Apabila seseorang, individu maupun kelompok membuat sebuah usaha baik kecil
maupun besar tentunya berkaitan erat dengan perizinan. Sesungguhnya perizinan
usaha dapat berupa membuka usaha perkebunan, pertanian, maupun
pertambangan. Pada hakekatnya izin adalah pernyataan dari pemerintah untuk
memperkenankan seseorang melakukan kegiatan tertentu dengan sejumlah
persyaratan. Izin usaha pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah mempunyai
kekuatan hukum apabila diterbitkan berdasarkan kewenangan yang sah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam prakteknya,
perizinan tentunya banyak berkaitan dengan birokrat pemerintah. Dimulai dari
perizinan pemerintah desa, pemerintah daerah, dan pemerintah negara. Hal ini
tentunya akan berkaitan dengan aturan-aturan bagi pengusaha pertambangan.
Seperti aturan dalam eksplorasi, eksploitasi, prosuksi, sampai ke tahap reklamasi
pasca tambang. Akan tetapi, untuk mencapai sebuah perizinan pertambangan
tentunya akan saling berhubungan dengan kebijakan yakni hasil dari sebuah
permintaan usaha pertambangan yang akan mengeluarkan sebuah aturan dari
sebuah perizinan. Kemudian untuk mencapai perizinan dalam usaha pertambangn
tentunya akan ada wewenang dari pemerintahberkaitan aturan-aturan yang telah
dikeluarkan untuk perusahaan yang akan membuka usaha pertambang. Perizinan,
kebijakan, serta wewenang tentunya berlaku bagi setiap seseorang maupun
kelompok yang akan membuka usaha pertambangan. Seperti rencana izin usaha
pertambangan, izin usaha pertambangan rakyat, izin usaha pertambangan khusus.
Semua itu akan memiliki konteks dari masing-masing aturan serta kebijakan dari
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Sistem Perizinan Pertambangan di Indonesia
Bahan galian ini dibagi menjadi nitrat-nitrat (garam dari asam sendawa,
dipakai dalam campuran pupuk; HNO3), pospat-pospat, garam batu (halite), asbes,
talk, mikam grafit, magnesit, yarosit, leusit, tawas (alum), oker, pasir kwarsa, kaolin,
feldspar, gips, bentonit, batu apung, trasm absidian, perlit, tanah diatome, tanah
serap (fullers earth), marmer, batu tulis, batu kapur, dolomite, kalsit, granit, andesit,
basal, trakhit, tanah liat, tanah pasir sepanjang tidak mengandung unsure mineral
golongan a maupun b dalam jumlah berarti (Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah
No.27 Tahun 1980 tentang penggolongan Bahan-bahan Galian.
2. Usaha Pertambangan
a. Penyelidikan umum : usaha untuk menyelidiki secara geologi umum atau fisika, di
daratan perairan dan dari udata yang dimaksudkan untuk membuat peta geologi
umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.
Untuk bahan galian golongan b, dapat diusahakan oleh negara atau daerah
serta badan hukum koperasi maupun badan hukum swasta serta perseorangan
swasta. Pelaksanaan pengusahaan pertambangan oleh negara atau daerah dapat
dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, Perusahaan
Negara, Perusahaan Daerah serta Perusahaan dengan modal bersama antara
negara/perusahaan negara dengan daerah maupun dengan perusahaan swasta.36
Sedangkan bahan galian golongan c pengelolaannya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Untuk bahan galian golongan c, berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1986, telah resmi dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, yang dalam
pelaksanaannya dikenal dengan sebutan SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah).
Dengan dimulainya era reformasi tahun 2000 yang ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi
perubahan mendasar dalam kewenangan urusan pemerintahan termasuk urusan
pertambangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, Pembagian Kewenangan Pemerintahan diatur
sebagai berikut :
WUP terdiri atas WUP mineral radioaktif, logam, batubara, bukan logam dan
batuan. Kegiatan pengusahaan komoditas tambang oleh pemegang izin usaha
harus berada dalam wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Untuk menetapkan
WIUP harus memenuhi kriteria letak goegrafis, kaidah konservasi, daya dukung
lingkungan, optimalisasi sumber daya mineral batubara dan tingkat kepadatan
penduduk. Hal ini dikemukakan oleh kementerian ESDM yaitu pemerintah pusat
tetap berwenang tentukan wilayah pertambangan,
Kemudian pada PP No.22 Tahun 2010, Pasal 15 ayat 2 dan 3 IUP terdiri dari
WIUP radioaktif, mineral logam, batubara, bukan logam dan batuan. Dalam WUP
bisa terdapat satu atau beberapa WIUP. Ketentuan mengenai Penetapan WUP telah
dianulir oleh MK. Awalnya penetapan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat
setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, sekarang penetapan tersebut
dilakukan oleh pemerintah setelah ditentukan oleh pemda dan disampaikan secara
tertulis kepada DPR. Selain itu untuk penetapan luas dan batas WIUP mineral
logam dan batubara ditetapkan oleh pemerintah setelah ditentukan oleh pemda
berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh pemerintah. Sedangkan untuk WIUP mineral
bukan logam dan batuan penetapannya dilakukan oleh Menteri, Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
b. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)
- Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudha dikerjakaan
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.
- Berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain
- Berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi
sesuai dengan ketentuan perauran perundang-undangan.
Untuk menetapkan WIUPK dalam suatu WUPK harus memenuhi kriteria letak
geografis, kaidah konservasi, daya dukung lingkungan, optimalisasi sumber daya
mineral dan/atau atubara serta tingkat kepadatan penduduk.58 WIUPK terdiri dari
WIUPK mineral logam dan WIUPK batubara. Penetapan luas dan batas WIUPK
dilakukan oleh Menteri.
2. Usaha Pertambangan
Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan tersebut. Pemberian IUP akan dilakukan setelah
diperolehnya WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan). Dalam satu WIUP
dimungkinkan untuk diberikan satu IUP maupun beberapa IUP. IUP diberikan oleh
Bupati/Walikota apabila berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota, Gubernur
apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat, Menteri apabila
WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari
gubernur dan bupati/walikota setempat. IUP diberikan kepada Badan usaha, yang
dapat berupa badan usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha
Milik Daerah, koperasi dan perseorangan yang dapat berupa orang perseorangan
yang merupakan warga Negara Indonesia, perusahaan firma, atau perusahaan
komanditer.
Pemegang IUP hanya diberikan untuk satu jenis mineral atau batubara saja, apabila
ditemukan kandungan mineral lain dalam wilayahnya maka pemegang IUP tersebut
mendapat prioritas untuk mengusahakannya dengan mengajukan permohonan IUP
baru kepada Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. Jika pemegang IUP tersebut tidak berminat untuk mengusahakan
mineral lain yang ditemukannya maka kewajibannya adalah menjaga mineral
tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain. Untuk mengusahakan mineral lain
yang terdapat di wilayah yang sama, maka sesuai dengan
Izin pertambangan rakyat diberikan kepada jenis usaha mineral logam, mineral
bukan logam, batuan dan batubara. IPR diberikan oleh Bupati/Walikota kepada
penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau
koperasi setelah mengajukan surat permohonan.Dalam pelaksanaan pemberian
IPR, Bupati/walikota dapat melimpahkan kwenangannya kepada Camat.
Pada PP No. 23 tahun 2010 pasa 49 mengenai Izin Usaha Pertambangan Khusus
ayat 1 menjelaskan bahwa IUPK diberikan oleh menteri berdasarkan permohonan
yang diajukan oleh BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta. Pada ayat kedua
IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah diperoleh WIUPK yang
telah ditetapkan oleh menteri.
Setelah IUPK maka bagian kedua adalah pemberian WIUPK PP nomor 23 tahun
2010 pasal 50 yang berisi IUPK diberikan melalui tahapan pemberian WIUPK dan
pemberian IUPK selanjutnya pada pasal 51 ayat 1 berisi mengenai pemberian
WIUPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 terdiri atas WIUPK mineral logam
dan/atau batubara.
Selanjutnya setelah WIUPK maka pada PP nomor 23 tahun 2010 pasal 54 ayat
1yaitu sebelum dilakukan pelelangan WIUPK mineral logam atau batubara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 dan 52, menteri mengumumkan secara
terbuka WIUPK yang akan dilelang dalam jangka waktu paling lambat tiga bulan
sebelum pelaksanaan lelang. Kemudian dalam pasal 55 tugas dan wewenang
panitia lelang WIUPK mineral logam dan batubara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 54 meliputi:
Pemberian izin pertambangan sangat terkait dengan hak penguasaan atas bahan
galian pertambangan di dalam bumi Indonesia. Semua kegiatan usaha yang
menyangkut sumber daya alam, yang merupakan tindakan Negara, pemerintah dan
aparatur pelaksana, wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Sebagai sumber
hukum tertinggi dari pengusahaan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (2) dan
ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya pokok pikiran tersebut dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 11
Tahun 1967, yang menyatakan bahwa :
“Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
yang merupakan endapan – endapan alam sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besaar kemakmuran rakyat”.
Pemegang hak milik atas kekayaan alam (mineral right) berupa Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) : (2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.