Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Instalasi Gawat Darurat atau biasa disebut dengan IGD adalah unit pelayanan di
rumah sakit yang memberikan pelayanan pertama pada pasien dengan ancaman kematian
dan kecacatan secara terpadu dengan melibatkan berbagai multi disiplin (PPGD, 2010).
Umumnya pelayanan IGD meliputi pelayanan keperawatan yang ditujukan kepada pasien
gawat darurat yaitu pasien yang tiba-tiba berada dalam kondisi gawat atau akan menjadi
gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya bila tidak mendapatkan
pertolongan dengan cepat dan tepat (Musliha, 2010). Sebagai salah satu sumber utama
pelayanan kesehatan di rumah sakit pelayanan di IGD memiliki tujuan agar
terselenggaranya pelayanan yang cepat, responsif dan mampu menyelamatkan nyawa
pasien.
Terdapat tipe kasus yang sering terjadi di Instalasi Gawat Darurat ialah trauma dan
non-trauma. Trauma yang menurut definisi American Heritage Dictionary adalah luka,
khususnya yang disebabkan oleh cedera fisik yang tiba-tiba. Trauma merupakan
penyebab utama kematian pada pasien di bawah 45 tahun, dan merupakan penyebab
utama kematian nomor empat pada orang dewasa selain penyakit kanker. Cedera yang
tidak disengaja merupakan penyebab utama trauma terbesar mencakup tabrakan
kendaraan bermotor (MVC, motor vehicle crashes), jatuh, tenggelam, atau luka bakar.
Untuk angka kejadian di Amerika Serikat pada tahun 2000 cedera yang tidak disengaja
menyebabkan 97.300 kematian dan 20.500.000 cedera yang menimbulkan kecacatan
(Morton, dkk, 2013). Cedera yang tidak disengaja merupakan penyebab terbanyak
kematian pada individu antara usia 1 dan 34 tahun. Pada kisaran usia 35 hingga 44 tahun,
cedera yang tidak disengaja adalah penyebab kematian kedua hanya setelah kanker
sebagai penyebab kematian terbanyak. (Morton, dkk, 2013). Pada pasien non trauma
tertentu seperti kegagalan sistem saraf pusat, kardiovaskuler, pernapasan, dan
hipoglikemia dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat antara 4-6 menit, untuk
itu dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat dalam melakukan pertolongan untuk
mencegah kematian biologis jika otak kekurangan oksigen dalam 8-10 menit. seperti pada
kasus obstruksi total jalan nafas dan juga henti jantung (Musliha, 2010). Sedangkan
kegagalan sistem organ yang lain dapat menyebabkan kematian yang lebih lama. Karena
merupakan kasus kegawatan yang umum terjadi di IGD, pasien dengan kondisi trauma

1
maupun non trauma sangat memerlukan ketepatan serta kecepatan waktu tanggap dalam
memberikan tindakan pertolongan. Kasus trauma dan non trauma seharusnya
mendapatkan waktu tanggap yang sama. Waktu tanggap ini dapat berbeda jika
pertimbangan waktu tanggap didasarkan pada tingkat kegawatan dengan menggunakan
metode triage,yaitu suatu proses penggolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat
kegawatan kondisinya (Zimmermann & Herr, 2006). Dari 24 kasus kegawatdaruratan
yang terjadi di IGD PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang terdiri dari 19 kasus non
trauma dan 5 kasus trauma terdapat 4 kasus non trauma dan 2 kasus trauma mengalami
keterlambatan dalam waktu tanggap tindakan pertama dari waktu yang telah ditetapkan
yaitu >5 menit terlayani.
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun
yangmasuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti
paru- paru, hati, ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi dalam org
antubuh, tergantung sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ lainnya sehingga
akanmenghasilkan efek yang tidak diinginkan dalam jangka panjang.Intoksikasi atau
keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuhmanusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Overdosis atau kelebihan dosis terjadi akibat tubuh mengalami keracunan akibat
obat.OD sering terjadi bila menggunakan narkoba dalam jumlah banyak dengan rentang
waktuterlalu singkat, biasanya digunakan secara bersamaan antara putaw, pil, heroin
digunakan bersama alkohol. Atau menelan obat tidur seperti golongan barbiturat
(luminal) atau obat penenang (valium, xanax, mogadon/BK).

1.2 Rumusan masalah

a.Pengertian Trauma
b.Mengetahui keterlambatan lama waktu dalam melakukan tindakan pada pasien trauma
c.Penanganan perawat dalam melakukan tindakan pada pasien trauma
d.Pengertian keracunan obat dan overdosis
e.Pencegahan primer sekunder tersier pada pasien syok

1.3 Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN

2
2.1 A.Pengertian

Trauma adalah luka atau cedera pada jaringan. Trauma atau yang disebut injury atau
wound, dapat juga diartikan sebagai kerusakan atau luka yang disebabkan oleh tindakan-
tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma juga
diartikan sebagai kejadian yang tidak terduga karena kontak yang keras dengan suatu
benda.1 Menurut etiologinya trauma terbagi dua, yaitu trauma yang disengaja (intentional
injury) dan trauma yang tidak disengaja (unintentional injury).20 Trauma pada gigi atau
Traumatic Dental Injury (TDI) adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan
atau periodontal karena sebab mekanis. Dari berbagai pengertian tersebut, maka trauma
gigi anterior merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena kontak
yang keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi anterior baik
pada rahang atas maupun rahang bawah atau kedua-duanya.
Lama waktu tanggap adalah selisih antara waktu pasien tiba di IGD dengan waktu
akan dilakukan tindakan penanganan pertama oleh perawat. Pada tabel 2 distribusi waktu
tanggap perawat menunjukan waktu tanggap dalam kategori cepat sebanyak 27
penanganan (60,0%) dan dalam kategori lambat sebanyak 18 penanganan (40,0%).
Dengan rata-rata waktu untuk penanganan pada setiap jenis kasusnya antara lain 3,90
menit untuk kasus trauma dan 4,91 menit untuk kasus non trauma. Rata –rata tersebut
menunjukan bahwa perawat mempunyai waktu tanggap yang cepat, sehingga diharapkan
dapat meningkatkan pelayanan yang cepat pada setiap pasien. Keterlambatan waktu
tanggap tersebut dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya adalah kondisi
kegawatdaruratan setiap pasien dan jenis kasus yang berbeda. Dalam penelitian yang
telah dilakukan oleh Mahyawati (2015) tentang klasifikasi kegawatan dengan kategori
darurat tidak gawat atau jalur kuning memiliki waktu tanggap dalam kategori lambat
tertinggi sebanyak 9 penanganan dan kategori cepat terbanyak terdapat pada klasifikasi
gawat darurat atau jalur merah dengan jumlah 13 penanganan. Hal itu menunjukan jika
pasien dalam kondisi gawat darurat yang memiliki waktu tanggap lebih cepat dibanding
klasifikasi yang lain. Atau kondisi pasien yang mengalami resiko lebih besar memiliki
waktu tanggap yang cepat.

Menurut Haryatun dan Sudaryanto (2008) Waktu tanggap pada pelayanan atau
penanganan gawat darurat dihitung dalam hitungan menit kemudian dapat dikategorikan
dalam kategori cepat atau lambat. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai

3
jumlah tenaga maupun komponen-komponen lain yang mendukung RS seperti pelayanan
laboratorium, radiologi, farmasi dan administrasi.Hal tersebut juga dikatakan oleh
Martino (2013), bahwa tindak lanjut mengenai pasien gawat darurat masih ditemukan
adanya penundaan pelayanan pasien gawat darurat yang dilakukan oleh pihak rumah sakit
karena alasan administrasi dan pembiayaan. Pasien seringkali harus menunggu proses
administrasi selesai baru mendapatkan pelayanan. Dalam penelitian ini keterlambatan
terjadi juga karena pasien-pasien non trauma lebih disibukan oleh proses administrasi
yang meliputi pendaftaran, sistem antrian pasien dan pembayaran. Di Indonesia, EMS
hampir tidak bekerja sebagai sebuah sistem. Jumlah admisi dari IGD tidak dapat
direncanakan dengan tepat, sehingga sumber daya yang ada di IGD menjadi terbenam
karena kepadatan pasien yang masuk di IGD. Menurut Institusi of Medicine di Amerika
Serikat, kepadatan ini dianggap sebagai krisis nasional. Dalam Datusanantyo (2013)
Kepadatan pasien IGD selain untuk mengkompromi keselamatan pasien, juga dapat
mengancam privasi pasien dan membuat frustasi staf IGD. Kepadatan pasien inilah yang
menjadi salah satu penyebab keterlambatan waktu tanggap penanganan pasien di IGD.
Dalam Sprivulis (2006) Kepadatan pasien dianggap sebagai masalah keselamatan pasien
bukan hanya 8 masalah alur kerja rumah sakit. Semakin lama waktu tunggu dokter dan
waktu tunggu di IGD antar pasien mengakibatkan kepadatan dan kematian karena
keterlambatan dalam penanganan. Dalam penelitian ini keterlambatan juga disebabkan
karena kepadatan pasien yang terjadi pada shift pagi saat banyaknya angka kunjungan
pasien.
Trauma dibagi menjadi 2 kategori trauma dan non trauma. frekuensi tentang jenis
kasus menunjukan kasus terbanyak terjadi pada kategori non trauma yaitu 24 kasus
(53,3%) dan selanjutnya pada kategori trauma sebanyak 21 kasus (46,7%). Dalam
Oktaviani (2013) melihat gambaran waktu tanggap pra-hospital, trauma merupakan jenis
kasus emergency dengan presentase terbanyak yaitu 57,14% dibandingkan dengan kasus
non trauma yang terjadi sebesar 42,16%. Hal itu menunjukan bahwa kasus emergency
yang mendapat penanganan lebih banyak adalah jenis kasus non trauma. Data grafik 10
diagnosa terbanyak yang terjadi di instalasi gawat darurat RS PKU Muhammadiyah
menunjukan bahwa jenis kasus non trauma berada di urutan teratas dengan diagnosa
Acute upperrespiratory infection sebesar 3.605 kasus dan dyspepsia pada urutan kedua
sabanyak 1.620 kasus, sedangkan untuk jenis kasus trauma berada di urutan ketiga
sebanyak 1.372 kasus(Data Grafik Diagnosa IGD PKU Muhammadiyah Yogyakarta,
2013).

4
kategori lambat banyak terjadi pada pasien dengan jenis kasus non trauma yang
kebanyakan masuk dalam klasifikasi kegawatan tidak gawat tidak darurat atau jalur hijau,
karena pasien dengan kondisi tersebut biasanya tidak membutuhkan penanganan dengan
segera. Dalam Musliha (2010), pasien dalam kategori jalur hijau adalah pasien dengan
kondisi tidak mengancam nyawa dan tidak perlu mendapatkan penanganan dengan
segera. Jenis kasus tertentu mendapatkan penanganan yang cepat, hal itu juga dilihat
berdasarkan tingkat keparahan atau kegawatan yang dialami oleh pasien. Dalam kasus
trauma kategori keparahan dari jalur hijau sampai merah lebih banyak pasien
mendapatkan penangaan lebih cepat karena kondisi trauma tidak seperti penyakit
progresif, trauma merupakan kejadian yang akut. Dalam beberapa detik, kondisi pasien
trauma dapat bergeser dari keseimbangan relatif menjadi stres fisiologis yang berat.
Sehingga sistem pembiayaan dan administrasi yang harus dilakukan terlebih dahulu
biasanya akan dilakukan setelah atau beriringan dengan tindakan yang dilakukan. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien non trauma dengan tingkat keparahan yang berat saat tiba
di IGD. Namun tidak seperti kasus non trauma dalam kategori jalur hijau biasanya pasien
akan disibukkan dengan proses mengurus administrasi dan sistem pembiayaan lainnya,
hal ini dikarena pasien dalam jalur hijau tidak membutuhkan pertolongan dengan segera.
Selain karena sistem klasifikasi kegawatan, keterlambatan dalam waktu tanggap juga
dipengaruhi oleh kepadatan pasien yang datang. Menurut Hauser (2007) kepadatan di
IGD memberikan kontribusi dalam penundaan perawatan darurat yang dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bagi pasien IGD.

2.2 Keracunan obat


a.keracunan

Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam
tubuhmanusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang
menggunakannya.Keracunan atau intoksinasi adalah keadaan patologik yang disebabkan
oleh obat,serum, alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain.
Keracunan obat biasanya kondisi yang disebabkan oleh kesalahan dalam penggunaan
obat, baik dosis yang berlebihan maupun kesalahan dalam mengombinasikan obat.
Gejala dan cara mengatasi keracunan obat dapat berbeda tergantung pada jenis obat yang
dikonsumsi.
Keracunan obat biasanya terjadi pada pasien yang mengonsumsi lebih dari satu jenis
obat sehingga mengalami efek interaksi obat, pada pasien lansia, anak-anak, atau orang
yang memiliki masalah kejiwaan. Keracunan obat juga dapat terjadi jika seseorang
minum obat disertai minuman atau makanan yang dapat membuat obat tersebut menjadi
senyawa beracun, misalnya alkohol.

5
b.Gejala Keracunan Obat
Gejala keracunan obat bisa berbeda-beda, tergantung pada jenis dan dosis obat yang
dikonsumsi, serta kondisi kesehatan orang tersebut ketika mengonsumsi obat. Gejala
keracunan obat juga sering kali berupa efek samping obat tersebut, namun dengan tingkat
keparahan yang lebih tinggi.
Beberapa gejala umum yang dapat muncul pada seseorang yang mengalami
keracunan obat adalah sebagai berikut:

 Gangguan pencernaan, seperti mual, muntah atau muntah darah, sakit perut, diare, dan
perdarahan pada saluran cerna.

 Nyeri dada.

 Detak jantung lebih cepat (dada berdebar).

 Sulit bernapas atau sesak napas.

 Pusing atau sakit kepala.

 Kejang.

 Penurunan kesadaran, bahkan hingga koma.

 Kulit atau bibir kebiruan.

 Hilang keseimbangan.

 Kebingungan atau gelisah.

 Halusinasi.

Seperti dikatakan sebelumnya, gejala keracunan obat dapat berbeda, sesuai jenis obat
yang menyebabkan keracunan. Sebagai contoh, seseorang yang keracunan
obat opioid akan mengalami gejala dan tanda klinis seperti pupil mata mengecil, napas
melambat, lemas, mual, muntah, perubahan detak jantung, dan menjadi kurang waspada.
Sedangkan keracunan paracetamol dapat menimbulkan gejala mengantuk, kejang,
sakit perut, mual, muntah, kerusakan hati, hingga koma. Kelebihan dosis paracetamol
sangat berbahaya, dan biasanya baru muncul tiga hari setelah obat dikonsumsi.

c.Pertolongan Pertama pada Keracunan Obat


Jika seseorang mengalami keracunan obat, segeralah hubungi ambulans atau bawa ke
rumah sakit terdekat, agar dapat diberikan penanganan secepatnya. Sambil menunggu
bantuan medis datang, hal-hal yang dapat Anda lakukan adalah:

 Cek denyut nadi, pola napas, dan saluran pernapasannya. Lakukan resusitasi jantung
paru atau RJP, yaitu pemberian napas buatan dan penekanan pada dada, bila penderita

6
tidak merespon ketika dipanggil, tidak bernapas, tidak terdengar detak jantung, serta
tidak teraba denyut nadi.

 Jangan biarkan atau menyuruh penderita muntah, kecuali petugas medis menyarankan
demikian.

 Jika penderita muntah dengan sendirinya, segera bungkus tangan Anda dengan kain,
lalu bersihkan jalan napas (tenggorokan dan mulut) orang tersebut dari muntahan.

 Sebelum paramedis datang, baringkan tubuh penderita menghadap ke kiri, dan buatlah
penderita berada pada posisi yang cukup nyaman.

 Jangan memberikan penderita makanan atau minuman apapun yang dianggap mampu
menetralisir racun, seperti cuka, susu, atau jus lemon.

 Jika penderita tidak sadarkan diri, jangan memberikan atau memasukkan apa pun ke
dalam mulutnya.

Penting bagi Anda untuk memerhatikan cara mengatasi keracunan obat dan
menghindari beberapa hal yang dilarang di atas, agar tidak memperburuk kondisi
penderita keracunan obat.
Setelah bantuan medis datang, jelaskan kepada dokter atau petugas medis, mengenai obat
yang diminum dan gejala yang timbul setelah penderita mengalami keracunan.
Penanganan keracunan obat perlu dilakukan oleh dokter di rumah sakit. Penderita
keracunan obat sering kali membutuhkan rawat inap, agar kondisinya dapat terus dipantau.
Jika Anda secara tidak sengaja salah atau terlalu banyak meminum obat, dan khawatir
mengalami keracunan obat, jangan tunggu sampai gejala muncul. Segera pergi ke instalasi
gawat darurat di rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.

2.3 Overdosis
Overdosis atau kelebihan dosis terjadi akibat tubuh mengalami keracunan akibat
obat.OD sering terjadi bila menggunakan narkoba dalam jumlah banyak dengan rentang
waktu yang lama.
OD(overdosis) atau kelebihan dosis terjadi karena beberapa hal :
1.Mengomsusmi obat lebih dari satu jenis narkoba mengomsumsi putwey hamper
bersamaan dengan alcohol dan obat tidur seperti valium,megadom dll
2.Mengomsumso obat lebih dari ambang batas kemampuanya mis jika seserang
memakai narkoba walaupun hanya seminggu tetapi apabila memakai lagi dengan
takaran yang sama seperti biasanya kemungkinan besar terjadi OD
3.Kualitas barang yang dikonsumsi yg berbeda

Gejala Overdosis

7
1) Tidak merespon pada sentuhan atau suara
2) Wajah pucat atau membiru
3) Tubuh dingin dan kulit lembab
4) Tidak bernafas selama 3-5 menit
5) Bernafas tetapi sangat lambat, kira-kira 2-4 kali dalam 1 menit
6) Keluar busa pada mulut
7) Sakit atau seperti ada tekanan yang sangat kuat di dada
8) Menggigil
9) Keringat dingin mengalir deras (keringat jagung)
10) Pingsan
11) Kejang-kejang

Gejala khusus sesuai jenis obat

Tiap obat yang berbeda akan memunculkan gejala overdosis yang berbeda pula. Gejala dosis
obat berlebihan yang spesifik sesuai jenis obatnya adalah:

 Antidepresan: pupil mata melebar, napas pendek-pendek, nadi lemah atau cepat,
kulit berkeringat, dan koma.

 Halusinogen: delusi atau waham, halusinasi, kejang, hingga tidak sadarkan diri.

 Inhalansia: kejang dan tidak sadarkan diri hingga bisa menyebabkan kematian.

 Ganja: paranoid, lelah berlebihan, delusi serta halusinasi.

 Narkotika: kulit berkerut, kejang, napas pendek, hingga koma.

 Stimulan: demam, halusinasi, kejang, agitasi (aktivitas motorik berlebih yang keluar
akibat perasaan tegang), dan bisa menyebabkan kematian.

Jika setelah mengonsumsi obat-obatan tertentu, Anda atau orang lain mengalami
gejala-gejala di atas, segera pergi ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan
yang tepat. Asupan dosis obat yang di luar batas toleransi tubuh bisa membahayakan dan
mengancam nyawa.

Seseorang tidak perlu untuk menunjukkan semua tanda di atas sekaligus untuk
digolongkan sebagai overdosis. Hanya mengalami satu-dua gejala saja tetap dapat diartikan
mereka butuh bantuan darurat.

2.4 Pencegahan primer sekunder tersier pada pasien trauma

a.Pencegahan Primer

8
Upaya yang ditujukan kepada orang-orang sehat dan kelompok resiko tinggi
yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk mengalami Multi trauma.
Tujuan dari pencegahan primer yaitu untuk mencegah timbulnya Multi Trauma pada
individu yang beresiko mengalami Multi Trauma atau pada populasi umum. Sasaran
pencegahan primer yaitu orang-orang yang belum sakit dan klien yang beresiko
terhadap kejadian Multi Trauma.
Pencegahan primer adalah intervensi biologi, sosial, atau psikologis yang
bertujuan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan atau menurunkan insiden
penyakit di masyarakat dengan mengubah faktor-faktor penyebab sebelum
membahayakan seperti penyuluhan kesehatan, pengubahan lingkungan, dukungan
system social.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
1.Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehataan merupakan salah satu bagian dari pencegahan
primer yang mampu dilakukan. Penyuluhan kesehatan mencakup memperkuat
individu dan kelompok melalui pembentukan kompetensi. Asumsinya adalah
banyak respon maladaptive terjadi akibat kurangnya kompetensi. Hal ini
meliputi kurangnya control yang dirasakan terhadap kehidupan seseorang, rasa
keefektifan diri yang rendah, kurang efektifnya strategi koping, dan harga diri
rendah yang terjadi. Penyuluhan kesehatan mencakup empat tingkat intervensi
berikut ini.
1. Meningkatkan kesadaran individu atau kelompok tentang masalah dan
peristiwa yang berhubungan dengan sehat dan sakit, seperti tugas
perkembangan normal.
2. Meningkatkan pemahaman seseorang tentang dimensi stressor yang
potensial, kemungkinan hasil (baik adaptif maupun maladaptif), dan respon
koping alternative.
3. Meningkatkan pengetahuan seseorang tentang dimana dan bagaimana
memperoleh sumber yang diperlukan.
4. Meningkatkan keterampilan penyelesaian masalah individu atau kelompok,
keterampilan interpersonal, toleransi terhadap stres dan frustasi, motifasi,
harapan, dan harga diri.
2.Pengubahan lingkungan

9
Intervensi preventif mungkin dilakukan untuk memodifikasi lingkungan
terdekat individu atau kelompok atau system social yang lebih besar. Intervensi
ini terutama bermanfaat apabila lingkungan menempatkan tuntutan baru kepada
pasien, tidak tanggap terhadap kebutuhan perkembangan, dan hanya
memberikan sedikit dukungan. Pengubahan lingkungan meliputi jenis berikut
ini.
1. Ekonomi
Mengalokasikan sumber untuk bantuan financial atau bantuan
anggaran dan pengelolaan penghasilan.
2. Pekerjaan
Menerima tes pekerjaan, bimbingan, pendidikan, atau pelatihan
kembali yang dapat menghasilkan pekerjaan atau karir baru.
3. Perumahan
Pindah ketempat baru, yang berarti meninggalkan atau kembali pada
keluarga dan teman; memperbaiki rumah yang sudah ada; mendapatkan
atau kehilangan keluarga, teman atau teman sekamar.
4. Keluarga
Memasukkan anak pada fasilitas perawatan, taman kanak-kanak,
sekolah dasar, atau berkemah, mendapatkan pelayanan rekreasi, social,
keagamaan, atau komunitas.

5. Politik
Memengaruhi struktur dan prosedur pelayanan kesehatan; berperan
serta dalam perencanaan dan pengembangan komunitas; mengatasi
masalahlegislatif.
3.Dukungan system social
Penguatan dukungan social adalah cara mengurangi atau memperkecil pengaruh dari
peristiwa yang berpotensi menimbulkan sters. Empat jenis intervensi preventif yang mungkin
adalah:
1. Mengkaji lingkungan masyarakat untuk mengidentifikasi area masalah dan
kelompok resiko tinggi.
2. Meningkatkan hubungan antara system dukungan masyarakat dan pelayanan
kesehatan jiwa formal.

10
3. Menguatkan jaringan pemberian pelayanan yang ada, meliputi kelompok
gereja, organisasi masyarakat, kelompok wanita, dukungan tempat kerja, dan
lingkungan, dan self-help group.
4. Membantu individu atau kelompok dalam mengembangkan,
mempertahankan, memperluas, dan menggunakan jaringan social yang
tersedia.

Pencegahan Sekunder
Tujuan dari pencegahan skunder kegawat daruratan yaitu Pendeteksian dini
Multi Trauma serta penanganan segera sehingga komplikasi dapat dicegah. Sasaran
pencegahan skunder yaitu pasien multi trauma yang baru terdiagnosa dan Kelompok
penduduk resiko tinggi ( supir, tukang ojek, Balita, Pekerja bangunan, pemanjat
tebing ). Pencegahan skunder termaksud menurunkan prevalensi ganguan. aktifitas
pencegahan skunder meliputi penemuan kasus dini, skrining dan pengobatan efektif
yang cepat. intervensi krisis adalah suatu modalitas terapi pencegahan sekunder yang
penting.
a.Krisis
Krisis adalah gangguan internal yang ditimbulkan oleh peristiwa yang
menegangkan atau ancaman yang dirasakan pada diri seseorang. Mekanisme
koping yang biasa digunakan seseorang. Mekanisme koping yang biasa
digunakan seseorang menjadi tidak efektif untuk mengatasi ancaman, dan orang
tersebut mengalami suatu ketidakseimbangan serta peningkatan ansietas.
Ancaman atau peristiwa pencetus biasanya dapat diidentifikasi. Tujuan
intervensi krisis adalah individu pada tingkat fungsi sebelum krisis. Krisis
memiliki keterbatasan waktu, dan konflik berat yang ditimbulkan dapat
menstimulasi pertumbuhan personal. Apa yang dilakukan seseorang terhadap
krisis menentukan pertumbuhan atau disorganisasi bagi orang tersebut.
b.Factor pengimbang
Dalam menguraikan resolusi krisis, beberapa factor pengimbang yang
penting perlu dipertimbangkan. Keberhasilan resolusi krisis kemungkinan besar
terjadi jika persepsi individu terhadap peristiwa adalah realististis bukan
menyimpang, jika tersedia dukungan situasional sehingga orang lain dapat
membatu menyelesaikan masalah, dan jika tersedia mekanisme koping untuk
membantu mengurangi ansietas.

11
c.Jenis –jenis krisis
a. Krisis maturasi.
Krisis maturasi merupakan masa transisi atau perkembangan dalam
kehidupan seseorang pada saat keseimbangan psikologis terganggu, seperti
pada masa remaja, menjadi orang tua, pernikahan, atau pensiun. Krisis
maturasi menuntut perubahan peran. Sifat dan besarnya krisis maturasi
dapat dipengaruhi oleh model peran, sumber interpersonal yang memadai,
dan kesiapan orang lain dalam menerima peran baru.
b. Krisis situasi.
Krisis situasi terjadi ketika peristiwa eksternal tertentu mengganggu
keseimbangan psikologis individu atau keseimbangan kelompok.
Contohnya yaitu kehilangan pekerjaan, perceraian, kematian, masalah
sekolah, penyakit dan bencana.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya meningkatkan angka kesembuhan, angka
survival (bertahan hidup), dan kualitas hidup dalam mengatasi penyakit. Aktivitas
pencegahan tersier mencoba untuk mengurangi beratnya gangguan dan disabilitas yang
berkaitan. Rehabilitasi adalah proses yang memungkinkan individu untuk kembali ke
tingkat fungsi setinggi mungkin.

Pencegahan primer skunder dann tersier berdasaran letak trauma :


Trauma kepala dan wajah
a. Pencegahan primer
Upaya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi
penyuluhan kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat
dan lembaga sosial lainnya. Program penyuluhan diarahkan ke penggunaan
Helm saat mengemudi kendaraan bermotor, Anak – anak yang masih Balita
selalu diawasi oleh orang tua, jangan Mengemudikan kendaraan dengan
kecepatan yang tinggi, pada pemanjat tebing saat memanjat harus

12
menggunakan pengaman pada kepala dan badan, Pada pekerja bangunan
agar menggunakan helm saat menaiki bangunan yang tinggi.
b. Pencegahan sunder
1) Penanganan segera secara cepat dan tepat pada penderita Multi
Trauma:
Pada cedera Otak :
a) Pertahankan kepala harus berada dalam posisi gais tengah
b) Untuk jaringan yang terkoyak dari wajah, semua jaringan dan
organ yang lepas dikembalikan ke tempat semula.
c) Berikan sedatif untuk mengatasi agitasi, ventilasi mekanis
d) Berikan obat untuk menghentikan kejang : Benzodiazepin.
e) Tindakan untuk menurunkan TIK
2) Pencegahan komplikasi akut dan kronis :
a) cegah perdarahan yang hebat

c. Pencegahan tersier
1) pada cedera kepala ringan : -
a) Klien harus didampingi oleh seseorang selama waktu 24 jam
sesudah cedera.
b) Jangan meminum minuman beralkohol selama 24 jam.beristirahat
selama 24 jam berikutnya
c) Jangan mengemudikan kendaraan, mengoperasikan mesin, atau
mengamibil keputusan yang penting.
Trauma Toraks dan Leher
a. Pencegahan primer
paya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi
penyuluhan kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya
masyarakat dan lembaga sosial lainnya. Program penyuluhan diarahkan ke
penggunaan Helm saat mengemudi kendaraan bermotor, Anak – anak
yang masih Balita selalu diawasi oleh orang tua, jangan Mengemudikan
kendaraan dengan kecepatan yang tinggi, pada pemanjat tebing saat
memanjat harus menggunakan pengaman pada kepala dan badan, Pada
pekerja bangunan agar menggunakan helm saat menaiki bangunan yang
tinggi.

13
b. Pecegahan skunder
1) Tindakan untuk mengeluarkan cairan yang masif lewat Chest tube
2) Bebaskan jalan napas dengan mengatur posisi mandibula yang tepat
Trauma Abdomen
a. Pencegahan primer
Upaya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi
penyuluhan kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat
dan lembaga sosial lainnya. Program penyuluhan diarahkan ke penggunaan
Helm saat mengemudi kendaraan bermotor, Anak – anak yang masih Balita
selalu diawasi oleh orang tua, jangan Mengemudikan kendaraan dengan
kecepatan yang tinggi, pada pemanjat tebing saat memanjat harus
menggunakan pengaman pada kepala dan badan, Pada pekerja bangunan
agar menggunakan helm saat menaiki bangunan yang tinggi.
b. Pencegahan skunder : Lakukan pemeriksaan Fisik secara cermat.
c. Pencegahan tersier
1) Pada Trauma Limpa :
 Imunisasi rutin dengan vaksin pneumucocus, dilakukan pada
pasien yang baru menjalani splenektomi yang baru pulanng dari
rumah sakit, untuk mengurangi risiko overwhelming
postsplenectomy infection ( OPSI)
 Pada pasien yang mengalami hematoma Limpa Subkapsular
Menghindarai aktivitas yang berat dan olahraga fisik selama
kurang lebih 3 bulan untuk mencegah terjadinya perdarahan
ulang yang menyebabkan ruptur limpa.
2) Pada pasien yang mengalami cedera colon :
 Pasien yang diduga cedera colon atau rekrum harus diberikan
profillaksis antibiotik parenteral untuk mengatasi kuman – kuman
gram negatif aerob ( se perti Escherichia Coli ), dan anerob
( seperti Bcateroides fragilis ), sehingga kadar darah yang
adekuat dapat dicapai pada saat laparatomi.
3) Pada cedera vaskular abdomen : tindakan umtuk mencegah hipotermi
4) Menghangatkan semua cairan infus kristaloid dan darah
5) Menggunakan rangkaian proses pemanasan leawt ventilator

14
6) Memberikan selimut hangat dan memasang lampu Menutup kepala
pasien.
Trauma Tulang Belakang
a. Pencegahan primer
paya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi
penyuluhan kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat
dan lembaga sosial lainnya. Program penyuluhan diarahkan ke penggunaan
Helm saat mengemudi kendaraan bermotor, Anak – anak yang masih Balita
selalu diawasi oleh orang tua, jangan Mengemudikan kendaraan dengan
kecepatan yang tinggi, pada pemanjat tebing saat memanjat harus
menggunakan pengaman pada kepala dan badan, Pada pekerja bangunan
agar menggunakan helm saat menaiki bangunan yang tinggi.
b. Pencegahan skunder
1) Pasien harus di imobilisasi
a. Stabilisasi kepala dengan memfiksasinya dalam posisi segaris dan
memerintahkan kepada pasien untuk tidak menggerakkan leher
atau kepalanya.
b. Pengkajian fungsi motorik dan sensorik
c. Bantuan langsung untuk memasang serta mengunci kollar servilkal
yang kaku sesuai dengan ukuran, menggulingkan tubuh pasien satu
garis ke sisi tubuhnya serta memasang papan punggung dan
mengikat tali papan punggung serta alat penyangga kepala dan
pitanya.
d. Cegah hipoksia dengan mempertahankan saturasi oksigen yang
melibihi 90 % dan nilai hematokrit yang melibihi 30 %.
Trauma Muskuloskeletal
a. Pencegahan primer
Upaya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi
penyuluhan kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat
dan lembaga sosial lainnya. Program penyuluhan diarahkan ke penggunaan
Helm saat mengemudi kendaraan bermotor, Anak – anak yang masih Balita
selalu diawasi oleh orang tua, jangan Mengemudikan kendaraan dengan
kecepatan yang tinggi, pada pemanjat tebing saat memanjat harus

15
menggunakan pengaman pada kepala dan badan, Pada pekerja bangunan
agar menggunakan helm saat menaiki bangunan yang tinggi.
b. Pencegahan skunder
1) Untuk mengendalikan perdarahan lakukan penekanan langsung
( Turniket)
2) Apabila benda yang menancap maka harus distabilkan dengan metode
apa saja, sehingga mencegah trauma lebih lanjut.
3) Imobilisasi fraktur : Pembidaian bagian atas dan bawah fraktur,
meliputi persendian proksimal dan distal.
4) Pada pasien yang fraktur :
a) Pembatasan aktivitas yang sederhana dengan penggunaan mitela
dan kruk
b) Reposisi tertutup diikuti oleh pemasangan gips.
c. Pencegahan tersier
1) Untuk menangani avulsi yaitu :
a) memantau dan mengendalikan perdarahan dengan penekanan
langsung
b) rigasi flap kulit yang dilakukan dengan hati – hati, dan selanjutnya
ditutupi dengan balutan yang tebal, steril serta basah.
2) Imobilisasi fraktur : Pembidaian dengan pemasangan bantalan (pad )
untuk mencegah disrupsi kulit yang lebih lanjut.
3) Untuk mencegah terjadinya fraktur yang lebih lanjut : pasien yang akan
dipulangkan :
a) Perawatan gips harus disampaikan dan dicatat
b) Paien yang menggunkan kruk : harua mengajarkan cara berjalan
yang tepat.

16
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu mendapatkan
penanganan atau tindakan dengan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban.
Keperawatan gawat darurat (Emergency Nursing) merupakan pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit
yang mengancam kehidupan.
Tujuan penanggulangan gawat darurat adalah untuk:
1. Mencegah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat, hingga dapat hidup dan
berfungsi kembali dalam masyarakat.
2. Merujuk pasien gawat darurat melalui system rujukan untuk memperoleh
penanganan yang lebih memadai.
3. Penanggulangan korban bencana.

17
DAFTAR PUSTAKA

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Nuha Medika: Yogyakarta.


Oman K. S. 2008 . Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Jasa KZ, Fachrul, dkk. 2014. Lauran Pasien Cedera Kepala Berat yang
Dilakukan operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi
Dekompresi di RSU Dr. Zaenoel Abidin Banda Aceh. Vol.3, No.1 (8-14).
Hastuti Dwi. 2017. Hubungan Pengetahuan Tentang Antisipasi Cedera Dengan
Praktik Pencegahan Cedera pada Anak Wilayah Puskesmas Jelengkong
Kabupaten Bandung. Vol.3, No.1 (52-62).
Takatelid, Lucky, dkk. 2017. Pengaruh Terapi Oksigenasi Nasal Prong Terhadap
Perubahan Saturasi Oksigen Pasien Cedera Kepala Di Instalasi Gawat
Darurat RSUP. Prof. DR. R. D.Kandou Manado. Vol.5, No.1.

18

Anda mungkin juga menyukai