Anda di halaman 1dari 4

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Meningkatnya jumlah populasi manusia di Indonesia menyebabkan akan
kebutuhan energi minyak bumi juga semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya konsumsi bahan bakar minyak dan jumlah impor yang dilakukan di
negara Indonesia. Ketergantungan Indonesia akan impor bahan bakar fosil harus
segera diatasi karena seiring berjalannya waktu bahan bakar fosil akan habis.
Sudah seharusnya sebagai masyarakat Indonesia yang sangat bergantung pada
penggunaan bahan bakar melakukan peninjauan penggunaan energi terbarukan,
misalnya bioetanol. Energi terbarukan ini dapat dijadikan sebagai bahan bakar
pengganti bensin yang semakin lama jumlahnya semakin sedikit. Bioetanol
merupakan salah satu contoh energi alternatif dalam kategori biofuel, yang artinya
bahan bakar alami yang bahan bakunya berasal makhluk hidup (Eduardo, 2016).
Penggunaan bioetanol memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan
dengan bahan bakar minyak. Salah satu kelebihan dari bietanol dengan bahan
bakar minyak terletak pada jumlah kandungan oksigen yang lebih besar, yaitu
mencapai 35%. Tingginya jumlah kandungan oksigen akan berdampak pada
berkurangnya kandungan gas karbon monoksida yang dihasilkan pada proses
pembakarannya dan akan disumbangkan sebagai polutan. Jumlah emisi gas karbon
monoksida mencapai 19-25%. Sumber bahan baku bioetanol umumnya dapat
ditemukan dari tanaman–tanaman yang mengandung pati, seperti singkong,
jagung, kelapa, kapuk, kelapa sawit, talas taro, ubi jalar, jarak pagar, dan sirsak
atau tengkawang. Selain itu, bahan baku bioetanol lainnya adalah tanaman yang
mengandung gula seperti tetes tebu atau molase, nira tebu, nira nipah, dan nira
surgum manis, dan juga mengandung serat selulosa seperti jerami padi, serbuk
kayu, batang sorgum, batang pisang, dan serta sabut kelapa (Wusnah, 2016).
Bioetanol sebenarnya lebih mudah dihasilkan dari bahan baku yang
mengandung glukosa karena pada proses pembentukan nya lebih sederhana.
Pembuatan bioetanol lebih dikembangkan dengan menggunakan bahan baku yang
mengandung selulosa karena bahan baku yang mengandung glukosa lebih banyak
2

dimanfaatkan dalam produk lain seperti dalam bidang pangan sebagai bahan baku
industri makanan dan minuman, serta industri farmasi. Selulosa merupakan
sumber daya alam yang banyak ditemukan di alam dan memiliki potensi dalam
menghasilkan produk yang bermanfaat seperti etanol dan bahan bakar lainnya.
Salah satu bahan baku yang mengandung selulosa cukup tinggi sehingga dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan bioetanol yaitu sabut kelapa. Komposisi dari
sabut kelapa tersebut dintaranya yaitu, 43,44 % selulosa, 19,9% hemiselulosa,
45,84% lignin, dan 5,25% air, serta 2,22% abu. Dilihat dari komposisi pada sabut
kelapa yang terdiri dari selulosa tersebut , sabut kelapa memiliki suatu potensi
untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol.
Sabut kelapa adalah salah satu biomassa yang mudah didapatkan serta
komposisi dari sabut dalam buah kelapa sekitar 35% dari berat keseluruhan buah
kelapa. Sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus. Sabut kelapa juga merupakan
salah satu limbah yang jumlahnya cukup banyak dan dapat dimanfaatkan kembali.
Setiap butir sabut kelapa, bisa menghasilkan serat (coco fiber) sekitar 0,15 Kg dan
serbuk (coco peat) sekitar 0,39 Kg (Nurfian, 2015). Sabut kelapa merupakan
bagian terluar yang membungkus buah kelapa. Sabut kelapa yang dimiliki oleh
setiap buah kelapa berkisar hampir 35% atau sekitar 2/3 bagian dari volume buah
kelapa dengan ketebalan sabut kelapa berkisar antara 5-6 cm. Sabut kelapa ini
terdiri dari lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium).
Pemanfaatan sabut kelapa ini juga pada umumnya hanya untuk dibakar ataupun
dijadikan kerajinan tangan seperti keset kaki dan kerajinan lainnya.
Pembakaran pada sabut kelap dapat mengakibatkan polusi udara dan emisi
gas pada lingkungan yang mengakibatkan terganguntya masyarakat yang lain yang
ada disekitar. Hal ini membuktikan bahwa masih rendahnya pemanfaatan terhadap
sabut kelapa untuk menjadikannya lebih bernilai secara ekonomis. Sabut kelapa
ini jika dikonversi menjadi bioetanol akan mengurangi polusi udara dari efek
pembakaran tersebut yang dilakukan secara langsung, mengurangi limbah dari
perkebunan kelapa, dan juga meningkatkan nilai ekonomis dari sabut kelapa itu
sendiri. Selain itu, konversi sabut kelapa menjadi bioetanol juga dapat mengurangi
kebutuhan impor migas jika dilakukan produksi secara massal dan berkelanjutan.
3

1.2. Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1) Bagaimana pengaruh amonia dan enzim selulaso terhadap proses hidrolisa
untuk menghasilkan glukosa?
2) Bagaimana pengaruh amonia dan enzim selulose terhadap kadar bioetanol
yang dihasilkan?
3) Bagaimana pengaruh amonia dan enzim selulase serta variasi waktu (hari)
pada proses fermentasi untuk menghasilkan bioetanol?

1.3. Tujuan Penelitian


1) Mengetahui pengaruh amonia dan enzim selulase terhadap proses hidrolisa
untuk menghasilkan glukosa.
2) Mengetahui pengaruh amonia dan enzim selulase terhadap kadar bioetanol
yang dihasilkan.
3) Mengetahui pengaruh amonia dan enzim selulase serta variasi waktu (hari)
pada proses fermentasi untuk menghasilkan bioetanol.

1.4. Hipotesa
1) Proses hidrolisis dengan menggunkan amonia dan enzim selulasa mampu
meningkatkan hasil glukosa.
2) Pengaruh dari amonia dan enzim selulase terhadap kadar bioetanol dapat
mempengaruhi hasil dari bioetanol.
3) Proses fermentasi menggunakan amonia dan enzim selulase serta variasi
waktu (hari) mampu menghasilkan etanol.

1.5. Manfaat Penelitian


1) Menambah wawasan dan kemapuan berpikir mengenai penerapan teori
yang telah didapat dari mata kulia yang telah diterima kedalam penelitian
yang sebenarnya.
2) Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sarana diagnosis dalam mencari
sebab masalah atau kegagalan yang terjadi didalam sistem penilaian
pelayanan yang sedang berjalan.
3) Mengetahui pengaruh amonia dan enzim selulase serta variasi waktu (hari)
pada proses fermentasi untuk menghasilkan bioetanol.
4

Anda mungkin juga menyukai