Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)


2.1.1 Definisi
Coronary Artery Bypass Grafting merupakan salah satu penanganan intervensi dari
PJK dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami
penyempitan atau penyumbatan (Feriyawati,2005). Coronary Artery Bypass
Grafting adalah operasi pintas koroner yang dilakukan untuk membuat saluran baru
melewati bagian arteri koroner yang mengalami penyempitan atau penyumbatan
(Medical Surgical Nursing vol 1, 2000) Coronary Artery Bypass Grafting atau
Operasi CABG adalah teknik yang menggunakan pembuluh darah dari bagian
tubuh yang lain untuk memintas (melakukan bypass) arteri yang menghalangi
pemasokan darah ke jantung. Operasi CABG sangat ideal untuk pasien dengan
penyempitan di beberapa cabang arteri koroner (Kulick & Shiel, 2007).
Rekomendasi untuk melakukan CABG didasarkan atas beratnya keluhan angina
dalam aktifitas sehari-hari. Respon terhadap intervensi non bedah PCI atau stent
dan obat-obatan serta harapan hidup pasca operasi yang didasarkan atas fungsi
jantung secara umum sebelum operasi (Woods, et all. 2000).

2.1.2 Tujuan (Smeltzer & Bare, 2008)


1. Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri koroner
2. Mencegah terjadinya iskemia yang luas
3. Meningkatkan kualitas hidup
4. Meningkatkan toleransi aktifitas
5. Memperpanjang masa hidup

4
2.1.3 Indikasi
Indikasi CABG menurut American Heart Association (AHA) (Ignatavisius
&Workman, 2006)
1. Stenosis Left Mean Coronary Artery yang signifikan
2. Angina yang tidak dapat di kontrol dengan terapi medis
3. Angina yang tidak stabil
4. Iskemik yang mengancam dan tidak respon terhadap terapi non bedah yang
maksimal
5. Gagal pompa ventrikel yang progresif dengan stenosis koroner yang
mengancam daerah miokardium
6. Sumbatan yang tidak dapat ditangani dengan PTCA dan trombolitik
7. Sumbatan/stenosis LAD dan LCx pada bagian proksimal > 70 %
8. Satu atau dua vessel disease tanpa stenosis LAD proksimal yang signifikan
9. Pasien dengan komplikasi kegagalan PTCA
10. Pasien dengan sumbatan 3 pembuluh darah arteri (three vessel disease) dengan
angina stabil atau tidak stabil dan pada pasien dengan 2 sumbatan pembuluh
darah dengan angina stabil atau tidak stabil dan pada pasien dengan 2 sumbatan
pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak stabil dan lesi proksimal LAD
yang berat
11. Pasien dengan stenosis (penyempitan lumen > 70%) pada 3 arteri yaitu arteri
koronaria komunis sinistra, bagian proksimal dari arteri desenden anterior
sinistra

2.1.4 Kontra Indikasi (Pierce A. et al, 2006)


1. Sumbatan pada arteri < 70% sebab jika sumbatan pada arteri koroner kurang
dari 70% maka aliran darah tersebut masih cukup banyak sehingga mencegah
aliran darah yang adekuat pada pintasan. Akibatnya, akan terjadi bekuan pada
graft sehingga hasil operasi akan menjadi sia-sia.
2. Tidak ada gejala angina.
3. Struktur arteri koroner yang tidak memungkinkan untuk disambung.
4. Fungsi ventrikel kiri jelek ( kurang dari 30 % )
2.1.5 Komplikasi CABG (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2008)
1. Nyeri pasca operasi
Setelah dilakukan bedah jantung, pasien dapat mengalami nyeri yang
diakibatkan luka insisi dada atau kaki, selang dada atau peregangan iga selama
operasi. Ketidaknyamanan insisi kaki sering memburuk setelah pasien berjalan
khususnya bila terjadi pembengkakan kaki. Peregangan otot punggung dan leher
saat iga diregangkan dapat menyebabkan ketidaknyamanan punggung dan leher.
Nyeri dapat merangsang sistem saraf simpatis, meningkatkan frekuensi jantung dan
tekanan darah yang dapat mengganggu hemodinamik pasien. Ketidaknyamanan
dapat juga mengakibatkan penurunan ekspansi dada, peningkatan atelektasis dan
retensi sekresi. Tindakan yang harus dilakukan yaitu memberikan kenyamanan
maksimal, menghilangkan faktor-faktor peningkatan persepsi nyeri seperti ansietas,
kelelahan dengan memberikan penghilang nyeri.
2. Penurunan curah jantung
Disebabkan adanya perubahan pada frekuensi jantung, isi sekuncup atau
keduanya. Bradikardia atau takikardi pada paska operasi dapat menurunkan curah
jantung. Aritmia sering terjadi 24 jam – 36 jam paska operasi. Takikardi menjadi
berbahaya karena mempengaruhi curah jantung dengan menurunkan waktu
pengisian diastolik ventrikel, perfusi arteri koroner dan meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard. Bila penyebab dasar dapat diidentifikasikan maka dapat
diperbaiki.
3. Perubahan cairan
Setelah operasi Coronary Bypass Grafting (CABG) volume cairan tubuh total
meningkat sebagai akibat dari hemodilusi. Peningkatan vasopressin, dan perfusi
non perfusi ginjal yang mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosterone
(RAA).
Ketidakseimbangan elektrolit pasca operasi paling umum adalah kadar kalsium
abnormal. Hipokalemia dapat diakibatkan oleh hemodilusi, diuretik dan efek-efek
aldosteron yang menyebabkan sekresi kalium ke dalam urine pada tubulus distal
ginjal saat natrium diserap. Hiperkalemia dapat terjadi sebagai akibat jumlah besar
larutan kardioplegia atau gagal ginjal akut
4. Perubahan tekanan darah
Setelah bedah jantung ditemukan adanya hipertensi atau hipotensi.Intervensi
keperawatan diarahkan pada antisipasi perubahan dan melakukan intervensi untuk
mencegah atau untuk memperbaiki dengan segala tekanan darah pada rentang
normotensi.
a. Hipotensi
Pada graft vena safena dapat kolaps jika tekanan perfusi terlalu rendah, vena
tidak memiliki dinding otot seperti yang di miliki oleh arteri, sehingga
mengakibatkan iskemia miokard. Hipotensi juga dapat disebabkan oleh penurunan
volume intravaskuler, vasodilatasi sebagai akibat penghangatan kembali,
kontraktilitas ventrikel yang buruk atau disritmia.Tindakan dengan pemberian
cairan atau obat vasopressor dapat dilakukan jika hipotensi disebabkan oleh
penurunan kontraktilitas ventrikel.
b. Hipertensi
Hipertensi setelah paska operasi jantung dapat menyebabkan rupture atau
kebocoran jalur jahitan dan meningkatkan pendarahan. Dapat juga disebabkan
karena riwayat hipertensi, peningkatan kadar katekolamin atau renin, hipotermia
atau nyeri, terkadang ditemukan tanpa penyebab yang jelas. Hipertensi dapat
disebabkan oleh narkotik analgesik atau sedatif intravena. Hipertensi ini umumnya
bersifat sementara dan dapat di turunkan dalam 24 jam. Bila tidak mungkin, anti
hipertensi oral dapat di mulai untuk memudahkan penghentian nitroprusid. Pada
klinik sering digunakan gabungan inotropik dan vasodilator seperti golongan
milirinone.
5. Perdarahan pasca operasi (European Society of Cardiology, 2008)
Ada 2 jenis perdarahan, yaitu:
a. Perdarahan arteri
Meskipun jarang, namun hal ini merupakan kedaruratan yang mengancam hidup
yang biasanya diakibatkan oleh ruptur atau kebocoran jalur jahitan pada satu dari 3
sisi: Anastomosis proksimal graft vena ke aorta, anastomosis distal graft vena ke
arteri koroner atau kanulasi sisi ke aorta dimana darah yang mengandung O2
dikembalikan ke pasien selama bypass.
b. Perdarahan vena
Hal ini lebih umum terjadi dan disebabkan oleh masalah pembedahan atau
koagulopati, kesalahan hemostasis dari satu atau lebih pembuluh darah
mengakibatkan pendarahan. Tindakan ditujukan pada penurunan jumlah perdarahan
dan memperbaiki penyebab dasar.
6. Infeksi luka
Infeksi luka luka pasca operasi dapat terjadi pada kaki atau insisi sternotomi
median atau pada sisi pemasangan selang dada. Perawatan untuk mencegah infeksi
yaitu dengan mempertahankan insisi bersih dan kering dan mengganti balutan
dengan teknik aseptik. Infeksi juga dapat didukung dari keadaan pasien dengan
nutrisi tidak adekuat dan immobilisasi.
7. Tamponade jantung awal
Tamponade jantung terjadi apabila darah terakumulasi di sekitar jantung akibat
kompresi jantung kanan oleh darah atau bekuan darah dan menekan miokard. Hal
ini mengancam aliran balik vena, menurunkan curah jantung dan tekanan darah.
Tindakan meliputi pemberian cairan dan vasopressor untuk mempertahankan curah
jantung dan tekanan darah sampai dekompresi bedah dilakukan.
8. Post perfusion syndrome
Kerusakan sementara pada neuro kognitif, namun penelitian terbaru menunjukan
bahwa penurunan kognitif tidak disebabkan oleh CABG tetapi lebih merupakan
konsekuensi dari penyakit vaskuler.
9. Disfungsi neurologi
Dapat bervariasi dalam beratnya keadaan dari kerusakan sementara konsentrasi
ringan sampai periode agitasi dan kekacauan mental dan cedera serebrovaskuler
atau koma. Perubahan perfusi serebral dan mikro embolisme lemak atau agregasi
trombosit selama bypass dan embolisasi bekuan, bahan partikular atau udara, semua
dapat menyebabkan sequel neurologis. Tindakan meliputi mempertahankan curah
jantung adekuat, tekanan darah dan AGD (Analisa Gas Darah) menjamin perfusi
serebral dan oksigenasi normal.
2.1.6 Prosedur CABG
A. Persiapan sebelum pelaksanaan operasi CABG
1. Persiapan pasien :
a) Informed concernw
b) Obat – obatan pra operasi: aspirin, nitrogliserin, nifedipin, diltiazem
c) Pemeriksaan laborat lengkap terutama: Hb, Hematokrit, jumlah leukosit,
kadar elektrolit, faal hemotasis, foto thorak, EGC, serta tes fungsi paru –
paru (vital capacity)
d) Persiapan darah 6 – 10 bag sesuai golongan darah pasien
e) Puasa m alam10 – 2 jam
f) Cukur area pembedahan
g) Lepaskan perhiasan, kontak lensa, mata palsu, gigi palsu (identifikasi dan
simpan yang aman atau berikan keluarganya).
h) Cek benda – benda asing dalam mulut.(Bhimji, 2011)
2. Persiapan alat dan bahan penunjang operasi:
a) Bahan habis pakai (spuit, masker, jarum, benang, dll)
b) Alat penunjang kamar operasi
c) Linen set (3 set)
d) Instrument dasar (1 set dasar bedah jantung dewasa)
e) Instrumen tambahan (1 set tambahan bedah jantung)
f) Intrumen AV graft (1 set)
g) Instrument mikrocoroner (1 set)
h) Instrument kateter (1 set)(Muttaqin, A,2009).
B. Penatalaksanaan (Smeltzer & Bare, 2008)
1) Pemasangan CVP pada vena jugularis dekstra atau vena subklavia dekstra,
arteri line dan saturasi oksigen.
2) Pasien dipindah dari ruang premedikasi ke kamar operasi.
3) Pasang kateter dan kabel monitor suhu, diselipkan dibawah femur kiri pasien
dan diplester.
4) Pasang plate diatermi di daerah pantat / pangkal femur bawah
5) Posisi pasien terlentang, kedua tangan disamping kiri dan kanan badan dan
diikat dengan duek kecil, dibawah punggung tepat di scapula diganjal guling
kecil.
6) Bagian lutut kaki diganjal guling, untuk memudahkan pengambilan graft vena.
7) Menyuntikkan agen induksi untuk membuat pasien tidak sadar.
8) Petugas anestesi memasang ETT memulai ventilasi mekanik.
9) Melakukan desinfeksi dengan betadin 10 % mulai dari batas dagu dibawah
bibir kesamping leher melewati mid aksila samping kanan kiri, kedua kaki
sampai batas malleolus ke pangkal paha (kedua kaki diangkat) kemudian
daerah pubis dan kemaluan didesinfeksi terakhir selnjutnya didesinfeksi
dengan larutan hibitan 1% seperti urutan tersebut diatas dan dikeringkan
dengan kasa steril.
10) Dada dibuka melalui jalur median sternotomi dan operator mulai memeriksa
jantung.
11) Pembuluh darah yang sering digunakan untuk bypass grafting ini antara lain;
arteri thoracic internal, arteri radial, dan vena saphena.
12) Saat dilakukan pemotongan arteri tersebut, klien diberi heparin untuk
mencegah pembekuan darah.
13) Pada operasi “off pump”, operator menggunakan alat untuk menstabilkan
jantung. Off Pump CABG :operasi bedah jantung ini tidak memakai mesin
jantung paru atau CPB. Dengan teknik ini jantung tetap berdetak normal dan
paru-paru berfungsi seperti biasa.(Swierzewski, 2011).
a. Kriteria pasien off pump:
1) Pasien yang direncanakan operasi elektif
2) Hemodinamik stabil
3) Ejection friction normal
4) Pembuluh distal cukup besar
b. Keuntungan dari teknik off pump menurut Benetti dan Ballester, 1995:
1) Meminimalkan efek trauma operasi
2) Mobilisasi paska operasi dapat dilakukan lebih dini
3) Drainage paska bedah minimal
4) Tranfusi darah dan komponennya minimal
5) Dapat cepat kembali pada pekerjaan semula
6) Tersedia akses sternotomi untuk re-operasi
Mid CABG (bedah minimal invasif bypass jantung) prosedur ini dilakukan
dengan sayatan yang lebih kecil sekitar 3-4 cm. Dapat dilakukan tanpa jantung
berhenti, dan beberapa pasien dapat keluar RS dalam waktu 48 jam, karena
tidak ada pemotongan di tulang dada, masa pemulihan menjadi lebih
cepatdengan rasa sakit yang berkurang, masa rawat lebih singkat dan bekas
luka lebih kecil. Tetapi prosedur ini hanya dilakukan pada pasien yang
penyumbatannya hanya dapat di bypass dengan sayatan kecil dengan resiko
komplikasi rendah
14) Pada operasi “on pump”, maka ahli bedah membuat kanul ke dalam jantung
dan menginstruksikan kepada petugas perfusionist untuk memulai
cardiopulmonary bypass (CPB). On pump CABG: Operasi ini dilakukan
dengan memakai mesin pintas jantung paru atau CPB. Dengan teknik ini
jantung tidak berdenyut, dengan menggunakan obat yang disebut cardioplegik.
Sementara itu, peredaran darah dan pertukaran gas diambil alih oleh mesin
pintas jantung paru.(Smeltzer&Bare, 2008)
Prinsip cairan kardioplegik yang digunakan yaitu:
1. Konsentrasi kalium cukup tinggi sehingga cepat terjadi arrest
2. Dextrose sebagai sumber energi
3. Buffer pH untuk mencegah asidosis
4. Hiper osmolaritas untuk mencegah edema interstitial miokardium
5. Anastesi lokal untuk stabilitas membran sel
Pada teknik operasi ini, suhu diturunkan menjadi 28°- 30° C, yang bertujuan
untuk menurunkan kebutuhan jaringan akan oksigen seminimal mungkin, heart
rate di pertahankan 60 – 80 x/menit, tekanan arteri 70 – 80 mmHg. Suhu
diturunkan dengan cara pendingina topikal, yaitu(Smeltzer&Bare, 2008)
1. Irigasi otot jantung dengan Ringer dingin (4° C), jantung direndam dengan
cairan tersebut.
2. Memakai Ringer dingin seperti bubur (ice slush).
15) Setelah CPB terpasang, operator ditempat klem lintas aorta (aortic cross clamp)
diseluruh aorta dan mengintruksikan perfusionist untuk memasukkan
cardioplegia untuk menghentikan jantung.
16) Ujung setiap pembuluh darah grefting dijahit pada arteri koronaria diluar
daerah yang diblok dan ujung alin dihubungkan pada aorta.
17) Jantung dihidupkan kembali; atau pada operasi “off pump” alat stabilisator
dipisahkan. Pada beberapa kasus, aorta didukung sebagian oleh klem C-
Shaped, jantung dihidupkan kembali dan penjahitan jaringan grafting ke aorta
dilakukan sembari jantung berdenyut.
18) Protamin diberikan untuk memberikan efek heparin.
19) Sternum dijahit bersamaan dan insisi dijahit kembali.
20) Pasien akan dipindahkan ke unit perawatan intensif (ICU) untuk penyembuhan.
21) Setelah keadaan sadar dan stabil di ICU (sekitar 1 hari), pasien bisa dipindah
ke ruang rawat sampai pasien siap untuk pulang.

2.2 Hematokrit
Hematokrit adalah fraksi dari seluruh darah yang terdiri dari sel darah merah.
Hematokrit akan meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah sel darah merah atau
menurunnya volume plasma. Sebaliknya hematokrit akan meningkat ketika volume
plasma meningkat atau terjadi penurunan eritropoetik atau meningkatnya perusakan
atau hilangnya sel darah merah. Hematokrit dapat diukur secara langsung menggunakan
sentrifugasi atau secara tidak langsung dengan metode automatik (Myers et al, 2007).
Hematokrit dapat mengindikasikan pasien mengalami anemia, eritrositosis, atau
perubahan dalam volume plasma. Hematokrit dapat digunakan sebagai batasan untuk
menentukan kebutuhan transfusi. Selain itu hematokrit juga dapat digunakan sebagai
marker untuk evaluasi respon terapi (Myers et al, 2007).
Nilai rujukan bervariasi tergantung metodologi yang digunakan. Rentang normal
harus divalidasi oleh petugas laboratorium. Nilai rujukan untuk laki-laki 40%-54%,
perempuan 36%-46%, dan bayi 53%-69%. Adapun penyebab turunnya hematokrit
adalah:
1. Anemia (contoh: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, keracunan timbal,
talasemia)
2. Pendarahan (contoh: kehilangan darah akut karena trauma, pendarahan saluran
cerna)
3. Kerusakan sel darah merah (contoh: proses hemolitik autoimun, anemia
hemolitik karena obat, anemia sel sikle, splenomegali)
4. Supresi sumsum tulang atau produksi kurang (contoh: leukemia, myelodisplasia,
kemoterapi)
5. Malnutrisi dan kekurangan nutrisi (contoh: defisiensi folat, vitamin B12,
kwashiorkor)
6. Infeksi (contoh: parvovirus, sepsis)
7. Overhidrasi (contoh: polidpsi)
8. Kehamilan
Penyebab peningkatan hematokrit:
1. Dehidrasi (contoh: heat stroke)
2. Penyakit jantung kongenital
3. Cor pulmonale (contoh: COPD)
4. Eritrositosis (contoh: polisitemia vera)
5. Hipoksia pada kondisi oksigen rendah (contoh: ketinggian, bayi premature
dengan perkembangan paru terhambat)

2.2.1. Hematokrit dan prosedur CABG


Penelitian Williams et al menemukan angka kematian total pasca CABG dari
total 182,599 pasien adalah sebesar 1,6% (n=3,005). Dibandingkan pasien

dengan anemia (HCT <33%), pasien dengan HCT 42% memiliki angka
kematian yang lebih rendah (1.1% vs 3.4%, p<0.0001) dan memiliki angka
gagal ginjal (2.0% vs 7.8%; p<0.0001), stroke (0.9% vs 1.8%; p<0.0001),
perpanjangan masa ventilasi (8.4% vs 17.5%; p<0.0001), dan infeksi luka
sternum dalam (0.3% vs 0.6%; p<0.0001). Pada analisis penyesuaian, setiap
penurunan 5 poin praoperatif HCT meningkatkan 8% odds kematian (OR=1.08;
p=0.0003), meningkatkan 22% odds gagal ginjal pasca operasi (OR=1.22;
p<0.0001), dan meningkatkan 10% odds infeksi luka sternum dalam (OR=1.10;
p<0.01). Hasil serupa juga ditemukan pada pasien yang menjalani CABG elektif
n=74,292. Persentase pasien yang menerima transfusi darah perioperatif
menurun dari 88.5% pada kelompok anemia (HCT <33%) menjadi 32.5% pada
pasien dengan HCT≥ 42% (p<0.0001). Penelitian ini menyimpulkan HCT
praoperatif merupakan prediktor independen yang cukup kuat untuk
memprediksi kematian perioperatif sama baiknya untuk memprediksi gagal
ginjal dan infeksi luka sternum dalam pada pasien yang menjalani operasi
CABG primer terisolasi (Williams et al, 2013)

2.3 Aspartate Aminotransferase (AST)


AST adalah suatu enzim yang utamanya ditemukan di hati dan jantung, namun dapat
pula ditemukan pada beberapa jaringan termasuk otot, sel darah merah, pankreas, ginjal,
dan otak. Kerusakan pada organ-organ tersebut atau hemolisis meningkatkan produksi
enzim tersebut, sehingga menyebabkan meningkatnya kadar AST di serum. Kadar
dalam serum biasanya sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Adapun rentang nilai
rujukan AST pada laki-laki adalah 6-34 IU/L, dan pada perempuan 8-40 IU/L.
Pada tahun 1950-an, AST sudah digunakan sebakai penanda biokimia untuk infark
miokard, yang pada masa itu dikenal sebagai serum glutamic oxaloacetic transaminase.
Oleh karena AST terdistribusi pada jaringan yang luas, AST dianggap enzim yang tidak
spesifik untuk mendiagnosis PMI. Disisi lain isoenzim CK berkembang menjadi enzim
jantung yang lebih spesifik untuk biomarker jantung. Creatinine kinase-MB menjadi
biomarker standar untuk mengidentifikasi PMI selama tahun 1980-1990-an. Pada tahun
1994, Adams et al membandingkan EKG, CK, CK-MB dan troponin I dengan
ekokardiografi transtoraks sebagai alat diagnostik PMI. Troponin memiliki spesifisitas
yang lebih baik dibandingkan CK-MB dalam mendiagnosis PMI. Walaupun tidak
begitu banyak perhatian yang diberikan pada AST, penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan enzim ini masih relevan secara klinis. Berdasakan hasil penelitian van
Boxtel et al, AST merupakan prediktor independen kematian segera dan lanjut setelah
CABG. AST dapat digunakan sebagai metode screening untuk PMI dan membantu
mendeteksi lebih awal sehingga dapat ditatalaksana komplikasi yang mungkin muncul.
Walaupun tidak spesifik sebagai indicator kerusakan jantung, AST dapat
menggambarkan efek iskemia pada organ-organ lain seperti hati dan otot skeletal
sebagai penanda tidak langsung penekanan fungsi jantung. Adapun keunggulan lain
yang dimiliki oleh AST yaitu relatif murah dibandingkan dengan enzim-enzim lain (van
Boxtel et al, 2012)

2.4 Ratio Neutrofil-Limfosit (NLR)


Inflamasi memegang peranan penting dalam patofisiologi penyakit-penyakit yang pada
umumnya dianggap penyakit non inflamasi seperti kanker dan aterosklerosis. Dari
beberapa jenis penanda inflamasi, beberapa penelitian menunjukkan peningkatan NLR
merupakan prediktor yang bermakna dalam mendeteksi luaran yang kurang baik pada
pasien penyakit kardiovaskular dan kanker, NLR dipercaya menggambarkan
keseimbangan antara respon kekebalan inate (neutrofil) dan adaptif (limfosit). Penelitian
sebelumnya menunjukkan NLR berkait dengan peningkatan konsentrasi berbagai
sitokin pro-inflamasi yang menyebabkan kerusakan DNA sel. Penelitian-penelitian ini
menegaskan dampak negatif peningkatan NLR, walaupun memiliki nilai cutoff NLR
yang berbeda. Beberapa penelitian mengkategorikan pasiennya berdasarkan interval
NLR (contoh: tertil, quartil, quintil), sementara penelitian lain mengklasifikasikan
≥2.5, NLR≥2.7, NLR≥3, NLR≥4)
dengan nilai cutoff NLR yang definitif (contoh: NLR
dan adapula nilai cutoff-nya NLR≥5 . Penelitian dari negara-negara barat lebih sering
menggunakan nilai cutoff yang lebih tinggi dibandingkan etnis lain seperti Asia dan
Afrika, yang menggambarkan adanya perbedaan nilai normal hitung neutrofil dan
limfosit sesuai ras.
Tabel 2.1 Nilai rujukan NLR sesuai ras dan jenis kelamin.

Penelitian Azab et al, menemukan hasil dari total 1126 pasien yang
diikutsertakan dalam penelitian, 1030 (91%) pasien menjalani off-pump CABG. Tertil
pertama (NLR<2.3) memiliki angka mortalitas dalam 5 tahun yang lebih rendah secara
signifikan (30/371=8%) dibandingkan tertil kedua (NLR=2.3-3.4) dan ketiga
(NLR≥3.5) (49/375=13% dan 75/380=20%), secara berurutan dengan p<0.0001. Setelah
penyesuaian multivariate, NLR secara signifikan merupakan prediktor independen
mortalitas (HR untuk peningkatan setiap unit NLR adalah 1.05, 95%CI 1.01-1.10,
p=0.008). Penelitian ini menyimpulkan peningkatan MLR praoperatif merupakan
prediktor independen mortalitas jangka panjang setelah CABG (Azab et al, 2013)

Anda mungkin juga menyukai