Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hutan

Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1

Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu

dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang

meliputi :

1. Suatu kesatuan ekosistem

2. Berupa hamparan lahan

3. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

4. Mampu memberi manfaat secara lestari.

Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan,

merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling

ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan

sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-

paru dunia (Zain, 1996).


Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam

Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan

Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu

wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan

penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi :

1. suatu wilayah tertentu

2. terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan

3. ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan

4. didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.

Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan

hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah

tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin

diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan

berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor

pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang

minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari

luas daratan.

Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan,

maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan

menjadi :

1. wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap


2. wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan

dipertahankan sebagai hutan tetap.

Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan

kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan

Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut :

1. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam

(cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam

(Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan

Taman Buru.

2. Hutan Lindung

3. Hutan Produksi

B. Hutan Kemasyarakatan

Hutan Kemasyarakatan Berdasarkan Keputusan Menteri

Kehutanan dan perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan

adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri

untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan

dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan

fungsinya dan menitikberatkan kepentingan mensejahterakan

masyarakat.
Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu pada

pengetahuan, kemampuan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri

(Community Based Forest Manajemen). Oleh karena itu prosesnya

berjalan melalui perencanaan bawah-atas, dengan bantuan fasilitasi dari

pemerintah secara efektif, terus menerus dan berkelanjutan. (Dephutbun,

1999).

Pengusahaan hutan kemasyarakatan dikembangkan berdasarkan

keberpihakan kepada rakyat khususnya rakyat yang tinggal di dalam dan

sekitar kawasan hutan, dengan prinsip-prinsip :

1. Masyarakat sebagai pelaku utama

2. Masyarakat sebagai pengambil keputusan

3. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat.

4. Kepastian hak dan kewajiban semua pihak

5. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemandu program

6. Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan

keanekaragaman budaya.

Berdasarkan jenis komoditas, pengusahaan hutan

kemasyarakatan memiliki pola yang berbeda untuk setiap status kawasan

hutan, disesuaikan dengan fungsi utamanya :

1. Pada kawasan hutan produksi dilaksanakan dengan tujuan utama

untuk memproduksi hasil hutan berupa kayu dan non kayu serta jasa
lingkungan, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

diusahakan.

2. Pada kawasan hutan lindung dilaksanakan dengan tujuan utama tetap

menjaga fungsi perlindungan terhadap air dan tanah (Hidrologis),

dengan memberi pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan non

kayu dan jasa rekreasi, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk diusahakan. Tidak diperkenankan pemungutan hasil

hutan kayu.

3. Pada kawasan pelestarian alam, dilaksanakan dengan tujuan utama

untuk perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang

pada hakekatnya perlindungan terhadap plasma nutfah. Oleh karena

itu pada kawasan ini kegiatan hutan kemasyarakatan terbatas pada

pengelolaan jasa lingkungan khususnya jasa wisata.

Menurut Kepala pusat informasi Kehutanan, untuk tahun 2003

ditetapkan 22 lokasi yang tersebar di 17 provinsi dengan luas masing-

masing 2.500 hektar. Lokasi yang menjadi pengembangan hutan

kemasyarakatan ini merupakan bekas HPH/HTI, taman nasional, areal

HPH/HTI aktif, hutan lindung, serta lokasi pemberdayaan masyarakat

yang telah dikembangkan sebelumnya (Fathoni, 2003).

C. Pengertian Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran

hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan


kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan.

Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa

sengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan dan lahan

diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan,

seperti kegiatan ladang, perkebunan (PIR), HTI, penyiapan lahan untuk

ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena

kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan

lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini.

Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang

disebabkan oleh factor alami ataupun karena kelalaian manusia.

Contoh kebakaran hutan karena kelalaian manusia seperti akibat

membuang puntung rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-

sisa perkemahan dan pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak

terkendali dan kebakaran hutan dan lahan alami oleh deposit batu bara di

kawasan hutan Bukit Soeharto (Purbowaseso, 2004).

D. Penyebab Kebakaran Hutan

Sebab-sebab timbulnya kebakaran sangat penting untuk diketahui

guna merencanakan penanggulangannya dan cara memadamkannya

(Suratmo 1978 dalam Rachmatsjah et al. 1985).

Penyebab kebakaran hutan didefinisikan sebagai sesuatu yang

bersifat alami maupun perbuatan manusia yang menyebabkan terjadinya


proses penyalaan serta pembakaran bahan bakar hutan dan lahan

(Syaufina 2008).

Kebakaran hutan dan lahan bisa terjadi baik disengaja maupun

tanpa disengaja. Dengan kata lain, terjadinya kebakaran hutan dan lahan

dapat diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia malalui beberapa

kegiatan, seperti kegiatan perladangan, perkebunan, HTI, penyiapan

lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan

lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90 %

kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan oleh

faktor ini (Purbowaseso 2004). Hal ini dipertegas oleh Adinugroho et al.

(2005) yang mengatakan bahwa kebakaran hutan/lahan di Indonesia

umumnya (99,9%) disebabkan oleh manusia, baik disengaja maupun

akibat kelalaiannya. Sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam

(petir, lava gunung berapi). Pernyataan tersebut juga sejalan dengan

Mangandar (2000) yang mengatakan bahwa di Indonesia kejadian alam

yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan jarang terjadi. Kebakaran

hutan oleh faktor manusia kasusnya akan menjadi lebih kompleks. Dalam

hal ini faktor sosial ekonomi dan ketidaktahuan penduduk merupakan

pendorong utama atas terjadinya kebakaran hutan.

Faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh langsung terhadap

kemampuan daya dukung lingkungan suatu daerah. Sebagai indikatornya

bahwa semakin tinggi jumlah penduduk suatu daerah dan semakin


rendahnya tingkat pendapatan penduduk, akan semakin kecil pula daya

dukung lingkungan daerah tersebut. Masyarakat di sekitar hutan yang

umumnya hidup serba kekurangan apabila tidak ditunjang dengan

pendidikan dan kesadaran yang tinggi akan arti dan fungsi hutan, akan

cenderung mendatangkan kerusakan bagi hutan (Yuadji 1981 dalam

Rachmatsjah et al. 1985).

Anonymous (1977) dalam Rachmatsjah et al. (1985),

mengemukakan sejumlah faktor yang dapat memperbesar kemungkinan

timbulnya kebakaran dan terhadap besarnya nyala api kebakaran hutan

yaitu:

1. Masyarakat kurang menyadari akan bahaya-bahaya dan akibat dari

suatu kebakaran hutan.

2. Usaha pencegahan kebakaran hutan oleh pihak kehutanan yang

belum memadai.

3. Masih kurangnya petugas khusus yang terdidik dan terlatih untuk

menangani masalah kebakaran hutan.

4. Belum tersedianya peralatan-peralatan khusus untuk pencegahan dan

pemadaman kebakaran hutan.

5. Makin luasnya tanaman hutan dari jenis pohon yang mudah terbakar

dan pada umumnya ditanam secara murni.

6. Tanaman hutan pada areal alang-alang yang mudah terbakar.


7. Adanya aktivitas masyarakat di dekat hutan yang menggunakan api

(berkemah, pencuri kayu, membawa obor dan sebagainya).

E. Pengendalian Kebakaran Hutan

Pengendalian adalah kegiatan mengatur, mengarahkan,

mengikuti/memantau semua kegiatan agar sesuai dengan rencana,

peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan serta menemu kenali

dan mencari pemecahannya untuk digunakan sebagai umpan balik bagi

penyempurnaan pelaksanaan dan perencanaan dalam upaya

pencapaian sasaran yang telah ditetapkan (Kepdirjen 51/Kpts/V/1997

dalam Winarto 2006).

Pengendalian kebakaran hutan adalah berbagai kegiatan yang

dilakukan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang

disebabkan oleh kebakaran. Kegiatan tersebut meliputi pencegahan,

pemadaman dan penanganan pasca kebakaran (PP No.45 Tahun 2004).

PP No.45 Tahun 2004, menjelaskan bahwa kegiatan pengendalian

kebakaran hutan dilakukan pada tingkat nasional, provinsi,

kabupaten/kota dan unit atau kesatuan pengelolaan hutan. Dimana

rincian tanggung jawab atas kegiatan pengendalian kebakaran hutan

tersebut dijabarkan sebagai berikut :

1. Pengendalian kebakaran hutan tingkat nasional dilakukan dan

ditetapkan serta menjadi tanggung jawab Menteri.


2. Pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi dilakukan dan

ditetapkan serta menjadi tanggung jawab Gubernur.

3. Pengendalian kebakaran hutan tingkat kabupaten/kota dilakukan dan

ditetapkan serta menjadi tanggung jawab Bupati/Walikota.

4. Pengendalian kebakaran hutan tingkat kesatuan pengelolaan hutan

dilakukan dan ditetapkan serta menjadi tanggung jawab Kepala

Kesatuan Pengelolaan Hutan.

Dalam pelaksanaannya, Pemerintah membentuk lembaga

pengendalian kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten

dan unit pengelolaan hutan yang disebut Brigade Pengendalian

Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut). Brigade tersebut bertugas untuk

menyusun dan melaksanakan program pengendalian kebakaran hutan

(PP No.45 Tahun 2004).

F. Pencegahan dan Persiapan Pemadaman Kebakaran Hutan

Pengendalian kebakaran hutan (forest fire) tidaklah hanya meliputi

aktivitas dalam pemadamannya saja, tetapi juga meliputi pencegahan

dan aktivitas persiapan pemadaman kebakaran (Suratmo 1978 dalam

Rachmatsjah et al. 1985).

PP No.45 Tahun 2004, menjelaskan bahwa dalam rangka pencegahan

kebakaran pada tingkat kabupaten/kota dilakukan kegiatan antara lain :

1. Melakukan evaluasi lokasi rawan kebakaran hutan

2. Melaksanakan penyuluhan
3. Membuat petunjuk teknis pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan

4. Mengadakan peralatan pemadam kebakaran hutan

5. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan

Suratmo (1978) dalam Rachmatsjah et al. (1985), menyatakan

bahwa tindakan pemadaman kebakaran hutan baru dapat dilakukan

apabila telah diketahui adanya kebakaran hutan dan diketahui pula

letaknya. Selanjutnya agar usaha pemadaman dapat berlangsung

dengan cepat dan efisien, maka perlu diadakan persiapan-persiapan

sebelum pemadaman yang meliputi dalam hal :

1. Penyediaan alat untuk mengetahui adanya kebakaran hutan

2. Penyediaan alat komunikasi

3. Penyediaan alat angkutan

4. Persiapan alat pemadam kebakaran hutan

Anda mungkin juga menyukai