MENTERI LINGKUNGAN HIDUP PADA PABRIK TAPIOKA. 2. MATERI TENTANG LIMBAH B3 3. MATERI TENTANG GAS RUMAH KACA BAB I BAKU MUTU LINGKUNGAN
Baku mutu limbah cair untuk pabrik tapioka, berdasarkan:
Lampiran A.VIII : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP 51-/MENLH/1995 Tenteang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Tanggal : 23 Oktober 1995
Kadar Maksimum Beban Pencemaran Maksimum
Parameter (mg/L) (Kg/ton) BODs 200 12 COD 400 24 TSS 150 9 Sianida (CN) 0,5 0,03 pH 6,0-9,0 Debit Limbah 60 m3 per ton produk Maksimum BAB II LIMBAH B3
2.1 Pengertian Limbah B3
Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Pasal 1 (21) mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain. Sedangkan definisi menurut OSHA (Occupational Safety and Health of the United State Government) adalah bahan yang karena sifat kimia maupun kondisi fisiknya sangat berpotensi menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia, kerusakan properti dan atau lingkungan.
2.2 Klasifikasi Limbah B3
Menurut Depkes RI melalui keputusan Menkes No. 453/Menkes/Per/XI/1983 telah memberi arahan mengenai bahan berbahaya beracun dan pengelolaannya, yang dibagi menjadi 4 (empat) klasifikasi, yaitu: Klasifikasi I 1. Bahan kimia atau sesuatu yang telah terbukti atau diduga keras dapat menimbulkan bahaya yang fatal dan luas, secara langsung atau tidak langsung, karena sangat sulit penanganan dan pengamanannya 2. Bahan kimia atau sesuatu yang baru yang belum dikenal dan patut diduga menimbulkan bahaya. Klasifikasi II 1. Bahan radiasi 2. Bahan yang mudah meledak karena gangguan mekanik 3. Bahan beracun atau bahan lainnya yang mudah menguap dengan LD50 (rat) kurang dari 500 mg/kg atau yang setara, mudah diabsorpsi kulit atau selaput lender 4. Bahan etilogik/biomedik 5. Gas atau cairan beracun atau mudah menyala yang dimampatkan 6. Gas atau cairan atau campurannya yang bertitik nyala kurang dari 35oC 7. Bahan padat yang mempunyai sifat dapat menyala sendiri. Klasifikasi III 1. Bahan yang dapat meledak karena sebab-sebab lain, tetapi tidak mudah meledak karena sebab-sebab seperti bahan klasifikasi II 2. Bahan beracun dengan LD50 (rat) kurang dari 500 mg/kg atau setara tetapi tidak mempunyai sifat seperti bahan beracun klasifikasi II 3. Bahan atau uapnya yang dapat menimbulkan iritasi atau sensitisasi, luka dan nyeri 4. Gas atau cairan atau campurannya dengan bahan padat yang bertitik nyala 35oC sampai 60oC 5. Bahan pengoksidasi organic 6. Bahan pengoksidasi kuat 7. Bahan atau uapnya yang bersifat karsinogenik, tetratogenik dan mutagenic 8. Alat atau barang-barang elektronika yang menimbulkan radiasi atau bahaya lainnya. Klasifikasi IV 1. Bahan beracun dengan LD50 (rat) diatas 500 mg/kg atau yang setara 2. Bahan pengoksid sedang 3. Bahan korosif sedang dan lemah 4. Bahan yang mudah terbakar. Menurut SK Menprind No. 148/M/SK/4/1985. tentang Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan Industri. Pengelompokan bahan B3 berdasarkan keputusan tersebut meliputi: a. Bahan beracun (toxic). Pengertian beracun karena bahan tersebut dapat langsung meracuni manusia atau mahluk hidup lain. Sifat keracunan tersebut dapat terjadi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Bila sampai masuk ke lingkungan, di lokasi pembuangan yang tidak terkontrol, bahan beracun ini dapat tercuci serta masuk ke dalam air tanah sehingga dapat mencemari sumur penduduk di sekitarnya dan berbahaya bagi penduduk yang menggunakan air tersebut. b. Bahan peledak & Mudah meledak. Bahan ini berbahaya selama penanganannya, baik pada saat pengangkutannya maupun saat pembuangannya, karena,bahan ini dapat menimbulkan reaksi hebat dan dapat melukai manusia serta merusak lingkungan sekitarnya. c. Bahan mudah terbakar/menyala. Bahan ini berbahaya bila terjadi kontak dengan bahan lain yang panas, rokok atau sumber api lain karena dapat menimbulkan kebakaran yang tidak terkendalikan baik saat pengangkutan,di lokasi penyimpanan/pembuangan seperti di landfill. Disamping mudah menyala/terbakar, bahan ini umumnya kalau sudah menyala akan terbakar terus dalam waktu yang lama, seperti sisa pelarut yang meliputi benzene, toluene atau aseton yang berasal dari pabrik cat, pabrik tinta, serta kegiatan lain yang menggunakan bahan tersebut sebagai pelarut. d. Bahan oksidator dan reduktor Bahan pengoksidasi ini berbahaya karena dapat menghasilkan oksigen sehingga dapat menimbulkan kebakaran, seperti sisa bahan yang banyak digunakan di laboratorium seperti magnesium, perklorat dan metil metil keton (MIK) e. Bahan korosi / iritasi Bahan penyebab korosif (corrosive waste) ini berbahaya karena dapat melukai, membakar kulit dan mata. Bahan yang termasuk ini mempunyai keasaman (pH) lebih rendah dari 2 atau lebih besar dari 12,5, dapat menyebabkan nekrosia (terbakar) pada kulit atau dapat menyebabkan karat. f. Bahan radioaktif. Yaitu bahan yang dapat menyebabkan terjadinya radiasi pada makhluk hidup. Bahan beracun dan berbahaya lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. 2.3 Pengelolaan Limbah B3 Secara spesifik pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Terkait dengan penggunaan bahan kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah merativikasi konvensi Stockholm melalui Undang-undang No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten atau Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan. Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas limbah B3 yang dihasilkan adalah peraturan-peraturan yang mengatur masalah bahan berbahaya, yaitu : 1. Peraturan Pemerintah No.7/1973 tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida 2. Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya 3. Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan bahan beracun dan berbahaya di lingkungan industri 4. Keputusan Menteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan penggunaan pestisida EDB 5. Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/TP.270/7/1985 tentang pengawasan pestisida Selain itu, Limbah radioaktif di Indonesia dikelola oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1985 tentang Dewan Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional dan Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1985 tentang Badan Tenaga Atom Nasional. Semua yang berkaitan dengan ketenaga atoman pada dasarnya diatur oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan pokok tenaga atom. Selanjutnya beberapa peraturan lain di bawahnya antara lain: 1. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang keselamatan kerja terhadap radiasi 2. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 tentang izin pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi 3. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 tentang pengangkutan zat radioaktif
2.4 Pengemasan dan Penyimpanan Limbah B3
Pengemasan (packaging) juga diatur dan perlu dicantumkan dalam surat pengangkutan. Alat pengemas dapat berupa: drum baja, kotak kayu, drum fiber, botol gelas dan sebagainya. Pengemasan yang baik mempunyai kriteria: 1. Bahan tersebut selama pengangkutan tidak terlepas ke luar 2. Keefektifannya tidak berkurang 3. Tidak terdapat kemungkinan pencampuran gas dan uap
Setiap penghasil limbah B3 harus dengan pasti mengetahui karakteristik
bahaya dari setiap limbah B3 yang dihasilkan/dikumpulkan. Apabila ada keragu- raguan dengan karakteristik limbahnya, maka harus dilakukan pengujian. Bagi penghasil yang menghasilkan limbah B3 yang sama secara terus menerus, maka pengujian dapat dilakukan sekurang-kurangnya satu kali. Apabila dalam perkembangannya terjadi perubahan kegiatan yang diperkirakan mengakibatkan berubahnya karakteristik limbah yang dihasilkan, maka terhadap masing-masing limbah B3 hasil kegiatan perubahan tersebut harus dilakukan pengujian kembali terhadap karakteristiknya. Bentuk, ukuran dan bahan kemasan limbah B3 disesuaikan dengan karakteristik limbah B3 yang akan dikemasnya dengan mempertimbangkan segi kemanan dan kemudahan dalam penanganannya. Kemasan dapat terbuat dari bahan plastik (HPDE, PP atau PVC) atau bahan logam (teflon, baja karbon, SS304, SS316, atau SS440) dengan syarat bahan kemasan yang dipergunakan tersebut tidak bereaksi dengan limbah B3 yang disimpannya. Gambar 2.1 (A) Penyimpanan Limbah B3 Cair (B) Sludge
Penyimpanan kemasan menurut Keputusan Bapedal
No.01/Bapedal/09/1995 dibuat dengan sistem blok. Setiap blok terdiri atas 2 (dua) x 2 (dua) kemasan, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap setiap kemasan. Dengan demikian jika terdapat kerusakan kecelakaan dapat segera ditangani. Lebar gang antar blok minimal 60 cm untuk memudahkan petugas melaluinya, sedang lebar gang untuk lalu lintas kendaraan pengangkut (forklift) disesuaikan dengan kelayakan pengoperasiannya. BAB III GAS RUMAH KACA
3.1 Global Warming
Pemanasan global (global warming) terjadi karena adanya efek rumah kaca. Panas dari matahari terperangkap di atmosfer bumi oleh gas rumah kaca (GRK), seperti karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil untuk kendaraan bermotor dan pembangkit listrik serta kebakaran hutan, dinitro oksida (N2O) yang dihasilkan dari pemakaian pupuk buatan dan gas yang dihasilkan dari proses produksi beberapa industri, gas methan (CH 4 ), sulfur-heksaflorida (SF 6 ), perflorokarbon (PFCs), hidroflorokarbon (HFCs), dan uap air (H 2 O). Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air laut, sehingga penguapan di udara pun meningkat, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Adanya perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Secara alamiah cahaya matahari (radiasi gelombang pendek) yang menyentuh permukaan bumi akan berubah menjadi panas dan menghangatkan bumi. Sebagian dari panas ini akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa luar sebagai radiasi infra merah gelombang panjang. Sebagian panas sinar matahari yang dipantulkan itu akan diserap oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi (disebut gas rumah kaca seperti : uap air, karbon-dioksida/CO2 dan metana) sehingga panas sinar tersebut terperangkap di atmosfer bumi. Peristiwa ini dikenal dengan Efek Rumah Kaca (ERK) karena peristiwanya sama dengan rumah kaca, dimana panas yang masuk akan terperangkap di dalamnya, tidak dapat menembus ke luar kaca, sehingga dapat menghangatkan seisi rumah kaca tersebut. Peristiwa alam ini menyebabkan bumi menjadi hangat dan layak ditempati manusia, karena jika tidak ada Efek Rumah Kaca maka suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin. Semua kehidupan di Bumi tergantung pada efek rumah kaca ini, karena tanpanya, planet ini akan sangat dingin sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi, bila gas-gas ini semakin berlebih di atmosfer dan berlanjut, akibatnya pemanasan bumi akan berkelebihan dan akan semakin berlanjut. Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada tahun 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama pada planetatau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya.Efek rumah kaca hanya terjadi pada planet-planet yang mempunyai lapisanatmosfer seperti Bumi, Mars, Venus, dan satelit alami Saturnus (Titan).
3.2 Penyebab Efek Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dansungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesisSelain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca. Peningkatan kadar gas rumah kaca akan meningkatkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Berikut akan dipaparkan mengenai gas-gas yang berperan dalam efek rumah kaca yaitu: 1. Uap Air (36-70%). Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktivitas manusia tidak secara langsung memengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal. Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di troposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. 2. Karbondioksida (9-26%). Manusia telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan maupun untuk perluasan lahan pertanian. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktivitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm, pada gambar 3 (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. 3. Metana (4-9%). Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak biladibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan- hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri pada pertengahan 1700-an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali lipat. 4. Nitrogen Oksida. Nitrogen oksida adalah gas insulator panas kuat yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16% bila dibandingkan masa pre-industri. 5. Gas lainnya. Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet). Komsumsi CFC tertinggi terdapat pada Negara-negara maju. Amerika Serikat mengkomsumsi hampir sepertiga komsumsi CFC dunia.
3.3 Dampak Efek Rumah Kaca
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Efek rumah kaca yang berlebih mengakibatkan meningkatkannya suhu permukaan bumi, sehingga terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10–25 cm (4-10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9–88 cm (4-35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan iklim menimbulkan perubahan pada pola musim sehingga menjadi sulit diprakirakan.Pada beberapa bagian dunia hal ini meningkatkan intensitas curah hujan yang berpotensi memicu terjadinya banjir dan tanah longsor. Sedangkan belahan bumi yang lain bisa mengalami musim kering yang berkepanjangan, karena kenaikan suhu dan turunnya kelembaban. Selanjutnya perubahan iklim akan berdampak pada segala sektor, meliputi: 1. Ketahanan Pangan Terancam. Produksi pertanian tanaman pangan dan perikanan akan berkurang akibat banjir, kekeringan, pemanasan dan tekanan air, kenaikan air laut, serta angin yang kuat. Perubahan iklim juga akan mempengaruhi jadwal panen dan jangka waktu penanaman. Peningkatan suhu 10C diperkirakan menurunkan panen padi sebanyak 10%. 2. Dampak Lingkungan. Banyak jenis makhluk hidup akan terancam punah akibat perubahan iklim dan gangguan pada kesinambungan wilayah ekosistem (fragmentasi ekosistem). 3. Risiko Kesehatan. Cuaca yang ekstrim akan mempercepat penyebaran penyakit baru dan bisa memunculkan penyakit lama. Badan Kesehatan PBB memperkirakan bahwa peningkatan suhu dan curah hujan akibat perubahan iklim sudah menyebabkan kematian 150.000 jiwa setiap tahun. Penyakit seperti malaria, diare, dan demam berdarah diperkirakan akan meningkat di negara tropis seperti Indonesia. 4. Air. Ketersediaan air berkurang 10%-30% di beberapa kawasan terutama di daerah tropik kering. Kelangkaaan air akan menimpa jutaan orang di Asia Pasifik akibat musim kemarau berkepanjangan dan intrusi air laut ke daratan. 5. Ekonomi. Kehilangan lahan produktif akibat kenaikan permukaan laut dan kekeringan, bencana, dan risiko kesehatan mempunyai dampak pada ekonomi.
3.4 Cara Menanggulangi Efek Rumah Kaca
Terdapat dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca, yaitu: 1. Pencegahan. Mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Salah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil (BBM, batubara). 2. Penanganan. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi.