Objektivitas
Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam pelaksanaan apabila dalam tes itu tidak
ada faktor subjektif yang mempengaruhi. Hal ini terjadi pada sistem pada sistem skoring.
Ada dua faktor yang mempengaruhi subjektivitas dari suatu tes yaitu bentuk tes dan penilai.
a. Bentuk tes
Tes yang berbentuk uraian akan memberikan banyak kemungkinan kepada si pemakai untuk
memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian maka hasil dari seorang siswa
yang mengerjakan soal-soal dari sebuah tes, akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang
penilai. Untuk menghindari masuknya unsur subjektivitas dari penilai, maka sistenm skoringnya
dapat dilakukan dengan membuat pedoman skoring terlebih dahulu.
b. Penilaian
Subjektivitas dari penilai akan dapat masuk karena secara agak leluasa terutama dalam tes
bentuk uraian. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjektivitas yaitu kesan penilai terhadap
siswa, tulisan, waktu mengadakan penilaian, bahasa, kelelahan dan sebagainya. Untuk
menghindari masuknya unsur subjektivitas dalam pekerjaan penilaian, maka penilaian harus
dilaksanakan dengan pengingat pedoman. Pedoman yang dimaksud, terutama menyangkut
masalah pengadministrasian yaitu kontinuitas dan komprehensivitas. Dengan penelitian yang
kontinu (terus menerus) maka penilaian akan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang
keadaan siswa. Adapun komprehensif di sini mencakup keseluruhan materi, aspek berfikir
(ingatan, pemahaman, aplikasi dan sebagainya), dan berbagai cara tes (tertulis, lisan, perbuatan
dan sebagainya).
2.1 TesHasilBelajar
Istilah tes diambil dari kata testum suatu pengertian dalam bahasa prancis kuno yang berarti
piring untuk menyisihkan logam-logam mulia. Adapula yang mengartikan sebagai sebuah piring
yang dibuat dari tanah.
Seorang ahli yang bernama James MS.Cattel, pada tahun 1890 telah memperkenalkan
pengertian tes ini pada masyarakat melalui bukunya yang berjudul Mental test and
measurement. Selanjutnya diAmerika Serikat tes ini berkembang dengan cepat sehingga dalam
tempo yang tidak begitu lama masyarakat mulai menggunakanya.
Banyak ahli yang mulai mengembangkan tes ini untuk berbagai bidang, namun yang
terkenal adalah sebuah tes intelejensi yang disusun oleh seorang perancis bernama Binet, yang
kemudian dibantu penyempurnaannya oleh Simon, sehingga tes tersebut di kenal sebagai tes
Binet-Simon ( 1904 ). dengan alat ini Binet dan Simon berusaha untuk membeda-bedakan anak
menurut tingkat intelegensinya. dari pekerjaan Binet dan Simon inilah kemudian kita kenal
istilah–istilah: umur kecerdasan ( Mental age ), umur kalender ( chronological age ), indeks
kecerdasan ( intellegence quotient ).
sebagai perkembanganya, Yerkes di amerika serikat menyusun tes kelompok (group test)
yang digunakan untuk menyeleksi calon milliter sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat
kerna diperlukan pada waktu perang dunia 1. test ini dikenal dengan nama Army Alpha dan
Army Betha.
didorong oleh munculnya statistik dalam penganalisisan data dan informasi, maka akhirnya
tes ini digunakan dalam berbagai bidang seperti tes kemampuan dasar, tes kesalahan pelatihan,
tes keingatan, tes minat, tes sikap, dan sebagainya. yang tekenal penggunaanya disekolah
hanyalah tes prestasi belajar.
2.2 Prinsip-prinsipDasarTesHasilBelajar
Ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan di dalam menyusun tes hasil belajar
agar tes tersebut benar-benar dapat mengukur tujuan pembelajaran yang telah diajarkan, atau
mengukur kemampuan dan atau keterampilan siswa yang diharapkan setelah siswa
menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu. Menurut Purwanto (2004:23), prinsip-prinsip
dasar tersebut adalah:
1. Tes tersebut hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning outcomes) yang telah
ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional. Jika tujuan tidak jelas, maka penilaian terhadap
hasil belajar pun tidak akan terarah sehingga akhirnya hasil penilaian tidak mencerminkan isi
pengetahuan atau keterampilan siswa yang sebenarnya. Dengan kata lain, hasil penilaian menjadi
tidak valid, yaitu tidak mengukur apa yang sebenarnya harus diukur. Oleh karena itu, untuk
dapat menyusun tes yang baik, setiap guru harus dapat merumuskan kompetensi dasar dengan
jelas, terutama indikatornya sehingga memudahkan baginya dalam menyusun soal-soal tes yang
relevan untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi dasar yang telah dirumuskannya.
2. Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan pelajaran yang telah diajarkan.
Tes yang kita susun haruslah mencakup soal-soal yang dianggap dapat mewakili seluruh
performance hasil belajar siswa, sesuai dengan kompetensi dasar yang telah dirumuskan. Untuk
dapat menyusun soalsoal tes yang benar-benar merupakan sampel yang representatif dalam
mengukur hasil belajar siswa, guru hendaknya terlebih dahulu menyusun table spesifikasi atau
kisi-kisi yang memuat standar kompetensi atan kompetensi dasar dari bahan pelajaran yang telah
diajarkan dan penentuan jumlah serta jenis soal yang disesuaikan dengan kompetensi dasar dari
setiap standar kompetensi yang bersangkutan.
3. Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok untuk mengukur hasil belajar
yang diinginkan sesuai dengan tujuan. Kita telah mempelajari bahwa tujuan pengajaran itu
bermacam-macam menurut jenis dan tingkat kesukarannya. Hasil belajar dari tiap-tiap topik
bahan pelajaran tidak selalu sama. Setiap jenis alat evaluasi dan setiap macam bentuk soal hanya
cocok untuk mengukur suatu jenis kemampuan tertentu. Oleh karena itu, penyusunan suatu tes
harus disesuaikan dengan jenis kemampuan hasil belajar yang hendak diukur dengan tes tersebut.
4. Didesain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam evaluasi
pendidikan yang menyangkut hasil belajar, kita mengenal ada empat macam kegunaan tes, yaitu:
(1) tes untuk penentuan penempatan siswa dalam suatu jenjang atau jenis program pendidikan
tertentu (placement test); (2) tes untuk mencari umpan balik guna memperbaiki proses belajar
mengajar bagi guru maupun siswa (test formatif); tes untuk mengukur atau menilai sampai di
mana pencapaian siswa terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan, dan selanjutnya untuk
menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan siswa yang bersangkutan (test sumatif); dan (4) tes
untuk mencari sebab-sebab kesulitan belajar siswa (test diagnostik).
5. Dibuat seandal (reliable) mungkin sehingga mudah diinterpretasikan dengan baik. Suatu alat
evaluasi dikatakan andal (reliable) jika alat tersebut dapat menghasilkan suatu gambaran (hasil
pengukuran) yang benar-benar dapat dipercaya. Suatu tes dapat dikatakan andal (memiliki
keandalan yang tinggi) jika tes itu dilakukan berulang-ulang terhadap objek yang sama, hasilnya
akan tetap sama atau relatif sama.
6. Digunakan untuk mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan
cara mengajar guru itu sendiri (evaluasi formatif).
2.3 PersyaratanTes
Sebuah tes dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur bila memenuhi persyaratan tes.
Adapun persyaratan tes yang baik adalah valid, reliable, objektif, praktis dan ekonomis.
Persyaratan tes yang paling utama adalah valid. Sebuah tes disebut valid apabila tes itu dapat
tepat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas yaitu ketepatan mengukur yang dimiliki oleh
sebutir item (yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes sebagai suatu totalitas), dalam
mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir item tersebut (Sudijono, 2001:182).
Menurut SuharsimiArikunto (2002), persyaratan tes yang baik adalah valid, reliable,
objektif, praktis dan ekonomis.
1. Validitas tes
Suharsimi Arikunto (2002) menjelaskan terdapat empat bentuk validitas, yaitu: (1) Validitas isi,
(2) Validitas konstruksi, (3) Validitas yang ada sekarang, (4) Validitas prediksi. Sebuah tes
dikatakan memiliki validitas isi apabila tes tersebut mengukur tujuan tertentu sejajar dengan
materi atau isi pelajaran yang diberikan.
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi apabila butir-butir soal yang membangun tes
tersebut mengukur tiap aspek berfikir seperti yang disebut dalam tujuan instruksional khusus.
Adapun sebuah tes dikatakan memiliki validitas ada sekarang (concurrent validity) jika hasilnya
sesuai dengan pengalaman. Sedang sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediksi atau
validitas ramalan apabila mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada
masa yang akan datang.
2. Reliabilitas
Suatu tes dapat dikatakan mampu mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut
dapat memberikan hasil yang tepat. Maka pengertian reliabilitas tes, berhubungan dengan
masalah ketetapan hasil tes.
Menurut Suharsimi Arikunto (2002), untuk melakukan analisis reliabilitas suatu tes dapat
digunakan beberapa metodee yaitu: metode bentuk paralel (equivalen), metode tes ulang (test-
retest-metod), dan metode belah dua (splid-hal-metod).
Dengan demikian, untuk memperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan syarat-syarat penilaian
(valid dan reliabel) maka pemilihan alat penilaian menjadi sangat penting. Hal disebabkan
karena kemampuan diri siswa yang akan diungkap ditentukan oleh alat penilaian yang akan
digunakan.
3. Objektivitas
Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam pelaksanaan apabila dalam tes itu tidak
ada faktor subjektif yang mempengaruhi. Hal ini terjadi pada sistem pada sistem skoring.
Ada dua faktor yang mempengaruhi subjektivitas dari suatu tes yaitu bentuk tes dan penilai.
a. Bentuk tes
Tes yang berbentuk uraian akan memberikan banyak kemungkinan kepada si pemakai untuk
memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian maka hasil dari seorang siswa
yang mengerjakan soal-soal dari sebuah tes, akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang
penilai. Untuk menghindari masuknya unsur subjektivitas dari penilai, maka sistenm skoringnya
dapat dilakukan dengan membuat pedoman skoring terlebih dahulu.
b. Penilaian
Subjektivitas dari penilai akan dapat masuk karena secara agak leluasa terutama dalam tes
bentuk uraian. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjektivitas yaitu kesan penilai terhadap
siswa, tulisan, waktu mengadakan penilaian, bahasa, kelelahan dan sebagainya. Untuk
menghindari masuknya unsur subjektivitas dalam pekerjaan penilaian, maka penilaian harus
dilaksanakan dengan pengingat pedoman. Pedoman yang dimaksud, terutama menyangkut
masalah pengadministrasian yaitu kontinuitas dan komprehensivitas. Dengan penelitian yang
kontinu (terus menerus) maka penilaian akan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang
keadaan siswa. Adapun komprehensif di sini mencakup keseluruhan materi, aspek berfikir
(ingatan, pemahaman, aplikasi dan sebagainya), dan berbagai cara tes (tertulis, lisan, perbuatan
dan sebagainya).
4. Praktibilitas
Sebuah tes disebut praktis apabila mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi
dengan petunju-petunjuk yang jelas.
a. Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan
kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.
b. Mudah memeriksanya artinya, bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban dengan pediman
skoringnya.
c. Adapun kelengkapan petunjuk suatu tes dimaksudkan agar tes tersebut dapat diberikan oleh
orang lain.
5. Ekonomis
Ekonomis di sini ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal,
tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.
Usaha lain yang harus dilakukan memastikan kualitas tes adalah dengan penganalisisan butir
soal. Analisis butir soal adalah suatu prosedur yang sistematis, yang akan memberikan informasi-
informasi yang sangat khusus terhadap butir soal yang kita susun (Suharsimi Arikunto,
2002:205). Analisis butir soal bertujuan untuk mengidentifikasi soal-soal yang baik, kurang baik,
dan soal yang jelek. Ada tiga cara dalam menganalisis butir soal, yaitu taraf kesukaran, daya
pembeda dan pola jawaban soal.
a. Taraf kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu
mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya soal
yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat
untuk mencoba lagi karena diluar jangkauannya. Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks
kesukaran sering diklasifikasikan dengan TK 1,00 sanpai 0,30 adalah soal sukar, TK 0,30 sampai
0,70 adalah soal sedang, dan 0,70 sampai 1,00 adalah soal mudah.
b. Daya pembeda
Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai
(berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Klasifkasi daya
pembeda adalah 0,00 – 0,20 = jelek, 0,20 – 0,40 = cukup, 0,40 – 0,70 = baik, 0,70 – 1,00 = baik
sekali.
c. Pola jawaban soal (Analisis Distraktor)
Pola jawaban soal mengkaji distribusi peserta tes (tester) dalam hal menentukan pilihan jawaban
pada soal bentuk pilihan ganda. Pola jawaban soal diperoleh dengan menghitung banyaknya
tester yang memilih pilihan jawaban a,b,c atau r atau tidak melilih jawaban manapun. Dari pola
jawaban soal dapat ritentukan apakah pengecoh (distraktor) berfungsi sebagai pengecoh dengan
baik atau tidak. Suatu distraktor dapat dikatakan berfungsi baik jika paling sedikait oleh 5%
pengikut tes (Suharsimi Arikunto.2002).
2.4 PengertianTesObjektif
Tes objektif adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir soal (items)
yang dapat dijawab oleh testee dengan jalan memilih salah satu atau lebih jawaban di antara
beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-masing items, atau dengan
jalan menuliskan (mengisikan) jawaban berupa kata-kata atau simbol-simbol tertentu pada
tempat yang telah disediakan untuk masing-masing butir item yang bersangkutan.
Tes pilihan ganda memiliki semua persyaratan sebagai tes yang baik, yakni dilihat dari segi
objektivitas, reliabilitas, dan daya pembeda antara siswa yang berhasil dengan siswa yang gagal
atau bodoh. Sebagian besar guru merasakan bahwa tes objektif tipe pilihan ganda juga efektif
dalam mengungkap materi pembelajaran dengan cakupan pengetahuan yang lebih kompleks,
dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.
2.5 Keunggulandankelemahantesobjektif
Keunggulan Tes Objektif
1. Tes Objektif dapat digunakan untuk mengukur proses berpikir rendah sampai dengan sedang
(ingatan, pemahaman, dan penerapan).
2. Dengan menggunakan tes objektif maka semua atau 2. Dengan menggunakan tes objektif maka
semua atau sebagian besar materi yang telah diajarkan dapat ditanyakan saat ujian
3. Dengan menggunakan tes objektif maka pemberian skor pada setiap siswa dapat dilakukan
dengan cepat, tepat dan konsisten karena jawaban yang benar untuk setiap butir soal sudah jelas
dan pasti
4. Dengan tes objektif khususnya pilihan ganda, akan memungkinkan untuk dilakukan analisis
butir soal.
5. Tingkat kesukaran butir soal dapat dikendalikan.
6. Informasi yang diperoleh dari tes objektif lebih kaya.
Kelemahan Tes Objektif
1. Walaupun tes objektif dapat digunakan untuk mengukur semua proses berpikir dalam ranah
kognitif mulai dari jenjang berpikir sederhana (ingatan) sampai dengan jenjang berpikir tinggi
(ingatan) sampai dengan jenjang berpikir tinggi (kreasi), tetapi pada kenyataannya butir soal
yang diujikan kepada siswa atau mahasiswa kebanyakan hanya mengukur proses berpikir rendah.
2. Membuat pertanyaan tes objektif yang baik lebih sukar daripada membuat pertanyaan tes uraian.
3. Kemampuan anak dapat terganggu oleh kemampuannya dalam membaca dan menerka.
4. Anak tidak dapat mengorganisasikan, menghubungkan, dan menyatakan idenya sendiri karena
semua alternatif jawaban untuk setiap pertanyaan sudah diberikan oleh penulis soal.