Translate Jurnal Beta-Laktam
Translate Jurnal Beta-Laktam
Oleh:
Alfadea Irbah Allizaputri, S. Ked. 04054821820053
Pembimbing:
dr. Azwar Aruf, Sp.A(K), M. Sc.
Journal Reading
Beta-Lactam Versus Beta-Lactam/Macrolide Therapy in
Pediatric Outpatient Pneumonia
Oleh:
Alfadea Irbah Allizaputri, S. Ked. 04054821820053
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 29 Juli 2019 - 7 Oktober 2019..
Penelitian kohort retrospektif ini mengikutsertakan anak berusia 1-18 tahun dengan
diagnosis CAP antara 1 Januari 2008 hingga 31 Januari 2010 selama tatalaksana rawat
jalan di Geisinger Health System. Intervensi primer adalah pemberian monoterapi beta-
laktam atau kombinasi beta-laktam/makrolid. Hasil utama yang dicari adalah kegagalan
terapi, yang didefinisikan sebagai kunjungan follow-up dalam 14 hari setelah diagnosis
yang menyebabkan perubahan terapi antibiotik. Regresi logistik dalam kohort propensity
terapi. Hasil. Dari 717 anak dalam analisis, 570 (79.4%) mendapat monoterapi beta-
laktam dan 147 (20.1%) mendapat terapi kombinasi. Dari mereka yang mendapat terapi
kombinasi, 58.2% anak berusia di bawah 6 tahun. Kegagalan terapi terjadi pada 55 (7.7%)
anak, yaitu 8.1% dari kelompok monoterapi dan 6.1% dari kelompok terapi kombinasi.
Tingkat kegagalan terapi paling tinggi pada anak berusia 6-18 tahun yang mendapat
monoterapi (12.9%) dan paling rendah pada anak berusia 6-18 tahun yang mendapat
terapi kombinasi (4.0%). Anak berusia 6-18 tahun yang mendapat terapi kombinasi
0.28, 0.95). Kesimpulan: Anak berusia 6-18 tahun yang mendapat terapi kombinasi beta-
laktam.
PENDAHULUAN
pada anak-anak dengan lebih dari 1.5 juta anak terdiagnosis pada kondisi rawat jalan
setiap tahunnya.1 Patogen hanya teridentifikasi pada sebagian kecil anak. Karena itu, anak
yang terserang pneumonia umumnya mendapat terapi antibiotik empiris berdasarkan usia
Pada tahun 2011 Pediatric Infectious Diseases Society (PIDS) dan Infectious
untuk sebagian besar anak dengan CAP yang diterapi rawat jalan. Walau makrolid
direkomendasikan untuk terapi anak usia sekolah dan remaja dengan patogen atipikal,
peran terapi kombinasi beta-laktam/makrolid untuk pasien rawat jalan belum diselidiki.
Pada pasien rawat inap, makrolid direkomendasikan sebagai tambahan terapi beta-laktam
sebagian besar kasus namun tidak memiliki bukti kuat mengenai terapi kombinasi.4,5
Terlepas dari rekomendasi ini, masih sedikit data yang membandingkan efektivitas
rawat jalan yang bekerja sama dengan Geisinger Health System (GHS). GHS memberikan
pelayanan primer pada 31 daerah di Pennsylvania Pusat dan Timur Laut. Populasi layanan
primer dari GHS sama dengan populasi penduduk setempat. Terdapat lebih dari 50 pusat
kesehatan primer dan 3 rumah sakit di area pedesaan setempat. GHS menggunakan
EpicCare Electronic Health Records (EHR) (Epic Systems Corporation, Verona, WI)
untuk semua pusat kesehatan primer dan klinik spesialis, unit gawat darurat, dan unit
rawat inap. Sistem EHR terintegrasi ini memungkinkan pengumpulan data yang
menyeluruh terkait dengan kunjungan awal dan follow-up di lokasi manapun (baik di
pusat kesehatan primer atau unit gawat darurat) dalam cakupan GHS. Penelitian ini dikaji
dan disetujui oleh Badan Pengkaji Institusi di GHS, Rumah Sakit Anak Philadelphia, dan
SINGKATAN
CAP Community-acquired pneumonia
EHR Electronic Health Record
GHS Geisinger Health System
ICD-9-CM International Classification of Diseases 9th revision, clinical modification
IDSA Infections Diseases Society of America
OR Odds ration
PIDS Pediatric Infectious Diseases Society
Penelitian Kohort
Anak berusia 1-18 tahun yang diobati dalam cakupan GHS dari 1 Januari 2008 –
31 Januari 2010 dan didiagnosis awal dengan CAP pada kondisi rawat jalan
diikutsertakan dalam penelitian. Subyek dinyatakan layak bila mereka didiagnosis CAP
(ICD-9-CM) kode diagnosis (480, 482.3, 482.8, 482.9, 483, dan 486) dan mendapat
antibiotik beta-laktam (seperti penisilin, sefalosporin generasi kedua dan ketiga), baik
Diagnosis CAP diverifikasi oleh EHR dan didasari pada tanda dan gejala infeksi saluran
nafas bagian bawah (seperti batuk, peningkatan usaha nafas) dan diagnosis dokter dengan
CAP.
Anak berusia kurang dari 1 tahun dieksklusi dari penelitian untuk meminimalisir
bakteri merupakan hal yang sulit, anak berusia kurang dari satu tahun umumnya
cenderung mengalami infeksi virus (seperti bronkiolitis) yang mana dapat meningkatkan
potensi misklasifikasi dibandingkan dengan anak usia yang lebih tua.3,7 Anak dengan
kondisi imunokompromais (seperti defisiensi imun primer) atau kondisi medis kronik
selain asam (seperti fibrosis kistik) yang menjadi predisposisi untuk CAP berat atau
100).8
Definisi Penelitian
Pasien dianggap menderita asma bila mereka memiliki kode diagnosis rawat jalan
untuk asma (kode ICD-9-CM 493-494) sebelum diagnosis CAP atau jika mereka
mendapat obat kortikosteroid inhalasi. Penggunaan albuterol dan kortikosteroid sistemik
akibat virus musiman) didefinisikan sebagai bulan November hingga Maret. Keluhan
pernafasan (seperti batuk, kesulitan bernafas) dan bukan didasari pada keluhan umum
(seperti demam). Demam didefinisikan sebagai suhu >38.5oC yang diukur selama
kunjungan. Hanya 1.8% dari pasien yang tidak dilakukan pengukuran suhu; namun sisa
data pasien tersebut cukup lengkap sehingga tetap diikutkan dalam analisis.
Intervensi Utama
Intervensi primer dari penelitian ini adalah pemberian terapi antibiotik empiris,
kombinasi) yang diresepkan pada saat diagnosis CAP. Terapi antibiotik yang didapatkan
Pengukuran Luaran
Luaran primer untuk penelitian ini adalah kegagalan terapi, yang didefinisikan
sebagai kunjungan follow-up dengan kode ICD-9 untuk diagnosis terkait pernafasan
disertai dengan perubahan antibiotik baik pada kondisi rawat jalan, unit gawat darurat,
atau rawat inap dalam 14 hari setelah awal diagnosis CAP. Jadwal follow-up di klinis
spesialis tidak dianggap sebagai kegagalan terapi. Kami memilih follow-up 14 hari karena
pada pasien yang dirawat inap dengan CAP, efek samping terjadi setelah 14 hari dan
umumnya tidak terkait dengan episode awal pneumonia.11 Untuk meminimalisir potensi
obat diperiksan sebagai luaran sekunder. Pasien tersebut diidentifikasi dengan adanya
kunjungan follow-up dengan kode diagnosis yang menunjukkan intoleransi obat (seperti
urtikaria, dermatitis akibat obat, eritema multiforme, diare, dan kandidiasis oral, ruam,
Analisis Data
untuk menghitung potensi perancu dengan mengamati kovariat dasar bila terdapat
kegagalan terapi. Pendekatan ini dipilih karena jumlah kovariat dalam penelitian kami
relatif besar dibandingkan kegagalan terapi yang relatif sedikit. Hal ini meyebabkan
kombinasi berdasarkan sejumlah kovariat dasar. Kovariat tersebut meliputi usia, keluhan
diagnosis musiman, adanya mengik, crackles, atau retraksi pada saat diagnosis, dan
dilakukan foto thoraks. Usia ditransformasi menjadi variabel kuadrat dalam model
propensity score untuk mendapat keseimbangan kovariat dasar antar kelompok terapi.
Interaksi antara mengik dan asma dianggap penting dan interaction term dimasukkan
dalam model propensity score akhir. Model propensity score sehingga dapat mencapai
metode pembatasan kohort penelitian pada anak yang berada dalam 80% tengah dari
rentang propensity score. Dilakukan eliminasi 10% terendah dan 10% tertinggi dari
propensity score sehingga menghasilkan kohort anak yang memiliki karakteristik klinis
yang paling mirip dengan karakteristik dasar yang dimasukkan dalam model propensity
score selagi juga mengikutkan proporsi besar kohort original untuk analisis. Matching
pada propensity score tidak digunakan karena terbatasnya jumlah anak yang mendapat
terapi.14
logistik untuk mengestimasi kemungkinan kegagalan terapi pada anak yang mendapat
terapi kombinasi bila dibandingkan dengan anak yang mendapat monoterapi beta-laktam
yang dikluster berdasarkan klinis. Asma merupakan suatu faktor perancu yang penting
yang diikutkan dalam model akhir.15 Keputusan untuk mengelompokkan analisis primer
CAP pada populasi umum: anak berusia 6 tahun atau lebih lebih cenderung terinfeksi
patogen bakteri atipikal, sedangkan mereka yang berusia <6 tahun cenderung terinfeksi
Streptococcus pneumoniae.3 Inklusi kovariat dan interaksi lain dalam model regresi
logistik didasari pada pemeriksaan data: uji statistik dilakukan untuk interaksi antara
terapi antibiotik dan mengik karena mengik dapat memodifikasi efek terapi.
kelompok terapi mengenai efek samping obat dan kegagalan terapi tanpa
hari, analisis tambahan dilakukan untuk kegagalan terapi saat 7 hari. Perhitungan statistik
HASIL
Kohort Penelitian
Sebanyak 915 anak diikutsertakan dan diantaranya, 717 anak tersisa setelah
pembatasan kohort berdasarkan propensity score. Dalam kohort ini, dua kelompok terapi
memiliki proporsi yang sama terkait dengan karakteristik pasien (Tabel 1). Kelompok
monoterapi menunjukkan tingkat rhonki, mengik, dan asma yang lebih rendah dan tingkat
demam, efusi pleura, dan infiltrat yang lebih tinggi. Juga ditemukan kesamaan kelompok
usia antara dua kelompok terapi (Tabel 2). Rerata usia sebesar 5.8 tahun (rentang
interkuartil (interquartile range (IQR), 3–8 tahun). Di antaranya, 570 (79.5%) mendapat
laktam/makrolid. Monoterapi beta-laktam diberikan pada 345 dari 417 (82.7%) anak
berusia <6 tahun dan 225 dari 300 (75.0%) dari anak berusia ≥6 tahun.
Kegagalan Terapi
Di antara 717 anak dalam kohort, 248 (34.6%) pasien melakukan kunjungan
follow-up terkait pernafasan dalam 14 hari setelah awal diagnosis CAP. Di antaranya, 244
(98.3%) kembali ke klinis rawat jalan, 1 (0.4%) kembali ke unit gawat darurat, dan 3
(1.2%) dirawat inap. Kegagalan terapi terjadi pada 55 (7.7%) pasien (Tabel 3). Di antara
mereka yang berusia <6 tahun, kegagalan terapi terjadi pada 17 (4.9%) anak yang
mendapat monoterapi beta-laktam dan 6 (8.3%) yang mendapat terapi kombinasi. Pada
mereka yang berusia ≥6 tahun, kegagalan terapi terjadi pada 29 (12.9%) anak yang
mendapat monoterapi beta-laktam dan 3 (4.0%) yang mendapat terapi kombinasi. Pada
analisis primer, model regresi logistik spesifik kelompok usia untuk kegagalan terapi pada
dimasukkan dalam model akhir (P = 0.29). Pada anak berusia <6 tahun, perbedaan
kegagalan terapi antara mereka yang mendapat terapi kombinasi dan mereka yang
mendapat monoterapi beta-laktam tidak signifikan secara statistik (Tabel 4). Pada mereka
yang berusia ≥6 tahun, anak yang mendapat terapi kombinasi memiliki 49%
Kami lalu membatasi definisi kegagalan terapi menjadi 7 hari dari kunjungan awal
(Tabel 3). Pada mereka yang berusia <6 tahun, perbedaan kegagalan terapi antara yang
mendapat monoterapi beta-laktam dan yang mendapat terapi kombinasi tidak signifikan
secara statistik (Tabel 4). Kemungkinan kegagalan terapi masih lebih rendah pada anak
berusia ≥6 tahun yang mendapat terapi kombinasi dibandingkan dengan mereka yang
Kunjungan terkait efek samping obat terjadi pada 14 (1.9%) pasien (Tabel 3).
Kunjungan terkait efek samping terjadi pada 11 (1.9%) pasien yang mendapat monoterapi
beta-laktam dan 3 (2.0%) pasien yang mendapat terapi kombinasi; perbedaannya tidak
signifikan secara statistik bila dikelompokkan berdasarkan usia (Tabel 3). Efek samping
yang paling sering dilaporkan adalah urtikaria (n = 5), ruam (n = 4), dan diare (n = 2).
TABEL 1—Patient Characteristics By Treatment Category Within the Propensity-Score
Cohort
DISKUSI
Dalam penelitian multisenter rawat jalan ini, 7.7% anak yang datang dengan CAP
mengalami kegagalan terapi dalam 14 hari setelah diagnosis. Pada anak berusia 6-18
Pada anak berusia di bawah 6 tahun, analisis hubungan antara terapi antibiotik dan
kegagaln terapi tidak signifikan (P = 0.0678). Efek samping obat diamati pada 1.9% dari
Tingkat kegagalan terapi dalam penelitian ini sama seperti yang dijelaskan dalam
penelitian sebelumnya pada anak dengan CAP pada kondisi rawat jalan, yang memiliki
rentang dari 2.7% - 7.5%.16-19 Kami mengamati 49% penurunan kemungkinan kegagalan
terapi pada anak berusia 6-18 tahun yang mendapat terapi kombinas beta-
terapi kombinasi pada anak berusia lebih tua sesuai dengan prevalensi Mycoplasma
pneumoniae dan organisme atipikal lainnya yang lebih tinggi pada kelompok usia ini.20,21
Sebaliknya, anak yang berusia prasekolah dan berusia lebih muda memiliki insiden
pneumonia tipikal yang jauh lebih rendah.22-25 Dalam satu penelitian yang merekrut anak
rawat jalan dan rawat inap, tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk kegagalan
terapi pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun yang mendapat monoterapi beta-laktam
dibandingkan dengan mereka yang mendapat levofloxacin, suatu antibiotik yang efektif
terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipikal.16 Pada anak yang dirawat inap, anak usia
menunjukkan penurunan signifikan untuk lama rawat inap dibandingkan dengan yang
Pada anak berusia <6 tahun dalam penelitian ini, penilaian hubungan antara
rejimen antibiotik dan kegagalan terapi tidak konklusif. Estimasi point dan interval untuk
odd ratio mengindikasikan bahwa monoterapi mungkin lebih baik daripada terapi
kombinasi. Anak usia prasekolah dan usia lebih muda memiliki insiden pneumonia
atipikal yang rendah dan umumnya didominasi infeksi saluran nafas akibat virus.22-25
Kami tidak memperkirakan penambahan terapi makrolid memiliki dampak besar pada
insiden kegagalan terapi pada kelompok usia ini. Temuan ini sama dengan penelitian lain
bahwa kegagalan mendeteksi perbedaan luaran antara anak usia prasekolah dengan CAP
yang mendapat antibiotik spektrum luas dan mereka yang mendapat antibiotik spektrum
sempit.6,16 Walau antibiotik makrolid juga memiliki efek anti-inflamasi,26-28 data kami
menunjukkan bahwa efek ini mungkin tidak berdampak besar pada luaran anak usia muda
dengan CAP.
dengan tingkat resistensi melebihi 40% pada beberapa area.29 Resistensi obat terhadap
makrolid berhubungan dengan kegagalan terapi pada pasien dengan infeksi akibat S.
terapi infeksi pneumokokus invasif seperti pneumonia.33 Selain itu, resistensi makrolid
resistensi obat dari pneumokokus.34 Sebaliknya, peran antibiotik dalam terapi pneumonia
akibat M. pneumoniae dan bakteri atipikal lainnya masih kontroversial dan kegagalan
terapi pada infeksi tersebut tampaknya kecil.35,36 Walau data kami menunjukkan potensi
peran penting terapi kombinasi beta-laktam/makrolid untuk terapi CAP, masih diperlukan
penelitian tambahan mengenai populasi yang paling cocok untuk mendapat terapi
kombinasi ini.
Terdapat beberapa keterbatasan dari penelitian kami. Pertama, karena kami hanya
mengkaji rekam medis anak dengan kode diagnosis yang menunjukkan pneumonia, anak
dengan CAP tanpa kode ICD-9-CM untuk pneumonia tidak diikutsertakan dalam
penelitian ini. Terdapat kemungkinan bahwa anak yang datang dengan pneumonia
diberikan kode diagnosis yang tidak tercatat dalam algoritma kami (seperti demam,
batuk), yang mengesankan bahwa jumlah kasus pneumonia dalam GHS mungkin lebih
besar daripada yang terlihat dalam penelitian ini. Namun, bila algoritma yang digunakan
diperluas, dapat terjadi over-representation dari anak yang tidak dicurigai mengalami
pneumonia. Dalam sistem Geisinger, kode ICD-9-CM dicantumkan oleh dokter pada saat
kunjungan, yang menyebabkan kecenderungan bahwa kode ini memiliki nilai prediksi
positif tinggi untuk mengidentifikasi pasien dengna kecurigaan pneumonia. Selain itu,
tiap diagnosis pneumonia diverifikasi melalui tinjauan bagan dan anak berusia kurang
dari satu tahun dieksklusi karena insiden bronkiolitis virus yang tinggi pada kelompok
usia ini.
Keterbatasan kedua adalah hasil mungkin mengalami bias oleh faktor perancu
bergantung pada asumsi bahwa semua faktor perancu diukur dan diikutkan dalam
(adjustment) yang tidak adekuat dari salah satu faktor perancu yang diketahui seperti
tingkat keparahan penyakit pada saat kunjungan. Kami memasukkan penanda tingkat
score kami; namun, kemungkinan bahwa prosedur ini tidak sepenuhnya efektif. Jika
rejimen antibiotik dipilih berdasarkan tingkat keparahan penyakit, kami berasumsi bahwa
monoterapi beta-laktam untuk anak dengan penyakit yang lebih berat. Hal ini
menyebabkan bias pada hasil kami sehingga terdapat kecenderungan kegagalan terapi
yang lebih tinggi pada mereka yang mendapat terapi kombinasi beta-laktam dan
makrolid. Karena itu, pada anak berusia lebih tua, manfaat terapi kombinasi mungkin
Pembatasan analisis pada pasien pada 80% tengah dari rentang propensity score akan
mencapai keseimbangan yang baik namun tidak sempurna pada beberapa kovariat dasar.
Sebagai contoh, kelompok monoterapi menunjukkan tingkat mengik yang sedikit lebih
rendah dan tingkat efusi pleura dan infiltrat yang sedikit lebih tinggi, yang menimbulkan
kemungkinan penyakit yang lebih berat pada kelompok ini. Namun, tidak semua pasien
luarna primer. Kegagalan terapi pada CAP pediatrik sulit untuk diukur, karena komplikasi
terkait pneumonia seperti empyema relatif jarang pada anak yang diobati secara rawat
jalan, dan kondisi ini sulit diidentifikasi karena etiologinya jarang teridentifikasi. Kami
kesehatan dengan kode diagnosis terkait pernafasan dalam 14 hari setelah diagnosis CAP
dimana diberikan antibiotik alternatif.16 Selain itu, kami mengulang analisis setelah
pembatasan waktu kunjungan follow-up menjadi 7 hari. Hasil sub-analisis ini sama
Keterbatasan keenam adalah bahwa, tidak semua perubahan antibiotik sama dan
sedikit kemungkinan gagal karena pilihan terapi alternatif yang lebih sedikit.
Keterbatasan ini dapat menyebabkan underestimate dari tingkat kegagalan terapi pada
mereka yang mendapat terapi kombinasi. Hal ini menyebabkan tingkat kegagalan terapi
munkgin lebih besar daripada yang dideteksi dalam penelitian ini. Namun, hanya sedikit
pasien yang memerlukan rawat inap sehingga underestimation kuranng cederung terjadi.
Terakhir, kami hanya mampu mencatat perubahan antibiotik yang didokumentasikan saat
kunjungan follow-up. Kami tidak dapat mencatat perubahan terapi yang dilakukan
melalui telefon atau pada kondisi di luar klinik, sehingga terdapat kemungkinan bahwa
tingkat kegagalan terapi mungkin lebih besar daripada yang diidentifikasi dalam
penelitian ini. Misklasifikasi ini dapat menyebabkan bias pada hasil kami.
Sebagai kesimpulan, anak berusia ≥6 tahun yang mendapat terapi kombinasi beta-
lebih rendah dibandingkan dengan anak berusia 6 tahun atau lebih yang mendapat
monoterapi beta-laktam.