Anda di halaman 1dari 18

Journal Reading

Beta-Lactam Versus Beta-Lactam/Macrolide Therapy in


Pediatric Outpatient Pneumonia

Oleh:
Alfadea Irbah Allizaputri, S. Ked. 04054821820053

Pembimbing:
dr. Azwar Aruf, Sp.A(K), M. Sc.

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Journal Reading
Beta-Lactam Versus Beta-Lactam/Macrolide Therapy in
Pediatric Outpatient Pneumonia

Oleh:
Alfadea Irbah Allizaputri, S. Ked. 04054821820053

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 29 Juli 2019 - 7 Oktober 2019..

Palembang, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Azwar Aruf, Sp.A(K), M. Sc.


Terapi Beta-Laktam Versus Beta-Laktam/Makrolid pada Pasien Pediatrik Rawat

Jalan dengan Pneumonia

Rangkuman. Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi perbandingan

efektivitas monoterapi beta-laktam dan kombinasi beta-laktam/makrolid pada tatalaksana

rawat jalan untuk anak dengan community-acquired pneumonia (CAP). Metode:

Penelitian kohort retrospektif ini mengikutsertakan anak berusia 1-18 tahun dengan

diagnosis CAP antara 1 Januari 2008 hingga 31 Januari 2010 selama tatalaksana rawat

jalan di Geisinger Health System. Intervensi primer adalah pemberian monoterapi beta-

laktam atau kombinasi beta-laktam/makrolid. Hasil utama yang dicari adalah kegagalan

terapi, yang didefinisikan sebagai kunjungan follow-up dalam 14 hari setelah diagnosis

yang menyebabkan perubahan terapi antibiotik. Regresi logistik dalam kohort propensity

score-restricted digunakan untuk mengestimasi kecenderungan (likelihood) kegagalan

terapi. Hasil. Dari 717 anak dalam analisis, 570 (79.4%) mendapat monoterapi beta-

laktam dan 147 (20.1%) mendapat terapi kombinasi. Dari mereka yang mendapat terapi

kombinasi, 58.2% anak berusia di bawah 6 tahun. Kegagalan terapi terjadi pada 55 (7.7%)

anak, yaitu 8.1% dari kelompok monoterapi dan 6.1% dari kelompok terapi kombinasi.

Tingkat kegagalan terapi paling tinggi pada anak berusia 6-18 tahun yang mendapat

monoterapi (12.9%) dan paling rendah pada anak berusia 6-18 tahun yang mendapat

terapi kombinasi (4.0%). Anak berusia 6-18 tahun yang mendapat terapi kombinasi

kurang cenderung mengalami kegagalan terapi daripada mereka yang mendapat

monoterapi beta-laktam (propensity-adjusted odds ratio, 0.51; 95% interval kepercayaan,

0.28, 0.95). Kesimpulan: Anak berusia 6-18 tahun yang mendapat terapi kombinasi beta-

laktam/makrolid untuk CAP pada tatalaksana rawat jalan memiliki kemungkinan


kegagalan terapi yang lebih rendah daripada mereka yang mendapat monoterapi beta-

laktam.

Kata Kunci: pneumonia; anak; pediatrik; penelitian perbandingan efektivitas;

pneumonia bakterialis; amoksisilin.

PENDAHULUAN

Community-acquired pneumonia (CAP) adalah infeksi serius yang umum terjadi

pada anak-anak dengan lebih dari 1.5 juta anak terdiagnosis pada kondisi rawat jalan

setiap tahunnya.1 Patogen hanya teridentifikasi pada sebagian kecil anak. Karena itu, anak

yang terserang pneumonia umumnya mendapat terapi antibiotik empiris berdasarkan usia

dan tingkat keparahan penyakitnya.2

Pada tahun 2011 Pediatric Infectious Diseases Society (PIDS) dan Infectious

Diseases Society of America (IDSA) mencanangkan pedoman nasional untuk tatalaksana

anak dengan CAP.3 Terapi antibiotik beta-laktam (seperti amoksisilin) direkomendasikan

untuk sebagian besar anak dengan CAP yang diterapi rawat jalan. Walau makrolid

direkomendasikan untuk terapi anak usia sekolah dan remaja dengan patogen atipikal,

peran terapi kombinasi beta-laktam/makrolid untuk pasien rawat jalan belum diselidiki.

Pada pasien rawat inap, makrolid direkomendasikan sebagai tambahan terapi beta-laktam

untuk anak dengan kecurigaan infeksi Mycoplasma pneumoniae atau Chlamydophila

pneumoniae. Pedoman tambahan di Eropa mendukung penggunaan amoksisilin pada

sebagian besar kasus namun tidak memiliki bukti kuat mengenai terapi kombinasi.4,5

Terlepas dari rekomendasi ini, masih sedikit data yang membandingkan efektivitas

monoterapi beta-laktam dan terapi kombinasi beta-laktam/makrolid untuk anak dengan


CAP.6 Kami bertujuan untuk menyelidiki perbandingan efektivitas terapi tersebut pada

anak dengan CAP pada kondisi rawat jalan.

BAHAN DAN METODE

Desain Penelitian dan Sumber Data

Penelitian kohort retrospektif ini mengikutsertakan pasien dari klinik pediatrik

rawat jalan yang bekerja sama dengan Geisinger Health System (GHS). GHS memberikan

pelayanan primer pada 31 daerah di Pennsylvania Pusat dan Timur Laut. Populasi layanan

primer dari GHS sama dengan populasi penduduk setempat. Terdapat lebih dari 50 pusat

kesehatan primer dan 3 rumah sakit di area pedesaan setempat. GHS menggunakan

EpicCare Electronic Health Records (EHR) (Epic Systems Corporation, Verona, WI)

untuk semua pusat kesehatan primer dan klinik spesialis, unit gawat darurat, dan unit

rawat inap. Sistem EHR terintegrasi ini memungkinkan pengumpulan data yang

menyeluruh terkait dengan kunjungan awal dan follow-up di lokasi manapun (baik di

pusat kesehatan primer atau unit gawat darurat) dalam cakupan GHS. Penelitian ini dikaji

dan disetujui oleh Badan Pengkaji Institusi di GHS, Rumah Sakit Anak Philadelphia, dan

Pusat Kesehatan Rumah Sakit Anak Cincinnati.

SINGKATAN
CAP Community-acquired pneumonia
EHR Electronic Health Record
GHS Geisinger Health System
ICD-9-CM International Classification of Diseases 9th revision, clinical modification
IDSA Infections Diseases Society of America
OR Odds ration
PIDS Pediatric Infectious Diseases Society
Penelitian Kohort

Anak berusia 1-18 tahun yang diobati dalam cakupan GHS dari 1 Januari 2008 –

31 Januari 2010 dan didiagnosis awal dengan CAP pada kondisi rawat jalan

diikutsertakan dalam penelitian. Subyek dinyatakan layak bila mereka didiagnosis CAP

menggunakan International Classification of Diseases, revisi ke-9, modifinikasi klinis

(ICD-9-CM) kode diagnosis (480, 482.3, 482.8, 482.9, 483, dan 486) dan mendapat

antibiotik beta-laktam (seperti penisilin, sefalosporin generasi kedua dan ketiga), baik

tunggal atau kombinasi dengan makrolid (seperti eritromisin, klaritromisin, azitromisin).

Diagnosis CAP diverifikasi oleh EHR dan didasari pada tanda dan gejala infeksi saluran

nafas bagian bawah (seperti batuk, peningkatan usaha nafas) dan diagnosis dokter dengan

CAP.

Anak berusia kurang dari 1 tahun dieksklusi dari penelitian untuk meminimalisir

misklasifikasi diagnosis pneumonia bakterialis. Walau membedakan infeksi virus dan

bakteri merupakan hal yang sulit, anak berusia kurang dari satu tahun umumnya

cenderung mengalami infeksi virus (seperti bronkiolitis) yang mana dapat meningkatkan

potensi misklasifikasi dibandingkan dengan anak usia yang lebih tua.3,7 Anak dengan

kondisi imunokompromais (seperti defisiensi imun primer) atau kondisi medis kronik

selain asam (seperti fibrosis kistik) yang menjadi predisposisi untuk CAP berat atau

rekuren dieksklusi menggunakan metode klasifikasi yang dilaporkan sebelumnya (n =

100).8

Definisi Penelitian

Pasien dianggap menderita asma bila mereka memiliki kode diagnosis rawat jalan

untuk asma (kode ICD-9-CM 493-494) sebelum diagnosis CAP atau jika mereka
mendapat obat kortikosteroid inhalasi. Penggunaan albuterol dan kortikosteroid sistemik

(seperti metilprednisone, deksamethasone, prednisone, atau prednisolone) didefinisikan

berdasarkan peresepan selama kunjungan. Viral respiratory season (infeksi pernafasan

akibat virus musiman) didefinisikan sebagai bulan November hingga Maret. Keluhan

pernafasan didefinisikan sebagai keluhan utama yang mencerminkan masalah penyakit

pernafasan (seperti batuk, kesulitan bernafas) dan bukan didasari pada keluhan umum

(seperti demam). Demam didefinisikan sebagai suhu >38.5oC yang diukur selama

kunjungan. Hanya 1.8% dari pasien yang tidak dilakukan pengukuran suhu; namun sisa

data pasien tersebut cukup lengkap sehingga tetap diikutkan dalam analisis.

Intervensi Utama

Intervensi primer dari penelitian ini adalah pemberian terapi antibiotik empiris,

diklasifikasikan sebagai monoterapi beta-laktam atau beta-laktam plus makrolid (terapi

kombinasi) yang diresepkan pada saat diagnosis CAP. Terapi antibiotik yang didapatkan

pasien diberikan berdasarkan praktik standar.9,10

Pengukuran Luaran

Luaran primer untuk penelitian ini adalah kegagalan terapi, yang didefinisikan

sebagai kunjungan follow-up dengan kode ICD-9 untuk diagnosis terkait pernafasan

disertai dengan perubahan antibiotik baik pada kondisi rawat jalan, unit gawat darurat,

atau rawat inap dalam 14 hari setelah awal diagnosis CAP. Jadwal follow-up di klinis

spesialis tidak dianggap sebagai kegagalan terapi. Kami memilih follow-up 14 hari karena

pada pasien yang dirawat inap dengan CAP, efek samping terjadi setelah 14 hari dan

umumnya tidak terkait dengan episode awal pneumonia.11 Untuk meminimalisir potensi

misklasifikasi kegagalan terapi, analisis diulang dengan membatasi time window


kegagalan terapi menjadi dalam kurun 7 hari setelah awal diagnosis CAP. Efek samping

obat diperiksan sebagai luaran sekunder. Pasien tersebut diidentifikasi dengan adanya

kunjungan follow-up dengan kode diagnosis yang menunjukkan intoleransi obat (seperti

urtikaria, dermatitis akibat obat, eritema multiforme, diare, dan kandidiasis oral, ruam,

dan erupsi kulit nonspesifik lainnya).

Analisis Data

Untuk mengevaluasi perbandingan, dua kelompok terapi dibandingkan

berdasarkan tingkat prevalensi karakteristik pasien praterapi. Propensity score digunakan

untuk menghitung potensi perancu dengan mengamati kovariat dasar bila terdapat

kegagalan terapi. Pendekatan ini dipilih karena jumlah kovariat dalam penelitian kami

relatif besar dibandingkan kegagalan terapi yang relatif sedikit. Hal ini meyebabkan

modeling multivariat dapat menghasilkan estimasi yang unreliable.12 Propensity score

dihitung menggunakan model regresi logistik untuk kemungkinan mendapat terapi

kombinasi berdasarkan sejumlah kovariat dasar. Kovariat tersebut meliputi usia, keluhan

pernafasan, mendapat albuterol, status asma, mendapat kortikosteroid sistemik, demam,

diagnosis musiman, adanya mengik, crackles, atau retraksi pada saat diagnosis, dan

dilakukan foto thoraks. Usia ditransformasi menjadi variabel kuadrat dalam model

propensity score untuk mendapat keseimbangan kovariat dasar antar kelompok terapi.

Interaksi antara mengik dan asma dianggap penting dan interaction term dimasukkan

dalam model propensity score akhir. Model propensity score sehingga dapat mencapai

keseimbangan antar kelompok terapi.13

Beberapa metode penggunaan propensity score dievaluasi: matching, stratifikasi,

penggunaan sebagai kovariat, inverse-probability-of-treatment weighting. Kami memilih

metode pembatasan kohort penelitian pada anak yang berada dalam 80% tengah dari
rentang propensity score. Dilakukan eliminasi 10% terendah dan 10% tertinggi dari

propensity score sehingga menghasilkan kohort anak yang memiliki karakteristik klinis

yang paling mirip dengan karakteristik dasar yang dimasukkan dalam model propensity

score selagi juga mengikutkan proporsi besar kohort original untuk analisis. Matching

pada propensity score tidak digunakan karena terbatasnya jumlah anak yang mendapat

terapi kombinasi sehingga mengeliminasi sejumlah besar anak yang mendapat

monoterapi beta-laktam. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya informasi dan

berkurangnya keakuratan dalam mengestimasi efek terapi antibiotik pada kegagalan

terapi.14

Analisis primer dilakukan dalam kohort terbatas menggunakan model regresi

logistik untuk mengestimasi kemungkinan kegagalan terapi pada anak yang mendapat

terapi kombinasi bila dibandingkan dengan anak yang mendapat monoterapi beta-laktam

yang dikluster berdasarkan klinis. Asma merupakan suatu faktor perancu yang penting

yang diikutkan dalam model akhir.15 Keputusan untuk mengelompokkan analisis primer

berdasarkan kelompok usia juga dibuat berdasarkan kecenderungan patogen penyebab

CAP pada populasi umum: anak berusia 6 tahun atau lebih lebih cenderung terinfeksi

patogen bakteri atipikal, sedangkan mereka yang berusia <6 tahun cenderung terinfeksi

Streptococcus pneumoniae.3 Inklusi kovariat dan interaksi lain dalam model regresi

logistik didasari pada pemeriksaan data: uji statistik dilakukan untuk interaksi antara

terapi antibiotik dan mengik karena mengik dapat memodifikasi efek terapi.

Analisis primer dalam kohort terbatas juga mengikutkan perbandingan dua

kelompok terapi mengenai efek samping obat dan kegagalan terapi tanpa

memperhitungkan kovariat menggunakan uji hipotesis dengan uji eksak Fisher.


Untuk membantu interpretasi hasil luaran primer yaitu kegagalan terapi saat 14

hari, analisis tambahan dilakukan untuk kegagalan terapi saat 7 hari. Perhitungan statistik

dilakukan menggunakan Stata versi 11 (Stata Corporation, College Station, TX).

HASIL

Kohort Penelitian

Sebanyak 915 anak diikutsertakan dan diantaranya, 717 anak tersisa setelah

pembatasan kohort berdasarkan propensity score. Dalam kohort ini, dua kelompok terapi

memiliki proporsi yang sama terkait dengan karakteristik pasien (Tabel 1). Kelompok

monoterapi menunjukkan tingkat rhonki, mengik, dan asma yang lebih rendah dan tingkat

demam, efusi pleura, dan infiltrat yang lebih tinggi. Juga ditemukan kesamaan kelompok

usia antara dua kelompok terapi (Tabel 2). Rerata usia sebesar 5.8 tahun (rentang

interkuartil (interquartile range (IQR), 3–8 tahun). Di antaranya, 570 (79.5%) mendapat

monoterapi beta-laktam dan 147 (20.1%) mendapat terapi kombinasi beta-

laktam/makrolid. Monoterapi beta-laktam diberikan pada 345 dari 417 (82.7%) anak

berusia <6 tahun dan 225 dari 300 (75.0%) dari anak berusia ≥6 tahun.

Kegagalan Terapi

Di antara 717 anak dalam kohort, 248 (34.6%) pasien melakukan kunjungan

follow-up terkait pernafasan dalam 14 hari setelah awal diagnosis CAP. Di antaranya, 244

(98.3%) kembali ke klinis rawat jalan, 1 (0.4%) kembali ke unit gawat darurat, dan 3

(1.2%) dirawat inap. Kegagalan terapi terjadi pada 55 (7.7%) pasien (Tabel 3). Di antara

mereka yang berusia <6 tahun, kegagalan terapi terjadi pada 17 (4.9%) anak yang

mendapat monoterapi beta-laktam dan 6 (8.3%) yang mendapat terapi kombinasi. Pada
mereka yang berusia ≥6 tahun, kegagalan terapi terjadi pada 29 (12.9%) anak yang

mendapat monoterapi beta-laktam dan 3 (4.0%) yang mendapat terapi kombinasi. Pada

analisis primer, model regresi logistik spesifik kelompok usia untuk kegagalan terapi pada

14 hari mengikutkan terapi dan status asma. Interaksi therapy-by-wheezing tidak

dimasukkan dalam model akhir (P = 0.29). Pada anak berusia <6 tahun, perbedaan

kegagalan terapi antara mereka yang mendapat terapi kombinasi dan mereka yang

mendapat monoterapi beta-laktam tidak signifikan secara statistik (Tabel 4). Pada mereka

yang berusia ≥6 tahun, anak yang mendapat terapi kombinasi memiliki 49%

kemungkinan lebih rendah mengalami kegagalan terapi dibandingkan mereka yang

mendapat monoterapi beta-laktam (Tabel 4).

Kami lalu membatasi definisi kegagalan terapi menjadi 7 hari dari kunjungan awal

(Tabel 3). Pada mereka yang berusia <6 tahun, perbedaan kegagalan terapi antara yang

mendapat monoterapi beta-laktam dan yang mendapat terapi kombinasi tidak signifikan

secara statistik (Tabel 4). Kemungkinan kegagalan terapi masih lebih rendah pada anak

berusia ≥6 tahun yang mendapat terapi kombinasi dibandingkan dengan mereka yang

mendapat monoterapi beta-laktam (Tabel 4).

Efek Samping Obat

Kunjungan terkait efek samping obat terjadi pada 14 (1.9%) pasien (Tabel 3).

Kunjungan terkait efek samping terjadi pada 11 (1.9%) pasien yang mendapat monoterapi

beta-laktam dan 3 (2.0%) pasien yang mendapat terapi kombinasi; perbedaannya tidak

signifikan secara statistik bila dikelompokkan berdasarkan usia (Tabel 3). Efek samping

yang paling sering dilaporkan adalah urtikaria (n = 5), ruam (n = 4), dan diare (n = 2).
TABEL 1—Patient Characteristics By Treatment Category Within the Propensity-Score

Cohort

TABEL 2—Patient Characteristics by Treatment Category Stratified by Age Category

DISKUSI

Dalam penelitian multisenter rawat jalan ini, 7.7% anak yang datang dengan CAP

mengalami kegagalan terapi dalam 14 hari setelah diagnosis. Pada anak berusia 6-18

tahun, mereka yang mendapat terapi kombinasi beta-laktam/makrolid kurang cenderung


mengalami kegagalan terapi daripada mereka yang mendapat monoterapi beta laktam.

Pada anak berusia di bawah 6 tahun, analisis hubungan antara terapi antibiotik dan

kegagaln terapi tidak signifikan (P = 0.0678). Efek samping obat diamati pada 1.9% dari

anak dengan CAP.

Tingkat kegagalan terapi dalam penelitian ini sama seperti yang dijelaskan dalam

penelitian sebelumnya pada anak dengan CAP pada kondisi rawat jalan, yang memiliki

rentang dari 2.7% - 7.5%.16-19 Kami mengamati 49% penurunan kemungkinan kegagalan

terapi pada anak berusia 6-18 tahun yang mendapat terapi kombinas beta-

laktam/makrolid dibandingkan mereka yang mendapat monoterapi beta-laktam. Manfaat

terapi kombinasi pada anak berusia lebih tua sesuai dengan prevalensi Mycoplasma

pneumoniae dan organisme atipikal lainnya yang lebih tinggi pada kelompok usia ini.20,21

Sebaliknya, anak yang berusia prasekolah dan berusia lebih muda memiliki insiden

pneumonia tipikal yang jauh lebih rendah.22-25 Dalam satu penelitian yang merekrut anak

rawat jalan dan rawat inap, tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk kegagalan

terapi pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun yang mendapat monoterapi beta-laktam

dibandingkan dengan mereka yang mendapat levofloxacin, suatu antibiotik yang efektif

terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipikal.16 Pada anak yang dirawat inap, anak usia

sekolah dengan CAP yang mendapat terapi kombinasi beta-laktam/makrolid

menunjukkan penurunan signifikan untuk lama rawat inap dibandingkan dengan yang

mendapat monoterapi beta-laktam.6 Penelitian kami menunjukkan manfaat terapi

kombinasi pada anak usia sekolah pada kondisi rawat jalan.


TABEL 3—Treatment Failure and Antibiotic Intolerance by Age Category

TABEL 4—Logistic Regression Models for the Association of Empiric Antibiotic

Therapy With Treatment Failure

Pada anak berusia <6 tahun dalam penelitian ini, penilaian hubungan antara

rejimen antibiotik dan kegagalan terapi tidak konklusif. Estimasi point dan interval untuk

odd ratio mengindikasikan bahwa monoterapi mungkin lebih baik daripada terapi

kombinasi. Anak usia prasekolah dan usia lebih muda memiliki insiden pneumonia

atipikal yang rendah dan umumnya didominasi infeksi saluran nafas akibat virus.22-25

Kami tidak memperkirakan penambahan terapi makrolid memiliki dampak besar pada

insiden kegagalan terapi pada kelompok usia ini. Temuan ini sama dengan penelitian lain

bahwa kegagalan mendeteksi perbedaan luaran antara anak usia prasekolah dengan CAP

yang mendapat antibiotik spektrum luas dan mereka yang mendapat antibiotik spektrum
sempit.6,16 Walau antibiotik makrolid juga memiliki efek anti-inflamasi,26-28 data kami

menunjukkan bahwa efek ini mungkin tidak berdampak besar pada luaran anak usia muda

dengan CAP.

Masih terdapat pertanyaan bagaimana mengaplikasikan temuan penelitian kami

ke dalam praktik klinis. Makrolid memiliki aktivitas sub-optimal terhadap S. pneumoniae

dengan tingkat resistensi melebihi 40% pada beberapa area.29 Resistensi obat terhadap

makrolid berhubungan dengan kegagalan terapi pada pasien dengan infeksi akibat S.

pneumoniae.30-32 Karena itu, makrolid tidak direkomendasikan sebagai monoterapi untuk

terapi infeksi pneumokokus invasif seperti pneumonia.33 Selain itu, resistensi makrolid

pada isolat S. pneumoniae yang sebelumnya diobati dengan makrolid menimbulkan

maslaah mengenai peningkatan penggunaan makrolid dapat memperburuk masalah

resistensi obat dari pneumokokus.34 Sebaliknya, peran antibiotik dalam terapi pneumonia

akibat M. pneumoniae dan bakteri atipikal lainnya masih kontroversial dan kegagalan

terapi pada infeksi tersebut tampaknya kecil.35,36 Walau data kami menunjukkan potensi

peran penting terapi kombinasi beta-laktam/makrolid untuk terapi CAP, masih diperlukan

penelitian tambahan mengenai populasi yang paling cocok untuk mendapat terapi

kombinasi ini.

Terdapat beberapa keterbatasan dari penelitian kami. Pertama, karena kami hanya

mengkaji rekam medis anak dengan kode diagnosis yang menunjukkan pneumonia, anak

dengan CAP tanpa kode ICD-9-CM untuk pneumonia tidak diikutsertakan dalam

penelitian ini. Terdapat kemungkinan bahwa anak yang datang dengan pneumonia

diberikan kode diagnosis yang tidak tercatat dalam algoritma kami (seperti demam,

batuk), yang mengesankan bahwa jumlah kasus pneumonia dalam GHS mungkin lebih

besar daripada yang terlihat dalam penelitian ini. Namun, bila algoritma yang digunakan
diperluas, dapat terjadi over-representation dari anak yang tidak dicurigai mengalami

pneumonia. Dalam sistem Geisinger, kode ICD-9-CM dicantumkan oleh dokter pada saat

kunjungan, yang menyebabkan kecenderungan bahwa kode ini memiliki nilai prediksi

positif tinggi untuk mengidentifikasi pasien dengna kecurigaan pneumonia. Selain itu,

tiap diagnosis pneumonia diverifikasi melalui tinjauan bagan dan anak berusia kurang

dari satu tahun dieksklusi karena insiden bronkiolitis virus yang tinggi pada kelompok

usia ini.

Keterbatasan kedua adalah hasil mungkin mengalami bias oleh faktor perancu

yang tidak diketahui atau tidak diukur.37

Metode propensity score digunakan untuk memperhitungkan faktor perancu yang

bergantung pada asumsi bahwa semua faktor perancu diukur dan diikutkan dalam

pengembangan propensity score.

Keterbatasan ketiga adalah hasil mungkin mengalami bias oleh penyesuaian

(adjustment) yang tidak adekuat dari salah satu faktor perancu yang diketahui seperti

tingkat keparahan penyakit pada saat kunjungan. Kami memasukkan penanda tingkat

keparahan (seperti mendapat kortikosteroid sistemik, retraksi) dalam model propensity

score kami; namun, kemungkinan bahwa prosedur ini tidak sepenuhnya efektif. Jika

rejimen antibiotik dipilih berdasarkan tingkat keparahan penyakit, kami berasumsi bahwa

dokter akan memberikan terapi kombinasi beta-laktam/makrolid dibandingkan

monoterapi beta-laktam untuk anak dengan penyakit yang lebih berat. Hal ini

menyebabkan bias pada hasil kami sehingga terdapat kecenderungan kegagalan terapi

yang lebih tinggi pada mereka yang mendapat terapi kombinasi beta-laktam dan

makrolid. Karena itu, pada anak berusia lebih tua, manfaat terapi kombinasi mungkin

lebih besar daripada yang ditunjukkan dalam penelitian ini.


Keterbatasan keempat yaitu derajat perbandingan antara dua kelompok terapi.

Pembatasan analisis pada pasien pada 80% tengah dari rentang propensity score akan

mencapai keseimbangan yang baik namun tidak sempurna pada beberapa kovariat dasar.

Sebagai contoh, kelompok monoterapi menunjukkan tingkat mengik yang sedikit lebih

rendah dan tingkat efusi pleura dan infiltrat yang sedikit lebih tinggi, yang menimbulkan

kemungkinan penyakit yang lebih berat pada kelompok ini. Namun, tidak semua pasien

dilakukan foto thoraks yang membuat sulitnya menentukan ketidakseimbangan pada

karakteristik tersebut. Keterbatasan kelima adalah mungkin terdapat misklasifikasi dari

luarna primer. Kegagalan terapi pada CAP pediatrik sulit untuk diukur, karena komplikasi

terkait pneumonia seperti empyema relatif jarang pada anak yang diobati secara rawat

jalan, dan kondisi ini sulit diidentifikasi karena etiologinya jarang teridentifikasi. Kami

menggunakan definisi kegagalan terapi yang sebelumnya digunakan yaitu kunjungan

kesehatan dengan kode diagnosis terkait pernafasan dalam 14 hari setelah diagnosis CAP

dimana diberikan antibiotik alternatif.16 Selain itu, kami mengulang analisis setelah

pembatasan waktu kunjungan follow-up menjadi 7 hari. Hasil sub-analisis ini sama

dengan hasil analisis primer kami.

Keterbatasan keenam adalah bahwa, tidak semua perubahan antibiotik sama dan

pasien yang mendapat terapi kombinasi beta-laktam/makrolid mungkin memiliki lebih

sedikit kemungkinan gagal karena pilihan terapi alternatif yang lebih sedikit.

Keterbatasan ini dapat menyebabkan underestimate dari tingkat kegagalan terapi pada

mereka yang mendapat terapi kombinasi. Hal ini menyebabkan tingkat kegagalan terapi

munkgin lebih besar daripada yang dideteksi dalam penelitian ini. Namun, hanya sedikit

pasien yang memerlukan rawat inap sehingga underestimation kuranng cederung terjadi.

Terakhir, kami hanya mampu mencatat perubahan antibiotik yang didokumentasikan saat
kunjungan follow-up. Kami tidak dapat mencatat perubahan terapi yang dilakukan

melalui telefon atau pada kondisi di luar klinik, sehingga terdapat kemungkinan bahwa

tingkat kegagalan terapi mungkin lebih besar daripada yang diidentifikasi dalam

penelitian ini. Misklasifikasi ini dapat menyebabkan bias pada hasil kami.

Sebagai kesimpulan, anak berusia ≥6 tahun yang mendapat terapi kombinasi beta-

laktam/makrolid untuk CAP cenderung mengalami kemungkinan kegagalan terapi yang

lebih rendah dibandingkan dengan anak berusia 6 tahun atau lebih yang mendapat

monoterapi beta-laktam.

Anda mungkin juga menyukai