Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan dan status gizi

masyarakat merupakan Pembangunan kesehatan periode 2015-2019 (Kemenkes RI, 2016).

Salah satu faktor yang dapat kita lihat sebagai derajat kesehatan masyarakat adalah perilaku

merokok pada masyarakat. Data epidemi tembakau di dunia menunjukkan tembakau

membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut terus, pada

tahun 2020 diperkirakan terjadi sepuluh juta kematian dengan 70 persen terjadi di negara

sedang berkembang (Depkes RI, 2009).

Terdapat 5 juta orang mati karena penyakit yang disebabkan oleh rokok. WHO terus

mengingatkan bahwa rokok merupakan salah satu pembunuh paling berbahaya di dunia.

Merokok merupakan suatu tindakan merusak diri sendiri yang menyebabkan timbulnya

penyakit dan membawa kematian apabila menghirup racun rokok secara kontinyu atau

sama dengan menghirup bakteri-bakteri penyakit (WHO,2008).

Akibat dari rokok tidak hanya dirasakan oleh seseorang yang merokok atau perokok

aktif, namun juga dirasakan oleh orang-orang yang ada disekitar perokok atau perokok
pasif. Dampak rokok yang dirasakan langsung oleh perokok pasif adalah asap rokok. Asap

rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan terjadinya 25 penyakit di

tubuh manusia. Analisa mendalam tentang aspek sosio ekonomi dari bahaya merokok telah

dilakukan, dimana dampak kesehatan di masyarakat terbukti lebih buruk. Sehingga,

diperlukan kemampuan advokasi dan mobilisasi sosial serta komunikasi risiko dalam

menjalankan kegiatan penanggulangan masalah merokok di Indonesia (Depkes RI, 2012).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008, telah menetapkan

Indonesia sebagai negara terbesar ke tiga sebagai pengguna rokok. Lebih dari 60 juta

penduduk Indonesia pun mengalami ketidak berdayaan akibat dari adiksi nikotin rokok.

Kematian akibat konsumsi rokok tercatat lebih dari 400 ribu orang/tahun. Diketahui juga

statistik perokok dari kalangan anak-anak terus meningkat. Proporsi perokok di Indonesia

dari kalangan anak-anak dan remaja yakni pria sebanyak 24,1% anak/remaja pria, wanita

sebanyak 4,1 % anak/remaja wanita atau 13,5 % anak/ramaja Indonesia dan untuk jumlah

statistik prokok dari kalangan dewasa, yakni pria sebanyak 63% pria dewasa, wanita

sebanyak 4,5 % wanita dewasa atau 34% perokok dewasa.

The ASEAN Tobacco Control Report (2007) menunjukkan bahwa Indonesia

merupakan negara perokok terbesar di lingkungan negara-negara ASEAN, yakni sebanyak

57.563 juta orang perokok dari jumlah perokok ASEAN sebanyak 124.691 juta orang

perokok. Data Riskesdas 2007, prevalensi merokok di Indonesia naik dari tahun ke tahun.

Persentase pada penduduk berumur >15 tahun adalah 35,4 persen aktif merokok (65,3
persen laki-laki dan 5,6 persen wanita), artinya 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif

(Depkes RI, 2011).

Aiman dalam Minarsih (2012) berpendapat perilaku merokok tidak hanya dilakukan

oleh kaum laki-laki, namun sekarang banyak kaum perempuan yang melakukan perilaku

merokok ini, salah satunya adalah mahasiswi. Pernyataan ini didukung oleh data yang

diperoleh Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa jumlah wanita di Indonesia yang

merokok mencapai 40,5%, dari keseluruhan jumlah penduduk wanita di Indonesia.

Peringkat pertama yaitu mahasiswa putri, kemudian disusul oleh pelajar (Minarsih, 2012).

Ada beberapa alasan untuk merokok, antara lain untuk penampilan pribadi, agar lebih

percaya diri, untuk membangkitkan semangat, agar diterima oleh kelompok, dan agar

terlihat lebih jantan (Suhardi, 2005).

Menurut laporan lembaga riset The Health Foundation (2017), remaja milenial akan

menjadi generasi pertama yang memiliki tingkat kesehatan yang buruk pada usia

pertengahan. Kondisi tersebut dinilai lebih buruk dibandingkan orang tuanya. Laporan

tersebut menjelaskan bahwa masalah pekerjaan, hubungan sosial, dan juga tempat tinggal

memengaruhi orang-orang usia tersebut, sehingga membuat mereka memiliki risiko terkena

kanker, diabetes, dan juga penyakit jantung yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, hal

tersebut berkaitan dengan stres jangka panjang, gelisah, dan depresi.

Stres yang dialami generasi milenial membuat mereka mencari cara yang dianggap

benar agar bisa melampiaskannya. Salah satu cara yang umum digunakan adalah dengan
merokok. Perasaan tenang yang dialami berasal dari nikotin. Asap rokok yang mengandung

nikotin dalam waktu kurang dari sepuluh detik akan masuk ke susunan saraf pusat,

kemudian otak akan memproduksi dopamin lebih dari biasanya karena rangsangan nikotin

sehingga menimbulkan sensasi kenikmatan. Jumlah rokok yang digunakan generasi

milenial berkaitan dengan stres yang mereka alami, semakin tinggi tingkatan stresnya maka

semakin banyak rokok yang dikonsumsi.

Upaya pemerintah dalam menanggulangi rokok, antara lain membuat peraturan

perundang-undangan, peringatan kesehatan dalam pada bungkus rokok, kawasan tanpa

rokok, dan lain-lain. Meskipun upaya tersebut ditujukan untuk semua umur, tetapi lebih

terkesan kepada perokok dewasa. Di sisi lain produsen rokok lebih menyasar kepada

generasi milenial. Ini menjadi dilema karena upaya pemerintah tersebut dinilai kurang tepat

sasaran.

Selain karena sisi negatif yang berbahaya bagi kesehatan, perusahaan rokok juga

berusaha menciptakan citra positifnya dengan berbagai cara, salah satunya dengan

pemberian beasiswa kepada pelajar yang dianggap berprestasi. Bukan hanya itu,

perusahaan rokok juga sering mensponsori kegiatan yang berbasis olahraga, padahal hal itu

sangat tidak masuk akal karena rokok sangat bertentangan dengan kesehatan dan hal itu

juga ditujukan kepada generasi milenial.

Dari jumlah 258 juta penduduk Indonesia yang telah tercatat, 81 juta merupakan

generasi milenial atau berusia 18-38 tahun. Peningkatan prevalensi perokok dari 27% pada
tahun 1995, meningkat menjadi 36,3% pada tahun 2013. Artinya jika 20 tahun yang lalu

dari setiap 3 orang Indonesia, 1 orang di antaranya adalah perokok, maka saat ini dari setiap

3 orang Indonesia, 2 orang di antaranya adalah perokok. Keadaan ini akan semakin

mengkhawatirkan, karena prevalensi perokok perempuan turut meningkat dari 4,2% pada

tahun 1995 menjadi 6,7% pada tahun 2013. Dengan demikian, setiap 100 orang perempuan

Indonesia, 7 orang di antaranya adalah perokok. Lebih memprihatinkan lagi adalah

kebiasaan buruk merokok juga meningkat pada generasi muda menunjukkan bahwa

prevalensi remaja usia 16-19 tahun yang merokok meningkat 3 kali lipat dari 7,1% di tahun

1995 menjadi 20,5% pada tahun 2014. Dan yang lebih mengejutkan adalah usia perokok

semakin dini. Perokok pemula usia 10-14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam kurun

waktu kurang dari 20 tahun, yaitu dari 8,9% di tahun 1995 menjadi 18% di tahun 2014

(Kemenkes, 2015).

Tingginya proporsi konsumsi tembakau bisa mengindikasikan peningkatan jumlah

perokok di Indonesia. Ironinya, kebanyakan perokok usia ≥15 tahun tercatat mulai merokok

pada usia anak dan remaja. Tren kenaikan signifikan terlihat pada mereka yang mulai

merokok pada usia anak dengan rentang 5-14 tahun. Tahun 1995, sebanyak 9,6% penduduk

usia 5-14 tahun mulai mencoba merokok. Pada 2001, jumlah ini naik jadi 9,9%, kemudian

terus melonjak hingga 19,2% pada 2010. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, mengingat

anak usia 5-14 tahun seharusnya masih di bawah pengawasan orang tua.
Sementara itu, proporsi perokok yang baru saja menghisap tembakau di usia lebih

dari 20 tahun menunjukkan tren menurun. Jumlahnya menurun menjadi 24,3% pada 2013

dari yang awalnya 35,9% pada 1995. Padahal, pada usia tersebut seseorang sudah dapat

memutuskan untuk merokok atau tidak. Selain mengancam kelangsungan generasi, rokok

juga merupakan salah satu komoditas yang menyumbang garis kemiskinan terbesar kedua

setelah beras.

Berdasarkan Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi (2017), beras berkontribusi

terhadap kemiskinan terbesar sebanyak 18,8% di perkotaan dan 24,52% di pedesaan. Faktor

kedua yang berkontribusi terhadap kemiskinan adalah rokok keretek yang menyumbang

sebesar 9,98% kemiskinan di perkotaan serta 10,7% di perdesaan. Jika dilihat lebih rinci

lagi, kontribusi kemiskinan rokok baik di perkotaan maupun perdesaan sama-sama

mengalami kenaikan. Pada Maret 2015, rokok tercatat menyumbang 8,24% kemiskinan

perkotaan. Meski sempat turun sebanyak 2% pada September 2015 menjadi 8,08%, tetapi

pada periode setelahnya angka ini terus meningkat (11,79%) hingga Maret 2017.

Jumlah perokok di Indonesia saat ini menempati rating ketiga terbesar di dunia,

setelah China dan India. Jumlah perokok di Indonesia mencapai 35% dari total populasi,

atau sekitar 75 juta jiwa. Indonesia menempati peringkat ke-5 sebagai produsen tembakau

dunia dengan produksi tembakau sebesar 135.678 ton, atau sekitar 1.9% dari total produksi

tembakau dunia. Produksi tembakau meningkat dari 135.678 ton tahun 2010 menjadi

226.704 ton tahun 2012. Impor cengkeh sebagai bahan dasar rokok keretek juga meningkat
sangat tajam dari 277 ton tahun 2010 menjadi 14.979 ton tahun 2011, sementara produksi

mengalami penurun dari 98,3 ribu ton tahun 2010 menjadi 72,2 ribu ton. Kondisi ini

disebabkan oleh tingginya permintaan cengkeh dalam negeri oleh pabrik rokok karena

produksi rokok keretek meningkat, sementara produksi cengkeh domestik tidak mencukupi.

Produksi rokok pada tahun 2013 sudah mencapai 332 miliar batang, jumlah ini sudah jauh

di atas batas maksimal yang ditentukan roadmap industri rokok sebanyak 260 miliar

batang.

Menurut Target dalam Tarigan (2008) beberapa orang merupakan perokok sosial,

mereka merokok bukan karena kebutuhan fisik yang dalam atau kecanduan melainkan

untuk penampilan umum atau bahkan penampilan pribadi. Mereka berperan sebagai wanita

dalam khayalan mereka sendiri, sebagai idola atau apa saja dalam pikiran mereka, termasuk

geretan mahal di tangan, mata yang meredup karena hembusan asap rokok dari mulut,

menjentikkan abu rokok pilihan perlahan-lahan, sentuhan yang menggoda dan rasa nyaman

di ujung lidah setelah mengisap sebatang rokok, semuanya ini sangat berarti bagi perokok.

Jumlah laki-laki dan perempuan perokok yang mencoba berhenti merokok hampir

sama, tetapi laki-laki berhasil dua kali lebih banyak dari perempuan, penyebabnya adalah

perempuan melaporkan depresi lebih berat ketika mereka berhenti merokok. Dan depresi

membuat seseorang cenderung kembali kepada kebiasaan merokok (Sitanggang, 2005).

Menurut survei pendahuluan yang dilakukan peneliti di Universitas Sumatera

Utara, diketahui bahwa 15 dari 20 mahasiswa yang diwawancara merokok. Responden


memiliki pengetahuan yang baik mengenai dampak kesehatan yang buruk akibat rokok hal

ini diperoleh dari berbagai informasi, baik dilingkungan kampus maupun lingkungan

rumah. Responden meyampaikan kebiasaan merokok sebagai alasan yang membuat mereka

sulit untuk berhenti merokok, 10 responden sudah mulai merokok sejak dibangku SMA

sementara 5 responden mulai merokok sejak kuliah pada semester satu. Selain itu faktor

lingkungan juga berpengaruh bagi responden, 7 respon mengatakan jika mereka sedang

pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga mereka dapat berhenti merokok sebab

tidak ada yang merokok di keluarganya. Namun, saat kembali berkumpul dengan teman-

teman mereka akan kembali merokok. Alasannya mereka akan dikucilkan jika tidak

merokok.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tetarik untuk melakukan penelitian dengan judul

”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada Mahasiswa Universitas

Sumatera Utara Tahun 2018”.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada Mahasiswa Universitas

Sumatera Utara Tahun 2018.”

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Untuk mengetahui Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada

Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Tahun 2018.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada

mahasiswa Universitas Sumatera Utara Tahun 2018.

b. Untuk mengetahui perilaku merokok mahasiswa Universitas Sumatera Utara Tahun

2018.

Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Penelitian ini merupakan salah satu aplikasi ilmu kesehatan masyarakat yang selama

ini dipelajari selama masa perkuliahan di FKM USU.

2. Bagi peneliti lain

Penelitian ini sebagai masukan bagi peneliti lain untuk melaksanakan penelitian

lebih lanjut tentang perilaku makan buah dan sayur dalam upaya mewujudkan gaya

hidup sehat .

3. Bagi masyarakat umum dan pembaca

Penelitian ini sebagai gambaran perilaku makan buah dan sayur sebagai salah satu

upaya mewujudkan gaya hidup sehat pada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai