan dapat menembus barier
placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobtaan santa penting
artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

2. Ibu Menyusui
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Ibu dan bayi tidak perlu dipidahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui.
Pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat
badannya.

3. Pasien TB Pengguna Kontrasepsi


Rifampicin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, sehingga dapat
menurunkan efektivitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB yang mendapat
pengobatan sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau
kontrasepsi yang mengandung estrogen tinggi (50 mcg).

4. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tata laksana pengobatan TB pada pasien HIV/AIDS adalah sama dengan pasien
TB lainnya. Prinsip pengobatan TB HIV adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB. Penggunaan suntikan streptomicyn harus memperhatikan
prinsip-prinsip universal precaution. Pengobatan TB-HIV sebaiknya dilakukan
dalam 1 UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan.

5. Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian Oat pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik
ditundasampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan di
mana pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan Streptomicyn dan
Etambutol maksimal selam 3 (tiga) bulan sampai hepatitisnya menyembuhkan
dan dilanjutkan denagn Rifampicin dan Isoniasid selama 6 (enam) bulan.

6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Apabila terdapat peningkatan SGOT dan SGPT lebih dari 3 (tiga) kali normal,
OAT tidka diberikan, dan bila telah dalam pengobatan harus dihentikan.
Apabila peningkatan SGOT dan SGPT kurang dari 3 (tiga) kali pengobatan
dapat dilaksanakan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati
pirrazinamide tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat digunakan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

13
7. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid, Rifampicin, dan Pirazinamid dapat diekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa non toksik. OAT jenis ini dapat
diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
Strepromycin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh Karen aitu hindari
penggunannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Paduan OAT yang paling
aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ.4HR.

8. Pasien TB dengan Diabetes MEllitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin dapat mengurangi efektivitas
obat oralk anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat oal anti diabetes
perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah,
setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Hati-hati
pemberian Etambutol karena dapat memperberat kejadian Retinopathy
diabetika.

C. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

- Efek Samping Ringan OAT

Efek Samping Penyebab Tata Laksana


Tidak ada nafsu makan, Rifampicin Semua OAT di minum
mual,sakit perut malamsebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin
Kesemutan sampai dengan INH Bri vitamin B6 (piridoxin)
rasaterbakar di kaki 100 mg perhari

Warna kemerahan pada Rifampicin Tidak perlu diberi apa-apa,


urin KIE kepada pasien

- Efek Samping Berat OAT

Efek Samping Penyebab Tata Laksana


Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis *(keterangan di bawah
OAT table)
Tuli Streptomycin Streptomycin dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomycin Streptomycin dihentikan
berat
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua Hentikan semua OAT
OAT sampai ikterus menghilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT,
muntah(permulaan ikterus OAT segeradilakukan tes fungsi
karena obat) hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renhatan Rifampicin HentikanRifampicin
(syok)
* Jika seorang pasien dalam pengobatan TB mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Brikan anti histamine sambil menerusan

14
OAT dengan pengawasan. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
tetapi pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit berat. Bila
keadaan seperti ini, hentikan semua OAT, tunggu sampai kemerahan kulit
hilang.

D. Tata Laksana Pengawasan Menelan Obat

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
PMO (PengawasMenelan Obat)
a. Persyaratan PMO
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetjui baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela
4. Bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
b. Siapa yang bisa menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader, guru, anggota PKK, tokoh
masyarakat atau kelaurga.
c. Tugas PMO
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
4. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga psien TB yang mempunyai
gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri.

E. Tata Laksana Pemantauan dan Hasil pengobatan TB

a. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan TB paru dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahal mikroskopis. Pemeriksaan dahak mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap
Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak
spesifik TB. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan memeriksa spesimen dahak
sebanyak dua kali (sewaktu dan Pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke
2 (dua spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya
positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil
pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel : Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak


Tipe Pasien Tahap Hasil Tindak Lanjut
TB Pengobatan Pemeriksa
an
Negatif Tahap lanjutan dimulai
Positif Dilanjutkan dengan OAT
sisipan selama 1 bulan.Jika

15
setelah sisipan masih tetap
positif :
-Tahap lanjtan tetap
diberikan
Akhir tahap -Jika memungkinkan,
Intensif lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk
kelayanan TB-MDR
negatif Pengobatan dilanjutkan
Positif Pengobatan diganti dengan
Pasien baru OAT kategori 2 mulai dari
dengan awal. Jika memungkinkan,
pengobatan Pada bulan ke 5 lakukan biakan, tes
kategori 1 pengobatan resistensi atau rujukan ke
layanan TB MDR
Negatif Pengobatan diselesaikan
Positif Pengobatan diganti dengan
OAT kategori 2 mulai dari
awal jika memungkinkan
lakukan biakan, tes
Akhir resistensi atau rujuk ke
Pengobatan layanan TB-MDR
Pasien paru Akhir Intensif Negatif Teruskan pengobatan
BTA dengan tahap lanjtan
Positif dengan Positif Beri sisipan 1 bulan.Jika
pengobatan setelah sisipan masih tetap
ulang kategori positif, teruskan
2 pengobatan tahap
lanjutan.Jika setelah
sisipan masih tetap
diberikan
-Tahap lanjutan tetap
diberikan
-Jika memungkinkan ,
lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk
kelayanan TB-MDR
Negative Pengobatan diselesaikan
Positif Pengobatan dihentikan,
Pada bulan ke-5 rujuk ke layanan TB-MDR
pengobatan
Negatif Pengobatan diselesaikan

Positif Pengobatan dihentikan,


rujuk ke layanan TB-MDR
pengobatan dihentikan,
Akhir rujuk kelayanan TB-MDR
Pengobatan pengobatan dihentikan,
(AP) rujuk kelayanan TB-MDR

16
Tabel :Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan :


-Lacak pasien
-Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
-Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:
Tindakan 1 Tindakan 2
Bila hasil BTA Lanjutkan pengobatan sampai
negative atau TB seluruh dosis selesai
ekstra paru
Lama pengobatan Lanjutkan
- Lacak pasien sebelumnya pengobatan
-Diskusikan dan kurang dari 5 sampai
cari masalah Bila satu atau lebih bulan seluruh dosis
-Periksa 3 kali hasil BTA positif selesai
dahak (SPS) dan Lama pengobatan Kategori 1:
lajutkan sebelumnya lebih mulai
pengobatan dari 5 bulan kategori 2
sementara -Kategori
menunggu hasilnya 2:rujuk,mung
kin kasus
kronik

Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)

-Periksa 3 kali Bila hasil BTA Pengobatan dihentikan, pasien


dahak SPS negative atau TB diobservasi bila gejalanya semakin
-Diskusikan dan ekstra paru parah perlu dilakukan pemeriksaan
cari maasalah kembali (SPS dan atau biakan)
-Hentikan Kategori 1 Mulai
pengobatan sambil Bila satu atau lebih kategori 2
menunggu hasil hasil BTA positif Kategori 2 Rujuk,mun
pemeriksaan dahak gkin kasus
kronik

Keterangan :
 Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan
 Lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum
akhir pengobatan harus diperiksa dahak.

2.Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif


a. Sembuh

17
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
ulang dahak (follow-up)hasilnya negative pada akhir pengobatan (AP) dan
minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negative.
b. Pengobatan lengkap
adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c. Pasien meninggal
adalah pasien yang meninggal dala masa pengobatan karena sebab apapun
d. Pindah
adalah pasien yang pindah berobat keunit dengan register TB 03 yang lain
dan hasil pengobatnnya tidak diketahui
e. Default (Putus Berobat)
adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelumnya masa pengobatnnya selesai
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan ke 5 atau lebih selama pengobatannya.

G.Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

a. Efek Samping OAT

Tabel : efek samping ringan OAT


Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, Rifampisin Semua OAT diminum
mual, sakit perut malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin)
terbakar dikaki 100mg per hari
Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa
air seni (urine) tapi perlu penjelasan kepada
pasien

Tabel 1.5 Efek samping berat OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksaan
dibawah*)
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Keseimbangan Streptomisin Streptomisin
dihentikan,ganti etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua OAT
lain OAT sampai ikterus menghilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT,
muntah (permulaan ikterus OAT segera lakukan tes fungsi
karena obat) hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan Renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin
(Syok)

18
b. Penatalaksanaan pasien dengan efek samping ‘gatal dan kemerahan kulit’

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan
OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semuan OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.

Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. Pada sarana
pelayanan kesehatan rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
o Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara ‘drug challengiing’ dengan menggunakan obat
lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab
dari efek samping tersebut.

o Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau


karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam
proses rechallenge yang mulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi,, berarti
hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas

o Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan
obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang tapi hal ini akan
menurunkan resiko terjadinya kambuh.

o Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)


terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang
paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)dalam pengobatan
jangka pendek. Bila dengan pasien reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau
Rifampisin tersebut HIV negative, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun,
jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai
resiko besar terjadi keracunan yang berat.

A. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis

PPI TB merupakan bagian dari PPI fasyankes. Kegiatan berupa upaya pengendalian
infeksi dengan 4 pilar yaitu :

1. Manajerial
2. Pengendalian Administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat pelindung diri

19
Ad. 1. Manajerial

Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, Kepala Dinas


Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota/dan/ Atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan
dari upaya manajerial bagi program PPI TB meliputi :

a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB yang merupakan bagian dari


program PPI fasyankes dengan mengeluarkan SK penunjukkan
Tim/Penanggung jawab
b. Membuat kebijakan dan SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien
batuk, alur pelaporan dan surveilans
c. Memberi pelatihan PPI TB bagi petugas yang terlibat dalam program PPI TB
d. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
e. Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan bangunan serta
pemeliharaannya sesuai PPI TB
f. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB meliputi
tenaga anggaran , sarana dan prasarana yang dibutuhkan termasuk aspek
kesehatan kerja
g. Monitoring dan Evaluasi
h. Melakukan kajian diunit terkait penularan TB dengan menggunakan daftar
tilik, menganalisa dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan
i. Melaksanakan Advokasi, komunikasi, Mobilisasi dan Sosialisasi terkait PPI
TB
j. Surveilans petugas ( Kepatuhan menjalankan SPO dan kejadian infeksi)
k. Memfasilitasi kegiatan riset operasional.

Ad. 2. Pengendalian Administratif

Pengendalian Administratif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/


mengurangi pajanan M.TB kepada petugas kesehatan , pasien, penunjang dan
lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan memantau pelaksanaan
standar prosedur dan alur pelayanan

Upaya ini mencakup :


a. Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari ‘pintu masuk’
pendaftaran fasyankes
b. Mendidik pasien mengenai etika batuk
c. Menempatkan semua suspek dan pasien TB diruang tunggu yang mempunyai
ventilasi baik, diupayakan ≥12 ACH dan terpisah dengan pasien umum
d. Menyediakan tisu dan masker, serta tempat pembuangan tisu maupun
pembuangan dahak yang benar
e. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE
f. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek dan TB,
termasuk diagnostic, terapi dan rujukan sehingga waktu berada pasien di
fasyankes dapat sesingkat mungkin
g. Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB
h. Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB

20
i. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB semua petugas
kesehatan

Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien


Untuk Mencegah Infeksi TB pada Tempat Pelayanan

Langkah Kegiatan Keterangan


1 2 3
1 Triase Pengenalan segera pasien suspek atau confirm
TB adalah langkah pertama
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan batuk
lama segera pada saat dating difasilitas. Pasien
dengan batuk ≥2 minggu, atau yang sedang dalam
investigasi TB tidak dibolehkan meng-antri
dengan pasien lain untuk mendaftar atau
mendapatkan kartu. Mereka harus segera dilayani
mengikuti langkah-langkah dibawah ini.

2 Penyuluhan Meng-instruksi-kan pasien yang terasing diatas


untuk melakukan etika batuk. Yaitu untuk
menutup hidung dan mulut ketika batuk atau
bersin. Kalau perlu berikan masker atau tisu
untuk menutup mulut dan mencegah terjadinya
aerosol

3 Pemisahan Pasien yang suspek atau kasus TB melalui


pertanyaan penyaringan harus dipisahkan dari
pasien lain, dan diminta menunggu diruang
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker
bedah atau tisu untuk menutup mulut dan hidung
pada saat menunggu.

4 Pemberi Pasien dengan gejala batuk segera mendapatkan


Pelayanan pelayanan untuk mengurangi waktu tunggu
segera sehingga orang lain tidak terpajan lebih lama.
Ditempatkan pelayanan terpadu TB-HIV,
usahakanagar jadwal pelayanan HIV dibedakan
jam atau harinya dengan pelayanan TB atau TB-
HIV

5 Rujuk untuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan


investigasi/ diagnostic TB sebaiknya dilakukan ditempat
pengobatan pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak
TB tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama baik
dengan sentra diagnostic TB untuk
merujuk/melayani pasien dengan gejala TB
secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu
mempunyai kerjasama dengan sentra pengobatan

21
TB untuk menerima rujukan pengobatan bagi
pasien terdiagnosa TB.

ETIKA BATUK
SAAT ANDA BATUK ATAU BERSIN

Tutup hidung dan Segera Cuci


mulut buang tangan Gunakan
Anda dengan tisu yang dengan Masker
menggunakan sudah menggunak
Tisu/saputangan dipakai an air
atau lengan ke dalam bersih dan
Dalam baju anda tempat sabun atau
sampah pencuci
tangan
berbasis
alkohol
Edukasi dan Penerapan Etika Batuk

Petugas harus mampu memberikan pendidikan yang adekuat mengenai pentingnya


menjalankan etika batuk kepada pasien untuk mengurangi penularan. Pasien yang
batuk diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup mulut/hidung dengan
tisu. Kalau tidak memiliki tisu maka mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau
pangkal lengan.Sesudah batuk, tangan dibersihkan, dan tisu dibuang pada tempat
sampah yang khusus disediakan untuk ini (kantong kuning/infeksius).

Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien tersebut. Apabila tetap
merawat pasien , maka petugas harus mengenakan masker bedah. Terutama apabila
petugas bersin atau batuk,dan harus melaksanakan etika batuk.

Pengendalian Lingkungan

Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ ventilasi dengan


menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi / menurunkan
kadar percik renik diudara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan
percik renik kerah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
ultraviolet sebagai germisida.

22
Pemanfaatan Sistem Ventilasi

adalah system yang menjamin terjadinya pertukaran udara didalam gedung dan luar
gedung yang memadai, sehingga konsentrasi droplet nuclei menurun.
Secara garis besar ada tiga jenis system ventilasi yaitu :

- Ventilasi alamiah adalah system ventilasi yang mengandalkan pada pintu dan
jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang bisa
dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam gedung
dan sebaliknya.
Indonesia sebaiknya menggunakan ventilasi alami dengan menciptakan aliran
udara silang (cross ventilation) dan perlu dipastikan arah angin yang tidak
membahayakan petugas atau pasien lain.
- Ventilasi Mekanik adalah system ventilasi yang menggunakan peralatan
mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasikan udara didalam
ruangan secara paksa untuk menyalurkan / menyedot udara kearah tertentu
sehingga terjadi tekanan udara positif dan negative. Termasuk exhaust
fan, kipas angin berdiri (standing fan)atau duduk.
- Ventilasi Campuran (hybrid) adalah system ventilasi alamiah ditambah
dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah efektifitas
penyaluran udara.

Pemilihan jenis system ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat.Pertimbangan pemilihan system ventilasi suatu fasyankes berdasarkan
kondisi local yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya,
dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan
pemeliharaan secara periodic.

Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksius dan non infeksius,
pembagian area (zoning) tempat pelayanan juga perlu memperoleh perhatian untuk
PPI TB.

Pemantauan system ventilasi harus memperhatikan 3 unsur dasar, yaitu :


 Laju ventilasi (Ventilation Rate) : jumlah udara luar gedung yang masuk
kedalam ruangan pada waktu tertentu.
 Arah aliran udara (airflow direction) : arah aliran udara dalam gedung dari
area bersih ke area terkontaminasi
 Distribusi udara atau pola aliran udara ( airflow pattern) : udara luar perlu
terdistribusi kesetiap bagian dari ruangan dengan cara yang efisien dan udara
yang terkontaminasi dialirkan keluar dengan cara yang efisien.

Rekomendasi WHO tentang ventilasi ruangan :


1. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi yang ditransmisikan melalui
airborne, perlu diupayakan ventilasi yang adekuat disemua area
pelayanan pasien difasilitas kesehatan.
2. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan bahwa
angka rata-rata ventilation rate per jam yang minimal tercapai, yaitu :

23
a. 160/1/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan kewaspadaan
airborne (dengan ventilation rate terendah adalah 80/1/detik/pasien)
contoh :Bangsal perawatan MDR TB.
b. 60/1/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan poliklinik
rawat jalan.

Pengendalian dengan Perlindungan Diri

Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan ditempat


pelayanan sangat penting untuk menurunkan resiko terpajan, sebab kadar percik
renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administrative dan lingkungan.

Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan prosedur yang
beresiko tinggi, misalnya bronkoskopi,intubasi,induksi, sputum, aspirasi secret
saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan
saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat menghadapi/menangani pasien
tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik. Petugas kesehatan dan pengunjung
perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB diruangan tertutup.
Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator partikulat tetapi cukup
menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.

H. Rujukan Pasien TB

Rujukan pada pasien TB ada 2 jenis yaitu :


1. Rujuk Diagnosa : setelah diagnose ditegakkan pasien dirujuk kembali ke
puskesmas sesuai wilayah tempat tinggal untuk memulai pengobatan.
2. Rujukan therapy : pasien dirujuk untuk meneruskan pengobatan disarana
pelayanan kesehatan lainnya setelah menjalani pengobatan di RS Pusri
Palembang.

Semua pasien TB yang mau dirujuk harus melalui poli DOTS


- Bila pasien dirujuk diagnose dibuatkan TB 09, lampirkan TB 05, lampirkan
hasil VCT, catat nomor telpon pasien, hubungi sarana pelayanan kesehatan
tujuannya.
- Bila pasien dirujuk therapy dibuatkan TB, lampirkan fotocopy TB 01, berikan
sisa obat untuk dibawa ketempat tujuan, hubungi sarana pelayanan
kesehatan tujuannya.

24
BAB IX
PENUTUP

Panduan Pelayanan Poli DOTS RS Pusri Palembang mempunyai peranan penting


sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan sehari-hari tenaga pelaksanaan
perawatan yang bertugas sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan khususnya
pelayanan TB di Poli DOTS.

Penyusunan Panduan Pelayanan Poli DOTS ini adalah langkah awal kesuatu proses
yang panjang, sehingga memerlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak
dalam penerapannya untuk mencapai tujuan. Kami menyadari bahwa pedoman
Pelayanan ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami menerima saran dan kritik
guna menyempurnakan pedoman ini.

Akhir kata, semoga Panduan Pelayanan Poli DOTS ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Edisi kedua. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2007

2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam : Sodoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata K, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Edisi
Keempat. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006;998-1004

3. Strategi Nasional Pengendalian Tb di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011

4. American Thoracic Society. Diagnostic Standarts and Classificasion of


tuberculosis in adult and children. Am J Respir Crit Med 2000;161:1376-95

26

Anda mungkin juga menyukai