Anda di halaman 1dari 13

Pendahuluan

Apabila seseorang, individu maupun kelompok membuat sebuah usaha baik kecil
maupun besar tentunya berkaitan erat dengan perizinan. Sesungguhnya perizinan
usaha dapat berupa membuka usaha perkebunan, pertanian, maupun
pertambangan. Pada hakekatnya izin adalah pernyataan dari pemerintah untuk
memperkenankan seseorang melakukan kegiatan tertentu dengan sejumlah
persyaratan. Izin usaha pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah mempunyai
kekuatan hukum apabila diterbitkan berdasarkan kewenangan yang sah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam prakteknya,
perizinan tentunya banyak berkaitan dengan birokrat pemerintah. Dimulai dari
perizinan pemerintah desa, pemerintah daerah, dan pemerintah negara. Hal ini
tentunya akan berkaitan dengan aturan-aturan bagi pengusaha pertambangan.
Seperti aturan dalam eksplorasi, eksploitasi, prosuksi, sampai ke tahap reklamasi
pasca tambang. Akan tetapi, untuk mencapai sebuah perizinan pertambangan
tentunya akan saling berhubungan dengan kebijakan yakni hasil dari sebuah
permintaan usaha pertambangan yang akan mengeluarkan sebuah aturan dari
sebuah perizinan. Kemudian untuk mencapai perizinan dalam usaha pertambangn
tentunya akan ada wewenang dari pemerintahberkaitan aturan-aturan yang telah
dikeluarkan untuk perusahaan yang akan membuka usaha pertambang. Perizinan,
kebijakan, serta wewenang tentunya berlaku bagi setiap seseorang maupun
kelompok yang akan membuka usaha pertambangan. Seperti rencana izin usaha
pertambangan, izin usaha pertambangan rakyat, izin usaha pertambangan khusus.
Semua itu akan memiliki konteks dari masing-masing aturan serta kebijakan dari
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Sistem Perizinan Pertambangan di Indonesia

1. Penggolongan Bahan Galian

Bahan galian berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan


Pokok Pertambangan terbagi atas tiga golongan, yaitu :21

a. Bahan galian strategis (Bahan Galian A),

Merupakan bahan galian untuk kepentingan pertahanan keamanan serta


perekonomian negara. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang
Penggolongan Bahan Galian menyebutkan yang termasuk dalam golongan bahan
galian strategis adalah minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen
padar, aspal, antrasitm batubara, batubara muda, uranium, radium, thorium dan
bahan-bahan galian radioaktif lainnya, nikel, kobalt serta timah.

b. Bahan galian vital (Bahan Galian B),

Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan


Pokok Pertambangan, Pasal 3 ayat 1. Penggolongan bahan galian vital adalah besi,
mangaan, molibden, khrom, wolfram, vanadium, titan, bauksit, tembaga, timbal,
seng, emas, platina, perak, air raksa, intan, arsin, antimon, bismut, yttrium,
rhutenium, cerium dan logam-logam langka lainnya, berillium, korundum, zirkon,
kristal kwarsa, kriolit, fluorspar, barit, yodium, brom, khlor, belerang.

Bahan galian ini dibagi menjadi nitrat-nitrat (garam dari asam sendawa,
dipakai dalam campuran pupuk; HNO3), pospat-pospat, garam batu (halite), asbes,
talk, mikam grafit, magnesit, yarosit, leusit, tawas (alum), oker, pasir kwarsa, kaolin,
feldspar, gips, bentonit, batu apung, trasm absidian, perlit, tanah diatome, tanah
serap (fullers earth), marmer, batu tulis, batu kapur, dolomite, kalsit, granit, andesit,
basal, trakhit, tanah liat, tanah pasir sepanjang tidak mengandung unsure mineral
golongan a maupun b dalam jumlah berarti (Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah
No.27 Tahun 1980 tentang penggolongan Bahan-bahan Galian.

2. Usaha Pertambangan

Dalam pasal 14 UU No. 11 Tahun 1967 dinyatakan bahwa usaha pertambangan


bahan-bahan galian dapat meliputi :

a. Penyelidikan umum : usaha untuk menyelidiki secara geologi umum atau fisika, di
daratan perairan dan dari udata yang dimaksudkan untuk membuat peta geologi
umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.

b. Eksplorasi segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih


teliti/seksama adanya dan sifat letakan bahan galian.

c. Eksploitasi merupakan usaha pertambangan dengan maksud untuk


menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
d. Pengolahan dan pemurnian : pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian
serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan
galian itu.

e. Pengangkutan : usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan dan


pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian.

f. Penjualan : usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan/pemurnian bahan


galian.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan


Pokok-Pokok Pertambangan, kewenangan perizinan pertambangan mineral dan
batubara diberikan berdasarkan golongan bahan galian tambang, yaitu :

Pelaksanaan penguasaan Negara dan Pengaturan Usaha Pertambangan


Bahan Galian golongan a dan b dilakukan oleh Menteri. Pelaksanaan penguasaan
Negara dan pengaturan Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan c dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian tsb.

Namun terdapat pengecualian, bahwa dengan memperhatikan kepentingan


pembangunan Daerah khususnya dan Negara umumnya, Menteri dapat
menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan-bahan galian tertentu
diantara bahan galian golongan b kepada Pemerintah Daerah Tingkat I tempat
terdapatnya bahan galian itu.

Pelaksanaan pengusahaan bahan galian golongan a diberikan kepada


Perusahaan Negara dan Instansi Pemerintah.31 Namun bahan galian golongan a
yang berbentuk Migas dan Uranium semata-mata hanya diusahakan oleh Negara.
Pelaksanaan pengusahaan bahan galian golongan a juga dapat diberikan kepada
pihak swasta apabila berbentuk badan hukum koperasi, badan hukum swasta
(didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia, berkedudukan di
Indonesia, bertujuan berusaha dalam lapangan pertambangan, pengurusnya
mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia)
ataupun perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal
di Indonesia. Pemberian pelaksanaan pengusahaan dilakukan menurut pendapat
Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan
perkembangan pertambangan. Apabila bahan galian golongan a yang terdapat di
suatu lokasi demikian kecil, maka pengusahaannya diserahkan kepada rakyat
setempat sebagai tambang rakyat.

Untuk bahan galian golongan b, dapat diusahakan oleh negara atau daerah
serta badan hukum koperasi maupun badan hukum swasta serta perseorangan
swasta. Pelaksanaan pengusahaan pertambangan oleh negara atau daerah dapat
dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, Perusahaan
Negara, Perusahaan Daerah serta Perusahaan dengan modal bersama antara
negara/perusahaan negara dengan daerah maupun dengan perusahaan swasta.36
Sedangkan bahan galian golongan c pengelolaannya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Untuk bahan galian golongan c, berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1986, telah resmi dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, yang dalam
pelaksanaannya dikenal dengan sebutan SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah).

Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan


untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atu tidak dapat dilaksanakan
sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara selaku pemegang kuasa
pertambangan. Peluang pemberian kontrak publik tersebut didahului oleh Izin Publik
dari Menteri ESDM setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Usaha
pertambangan yang dilakukan dengan Kontrak Karya, berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 1986, dapat dilakukan terhadap bahan
galian golongan a dan golongan b melalui kerjasama dengan Instansi Pemerintah
atau Perusahaan Negara selaku pemegang Ketentuan Pokok. Begitu juga dengan
bahan galian golongan c, dapat dilakukan dengan Kontrak Karya, sepanjang
terdapat di lepas pantai dan diusahakan oleh pihak asing. Peluang pemberian
kontrak publik di bidang pertambangan diawali dari Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang menyatakan bahwa,
Penanaman Modal Asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama
dengan Pemerintah atas dasar kontrak karya atau suatu bentuk lain sesuai
peraturan yang berlaku.

Dengan dimulainya era reformasi tahun 2000 yang ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi
perubahan mendasar dalam kewenangan urusan pemerintahan termasuk urusan
pertambangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, Pembagian Kewenangan Pemerintahan diatur
sebagai berikut :

a. Bupati/ Walikota : memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak dalam


wilayah Kabupaten/ Kota dan/ atau sampai wilayah laut 4 mil laut;

b. Gubernur : memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak dalam


beberapa wilayah Kabupaten/ Kota dan tidak dilakukan kerjasama antar Kabupaten/
Kota maupun antar Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan/ atau di wilayah laut yang
terletak antara 4 sampai 12 mil laut.

c. Menteri : memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak dalam


beberapa wilayah Provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar Provinsi, dan/ atau di
wilayah laut yang terletak di luar 12 mil laut.

Konsep yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut


selanjutnya ditindak lanjuti dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 75
Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 32 Tahun 1967 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967, yang menyatakan :
a. Bupati/ Walikota : berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa Pertambangan
apabila Kuasa Pertambangannya terletak dalam wilayah Kabupaten/ Kota dan/ atau
sampai wilayah laut 4 mil laut.

b. Gubernur : berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa Pertambangan


apabila wilayah kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah
Kabupaten/ Kota dan tidak dilakukan kerjasama antar Kabupaten/ Kota maupun
antar Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan/ atau di wilayah laut yang terletak
antara 4 sampai 12 mil laut.

c. Menteri : berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa Pertambangan apabila


wilayah kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Provinsi dan tidak
dilakukan kerjasama antar Provinsi, dan/ atau di wilayah laut yang terletak di luar 12
mil laut.

Selain itu, dalam pembahasan di pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 75


Tahun 2001, dinyatakan bahwa setiap usaha pertambangan yang termasuk dalam
golongan bahan galian strategis (golongan a) dan bahan galian vital (golongan b),
baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapat KP, yang dapat
diberikan oleh Bupati, Walikota dan Gubernur sesuai kewenangan masing-masing.
Jadi pemberian izin kepada pengusaha tidak lagi didasarkan pada penggolongan
bahan galian mineral sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967.

B. Pokok-pokok Pertambangan Periode 2009 – sekarang

Pada tahun 2009 lahir peraturan perundang-undangan yang lebih sepesifik


mengatur pertambangan mineral dan batubara, yaitu Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-Undang ini lahir
karena materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah karena bersifat sentralistik.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.4 Tahun 2009 diyakini dapat
menghilangkan kelemahan dan kendala dimasa lalu, dengan kata lain bahwa UU ini
bertujuan untuk memperbaiki sistem pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara. Berikut adalah hal-hal yang patut diketahui terkait dengan sistem perizinan
pertambangan mineral dan batubara yang diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 ini.

1. Wilayah Pertambangan (WP)

Penetapan suatu wilayah untuk menjadi WP harus melalui kegiatan


perencanaan dan penetapan. Proses perencanaan dimulai dengan inventarisasi
potensi pertambangan dan penyusunan rencana WP. Dalam menginvetarisasi
potensi tambang, menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dapat melakukan penyelidikan
dan penelitian dengan cara memberi penugasan kepada lembaga riset negara atau
lembaga riset daerah. Data yang dihasilkan pada tahap penyelidikan dan penelitian
tersebut akan diolah untuk menjadi peta potensi mineral dan batubara sebagai dasar
penetapan WP.

Penetapan WP dilakukan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan


Gubernur, Bupati/Walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan tersebut kemudian dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan
uji materil yang diajukan oleh Bupati Kutai Timur. MK menganulir pasal pasal 6 ayat
1E, pasal 9 ayat 2, pasal 14 ayat 1 dan 2 serta pasal 17 UU No 4 Tahun 2009.
Dalam putusannya MK berpendapat bahwa untuk menentukan daerah petambangan
pemerintah daerah harus diberi otonomi seluas-luasnya hal ini tertuang dalam
Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, Pasal 2
ayat 3.

Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat fakultatif haruslah


berdasarkan pada semangat konstitusi otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah
daerah. Penetapan WP, WUP, IUP itu ditentukan oleh daerah, dan baru kemudian
secara berjenjang berdasarkan pendekatan RT/RW itu baru diputuskan oleh
pemerintah pusat setelah berkonsultasi dengan DPR. Peta WP dapat dievaluasi
dalam waktu lima tahun dan dapat dilakukan perubahan terhadapnya. WP terdiri
dari:

a. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP)

WUP terdiri atas WUP mineral radioaktif, logam, batubara, bukan logam dan
batuan. Kegiatan pengusahaan komoditas tambang oleh pemegang izin usaha
harus berada dalam wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Untuk menetapkan
WIUP harus memenuhi kriteria letak goegrafis, kaidah konservasi, daya dukung
lingkungan, optimalisasi sumber daya mineral batubara dan tingkat kepadatan
penduduk. Hal ini dikemukakan oleh kementerian ESDM yaitu pemerintah pusat
tetap berwenang tentukan wilayah pertambangan,

Kemudian pada PP No.22 Tahun 2010, Pasal 15 ayat 2 dan 3 IUP terdiri dari
WIUP radioaktif, mineral logam, batubara, bukan logam dan batuan. Dalam WUP
bisa terdapat satu atau beberapa WIUP. Ketentuan mengenai Penetapan WUP telah
dianulir oleh MK. Awalnya penetapan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat
setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, sekarang penetapan tersebut
dilakukan oleh pemerintah setelah ditentukan oleh pemda dan disampaikan secara
tertulis kepada DPR. Selain itu untuk penetapan luas dan batas WIUP mineral
logam dan batubara ditetapkan oleh pemerintah setelah ditentukan oleh pemda
berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh pemerintah. Sedangkan untuk WIUP mineral
bukan logam dan batuan penetapannya dilakukan oleh Menteri, Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
b. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)

Penetapan suatu wilayah menjadi WPR dilakukan oleh Bupati/Walikota setelah


berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan
perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atas kriteria sebagai berikut :

- Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara


tepi sungai

- Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal


25 (dua puluh lima) meter.

- Merupakan endapan teras, dataran banjir dan endapan sungai purba

- Luas maksimal sebesar 25 (dua puluh lima) hektar

- Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang

- Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudha dikerjakaan
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.

- Tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN

- Merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang

Kriteria tersebut tertuang dalam PP No.22 Tahun 2010, Pasal 26 ayat 2

c. Wilayah Pencadangan Negara (WPN)

WPN harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :

- Memiliki formasi batuan pembawa mineral radioaktif, mineral logam dan/atau


batubara berdasarkan peta/data geologi

- Memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, logam dan/atau batubara


berdasarkan peta/data geologi

- Memiliki potensi atau cadangan mineral dan batubara

- Untuk keperluan konservasi komoditas tambamg

- Berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain

- Merupakan wilayah yang dilindungi

- Berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi
sesuai dengan ketentuan perauran perundang-undangan.

- Pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri

- Sumber devisa negara


- Kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana

- Berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi

- Daya dukung lingkungan

- Penggunaan teknologi tinggi dan modal dengan investasi yang besar.

Untuk menetapkan WIUPK dalam suatu WUPK harus memenuhi kriteria letak
geografis, kaidah konservasi, daya dukung lingkungan, optimalisasi sumber daya
mineral dan/atau atubara serta tingkat kepadatan penduduk.58 WIUPK terdiri dari
WIUPK mineral logam dan WIUPK batubara. Penetapan luas dan batas WIUPK
dilakukan oleh Menteri.

2. Usaha Pertambangan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengelompokkan jenis usaha pertambangan


menjadi dua, yaitu pertambangan mineral (mineral radioaktif, mineral logam, mineral
bukan logan dan batuan) dan pertambangan batubara. Usaha pertambangan
tersebut diatas dapat dilakukan dengan mengajukan izin. Izin untuk melakukan
kegiatan tambang terdiri dari :

a. Izin Usaha Pertambangan (IUP)

IUP ini terdiri atas dua tahap:

1) IUP Eksplorasi, meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi


kelayakan. Pasal 42 UU No.4 Tahun 2009 menyatakan bahwa izin eksplorasi untuk
pertambangan mineral logam diberikan selama delapan tahun. Sedangkan untuk
mineral bukan logam diberikan paling lama 3 (tiga) tahun, untuk mineral bukan
logam jenis tertentu paling lama 7 (tujuh) tahun.Selain itu untuk jenis batuan
diberikan selama 3 (tiga) tahun dan batubara diberikan dalam waktu7 (tujuh) tahun.

2) IUP Operasi Produksi, meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan


dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan. Tahap operasi produksi ini
dikenal dengan tahap eksplorasi. IUP operasi produksi diberikan kepada pemenang
hasil lelang WIUP mineral logan atau batubara.

Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan tersebut. Pemberian IUP akan dilakukan setelah
diperolehnya WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan). Dalam satu WIUP
dimungkinkan untuk diberikan satu IUP maupun beberapa IUP. IUP diberikan oleh
Bupati/Walikota apabila berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota, Gubernur
apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat, Menteri apabila
WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari
gubernur dan bupati/walikota setempat. IUP diberikan kepada Badan usaha, yang
dapat berupa badan usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha
Milik Daerah, koperasi dan perseorangan yang dapat berupa orang perseorangan
yang merupakan warga Negara Indonesia, perusahaan firma, atau perusahaan
komanditer.

Pemegang IUP hanya diberikan untuk satu jenis mineral atau batubara saja, apabila
ditemukan kandungan mineral lain dalam wilayahnya maka pemegang IUP tersebut
mendapat prioritas untuk mengusahakannya dengan mengajukan permohonan IUP
baru kepada Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. Jika pemegang IUP tersebut tidak berminat untuk mengusahakan
mineral lain yang ditemukannya maka kewajibannya adalah menjaga mineral
tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain. Untuk mengusahakan mineral lain
yang terdapat di wilayah yang sama, maka sesuai dengan

kewenangannya pemerintah dapat memberikannya kepada pihak lain.

b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

Izin pertambangan rakyat diberikan kepada jenis usaha mineral logam, mineral
bukan logam, batuan dan batubara. IPR diberikan oleh Bupati/Walikota kepada
penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau
koperasi setelah mengajukan surat permohonan.Dalam pelaksanaan pemberian
IPR, Bupati/walikota dapat melimpahkan kwenangannya kepada Camat.

c. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah kepada


badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik yang berupa BUMN, BUMD
maupun badan usaha swasta. IUPK diberikan untuk satu jenis mineral logam atau
batubara, apabila ditemukan kandungan mineral lain dalam wilayahnya maka ia
mendapat prioritas untuk mengusahakannya dengan mengajukan permohonan IUPK
baru kepada Menteri. Jika ia tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang
ditemukannya maka wajib menjaga mineral tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh
pihak lain. Hal ini tertera pada Pasal 53.

IUPK ini terdiri atas dua tahap :

a) IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi


kelayakan;

b) IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan


dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan. Pemegang IUPK operasi
produksi adalah perusahaan berbadan hukum Indonesia. Pemegang IUPK
Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau
seluruh kegiatan tersebut.

Pada PP No. 23 tahun 2010 pasa 49 mengenai Izin Usaha Pertambangan Khusus
ayat 1 menjelaskan bahwa IUPK diberikan oleh menteri berdasarkan permohonan
yang diajukan oleh BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta. Pada ayat kedua
IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah diperoleh WIUPK yang
telah ditetapkan oleh menteri.

Setelah IUPK maka bagian kedua adalah pemberian WIUPK PP nomor 23 tahun
2010 pasal 50 yang berisi IUPK diberikan melalui tahapan pemberian WIUPK dan
pemberian IUPK selanjutnya pada pasal 51 ayat 1 berisi mengenai pemberian
WIUPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 terdiri atas WIUPK mineral logam
dan/atau batubara.

Selanjutnya setelah WIUPK maka pada PP nomor 23 tahun 2010 pasal 54 ayat
1yaitu sebelum dilakukan pelelangan WIUPK mineral logam atau batubara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 dan 52, menteri mengumumkan secara
terbuka WIUPK yang akan dilelang dalam jangka waktu paling lambat tiga bulan
sebelum pelaksanaan lelang. Kemudian dalam pasal 55 tugas dan wewenang
panitia lelang WIUPK mineral logam dan batubara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 54 meliputi:

a. Penyiapan lelang WIUPK


b. Penyiapan dokumen lelang WIUPK
c. Penyusunan jadwal lelang WIUPK
d. Pengumuman waktu pelaksanaan lelang WIUPK

Setelah mendapatkan pelelangan maka pemberian IUPK PP nomor 23 tahun 2010


pasal 62 yang menjelaskan bahwa IUPK diberikan oleh menteri kepada BUMN,
BUMD, atau badan usaha swasta setelah mendapatkan WIUPK. Pada pasal 62 ayat
2 IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat satu terdiri atas:

a. IUPK eksplorasi terdiri atas mineral logam atau batubara, dan


b. IUPK eksplorasi Operasi Produksi terdiri atas mineral logam atau batubara.

Pemberian izin pertambangan sangat terkait dengan hak penguasaan atas bahan
galian pertambangan di dalam bumi Indonesia. Semua kegiatan usaha yang
menyangkut sumber daya alam, yang merupakan tindakan Negara, pemerintah dan
aparatur pelaksana, wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Sebagai sumber
hukum tertinggi dari pengusahaan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (2) dan
ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya pokok pikiran tersebut dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 11
Tahun 1967, yang menyatakan bahwa :

“Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
yang merupakan endapan – endapan alam sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besaar kemakmuran rakyat”.

Pemegang hak milik atas kekayaan alam (mineral right) berupa Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) : (2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan


Pokok Pertambangan, Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2831, Pasal 1 menyatakan bahwa. aneka ragam bahan
galian yang terkandung di dalam bumi dan air di wilayah hukum pertambangan
Indonesia adalah bangsa Indonesia, yang selanjutnya memberikan kekuasaan
kepada Negara untuk mengatur dan mengurus serta memanfaatkan kekayaan alam
tersebut dengan sebaik - baiknya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini berarti Negara
diberikan “hak penguasaan” (authority right) atas kekayaan alam milik bangsa
Indonesia, agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Karena Negara tidak mungkin menyelenggarakannya sendiri, maka hak penguasaan
tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan
Negara sehari-hari, yang dapat dilakukan melalui kerjasama pengusahaan
pertambangan dengan pihak lain (investor) sebagai pelaksana pengusahaan
pertambangan (mining right).
Reklamasi dan Pasca Tambang

Setelah melakukan berbagai kegiatan pertambangan seperti eksplorasi, eksploitasi,


produksi maka perlu dilakukannya reklamasi atau peremajaan daerah pasca
tambang agar tidak dapat merusak lingkungan. Hal ini dapat dibenarkan pada Bab II
pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa pemegang IUP eksplorasi dan IUPK
eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi. Namun pada saat melaksanakan
reklamasi perusahaan diwajibkan mengedepankan keselamatan kerja. Dapat dilihat
pada pasal 3 ayat 1 yang berbunyi pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP
eksplorasi dan IUPK eksplorasi wajib memenuhi prinsip. (a). Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pertambangan, (b). Keselamatan dan kesehatan
kerja.
DAFTAR PUSTAKA

http://finance.detik.com. Diakses pada 23 Januari 2015.

Atmosudrijo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.

rta, 11 Oktober 2011.

Anda mungkin juga menyukai