Anda di halaman 1dari 42

Universitas Sumatera Utara

BAB II

URAIAN TEORETIS

2.1 Komunikasi Kelompok Kecil

Kehidupan kelompok adalah sebuah naluri manusia sejak ia dilahirkan. Naluri ini

yang mendorongnya untuk selalu menyatukan hidupnya dengan orang lain dalam

kelompok. Naluri berkelompok itu juga yang mendorong manusia untuk menyatukan

dirinya dengan kelompok yang lebih besar dalam kehidupan di sekelilingnya, bahkan

mendorong manusia menyatu dengan alam. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka setiap

manusia melakukan proses yang dinamakan adaptasi. Adaptasi dengan kedua lingkungan

tadi - manusia lain dan alam sekitarnya - dapat melahirkan struktur sosial baru yang

disebut dengan kelompok sosial.

Kelompok sosial adalah kehidupan bersama manusia dalam himpunan atau

kesatuan-kesatuan manusia yang umumnya secara fisik relatif kecil yang hidup secara

guyub. Ada juga beberapa kelompok sosial yang dibentuk secara formal dan memiliki

aturan-aturan yang jelas (Bungin, 2006:43-44).

Sebagaimana kenyataannya, bahwa manusia pada awalnya lahir dalam kelompok

formal-primer yaitu keluarga, di mana kelompok ini disebut sebagai salah satu dari jenis

kelompok kecil yang paling berkesan bagi setiap individu. Isolasi kehidupan individu

dalam keluarga tak bertahan lama, karena seiring dengan perkembangan fisik,

intelektual, pengalaman, dan kesempatan, individu mulai melepas hubungan-hubungan

keluarga dan memasuki serta menyebar untuk menjalankan berbagai kegiatannya dan

bertemu dengan manusia lain yang memiliki kesamaan tujuan, kepentingan, dan berbagai

aspirasi lainnya. Dalam proses pelepasan tersebut, kemudian membentuk kelompok

Universitas Sumatera Utara


lainnya, individu terus beradaptasi. Di dalam kelompok, masing-masing anggota

berkomunikasi, saling berinteraksi, dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya.

2.1.1 Pengertian Komunikasi Kelompok Kecil

Para ahli tidak memiliki kata sepakat mengenai pengertian atau definisi

kelompok. Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh karena masing-masing ahli mempunyai

sudut pandang yang berbeda satu sama lain mengenai pengertian kelompok.

Pengertian kelompok dari segi persepsi, seperti dikemukakan oleh Smith, “We

may define a social group as a unit consisting of a plural number of separate organism

(agents) who have a collective perception of their unity and who have the ability to act

or are acting in a unitary manner toward their environment”. Dalam hal ini, Smith

menggunakan istilah social group sebagai unit yang terdiri atas beberapa anggota yang

mempunyai persepsi bersama tentang kesatuan mereka (Walgito, 2007:6-7). Selain itu

terdapat juga pengertian kelompok atas dasar motivasi, tujuan, interdepedensi, interaksi,

dan juga struktur.

Kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka

yang intensif di antara anggota kelompok, serta tatap muka itu pula akan mengatur

sirkulasi komunikasi makna di antara mereka, sehingga mampu melahirkan sentimen-

sentimen kelompok serta kerinduan di antara mereka.

Pengertiaan kelompok tersebut termasuk dalam definisi kelompok kecil, karena

dengan jumlah anggota yang kecil memungkinkan semua anggota bisa berkomunikasi

secara relatif mudah, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima informasi. Para

anggota dapat mengatur pertemuan tatap muka, dapat saling berhubungan satu sama lain

dengan tujuan yang sama, dan memiliki struktur di antara mereka.

Kelompok tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan komunikasi. Komunikasi

merupakan dasar semua interaksi manusia dan untuk semua fungsi kelompok. Setiap

Universitas Sumatera Utara


kelompok harus menerima dan menggunakan informasi dan proses ini terjadi melalui

proses komunikasi. Karena pada hakekatnya kelompok terdiri dari dua atau lebih

individu yang saling berhubungan, saling bergantung dan berinteraksi antara satu dengan

lainnya, untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Interaksi tersebut

dilakukan melalui kegiatan komunikasi.

Terdapat perbedaan antara dinamika-dinamika kelompok dengan komunikasi

kelompok. Kalau dinamika-dinamika kelompok merupakan studi tentang berbagai aspek

tingkah laku kelompok, sedangkan komunikasi kelompok hanya memusatkan

perhatiannya pada proses komunikasi dalam kelompok-kelompok kecil (Goldberg,

1985:7).

Komunikasi kelompok kecil (small group communication) merupakan

komunikasi yang berlangsung secara tatap muka karena komunikator dan komunikan

berada dalam situasi saling berhadapan dan saling melihat. Para anggotanya saling

berinteraksi satu sama lain dan lebih intens.

Menurut Shaw (1976) ada enam cara untuk mengidentifikasikan suatu

komunikasi kelompok kecil yaitu suatu kumpulan individu yang dapat mempengaruhi

satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk

beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain, dan berkomunikasi tatap

muka. Jika salah satu dari komponen itu hilang, individu yang terlibat tidaklah

berkomunikasi dalam kelompok kecil (Muhammad, 2000:182).

Ada empat elemen kelompok yang dikemukakan oleh Adler dan Rodman yaitu

interaksi, waktu, ukuran, dan tujuan. Interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan

faktor yang penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat perbedaan antara

kelompok dengan istilah yang disebut dengan coact. Coact adalah sekumpulan orang

yang secara serentak terikat dalam aktivitas yang sama, namun tanpa komunikasi satu

sama lain. Sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka waktu yang singkat, tidak

Universitas Sumatera Utara


dapat digolongkan sebagai kelompok, karena kelompok mempersyaratkan interaksi

dalam jangka waktu yang panjang sehingga akan dimiliki karakteristik atau ciri yang

tidak dipunyai oleh kumpulan yang bersifat sementara. Ukuran atau jumlah partisipan

dalam komunikasi kelompok tidak ada yang pasti. Tujuan yang mengandung pengertian

bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi

anggota kelompok tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuannya (Bungin,

2006:266-267).

Menurut Arni Muhammad (2000:182-184), tujuan komunikasi kelompok kecil

mungkin dapat digunakan untuk menyelesaikan bermacam-macam tugas atau untuk

memecahkan masalah. Akan tetapi, dari semua tujuan itu sebenarnya dapat

dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu untuk tujuan personal dan tujuan yang

berhubungan dengan tugas atau pekerjaan. Alasan seseorang masuk dalam kelompok

dapat dibedakan atas empat tujuan utama yaitu untuk hubungan sosial, penyaluran, untuk

terapi, dan untuk belajar. Tujuan tersebut merupakan tujuan personal. Sedangkan tujuan

yang berhubungan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan yaitu untuk membuat

keputusan dan pemecahan suatu masalah.

2.1.2 Tipe Komunikasi Kelompok Kecil

Ronald B. Adler dan George Rodman dalam bukunya Understanding Human

Communication, membagi kelompok kecil dalam tiga tipe, yaitu:

a. Kelompok Belajar (Learning Group)

Kata ‘belajar’ atau learning, tidak tertuju pada pengertian pendidikan sekolah

saja, namun juga termasuk belajar dalam kelompok (learning group), seperti kelompok

keterampilan, kelompok belajar musik, kelompok bela diri, kelompok diskusi dan

sebagainya. Tujuannya adalah meningkatkan informasi, pengetahuan, dan kemampuan

diri para anggotanya.

Universitas Sumatera Utara


b. Kelompok Petumbuhan (Growth Group)

Kelompok pertumbuhan memusatkan perhatiannya kepada permasalahan pribadi

yang dihadapi para anggotanya. Wujud nyatanya adalah kelompok bimbingan

perkawinan, kelompok bimbingan psikologi, kelompok terapi, serta kelompok yang

memusatkan aktivitasnya pada pertumbuhan keyakinan diri, yang biasa disebut dengan

consciousness-raising group.

c. Kelompok Pemecahan Masalah (Problem Solving Group)

Kelompok ini bertujuan untuk membantu anggota kelompok lainnya

memecahkan masalahnya. Kelompok akan memberi akses informasi kepada individu

sehubungan dengan masalah yang dialaminya, berupa pengalaman anggota kelompok

lain ketika menghadapi masalah yang sama, atau informasi lain yang dapat membantu

individu memecahkan masalahnya. Kelompok juga memberi kekuatan emosional kepada

individu dalam membuat keputusan dan melakukan sebuah tindakan untuk mengatasi

masalah individu (Bungin, 2006:270-271).

Tipe komunikasi kelompok kecil dinilai oleh banyak kalangan sebagai

pengembangan dari komunikasi antarpribadi. Trenholm dan Jensen (1995:26)

mengatakan bahwa komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka,

biasanya bersifat spontan dan informal. Peserta satu sama lain menerima umpan balik

secara maksimal. Peserta komunikasi berperan secara fleksibel sebagai pengirim dan

penerima. Setelah orang ketiga bergabung di dalam interaksi tersebut, berakhirlah

komunikasi antarpribadi, dan berubah menjadi komunikasi kelompok kecil (Wiryanto,

2005:45).

Tidak ada batasan yang jelas tentang berapa jumlah orang yang berada dalam satu

kelompok kecil, namun pada umumnya kelompok kecil terdiri dari 2-15 orang. Jumlah

yang lebih kecil dari 2 orang bukanlah kelompok, begitu juga jumlah anggota kelompok

yang melebihi 15 orang, akan menyulitkan setiap anggota berinteraksi dengan anggota

Universitas Sumatera Utara


kelompok lainnya secara intensif dan face to face. Bahkan ada juga yang menyatakan

komunikasi kelompok kecil antara 20-30 orang, tetapi tidak lebih dari 50 orang.

Sumber
Penerima

Sumber Sumber
Penerima Penerima

Sumber Sumber
Penerima Penerima

Sumber: Adaptasi dari DeVito, 1997:344

Gambar 2.1

Model Komunikasi Kelompok Kecil

Pola komunikasi seperti di atas, menurut beberapa penelitian merupakan pola

komunikasi dalam kelompok yang paling efektif yaitu pola semua saluran. Karena pola

semua saluran tidak terpusat pada satu orang pemimpin, dan paling cepat memberikan

kepuasan kepada anggota-anggotanya, dan yang paling cepat menyelesaikan tugas bila

tugas itu berkenaan dengan masalah yang sukar (Rakhmat, 2005:163).

Anggota-anggota kelompok kecil dapat berkomunikasi dengan mudah. Sumber

dan penerima dihubungkan oleh beberapa tujuan yang sama. Kelompok kecil ini

mempunyai alasan yang sama bagi anggotanya untuk berinteraksi. Mereka mempunyai

Universitas Sumatera Utara


derajat organisasi tertentu yang mengatur kelompoknya. Komunikasi kelompok kecil ini

menitikberatkan pada tingkah laku dalam diskusi kelompok.

Menurut Dean C. Barnlund dan Franklyn S. Haiman, bahwa komunikasi

antarpribadi menjadi komunikasi kelompok dapat terjadi dengan memusatkan pada

kesadaran akan kehadiran orang lain dan pemahaman tentang proses komunikasi. Tipe

komunikasi kelompok kecil ini melibatkan dua atau lebih individu secara fisik

berdekatan. Pelibatan itu juga dalam hal menyampaikan serta menjawab pesan-pesan

secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi antarpribadi dan kelompok memiliki

perbedaan tipis, bila dilihat dari kadar spontanitas, struktur, kesadaran akan sasaran

kelompok, ukuran, relativitas sifat permanen kelompok dan identitas diri (Goldberg,

1985:6-9).

2.1.3 Karakteristik Komunikasi Kelompok Kecil

Karakteristik komunikasi dalam kelompok ditentukan melalui dua hal, yaitu

norma dan peran. Norma adalah kesepakatan dan perjanjian tentang bagaimana orang-

orang dalam suatu kelompok berhubungan dan berperilaku satu dengan lainnya.

Norma oleh para sosiolog disebut juga dengan ‘hukum’ (law) ataupun ‘aturan’

(rule), yaitu perilaku-perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan

dalam suatu kelompok.

Ada tiga kategori norma kelompok, yaitu norma sosial, prosedural, dan tugas.

Norma sosial mengatur hubungan di antara para anggota kelompok. Sedangkan norma

prosedural menguraikan dengan lebih rinci bagaimana kelompok harus beroperasi,

seperti bagaimana suatu kelompok harus membuat keputusan, apakah melalui suara

mayoritas ataukah dilakukan pembicaraan sampai tercapai kesepakatan. Dari norma

tugas memusatkan perhatian pada bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan (Bungin,

Universitas Sumatera Utara


2006: 267). Norma selalu ada dalam kelompok, bagaimana pun kecilnya suatu

kelompok.

Norma di dalam kelompok mengidentifikasikan anggota kelompok itu

berperilaku, seperti benar atau salah, baik atau buruk, cocok atau tidak cocok, serta

diizinkan atau tidak diizinkan. Tiap kelompok menetapkan sistem nilai dan konsep

perilaku normatif mereka sendiri. Pengembangan norma dalam suatu kelompok

digunakan untuk mengatur perilaku anggota kelompok.

Sikap dan tanggapan anggota kelompok terhadap norma kelompok dapat

bermacam-macam. Ada anggota yang tunduk pada norma kelompok dengan terpaksa

karena ia termasuk dalam kelompok yang bersangkutan, tetapi ada pula yang tunduk

pada norma kelompok dengan penuh pengertian dan penuh kesadaran, sehingga norma

kelompok dijadikan normanya sendiri.

Anggota yang terakhirlah yang disebut individu menginternalisasi norma

kelompok, yaitu norma kelompok dijadikan norma pribadinya, maka individu yang

bersangkutan pasti tidak atau jarang melanggar norma-norma yang telah digariskan oleh

kelompok. Karena sikap dan perilakunya telah dikendalikan oleh dirinya sendiri.

Sebaliknya, apabila seorang individu tunduk pada norma kelompok karena terpaksa,

maka individu bersangkutan pasti akan sering melanggar norma kelompok karena belum

menjadi normanya sendiri. (Walgito, 2007:55-56).

Napier dan Gershenfeld mengemukakan bahwa para anggota kelompok akan

menerima norma kelompok, apabila:

1. Anggota kelompok menginginkan keanggotaan yang kontinyu dalam

kelompok.

2. Pentingnya keanggotaan kelompok.

Universitas Sumatera Utara


3. Kelompok bersifat kohesif, yakni anggotanya berhubungan sangat erat,

terikat satu sama lain, dan kelompok dapat memenuhi kebutuhan anggota-

anggotanya.

4. Keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok semakin penting.

5. Pelanggaran kelompok dihukum dengan reaksi negatif dari kelompok

(DeVito, 1997:304).

Arni Muhammad (2000:193-194) menyebutkan bahwa individu biasanya

mematuhi norma-norma kelompok yang mempengaruhi mereka. Ada variabel-variabel

kunci yang mempengaruhi tingkat kepatuhan dalam norma kelompok, di antaranya yaitu:

1. Sifat kepribadian yang mungkin mempengaruhi anggota kelompok untuk

patuh, yakni tingkat sifat yang suka menerima, tingkat kepercayaan akan

diri menerima, sifat otoriter, intelegensi, kebutuhan untuk mencapai hasil,

dan kebutuhan akan persetujuan sosial.

2. Variabel dalam kelompok yang mempengaruhi kepatuhan yakni

kekompakan, daya tarik kelompok, pentingnya kelompok, dan jumlah

interaksi.

3. Tekanan luar yang mempengaruhi kepatuhan yakni, besarnya kelompok,

struktur kelompok, tingkat kesulitan masalah atau tugas yang dihadapi,

kebaruan situasi, tekanan untuk konsensus, tingkatan krisis atau keadaan

darurat, dan tingkat situasi yang meragukan.

Norma kelompok (group norms) merupakan norma yang relatif tidak tetap.

Artinya, norma kelompok dapat berubah sesuai dengan keadaan yang dihadapai oleh

kelompok, sehingga norma kelompok yang dahulu berlaku, kini dapat tidak berlaku lagi.

Terbentuknya struktur kelompok, membuat dalam suatu kelompok akan terjadi

pembagian tugas oleh anggota kelompok, masing-masing anggota akan mempunyai

Universitas Sumatera Utara


status dan peran sendiri-sendiri. Semuanya tentu mengacu pada tujuan yang akan dicapai

oleh kelompok.

Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia

menjalankan suatu peran. Peran dibagi menjadi tiga, yaitu peran aktif, peran partisipatif,

dan peran pasif. Peran aktif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok karena

kedudukannya di dalam kelompok sebagai aktivis kelompok, seperti pengurus. Peran

partisipatif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok pada umumnya kepada

kelompoknya, partisipasi anggota macam ini akan memberi sumbangan yang sangat

berguna bagi kelompok itu sendiri. Sedangkan peran pasif adalah sumbangan anggota

kelompok yang bersifat pasif, di mana anggota kelompok menahan diri agar memberi

kesempatan kepada fungsi-fungsi lain dalam kelompok dapat berjalan dengan baik atau

agar tidak terjadi pertentangan dalam kelompok karena adanya peran-peran yang

kontradiktif (Bungin, 2006:267-268).

Seseorang tidak hanya terlibat dalam satu kelompok, tetapi juga terlibat dalam

kelompok lain. Dengan demikian, seseorang dapat mempunyai status dan peran yang

berbeda satu dan yang lainnya. Seseorang dapat menjadi seorang pemimpin di suatu

kelompok, tetapi menjadi anggota biasa pada kelompok lain. Karena statusnya berbeda,

maka perannya pun berbeda. Karena status dan peran yang bermacam-macam, maka

seseorang dapat mengalami konflik peran. Konflik peran akan terjadi apabila seseorang

tidak dapat membedakan status dan perannya pada suatu waktu (Walgito, 2007:54).

Ada beberapa karakteristik lain dari komunikasi kelompok kecil yang

membuatnya unik dari konteks komunikasi lainnya yaitu:

1. Mempermudah pertemuan ramah tamah. Bila orang datang bersama-sama,

mereka cenderung untuk berlomba. Perlombaan itu mempunyai tipe, tidak

ada yang menang atau kalah, tetapi mempunyai konotasi yang sama.

Universitas Sumatera Utara


Perlombaan ini hanya menghendaki energi atau dorongan dari orang

sekelilingnya. Mempermudah pertemuan ini dapat dilakukan untuk

menyalurkan energi yang mungkin tidak dapat disalurkan bila orang itu

sendiri.

2. Personaliti kelompok, tiap personaliti anggota dapat dan dipengaruhi oleh

personaliti anggota lain dan sebaliknya, dapat juga menentukan personaliti

kelompok. Kehadiran orang lain dapat mempengaruhi tiap-tiap individu

sehingga mengubah personaliti individu menjadi personaliti kelompok.

3. Kekompakan yaitu daya tarikkan anggota kelompok satu sama lain dan

keinginan mereka untuk bersatu. Kekompakan didasarkan pada kebutuhan

tiap-tiap individu tetap dalam kelompok dan kemampuan kelompok

memberikan tiap individu dengan beberapa macam keuntungan atau hadiah

yang menjadikan anggota kelompok memberikan waktu dan emosinya bagi

kelompok.

4. Komitmen terhadap tugas. Aktivitas individu lainnya dalam kelompok yang

dekat dengan komitmen adalah motivasi. Karena dengan adanya motivasi

setiap individu, maka hal itulah yang menjadi alasannya masuk dalam

kelompok.

5. Besarnya kelompok. Besarnya kelompok penting bagi perkembangan

kelompok. Kelompok janganlah terlalu besar dan terlalu kecil. Jika suatu

kelompok begitu kecil, kekecilan itu mungkin membatasi ide-ide dan

informasi yang timbul. Jika kelompok terlalu besar, kebesaran itu mungkin

membatasi informasi tiap orang untuk didiskusikan. Bastrom (1970)

menghitung kemungkinan interaksi yang terjadi dalam kelompok kecil bila

anggotanya berkisar antara 2-8 orang.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1

Jumlah Kemungkinan Interaksi yang Terjadi

Menurut Jumlah Anggota Kelompok

Jumlah Anggota Kelompok Jumlah Kemungkinan Interaksi

yang Terjadi

2 2

3 9

4 28

5 75

6 186

7 441

8 1.056

Sumber: Adaptasi dari Muhammad, 2000:187

6. Saling tergantung satu sama lain atau keterikatan. Keterikatan adalah satu

bentuk kenyataan dalam semua karakteristik kelompok. Tanpa adanya

keterikatan tidak akan ada kelompok. Keterikatan dibangun berdasarkan

keinginan tiap anggota kelompok untuk meletakkan tujuan individualnya di

bawah tujuan kelompok.

Pergaulan dalam kelompok dapat mempengaruhi dan menghasilkan kebiasaan-

kebiasaan yang melembaga bagi setiap anggota kelompok, kebiasaan itu dapat

menciptakan pola perilaku yang dilakukan terus-menerus. Perilaku yang sudah terpola-

pola itu akan membentuk sikap setiap anggota kelompok. Kebiasaan yang melembaga,

perilaku, dan sikap tersebut berjalan secara simultan di antara individu dan kelompok.

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Fungsi Komunikasi Kelompok Kecil

Keberadaan suatu kelompok, baik kelompok kecil ataupun kelompok besar,

dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya.

Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi,

pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan, serta fungsi terapi. Semua fungsi

tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, kelompok, dan para anggota

kelompok itu sendiri. Fungsi-fungsi tersebut antara lain :

a. Fungsi pertama dalam kelompok adalah hubungan sosial, dalam arti

bagaimana suatu kelompok mampu memelihara dan memantapkan hubungan

sosial di antara para anggotanya, seperti bagaimana suatu kelompok secara

rutin memberikan kesempatanan kepada anggotanya untuk melakukan

aktivitas yang informal, santai, dan menghibur.

b. Pendidikan adalah fungsi kedua dari kelompok, dalam arti bagaimana sebuah

kelompok secara formal maupun informal bekerja untuk mencapai dan

mempertukarkan pengetahuan. Fungsi pendidikan tergantung pada tiga faktor,

yaitu jumlah informasi baru yang dikontribusikan, jumlah partisipan dalam

kelompok, serta frekuensi interaksi di antara para anggota kelompok.

c. Fungsi persuasi. Seorang anggota kelompok berupaya mempersuasi anggota

lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang yang

terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa resiko untuk

tidak diterima oleh para anggota lainnya, jika usaha-usaha persuasifnya

terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok, dan

justru dapat menimbulkan konflik dalam kelompok.

d. Fungsi problem solving. Kelompok juga dicerminkan dengan kegiatan-

kegiatannya untuk memecahkan persoalan dan membuat keputusan-

keputusan. Pemecahan masalah (problem solving) berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara


penemuan alternatif atau solusi yang tidak diketahui sebelumnya, sedangkan

pembuatan keputusan (decision making) berhubungan dengan pemilihan

antara dua atau lebih solusi.

e. Fungsi terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok

lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari kelompok

terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan personalnya.

Tentunya, individu tersebut harus berinteraksi dengan anggota kelompok

lainnya guna mendapatkan manfaat, namun usaha utamanya adalah

membantu dirinya sendiri, bukan membantu kelompok mencapai konsensus.

Contohnya adalah kelompok konsultasi perkawiman, kelompok penderita

narkoba, dan sebagainya (Bungin, 2006:268-269).

2.1.5 Tahapan-tahapan Masuk Kelompok

Apabila seseorang akan masuk dalam suatu kelompok, umumnya ia tidak serta-

merta masuk dalam kelompok yang bersangkutan, tetapi ada tahapan-tahapan tertentu.

Menurut Johnson dan Johnson (2000), ada beberapa tahapan di mana orang akan masuk

dalam kelompok, yaitu sebagai berikut:

a. Prospective Member (Calon Anggota)

Dalam tahapan ini, baik calon anggota maupun kelompok yang akan dimasuki,

masing-masing mengadakan evaluasi atau penilaian. Calon anggota akan melihat hal-hal

yang menguntungkan, selain yang merugikan di kelompok bersangkutan.

Demikian pula, kelompok yang akan dimasuki memberikan informasi-informasi

yang sekiranya dibutuhkan oleh calon anggota. Kemudian, kelompok pun mengevaluasi

calon anggota tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh kelompok.

Universitas Sumatera Utara


b. New Member

Dalam tahapan ini, anggota baru akan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang

dituntut oleh kelompok. Ia memperoleh status dan peran dalam kelompok. Pada

umumnya, anggota baru dalam kelompok belum mendapatkan status dan peran yang

cukup penting. Anggota baru perlu memenuhi tuntutan-tuntutan kelompok dan

mengikut i norma-norma dan ketentuan yang ada dalam kelompok.

c. Full Member

Dalam tahapan ini, anggota sudah cukup mapan dalam kelompok, sehingga

memungkinkannya memperoleh status dan peran yang berbeda dengan saat

berkedudukan sebagai anggota baru. Kelompok juga sudah dapat menerima anggota

dengan baik, sehingga interaksinya lebih intens.

d. Marginal Member

Dalam perkembangan yang ada, ada kemungkinan anggota mempunyai keraguan

terhadap kelompok yang bersangkutan. Anggota mungkin sudah tidak cocok dengan

norma-norma yang ada dalam kelompok, sehingga ia tidak sepenuh hati ada dalam

kelompok yang bersangkutan.

e. Ex – member

Dalam tahapan ini, anggota yang bersangkutan sudah tidak terikat pada kelompok

semula dan ada kemungkinan ia pindah ke kelompok lain. Jika dalam suatu kelompok,

tujuan seseorang tidak dapat dicapai, maka ia pindah ke kelompok lain yang mungkin

lebih dirasa dapat mencapai tujuannya (Walgito, 2007:15-17).

Alasan atau motivasi seseorang masuk dalam kelompok dapat bervariasi, antara

lain yaitu karena ingin mencapai tujuan yang secara individu tidak dapat atau sulit

dicapai; kelompok dapat memberikan kebutuhan, baik kebutuhan fisiologis maupun

psikologis; kelompok dapat mendorong pengembangan konsep diri dan mengembangkan

harga diri seseorang; kelompok dapat memberikan pengetahuan dan informasi; serta

Universitas Sumatera Utara


dapat memberikan keuntungan ekonomis. Oleh karena itu, dalam masyarakat kita dapat

menjumpai berbagai macam kelompok yang berbeda satu dengan lainnya. Dengan tujuan

yang berbeda, mereka masuk dalam kelompok yang berbeda atau dengan minat yang

berbeda, mereka masuk dalam kelompok yang berbeda pula.

2.1.6 Kelompok Mentoring sebagai Kelompok Belajar Agama Islam

Kelompok mentoring Agama Islam termasuk kelompok belajar, dalam hal ini

kelompok yang mempelajari nilai-nilai ajaran agama Islam. Tujuan dari kelompok

belajar adalah meningkatkan informasi, pengetahuan, dan kemampuan diri para

anggotanya.

Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar

agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal

dan mengahayati sesuatu yang sakral. Lewat pengalaman beragama (religious

experience), yaitu penghayatan menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan

kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi sang Ilahi (Ridwan, 2006:1).

Agama Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh

alam). dan Islam juga ya’la wa la yu’la alaihi (tinggi dan tak ada yang melebihi).

Sebagaimana dalam firman Allah SWT, “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi

Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali-Imran:19). Sehingga dalam penyampaiannya harus

benar, tidak boleh ada kesalahan. Karena ilmu agama yang dipresentasikan atau

diajarkan itu untuk diikuti oleh yang lain.

Proses pembelajaran tersebut, seorang pementor, yang dalam hal ini bertindak

sebagai komunikator, menyampaikan pesan atau materi yang berisikan nilai-nilai yang

terkandung dalam ajaran Islam kepada para peserta mentoring. Sehingga akan

menimbulkan hasil belajar terhadap peserta mentoringnya yaitu para pelajar SMA.

Universitas Sumatera Utara


Materi yang akan disampaikan dalam mengajarkan ilmu agama tidak bisa

diberlakukan layaknya seperti mengajarkan ilmu-ilmu duniawi. Oleh karena itu, materi

yang akan disampaikan hendaklah telah dikuasai sebelumnya oleh pementor dan tidak

hanya bermodalkan pada metode ‘text book’ alias tekstual dan tanpa persiapan, sehingga

materi yang disampaikan asal-asalan, dangkal, dan tidak menarik. Karena apa yang

disampaikan haruslah sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dengan penjelasan yang

bisa dimengerti dan tentunya bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekedar ra’yu

(pendapat) dari pementor sendiri.

Sehingga menjadi pementor bukan hanya sekedar basa-basi alias gaya-gayaan,

tetapi menjadi seorang pementor hendaknya senantiasa mengintropeksi dan memperbaiki

diri serta terus menperdalam dan mengamalkan ajaran yang disampaikannya dalam

kehidupan mereka sendiri. Selain itu, sebelum materi diberikan sebaiknya pementor

melakukan analisis terhadap peserta (mad’u). Tujuannya untuk mengetahui keadaan

mad’u, baik secara psikologs, demografis, dan sosiologis sebelum penyampaian materi.

Analisis ini di antaranya melakukan prediksi terhadap hal apa yang didengar, rasakan,

dan perhatikan; mampu menyampaikan materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta,

karena mereka akan menilai materi yang akan diterima berdasarkan apa yang telah

mereka ketahui dan yakini sebelumnya; dan memperlakukan peserta sebagai pusat

perhatian, untuk mengetahui pandangan peserta terhadap tema pembicaraan, pembicara,

dan lingkungan.

Dalam pelaksanaan program Mentoring Agama Islam, perlu adanya beberapa

fase/tahapan petunjuk yang harus dilaksanakan oleh pementor/tutor, yaitu:

1. Persiapan

 Usahakan terlebih dahulu pementor/tutor mempraktekkan materi yang akan

disampaikan.

 Buat alokasi waktu (disesuaikan kebutuhan/kondisi)

Universitas Sumatera Utara


 Persiapan ruhiah mutlak dilakukan (Muroja’ah dan Do’a)

 Diharapkan tutor dapat mengembangkan materi secara kreatif (tidak hanya

berpatokan pada silabus/materi).

2. Pelaksanaan

 Memberitahukan tentang tujuan bahan tutorial.

 Memberitahukan tentang pentingnya bahan tutorial yang akan disampaikan.

 Tidak menuliskan semua hal pada papan tulis, artinya hanya kata-kata inti

atau kata-kata emas saja.

 Penjelasan yang diberikan harus benar-benar relevan, artinya berhubungan

dengan masalahnya saja.

 Menghubungkan hal yang akan diterangkan dengan hal-hal yang telah

diketahui oleh peserta.

 Menyajikan bahan , diusahakan semenarik mungkin.

 Aktif dalam memperkenalkan diri (agar tidak menjadi orang asing) di tengah

mereka.

3. Evaluasi (setelah penyampaian materi)

 Menilai Peserta

 Menilai Proses

 Membuat perencanaan untuk pertemuan berikutnya.

 Kritik dan saran peserta.

 Penilaian umum oleh tutor.

 Kegiatan cepat-cepat untuk menilai penyerapan peserta terhadap materi

mentoring.

4. Penyajian Bahan

 Variasi nada suara, alat dan media, gerak, posisi, berdiri dan duduk.

 Menyelingi uraian yang serius dengan beberapa kisah (intermezo).

Universitas Sumatera Utara


 Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengalami sesuatu yang lain atau

sedikit menarik nafas.

 Variasi sikap yang wajar meliputi variasi pandangan, tangan, langkah,

senyum, dan pakaian.

 Variasi kegiatan bila sekiranya peserta nampak lelah/bosan dengan

mengadakan ice breaking atau games untuk menyegarkan suasana mentoring.

5. Yang perlu diperhatikan dalam mentoring

 Penguatan materi.

 Cinta kepada apa yang diajarkan.

 Mengetahui latar belakang siswa.

 Menyajikan pengetahuan aktual dan aktif mengikuti perkembangan tren

remaja.

 Berani memberikan pujian pada siswa.

 Memberikan semangat pada siswa.

 Sikap yang harus dikembangkan dalam mentoring: tidak menggurui, tidak

menjadi ahli (serba tahu), tidak berdebat, tidak diskriminatif, jangan

membaca silabus pada saat dekat ketika akan memberikan materi tersebut,

gunakan kata secara jelas, sederhana, dan jangan sering mengulang kata-kata

yang sama, hindari kata-kata yang tidak baik/tidak bermanfaat.

6. Perhatian bagi Tutor

 Hindari kebiasaan-kebiasaan reflek yang tidak disadari saat berbicara seperti

garuk-garuk, memainkan ballpoint, memainkan jari, memainkan ujung jilbab.

 Usahakan ketika berbicara dapat melihat semua peserta, sehingga dapat

melihat respon/perhatian mereka (diharapkan jangan sering menunduk), hal

ini dilakukan agar peserta merasa diperhatikan dan mereka akan

memperhatikan tutor (Rusmiyati, 2003:ii-v).

Universitas Sumatera Utara


Hasil belajar tersebut diharapkan tidak hanya terjadi pada wilayah kognitif

peserta mentoring atau hanya pada pengetahuan mereka saja, tetapi juga diharapkan

menimbulkan hasil pada wilayah afektif dan konatif. Yang pada akhirnya berdampak

agar pengetahuan yang diterima oleh peserta mentoring tentang nilai-nilai ajaran Islam,

dapat diamalkan dalam perilaku atau tindakan sehari-hari. Mereka bertindak sesuai

perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sehingga dapat membentuk pribadi

yang benar aqidahnya, ibadahnya, dan berakhlak yang baik dalam pergaulan masyarakat

serta merujuk kepada Al-Quran dan Al-Hadist sebagai pedoman hidupnya.

Islam yang tidak hanya bentuk normatif atau preskriptif-preskriptif, norma-

norma, dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk suci, tetapi juga Islam

aktual yang tercermin dalam semua bentuk gerakan, praktik dan gagasan pada

kenyataannya eksis dalam masyarakat muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda-

beda.

Kelompok Mentoring Agama Islam ini sangat membantu dalam dakwah Islam

yaitu penyebarluasan ajaran Islam. Karena memang pada kenyataannya, para pelajar

hanya diberi sedikit waktu dalam belajar agama di kelas yaitu hanya dua jam setiap

minggu. Padahal ilmu agama itu bukan hanya bekal ilmu di dunia, tetapi juga bekal ilmu

di akhirat. Sedangkan untuk ilmu dunia, pihak sekolah sangat memberi waktu lama,

seperti Matematika, bisa diberi waktu tiga kali seminggu.

2.2 Teori Pertukaran (Exchange Theory)

Agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan

manusia dengan Tuhan, hubungan antarmanusia, dan hubungan manusia dengan

lingkungannya.

Agama di samping sebagai sebuah keyakinan (belief), juga merupakan gejala

sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku

Universitas Sumatera Utara


yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang-kadang

perilaku tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai

agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial (Ridwan, 2006:127).

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial

keagamaan, seperti perubahan dan perilaku sosial ialah teori pertukaran. Teori ini juga

termasuk dalam pembahasan teori komunikasi kelompok.

Aktivitas manusia, seperti perubahan dan perilaku sosial, menurut perspektif teori

pertukaran, tiada lain ialah melakukan pertukaran yang saling menguntungkan satu sama

lain. Perilaku yang ditunjukkan oleh seorang individu dalam sebuah komunitas akan

berlangsung apabila ia merasa adanya penghargaan (reward) dari anggota komunitas.

Bila tidak mendapat pernghargaan, interaksi antaranggota komunitas tidak akan

berlangsung.

Menurut perspektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi sosial yang

saling menguntungkan, baik keuntungan materi maupun nonmateri. Turner (1978:203)

mengemukakan bahwa manusia berusaha memperoleh keuntungan dari transaksi sosial;

manusia memperhitungkan untung rugi dalam transaksi sosial; manusia menyadari

adanya sejumlah alternatif yang mendorong mereka memperhitungkan untung rugi;

manusia bersaing untuk memperoleh keuntungan; pertukaran yang berorientasi

keuntungan berlangsung dalam setiap konteks sosial; dan individu mempertukarkan

komoditas nonmaterial seperti perasaan dan jasa (Ridwan, 2006:133).

Homans’ (1950, 1956, 1961) ideas of interpersonal rewards and cost are quite

similar to Thibaut and Kelley’s. Based upon their interaction group, members exchange

affect, rewards, and reinforcements. Abasic operant-oriented hypothesis of Homans’

theory is that the greater the exchange of rewadrs, the greater the repetition of the

activity which led to them. In like manner, the greater the costs, the greater the

Universitas Sumatera Utara


instability of the relationship and the greater the likehood that interaction will be

terminated (Altman, 1973:64).

Teori pertukaran menjelaskan bahwa keberadaan suatu komunitas atau kelompok

dalam berhubungan dengan komunitas lain atau hubungan antaranggota dalam suatu

komunitas akan berlangsung sampai pada suatu titik di mana satu sama lain merasa puas.

Bila anggota komunitas merasa tidak puas satu sama lain, akan terjadi perubahan. Secara

teoretis perubahan ini akan berlangsung sampai suatu titik di mana terjadi keseimbangan

satu sama lain (equilibrium), sehingga anggota komunitas atau kelompok memiliki

kepuasan baru. Hal ini akan berlangsung terus-menerus dalam perkembangan sebuah

masyarakat.

Wood (1982) dalam Liliweri (2001:55-57) mengidentifikasikan 12 karakteristik

pendekatan pertukaran, yakni sebagai berikut:

1. Prinsp Individual

Komunikasi memasuki tahap individual, pada tahap ini setiap individu mulai

memprakarsai hubungan antarpribadi dengan orang lain. Dia selalu mempunyai harapan

agar kualitas hubungan antarpribadi semakin meningkat. Apabila kualitas memburuk,

hubungan antarpribadi dihentikan, tetapi jika kualitas hubungannya hangat, maka ada

kecenderungan untuk mempertahankan hubungan tersebut.

2. Komunikasi Coba-coba

Komunikasi memasuki tahap coba-coba, setiap individu melakukan uji coba

terhadap tiap hubungan antarpribadi. Seorang individu akan mencari tahu dengan

melakukan uji coba terhadap relasinya, apakah relasi tersebut benar-benar adalah orang

yang ingin menjaga hubungan tersebut atau justru hanya hubungan biasa. Apabila

individu meragukan informasi itu, dia memutuskan agar hubungan itu dihentikan.

Universitas Sumatera Utara


3. Komunikasi Eksplorasi

Komunikator terus melakukan penjajagan dengan informasi yang bersumber dari

pihak lain, jenis informasi manakah yang lebih menguntungkan dan yang merugikan. Dia

tidak langsung memutuskan hubungan antarpribadi, tetapi meneliti ulang informasi yang

disampaikan komunikan.

4. Komunikasi Euphoria

Komunikasi ini dilakukan oleh individu-individu yang telah meleburkan

kepentingan yang berbeda dan membentuk satu hubungan baru atas satu dasar atau

tujuan yang sama.

5. Komunikasi yang Memperbaiki

Komunikasi berfungsi memperbaiki dan mengevaluasi kembali hubungan

antarpribadi, keputusan selalu berbunyi: kita terus berhubungan antarpribadi!

6. Komunikasi Pertalian

Dua pihak menetapkan bersama waktu dan tempat kesinambungan komunikasi.

7. Komunikasi sebagai Pengemudi

Komunikasi memasuki tahap keluwesan kontrol atas kebiasan-kebiasaan

hubungan antarpribadi. Daya kontrol itu demikian baik, sehingga menghasilkan kaidah

peran bersama.

8. Komunikasi yang Membedakan

Komunikasi memasuki suasana yang orang mulai berusaha menekankan kembali

karakteristik individu. Individu mulai menegaskan kembali pola-pola budaya yang

berbeda, kemudian memilih meneruskan relasi dengan cara lain.

9. Komunikasi yang Disintegratif

Komunikasi memasuki tahap menemukan perbedaan antarpribadi, sehingga bakal

menimbulkan disintegrasi. Komunikasi hanya berlangsung kalau menyangkut tema-tema

tertentu, jarak sosial antarpribadi semakin besar.

Universitas Sumatera Utara


10. Komunikasi yang Macet

Komunikasi memasuki tahap mencari peluang dengan menciptakan masalah dan

waktu atau kesempatan “yang cocok” agar hubungan antarpribadi dihentikan.

11. Pengakhiran Komunikasi

Hubungan antarpribadi memasuki tahap perbandingan tentang perhentian

interaksi antarpribadi. Artinya para individu yang sebelumnya terlibat hubungan,

masing-masing ingin menghentikan hubungan tersebut.

12. Individualis

Komunikasi memasuki tahap akhir, suasana hubungan antarpribadi tidak pasti,

masing-masing pihak menyendiri dan tidak tahu dari mana komunikasi harus dimulai.

Di dalam kelompok Mentoring Agama Islam telah terjadi proses pertukaran yaitu

para anggota kelompok mengharapkan imbalan yang mungkin menjadi alasan mereka

untuk ikut dalam kelompok tersebut dan salah satunya mungkin mengharapkan

penambahan informasi/pengetahuan mengenai ajaran agama Islam. Sehingga mereka

dapat lebih memperdalam kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT, dengan mengamalkan

ilmu yang sudah mereka terima dalam kehidupan nyata.

Sementara imbalan yang diterima oleh pementor, di sini yang bertindak sebagai

komunikator, adalah pahala dari Allah SWT, karena mereka telah melakukan tugasnya

sebagai umat Islam yaitu berdakwah yang merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar

lagi. Karena pada dasarnya manusia dalam melakukan suatu kebaikan tidak dapat lepas

dari keinginannya mendapatkan pahala sebagai bekal penambah timbangan kebaikannya

di akhirat nanti.

Mereka telah mensukseskan dakwah Islam dengan menyebarkan ilmu agama

yang telah diperolehnya kepada orang lain, istilahnya mengamalkan ilmu tersebut.

Sedangkan pengeluaran dari pementor dan peserta mentoring, dimungkinkan mereka

harus meluangkan waktu mereka di sela-sela aktivitas mereka yang lain, untuk belajar

Universitas Sumatera Utara


lebih dalam mengenai agama mereka, yakni Islam. Karena setiap langkah mereka itu

bernilai ibadah, selama itu menuju jalan yang diridhai-Nya. Belajar atau menuntut ilmu

termasuk kegiatan yang baik, apalagi menuntut ilmu agama.

Imbalan lain yang didapat kemungkinan adalah para peserta mentoring dan

pementor dapat tetap menjaga hubungan silaturahim antara sesama muslim atau menjaga

ukhuwah islamiyah.

2.3 Teori Taksonomi Bloom

Kata Taksonomi diambil dari bahasa Yunani, yakni “tassein” berarti untuk

mengklasifikasikan dan “nomos” yang berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan

sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi.

Hampir semua – benda bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian - dapat

diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi

(http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi).

Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin S.

Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi

yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga

kawasan menurut jenis kemampuan yang tercantum di dalamnya yaitu kawasan kognitif,

kawasan afektif, dan kawasan psikomotor.

Tujuan pendidikan direncanakan untuk dapat dicapai dalam proses belajar

mengajar. Belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan

lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Belajar adalah aktivitas

mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang

menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap

(Winkel, 1999:53). Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pendidikan pada siswa

Universitas Sumatera Utara


yang mengikuti proses belajar mengajar. Tujuan pendidikan bersifat ideal, sedang hasil

belajar bersifat aktual.

Hasil belajar merupakan perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan itu

diupayakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam

memudahkan memahami dan mengukur perubahan perilaku, maka perilaku kejiwaan

manusia dibagi menjadi tiga domain atau ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Setiap proses belajar mempengaruhi perubahan perilaku. Tergantung pada tujuan

pendidikannya, perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berupa domain

kognitif, afektif, atau psikomotorik (Purwanto, 2005:147).

Perubahan itu diperoleh melalu usaha (bukan karena kematangan), menetap

dalam waktu yang relatif lama dan merupakan hasil pengalaman. Perubahan dalam setiap

domain atau ranah, tidaklah tunggal. Setiap domain terdiri dari beberapa jenjang hasil

belajar, dari mulai yang paling rendah dan sederhana sampai dengan yang paling tinggi

dan kompleks. Tingkatan disusun dalam sebuah taksonomi yang mencerminkan tingkat

kompleksitas jenjang.

Menurut Taksonomi Bloom, tahapan seseorang hingga ia memiliki skill terhadap

pengetahuan tertentu dimulai dari tahapan kognitif, di mana pada tahapan ini seseorang

berproses untuk memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu mengaplikasikan ilmu yang

diperolehnya. Lalu, akan naik ke tahap afektif, yaitu seseorang akan tertarik untuk

melakukan adopsi-inovasi. Terakhir, seseorang sampai pada tahap psikomotor, di mana

ia benar-benar mempraktikkan pengetahuan yang baru itu, sehingga ia memiliki skill

yang baik. Inilah tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh seseorang dari tahapan unskill

sampai ke tahapan skill terhadap suatu pengetahuan tertentu yang dikemukakan oleh

Bloom.

Universitas Sumatera Utara


Psikomotor (Psychomotor)

Afektif (Affective)

Kognitif (Cognitive)

Sumber: Adaptasi dari Budiantoro, 2009:3

Gambar 2.2

Tahapan Taksonomi Bloom

2.3.1 Kawasan Kognitif

Hasil belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam kawasan

kognisi seorang siswa. Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan sejak

dari penerimaan stimulus eksternal oleh sensori, penyimpanan, dan pengolahan dalam

otak menjadi informasi hingga pemanggilan kembali informasi atau mengingat ketika

informasi tersebut diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena belajar

melibatkan otak, maka perubahan perilaku akibatnya juga terjadi dalam otak berupa

kemampuan tertentu oleh otak untuk menyelesaikan masalah (Purwanto, 2005:159).

Kawasan atau ranah kognitif meliputi tujuan pendidikan yang berkenaan dengan

ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan pengembangan kemampuan

intelektual dan kemampuan berpikir. Dalam kawasan kognitif ini, tujuan pendidikan

dibagi menjadi enam jenjang, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,

dan evaluasi. Keenam jenjang itu bersifat hierarkial, dimulai dari jenjang yang paling

bawah yaitu pengetahuan sampai ke jenjang yang paling tinggi yaitu evaluasi. Artinya

Universitas Sumatera Utara


jenjang di bawah menjadi prasyarat untuk jenjang di atasnya. Jenjang yang di bawahnya

itu harus dicapai lebih dahulu agar dapat mencapai jenjang yang di atasnya.

Penerapan konsep jenjang taksonomi tujuan tersebut dapat kita jumpai dalam

proses pengembangan tes objektif untuk tujuan-tujuan instruksional yang berada dalam

kawasan kognitif. Dalam proses tersebut perlu membuat kisi-kis (blue print) tes. Salah

satu model kisi-kisi yang biasa digunakan orang mengandung kolom pengetahuan (C 1 ),

pemahaman (C 2 ), penerapan (C 3 ), analisis (C 4 ), sintesis (C 5 ), dan evaluasi (C 6 ).

Gambar taksonomi tujuan pendidikan untuk kawasan kognitif menurut Bloom

adalah sebagai berikut:

Evaluasi

Sintesis Menentu-
kan nilai
(value)
Menyatu- untuk suatu
Analisis kan konsep maksud
secara dengan
Penerapan Menjabar- terintegrasi mengguna-
kan konsep menjadi kan standar
menjadi bentuk tertentu.
bagian- ide/gagasan
Mengguna-
Pemahaman kan konsep bagian atau yang
menjelas- menyelu-
menjadi
bagian- kan Sumber:ruh.
M. Atwi Suparman,
Menterje-
Pengetahuan bagian atau gagasan
mahkan,
menjelas- yang
mengiter-
Mengingat kan menyelu-
pretasikan,
dan gagasan ruh.
atau
menghafal menyim- yang
fakta, ide, pulkan menyelu-
atau konsep ruh.
fenomena. dengan
kata
sendiri.

Sumber: Adaptasi dari Suparman, 2001: 79

Gambar 2.3

Taksonomi Tujuan Pendidikan dalam Kawasan Kognitif

Universitas Sumatera Utara


Berikut ini penjelasan setiap jenjang taksonomi tujuan pendidikan dalam kawasan

kognitif, yakni:

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan meliputi perilaku-perilaku (behaviors) yang menekankan pada

mengingat (remembering). Mengingat terhadap hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya.

Mengingat akan hal-hal yang khusus dan umum, ingatan akan ide, fenomena atau

peristiwa, istilah, fakta, tanggal, nama orang, metode, proses, pola, struktur, rumus,

peraturan, definisi, atau lokasi. Penekanan tujuan pengetahuan lebih banyak pada proses

psikologis atas upaya untuk mengingat. Kemampuan ini merupakan kemampuan awal

meliputi kemampuan mengetahui sekaligus menyampaikan ingatan bila diperlukan. Hasil

dari pengetahuan merupakan tingkatan paling rendah dalam ranah kognitif.

Contoh kata kerjanya seperti meniru, menyebutkan, menghafal, mengulang,

mengenali, menamakan atau memberi label, mendaftar, mengurutkan, menyadari,

menyusun, mengaitkan, dan mereproduksi.

2. Pemahaman (Comprehension)

Pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami materi/bahan.

Proses pemahaman terjadi karena adanya kemampuan menjabarkan suatu materi/bahan

ke materi/bahan lain.

Seseorang yang mampu memahami sesuatu antara lain dapat menjelaskan narasi

(pernyataan kosa kata) ke dalam angka, dapat menafsirkan sesuatu melalui pernyataan

dengan kalimat sendiri atau dengan rangkuman. Pemahaman juga dapat ditunjukkan

dengan kemampuan memperkirakan kecenderungan, kemampuan meramalkan akibat-

akibat dari berbagai penyebab suatu gejala. Hasil belajar dari pemahaman lebih maju dari

ingatan sederhana, hafalan, atau pengetahuan tingkat rendah.

Di antara taksonomi kawasan kognitif, jenjang pemahaman paling banyak

digunakan, baik pada jenjang perguruan tinggi maupun jenjang pendidikan di bawahnya.

Universitas Sumatera Utara


Alasannya adalah karena jenjang pemahaman merupakan dasar yang sangat menentukan

untuk mempelajari dan menguasai jenjang-jenjang taksonomi di atasnya seperti

penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi atau bentuk yang lebih terintegrasi seperti

pemecahan masalah (Suparman, 2001, 81).

Contoh kata kerjanya seperti menjelaskan, mengemukakan, menguraikan,

memilih, menunjukkan, menyatakan, memihak, menempatkan, mengubah, menguji

ulang, menurunkan, meramalkan, menjabarkan, merangkum, atau menyimpulkan.

3. Penerapan (Aplication)

Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari dan dipahami ke dalam situasi konkret, nyata, atau baru. Kemampuan ini

mencakup penggunaan pengetahuan, aturan, rumus, konsep, prinsip, hukum, dan teori ke

dalam praktek memecahkan masalah atau melakukan suatu pekerjaan. Hasil belajar

untuk kemampuan menerapkan ini tingkatannya lebih tinggi dari pemahaman.

Contoh kata kerjanya seperti menerapkan, mendemonstrasikan, menghitung,

menggunakan, memilih, menentukan, menghasilkan, mendramatisi, menyesuaikan,

mengajukan permohonan, menafsirkan, mempraktikkan, menjadwalkan, mensketsa,

membuktikan mencari jawaban, atau menulis.

4. Analisis (Analysis)

Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan atau menguraikan (break

down) materi atau konsep ke dalam bagian-bagian atau komponen-komponen yang lebih

terstruktur atau lebih rinci dan mudah dimengerti.

Kemampuan menganalisis termasuk mengidentifikasi bagian-bagian,

menganalisis kaitan antarbagian, serta mengenali atau mengemukakan organisasi dan

hubungan antarbagian tersebut. Hasil belajar analisis merupakan tingkatan kognitif yang

lebih tinggi dari kemampuan memahami dan menerapkan, karena untuk memiliki

Universitas Sumatera Utara


kemampuan menganalisis, seseorang harus mampu memahami isi/substansi sekaligus

struktur organisasinya.

Contoh kata kerjanya seperti memisahkan, membagi, membuat diagram/sketsa,

membedakan, membandingkan, mengolah, menganalisis, memberi harga/nilai, menilai,

mengkategorikan, mengkontraskan, mendiversifikasikan, mengkritik, mengunggulkan,

melakukan pengujian, melakukan percobaan, mempertanyakan, dan mengetes.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan untuk mengumpulkan bagian-bagian secara

terintegrasi menjadi suatu bentuk yang utuh dan menyeluruh. Kemampuan ini meliputi

memproduksi bentuk komunikasi yang unik dari segi tema dan cara

mengomunikasikannya, mengajukan proposal penelitian, membuat model atau pola yang

mencerminkan struktur yang utuh dan menyeluruh dari keterkaitan pengertian atau

informasi abstrak. Hasil belajar sintesis menekankan pada perilaku kreatif dengan

mengutamakan perumusan pola atau struktur yang baru dan unik.

Contoh kata kerjanya seperti menyiapkan, menyusun, mengoleksi, menulis,

mengubah, mengkonstruksi, menciptakan, merancang, mendesain, merumuskan,

membangun, mengelola, mengorganisasikan, merencanakan, mengajukan proposal,

menghasilkan komunikasi, membentuk, menyimpulkan, membuat pola/model, dan

menulis.

6. Evaluasi (Evaluation)

Penilaian merupakan kemampuan untuk memperkirakan dan menguji nilai suatu

materi (pernyataan, novel, puisi, laporan penelitian) untuk tujuan tertentu. Karena

membuat penilaian, maka prosesnya menggunakan kriteria atau standar untuk

mengatakan sesuatu yang dinilai tersebut seberapa jelas, efektif, ekonomis, atau

memuaskan.

Universitas Sumatera Utara


Penilaian didasari dengan kriteria yang terdefinisikan. Kriteria terdefinisi ini

mencakup kriteria internal (organisasi) atau kriteria eksternal (terkait dengan tujuan)

yang telah ditentukan. Peserta didik dapat menentukan kriteria sendiri atau memperoleh

kriteria dari nara sumber. Hasil belajar penilaian merupakan tingkatan kognitif paling

tinggi sebab berisi unsur-unsur dari semua kategori, termasuk kesadaran untuk

melakukan pengujian yang sarat nilai dan kejelasan kriteria.

Contoh kata kerjanya seperti menghargai, menyanggah, menilai, menguji,

mengintegrasikan, mempertahankan, mengkritik, berargumentasi, membedakan,

meramalkan, mendukung, menolak, memilih, dan mengevaluasi.

2.3.2 Kawasan Afektif

Kawasan afektif menurut Krathwohl, Bloom, dan Masia adalah yang paling

populer dan banyak digunakan. Krathwohl dan kawan-kawan mengurutkan ranah afektif

berdasarkan penghayatan. Penghayatan tersebut berhubungan dengan proses ketika

perasaan seseorang beralih dari kesadaran umum ke penghayatan yang mengatur

perilakunya secara konsisten terhadap sesuatu. Ini berkenaan dengan minat, sikap, dan

nilai serta pengembangan penghargaan, dan penyesuaian diri.

Krathwohl dan yang lain mengemukakan bahwa taksonomi tujuan pendidikan

dalam kawasan afektif terdiri dari lima jenjang, yaitu penerimaan, pemberian respon,

penilaian, pengorganisasian, dan karakteristik. Hasil belajar afektif disusun secara

hirarkis, mulai dari tingkat yang paling rendah dan sederhana hingga yang paling tinggi

dan kompleks.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2

Tingkatan Pengukuran Hasil Belajar dalam Kawasan Afektif

1. Menerima 1.1 Kesadaran

1.2 Kemauan untuk menerima

1.3 Perhatian yang terkontrol atau terpilih

2. Merespon 2.1 Kepasrahan dalam merespon

2.2 Kemauan untuk merespon

2.3 Kepuasan dalam merespon

3. Menilai 3.1 Penerimaan atas nilai

3.2 Pemilihan atas nilai

3.3 Komitmen

4. Pengaturan 4.1 Konseptualisasi nilai

4.2 Pengaturan sistem nilai

5. Penentuan karakter melalui suatu 5.1 Perangkat yang tergeneralisasi

nilai atau kelompok nilai 5.2 Penentuan karakter

Sumber: Adaptasi dari Prasastie, 2008

Berikut ini penjelasan setiap jenjang taksonomi tujuan pendidikan dalam kawasan

afektif, yakni:

1. Penerimaan (Receiving)

Penerimaan merupakan kesadaran atau kepekaan yang disertai keinginan untuk

menenggang atau bertoleransi terhadap suatu gagasan, benda, atau gejala. Hasil belajar

penerimaan merupakan pemilikan kemampuan untuk membedakan dan menerima

perbedaan. Contoh kata kerjanya seperti menunjukkan penerimaan dengan mengiyakan,

mendengarkan, dan menanggapi sesuatu.

Universitas Sumatera Utara


a. Kesadaran

Kesadaran hampir merupakan perilaku kognitif. Pembelajar menyadari akan

sesuatu, yang kemudian dipertimbangkannya seperti sebuah situasi, fenomena, obyek,

atau urusan tertentu. Seseorang mungkin saja tidak mampu mengungkapkan dengan

kata-kata (verbalize) aspek-aspek stimulus yang menimbulkan kesadaran.

b. Kemauan untuk menerima

Menunjukkan perilaku bersedia menerima (tolerate) stimulus yang diberikan,

bukan menghindarinya. Perilaku ini melibatkan adanya kenetralan atau penilaian yang

tertunda (suspended jugment) terhadap stimulus.

c. Perhatian yang terkontrol atau terpilih

Di tingkat ini penerimaan masih tanpa ketegangan atau asesmen dan siswa

mungkin tidak tahu istilah atau simbol teknis untuk menggambarkan sebuah fenomena

dengan benar dan tepat pada orang lain. Terdapat unsur di mana pembelajar mengontrol

perhatian sehingga ia dapat memilih dan menerima stimulus yang diinginkan.

2. Pemberian Respon (Responding)

Penanggapan atau pemberian respon merupakan kemampuan memberikan

tanggapan atau respon terhadap suatu gagasan, benda, bahan, atau gejala tertentu.

Hasil belajar penanggapan merupakan suatu komitmen untuk berperan serta berdasarkan

penerimaan. Contoh kata kerjanya seperti mematuhi, menuruti, tunduk, mengikuti,

mengomentari, bertindak sukarela, mengisi waktu senggang, atau menyambut.

a. Kepasrahan dalam merespon

Terdapat suatu perilaku yang pasif dan stimulus yang memancing perilaku ini

sulit untuk diterima atau digambarkan (subtle). Terdapat lebih banyak unsur reaksi

terhadap sebuah gagasan dan lebih sedikit implikasi dari penolakan atau keterpaksaan

(yielding unwillingly).

Universitas Sumatera Utara


b. Kemauan untuk merespon

Pembelajar cukup berkomitmen untuk menunjukkan perilaku bahwa ia bersedia

untuk merespon, bukan karena takut akan hukuman, namun karena “dirinya sendiri” atau

secara sukarela. Unsur penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly) yang ada pada

tingkat sebelumnya, kini digantikan oleh persetujuan yang berasal dari pilihan pribadi

seseorang.

c. Kepuasan dalam merespon

Unsur tambahan pada langkah yang melampaui tingkat respon secara sukarela,

adalah bahwa perilaku yang tampak disertai dengan rasa puas, suatu respon emosional,

yang umumnya menunjukkan rasa senang, kegembiraan atau suka cita.

3. Penilaian (Valuing)

Perhitungan atau penilaian, merupakan kemampuan memberi penilaian atau

perhitungan terhadap gagasan, bahan, benda, atau gejala. Hasil belajar perhitungan atau

penilaian merupakan keinginan untuk diterima, diperhitungkan, dan dinilai orang lain.

Contoh kata kerjanya seperti meningkatkan kelancaran berbahasa atau dalam

berinteraksi, menyerahkan, melepaskan sesuatu, membantu, menyumbang, mendukung,

dan mendebat.

a. Penerimaan atas nilai

Ciri utama perilaku ini adalah konsistensi respon pada kelompok obyek,

fenomena, dan sebagainya, digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan atau sikap.

b. Pemilihan atas nilai

Perilaku pada tingkatan ini tidak hanya menunjukkan penerimaan seseorang atas

suatu nilai sehingga ia bersedia diidentifikasi berdasarkan nilai tersebut, namun ia juga

cukup terikat pada nilai tersebut sehingga ia ingin mengejar, mencari dan

menginginkannya.

Universitas Sumatera Utara


c. Komitmen

Keyakinan pada tingkatan ini menunjukkan kadar kepastian yang tinggi.

Komitmen merupakan penerimaan emosional yang kuat atas suatu keyakinan. Kesetiaan

terhadap posisi, kelompok atau tujuan juga termasuk dalam komitmen.

4. Pengorganisasian (Organization)

Pengaturan atau pengelolaan atau pengorganisasian merupakan kemampuan

mengatur atau mengelola berhubungan dengan tindakan penilaian dan perhitungan yang

telah dimiliki. Hasil belajarnya merupakan kemampuan mengatur dan mengelola sesuatu

secara harmonis dan konsisten berdasarkan pemilikan filosofi yang dihayati. Contoh kata

kerjanya seperti mendiskusikan, menteorikan, merumuskan, membangun opini,

menyeimbangkan, dan menguji.

a. Konseptualisasi suatu nilai

Pada tingkatan ini kualitas keabstrakan atau konseptualisasi menjadi bertambah

yang membuat seseorang melihat bagaimana nilai tersebut berhubungan dengan nilai

yang telah diyakininya atau nilai baru yang akan diyakininya.

b. Pengaturan suatu sistem nilai

Meminta pembelajar untuk menyatukan sekelompok nilai yang sama, atau mungkin

nilai-nilai yang berbeda, dan membawanya ke dalam suatu hubungan dengan nilai lain

yang telah diatur dengan baik. Pengaturan nilai dapat menghasilkan sintesis yang berupa

suatu nilai baru atau kelompok nilai dengan tingkatan yang lebih tinggi.

5. Karakteristk Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or

Value Comple)

Penentuan karakteristik berdasarkan nilai merupakan tindakan puncak dalam

perwujudan perilaku seseorang yang secara konsisten sejalan dengan nilai atau

seperangkat nilai-nilai yang dihayatinya secara mendalam. Hasil belajarnya merupakan

perilaku seimbang, harmonis, dan bertanggung jawab dengan standar niali yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara


Contoh kata kerjanya seperti memperbaiki, membutuhkan, menempatkan pada standar

yang tinggi, mencegah, berani menolak, mengelola, dan mencari penyelesaian masalah.

a. Perangkat yang tergeneralisasi (Generalized Set)

Memberikan suatu konsistensi internal terhadap sistem sikap dan nilai pada saat-

saat tertentu yang juga merupakan suatu dasar orientasi yang memungkinkan seseorang

untuk mempersempit dan mengatur dunia yang kompleks yang ada disekitarnya dan

untuk bertindak secara konsisten dan efektif.

b. Penentuan karakter

Ini merupakan tingkatan teratas dari proses penyerapan atau internalisasi nilai

yang berhubungan dengan pandangan seseorang terhadap dunia, filosofi hidupnya, serta

sebuah sistem nilai dengan obyek berupa seluruh bagian dari apa yang telah diketahui

atau dapat diketahuinya.

2.3.3 Kawasan Psikomotor/Konatif

Kawasan psikomotor pada tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom

dan kawan-kawannya, karena mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam

kawasan tersebut sangat berguna. Mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam

kawasan ini berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang

membutuhkan koordinasi otot (neuromuscular coordination). Tetapi, pakar lain berhasil

mengembangkannya, anatar lain Elizabeth Jane Simpson (1966) dan Anita J. Harrow

(1977).

Harrow membagi kawasan ini menjadi enam jenjang yaitu gerakan refleks (reflex

movements), gerak fundamental dasar (basic-fundamental movements), kemampuan

perseptual (perceptual abilities), kemampuan fisis (fisic abilities), gerakan terampil

(skilled movements), dan komunikasi wajar atau tanpa kata (non-discursive

communication).

Universitas Sumatera Utara


Namun taksonomi yang paling banyak digunakan adalah taksonomi hasil belajar

psikomotor dari Simpson, yang mengklasifikasikan kawasan ini dalam 7 jenjang, yaitu

persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, kegiatan kompleks,

penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.

Taksonomi ini dimulai dengan refleks yang sederhana pada tingkatan rendah ke

gerakan saraf otot yang lebih kompleks pada tingkatan tertinggi. Hierarki ranah

psikomotor yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Persepsi (Perception)

Persepsi merupakan kemampuan menafsirkan rangsangan, peka terhadap

rangsangan, dan mendiskriminasikan. Ataupun kemampuan membedakan suatu gejala

dengan gejala lain. Kemampuan ini paling rendah dalam ranah psikomotor.

Contoh kata kerjanya seperti memilih, membedakan, mempersiapkan,

menyisihkan, menunjukkan, mengidentifikasikan, dan menghubungkan.

2. Kesiapan (Set)

Kemampuan menempatkan diri untuk memulai suatu gerakan. Misalnya kesiapan

menempatkan dir sebeblum lar, dan sebagainya. Contoh kata kerjanya seperti memulai,

mengawali, bereaksi, mempersiapkan, memprakarsai, atau menanggapi.

3. Gerakan Terbimbing (Guided Response)

Kemampuan melakukan gerakan meniru model yang dicontohkan. Contoh kata

kerjanya seperti mempraktikkan, memainkan, mengikuti, mengerjakan, mencoba,

memperlihatkan, memasang, atau membongkar.

4. Gerakan Terbiasa (Mechanism)

Kemampuan melakukan gerakan tanpa ada model contoh, tetapi berpegang pada

pola. Contoh kata kerjanya seperti mengoperasionalkan, membangun, memasang,

membongkar, memperbaiki, melaksanakan, menyususn, mengatur, dan memainkan.

Universitas Sumatera Utara


5. Gerakan Kompleks (Complex Overt Response)

Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan

yang kompleks, seperti gerakan lancar, luwes, supel, gesit, dan lincah.

6. Penyesuaian (Adaptation)

Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam

berbagai situasi, seperti mengubah, mengadaptasi, membuat variasi, dan mengatur

kembal.

7. Kreativitas atau Penciptaan (Origination)

Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan

tertentu, seperti merancang, menyusun, menciptakan, mendesain, mengkombinasikan,

dan merencanakan.

Untuk lebih mudah memahami tentang Taksonomi Bloom, maka dapat

dideskripsikan dalam dua pernyataan di bawah ini:

1. Memahami sebuah konsep berarti dapat mengingat informasi atau ilmu mengenai

konsep itu.

2. Seseorang tidak akan mampu mengaplikasikan ilmu dan konsep tersebut, jika

tanpa terlebih dahulu memahami isinya.

Namun, konsep tersebut mengalami perbaikan seiring dengan perkembangan dan

kemajuan zaman serta teknologi. Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin

Anderson merevisi taksonomi Bloom pada tahun 1990. Hasil perbaikannya

dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Dalam revisi ini

ada perubahan kata kunci, pada kategori dari kata “benda” menjadi “kata kerja”.

Perubahan signifikan pada perbaikan struktur ranah kognitif yang dapat dilihat sebagai

berikut:

• Mengingat

Universitas Sumatera Utara


• Memahami

• Menerapkan

• Menganalisis

• Menilai

• Menciptakan

(http://gurupembaharu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=121:takso

nomi-bloom-mengembangkan-strategi-berpikir-berbasis-

tik&catid=57:program&Itemid=80)

Perubahan ini disebabkan taksonomi perlu mencerminkan berbagai bentuk atau

cara berpikir dalam suatu proses yang aktif. Dengan demikian penggunaan kata kerja

lebih sesuai daripada kata benda.

Masing-masing kategori masih diurutkan secara hirarkis, dari urutan terendah ke

yang lebih tinggi. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis

diintegrasikan menjadi analisis saja. Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu

tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukan katogori baru yaitu creating yang

sebelumnya tidak ada.

Keenam kategori diubah menjadi kata kerja, kemudian beberapa subkategori juga

mengalami perbaikan dan perubahan. Pengetahuan merupakan hasil berpikir bukan cara

berpikir, sehingga diperbaiki menjadi mengingat yang menunjukkan suatu proses

berpikir tingkat awal.

Pemahaman diperbaiki menjadi memahami, kemudian sintesis diubah menjadi

menciptakan yang menunjukkan proses berpikir pada masing-masing kategori.

Akibatnya urutan dari taksonomi juga berubah seperti tampak di atas. Menilai

ditempatkan setelah menganalisis kemudian ditempatkan menciptakan sebagai pengganti

sintesis. Hal ini dilakukan untuk menempatkan hierarki dari proses berpikir yang paling

mudah ke proses penciptaan yang lebih rumit dan sulit. Pendapat ini cukup masuk akal,

Universitas Sumatera Utara


karena seseorang akan sulit untuk menciptakan sesuatu sebelum mampu menilai sesuatu

dari berbagai pertimbangan dan pemikiran kritis.

Pentahapan berpikir seperti itu bisa jadi mendapat sanggahan dari sebagian orang.

Alasannya, dalam beberapa jenis kegiatan, tidak semua tahap seperti itu diperlukan.

Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak harus melalui pentahapan itu. Hal itu

kembali pada kreativitas individu. Proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana

saja. Namun, model pentahapan itu sebenarnya melekat pada setiap proses pembelajaran

secara terintegrasi.

Sebagian orang juga menyanggah pembagian pentahapan berpikir seperti itu

karena dalam kenyataannya siswa seharusnya berpikir secara holistik. Ketika

kemampuan itu dipisah-pisah maka siswa dapat kehilangan kemampuannya untuk

menyatukan kembali komponen-komponen yang sudah terpisah. Model penciptaaan

suatu produk baru atau menyelesaian suatu proyek tertentu lebih baik dalam memberikan

tantangan terpadu yang mendorong siswa untuk berpikir secara kritis.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai